Tragedi
Sambal atau cabe giling mencatat luka batu di rongga mulut, lidah, tenggorokan dan usus. Maka senantiasa lambung meradang, ganjil meminang dengus bibir. Uhfs.
Tak hanya lorong pedas, tapi juga kisah perut yang mulas. Ini pasal luka batu pipih digilas batu bulat. Sepasang lengan menekan, rempah-rempah pecah, lumat bersama pasir halus, hanyut menyongsong rahasia usia: perut. Inilah mula jejak digaris jemari lentik, memisah tampuk dan buah.
Cabe terbaring bugil di atas batu pipih. Maaf, jerit batu bulat, pasrah ditunggang telapak tangan penggiling. Bawang mengerang untuk siung kering yang dibuang ke tong. Pasrah, sebab berlapis-lapis waktu usang serupa sampah. Meluncur jahe, lengkuas dan kunyit: terperas membasahi lumatan cabe dan lendir bawang.
Batu bulat dan batu pipih tak henti bercumbu, pasir terus gugur cuil demi cuil. Tak terlacak jejaknya, sebab merica, ketumbar, lada dan pala ikut melumpur.
“Meracik apa, Puan,” tanya aroma pada babu.
“Membungkam mulut majikan. Meneguhkan takdir para babu pemulia dapur.”
Tapi segalanya tetap tergantung pada lidah, perut cuma pengendali tangan peracik.
Bagaimanapun tomat dan asam gelugur tidak mengeluh disayat-sayat.
Batu giling terus gemetar: kapan ini berakhir?
Agustus 2009
Senandung
Mari bersulang, selepas memintal ajal
Lalat dan belatung mengombak di meja makan. Seperti sudah berabad jiwa ini koyak, busuk sejak dari ujung tombak, milik pemburu entah dari mana, entah panah tajam dari lembah mana
Aku dirajam beku, darah dan luka itu dulu kau balut. “Kita berhenti berburu, ya!” katamu
Tapi madu lebah hutan yang mewariskan sungai di darahku, habis jua dihisap laut. Dari pucuk tanjung, kulepas kau berburu lagi. Menghunjam tubuhku. Dan mati. Membusuk. Ayo, santap belatung dan lalat ini.
Di kerongkonganmu, kunikmati pelayaran, bersabung dengan badai. Tapi di lambung perahu, tiada dapat kubujuk kau, sebab takdirku jauh dari pasir. Jantungmu, betapa gemuruh. Minumlah, derita memang pahit.
Kisaran, Oktober 2009
Ladang Kekal
: buat RDK
Seperti menanam senandung, kubuka senja untuk menatap taman dan hamparan ladang-ladang. Dan segala perbatasan seperti terhapus di ujung daratan itu. Terhidang rasa bersama, seperti kisah-kisah bunga surga. Sebab lama tanah-tanah tandus dibuai peluh dan geliat doa. Maka matahari tak terbenam pada nafasmu yang sarat musim. Pada malam yang mengombak, sebuah jiwa berhembus, mengelus dinding-dinding kota. Dan mimpi itu membubung, sayap zaman yang wangi mengepak dari jemarimu.
Pada manis putaran musim, bunga-bunga bergetar, menari tentang detik dan abad yang nyaring dinyanyikan. Engkau nada dari jauh, dari bandar muasal saudagar, dari tahun-tahun yang dikekalkan rahang laut. Suatu waktu amat kau takuti sepi, tapi cinta penuh merajut hidup, menderu merdu sepanjang mimpi dan keriangan anak-anak. Dan pada gelombang, harapan dilayarkan antara sepi dan pulau-pulau yang dirindu. Semoga kita selalu tiba pada pulau-pulau penuh panen.
Seperti ziarah, engkau dinanti di ladang jiwa. Selagi matahari masih meninggi untuk kemuliaan sejarah, anak-anak dan bapanya senantiasa berkemas. Menuai pada musim, menanam pada janji, mencatat mimpi pada lembar-lembar yang dibingkai pada semua rentang usia. Antara fajar dan langkahmu, antara senja dan cintamu, angin adalah jalan pulang yang tersibak di ladang-ladang kekal.
Pematangsiantar, 2013
Sejauh Arus
Sejauh arus,
sungai tak lupa
memeluk batu. Setabah itu kita merayu muara, memeta sejarah ombak dan lengang bandar, melayari waktu yang berdarah.
Seperti itu
kita mengembarai laut bersama desis pinus di hutan-hutan jauh, meminang tuah lumut di dinding gubuk. Seperti lambaian nyiur menyeret dermaga, tiang kapal dan rumah-rumah panggung. Maka kita mengaduk doa, mengentalkan aroma pantun, tapi terbentur jua puisi di dinding karang.
Dan kita
cuma bisa terbang
menunggang asap dari hutan
yang terbakar.
Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar