31 Desember 2016

Tahun Baru yang Terbuat dari Tuak


Terbuat dari apakah Tahun Baru? Tanya seorang pemabuk kepada seorang penyair? Penyair menjawab: terbuat dari hatimu. Si Pemabuk merasa linglung. Tapi samar-samar, ia saksikan lampu teplok beterbangan ke udara. Ia tatap langit penuh cahaya.

Ilustrasi.

Dan saya terhenyak dan merasa bahagia membayangkan adegan antara pemabuk dan penyair itu. Tapi hidup bukan imajinasi, saya tinggalkan mereka dan mencoba menghayati waktu.

Tanggal 1 Januari 2017 kebetulan jatuh pada hari Minggu. Adakah diantara kita pernah bertanya, Minggu itu sesungguhnya apa? Artinya apa? Berasal dari bahasa apa? Kenapa rentang 7 hari disebut seminggu, atau 14 hari dua minggu, dan sebulan 4 minggu?

Tiba-tiba saya merasa seperti seorang pemabuk yang meracau tentang hal-hal tak berguna. Tapi syukurlah saya sekaligus merasa seperti seorang penyair yang bicara ngaur tapi penuh makna.

Dan ternyata, Minggu adalah hari pertama dalam satu pekan. Kata 'minggu' berasal bahasa Portugis, yaitu Domingo. Dalam bahasa Latin disebut Dominicus, yang artinya 'hari Tuhan kita'.

Konon, dulu sekali hingga abad 18, dalam bahasa Melayu lama, Minggu diucapkan dengan Dominggu. Lalu sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini berubah ejaannya menjadi Minggu. Sejak itu, Minggu terus mengalami perkembangan makna.

Kata minggu (dengan huruf 'm' kecil) dimaknai menjadi pekan, satuan waktu yang terdiri dari tujuh hari. Hari Minggu merupakan bagian akhir dari minggu.

Sebagian golongan menyebut Minggu dengan Ahad, berasal dari bahasa Arab. Memang masih jarang terdengar kata seahad, dua ahad, tiga ahad dan seterusnya. Yang lazim kita dengar adalah seminggu, dua minggu, tiga minggu dan seterusnya.

Apa hubungan racauanmu ini dengan Tahun Baru? Tiba-tiba saya dengar pemabuk itu bertanya, dan saya gugup: betul juga, apa hubungannya? Tapi saya coba tenang, dan menjawab pemabuk itu dengan lembut, seolah-olah saya adalah seorang penyair. Saya katakan padanya: tidak ada, kebetulan saja 1 Januari 2017 jatuh pada hari Minggu.

Pemabuk itu diam. Dan saya kembali memahami kenyataan. Kini saya bertanya pada diri sendiri. Kenapa disebut Tahun Baru? Dan kenapa tak ada istilah tahun lama? Apakah tahun lama sama dengan tahun lalu?

Kenapa pukul 00.01 disebut tahun baru, kenapa pukul 23.59 yang hanya berjarak satu menit tiba-tiba jadi tahun lama? Sebegitu cepatkah waktu aus? Sebegitu cepatkah waktu menjadi buruk? Betulkah ada tahun baru? Terbuat dari apakah Tahun Baru?

Tiba-tiba penyair itu menghampiri saya, dan bertanya: "Apakah kau sedang mabuk?"

"Tidak! Kebetulan saja saya tadi minum tuak," jawab saya.

"Nah, itulah jawaban atas pertanyaanmu yang ngaur itu. Tahun Baru terbuat dari tuak. Dan kau sedang mabuk," kata Penyair itu.

Saya tersinggung. Lalu saya berondong Penyair itu dengan rentetan pertanyaan: kenapa terompet-terompet itu berbunyi? Kenapa kembang api berkesiur seperti anak-anak cahaya? Kenapa mercon dan petasan itu meledak-ledak seperti anak-anak api yang melompat-lompat? Kenapa orang berbondong-bondong membeli benda-benda baru demi tahun baru? Kenapa orang menghambur-hamburkan uang dan waktu untuk pesta ini? Kenapa semua orang sangat ribut dan riuh? Kenapa mereka tak peduli terhadap orang-orang sakit? Saya yang mabuk atau mereka? Ayo jawab, saya yang mabuk atau mereka?

Penyair itu terkejut dan tercengang, lalu berkata: "Jika begitu, ayolah menyeberang. Kita songsong tahun baru. Di sana nanti aku akan memperkenalkan kau sebagai penyair dan aku akan minum tuak dan berlajar jadi pemabuk."

Lalu di samping kami, sebuah cahaya melesat ke arah langit, meledak menjadi bunga-bunga. Orang-orang berteriak penuh kegembiraan. Mereka bersalam-salaman. Dan saya makin linglung, bertanya dalam hati, sudah berapa lamakah saya tak pernah memaafkan? Sudah berapa lama?

Tak ada sahutan. Dan saya makin linglung, bertanya dalam linglung: sudah berapa lamakah saya lupa hari Minggu? Entahlah. Tapi pemabuk dan penyair itu berada di hatiku, sama-sama berbisik: "Tuhan menyayangimu."

Saya terharu dan kembali pada kenyataan. Saya coba menyapa orang-orang: Selamat Hari Minggu. SELAMAT TAHUN BARU. (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

24 Desember 2016

Kita, Meriam Bambu dan Om Telolet Om


Oleh Panda MT Siallagan

Anak-anak bermain meriam bambu. (Foto/Internet)
Ini akhir tahun yang menggembirakan sekaligus mencemaskan. Menggembirakan karena tiba-tiba muncul demam 'Om Telolet Om' yang ringan dan menyenangkan. Dunia heboh dan ceria karenanya. Ketika saya saksikan video tentang "om Telolet Om' itu lewat saluran youtube, saya ikut larut di dalamnya: tertawa dan bahagia.

Tapi di balik kegembiraan itu, sesungguhnya terselip kecemasan yang dalam. Situasi politik nasional yang panas, produksi isu SARA yang meresahkan, pemberantasan terorisme yang gencar, ekonomi yang lamban bergerak, masalah-masalah sosial lain, sungguh membuat jantung gemetar.

Dan kita tahu, kegembiraan dan kecemasan itu hadir secara tak terkendali di dunia maya berbasis teknologi yang kita kenal dengan media sosial (medsos) itu. Kegembiraan dan kecemasan itu dikirimkan ke hati dan pikiran kita lewat media sosial dan media konvensional melengkapinya sebagai fenomena yang harus diterima sebagai kenyataan.

Dan saya tiba-tiba terkenang meriam bambu. Situasi bangsa yang kita saksikan hari-hari ini menjelang pergantian tahun, sungguh seperti letupan-letupan yang mengejutkan di satu pihak, menyenangkan di pihak lain, dan mencemaskan bagi kelompok tertentu. Hal semacam inilah yang saya tangkap dari kenangan tentang meriam bambu. Tak akan lekang dari ingatan: letupan-letupan meriam bambu adalah perayaan penuh warna setiap pergantian tahun, dulu, pada masa kanak yang jauh itu.

Setelah menonton beberapa video Om Telolet Om, saya tiba-tiba berhenti tertawa. Saya tiba-tiba sedih menyaksikan anak-anak berdiri di pinggir jalan, lalu berteriak-teriak kepada supir bus agar membunyikan klakson yang tiruan bunyinya 'telolet'. Betapa riskannya aksi itu. Dan anehnya, sebagian orang mengambil kesimpulan dari aksi itu: bahagia itu sederhana. Benarkah demikian? Benarkah kebahagiaan yang sederhana harus diraih dengan cara berbahaya semacam itu?

Saya merenung, lalu menyimpulkan bahwa anak-anak dan generasi muda itu adalah para pemburu. Pemburu klakson. Pemburu telolet. Pemburu kebahagiaan. Pemburu keriangan. Itu mungkin hal baru yang sangat menyenangkan bagi mereka, tapi bagi saya, atau bagi anak-anak yang tinggal di Sumatera Utara, telolet bukanlah hal baru. Rentang tahun 90-an hingga 2000-an, hampir setiap angkutan kota dan angkutan desa sudah punya klakson telolet seperti yang heboh sekarang. Bahkan, seingat saya, klakson telolet ada yang menggunakan lagu Indonesia Raya atau lagu-lagu daerah. Fenomena itu kemudian hilang, hingga akhirnya muncul lagi sebagai viral di medsos yang membuat dunia gempar.

Diam-diam saya bertanya: mengapa bunyi klakson harus diburu? Apakah tidak ada lagi sarana lain untuk mencari kebahagiaan bagi anak-anak itu? Saya agak marah ketika ada yang bilang bahwa Om Telolet Om adalah bentuk kreativitas. Saya justru berpendapat bahwa hal itu dimungkinkan karena ketiadaan kreativitas. Anak-anak itu tidak punya aktivitas kreatif yang bisa memenuhi hasratnya pada kebahagiaan terutama dalam hal bunyi-bunyian.

Pada titik inilah saya terkenang masa kanak yang riang itu. Saya mahir membuat mobil-mobilan dari bambu dengan roda terbuat dari sandal swallow bekas, bentuknya mirip dengan mobil balap yang digunakan di arena balapan F1. Kami anak-anak desa, ketika itu, juga sangat mahir membuat truk dari papan. Kedua jenis mobil-mobilan ini didorong dengan tongkat yang berfungsi sebagai setir, yang dikaitkan dengan tali pada kedua sisi as roda bagian depan. Dan tentu, masih sangat banyak jenis-jenis permainan lain yang akan sangat panjang jika dideretkan satu per satu.

Dan setiap akhir tahun seperti ini, salah satu kreativitas yang saya kenang adalah meriam bambu. Ia bagian dari sejarah kita. Sejarah beberapa generasi yang kini sudah hampir hilang. Meriam bambu adalah alat keriangan paling mengagumkan pada masa itu, yang kini telah digantikan petasan, mercon atau kembang api. Anak-anak tak perlu lagi kreatif, tinggal beli, lalu meletuplah kebahagiaan-kebahagiaan semu.

Ilustrasi membobol sekat ruas bambu.
Akan halnya meriam bambu, proses kreatif sudah dimulai sejak anak-anak pergi ke hutan mencari bambu berdiameter besar, paling tidak 10 cm. Pengetahuan tentang usia bambu itu juga sangat penting di sini. Bambu harus tua. Bambu muda tentu tak layak dijadikan meriam. Proses selanjutnya adalah membuat meriam. Bambu dipotong dengan panjang 1,5 hingga 2 meter. Bambu yang dijadikan meriam tidak memiliki cacat seperti berlubang atau pecah.

Umumnya ruas bambu pada bagian bawah akan dijadikan pangkal. Lalu, sekat-sekat ruas bambu akan dibobol dengan batang besi atau kayu yang diruncingkan, dan pada bagian pangkal dibuat lubang picu di permukaan bambu dengan jarak sekitar 10 cm dari ruas pangkal meriam.

Lalu, permainan dimulai. Saatnya memasukkan minyak tanah sebagai bahan bakar. Lalu dipanaskan melalui api yang ditiup di lubang picu. Setelah panas, maka mulailah proses bermain-main dengan letupan. Lubang picu ditiup, api dicelup dengan api. Dan duarrrr...! Begitu seterusnya.

Suara letupan meriam bambu ini akan bersahut-sahutan dari satu dusun dengan dusun lain. Dan 'kepahlawan' anak-anak itu akan tampak dari suara meriam bambu miliknya: meriam siapa bunyinya paling keras berdentam, maka dialah pemenang, atau paling dipuji.

Ilustrasi cara membuat lubang picu.
Tapi kini, permainan tradisional ini sudah nyaris punah. Selain cara pembuatannya yang tidak praktis, banyak orang tua melarang anak-anaknya memainkan meriam bambu karena sangat berbahaya. Dan kini, tentu tak mudah lagi mencari bambu dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Tapi tentang bahaya, saya merenung: apakah petasan dan mercon tidak berbahaya? Apakah Om Telolet Om tidak berbahaya?

Demikianlah, sesungguhnya saya sedang merenung: alangkah dasyatnya kehilangan kita atas kreativitas, terutama di kalangan anak-anak kota yang kian praktis dan terjajah medsos. Alangkah dasyatnya! ***
Bagikan:

17 Desember 2016

Facebook dan Google Menangguk Laba, Media Lokal Makin Sekarat


SolupL - Mantan anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, revolusi digital yang terjadi saat ini hanya menguntungkan beberapa pihak saja.  Agus menyebut pihak yang lebih banyak mengambil keuntungan adalah raksasa media global seperti Google, Yahoo dan Facebook.

Ilustrasi.
"Sementara media lokal di Indonesia mengalami turbulensi," kata Agus saat diskusi  bertajuk Radio Perekat NKRI; Satu Suara Berjuta Telinga di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/12/16).

Agus tidak sependapat jika ada yang mengatakan di Indonesia media cetak mati karena efek kehadiran media online. Sebab, kata dia, beberapa media online besar juga tidak mengalami perkembangan.

"Tapi, raksasa global teknologi lah yang ambil keuntungan besar dan menimbulkan efek terhadap media dan informasi secara umum," katanya.

Agus juga menyinggung soal pajak media global yang belum jelas skemanya. Padahal, media lokal harus membayar pajak.

Media global pun harusnya membayar pajak seperti media-media lokal yang ada di Indonesia. Namun skema pajak untuk media global masih belum jelas. "Secara kategori mereka sama-sama industri media dan korporasi media. Mereka juga harus bayar pajak," kata Agus.

Lebih lanjut Agus menyebut mayoritas media global hanya sebagai news aggregator yang menghimpun informasi dari berbagai pihak tanpa harus memproduksi. Sedangkan media-media lokal  harus memproduksi berita dan informasi yang tentunya membutuhkan sumber daya yang besar.

Karenanya Agus menegaskan, asosiasi-asosiasi media harus bersikap. Karena media-media lokal semakin tergerus keberadannya. "Media mainstream di Indonesia sedang dalam kondisi yang memprihatinkan," tegasnya.

Agus juga menyebutkan salah satunya adalah ada delapan media cetak per 1 Desember 2016 yang tidak berproduksi lagi. "Delapan media cetak pamit kepada pembacanya," kata dia.

Karenanya, kata Agus, harus ada perlindungan pemerintah untuk media-media lokal Indonesia. Baik itu televisi, radio,  maupun media cetak.(sumber: jpnn/int)
Bagikan:

16 Desember 2016

Nana Mardiana Rilis Album Lagu-lagu Batak


SolupL- Penyanyi dangdut ini sangat populer pada zamannya. Lama tak terdengar kabarnya, Nana Mardiana menyampaikan kabar gembira. 
Nana Mardiana.
"Saya baru menyelesaikan album Pop Batak," katanya kepada wartawan, baru-baru ini. Lagu Pop Batak?

“Kaget ya? Kan saya dulunya memang penyanyi pop," ujar mantan isteri penyanyi dangdut top Imam S Arifin ini. Setelah pisah dari pedangdut kondang era 2000-an itu, Nana melanjutkan karir nyanyi sebagai solois.

Bolak balik Jakarta–Medan, kampung halamannya, wanita cantik ini mengaku sudah merekam 10 lagu Batak yang sudah populer seperti O Tano Batak, Boru Panggoaran, Didia Rokkap Hi, Sai Anju Ma Au, Alusi Au, Anak Medan, dan lain-lain.

Selain merekam vokal di Studio Queen, Nana juga merekam dalam bentuk VCD, dan menyelesaikan video klipnya.

Artis penyanyi campuran Pidie–Aceh (Bapak) dan Tarutung (Ibu) ini, hingga SD tinggal di Sibolga. Dia melanjutkan ke ibukota saat SMA sekitar 1988. Meski sempat bergabung dengan JK Record, namun belum rekaman, seperti impiannya, sehingga balik ke Medan dan kuliah di Fak Psikologi di Universitas Medan Area dan bekerja di bank.

Saat kampanye Golkar 1990, sebagai penyanyi lokal Medan, dia bertemu dengan rombongan penyanyi Jakarta, antara lain Imam S Arifin yang kemudian mengajaknya rekaman dangdut. "Sebenarnya saya dipaksa nyanyi dangdut," katanya sambil tertawa.

Meski dipaksa, dia toh mampu menyelesaikan 10 volume dengan artis yang kemudian jadi suaminya itu. Sementara untuk Solo dia hanya membuat 3 volume di antara tahun 1994-2006.

Lewat album Pop Batak yang akan dirilis Januari 2017 nanti, Nana Mardiana ingin merebut perhatian pecinta lagu Batak, daerah yang membesarkannya. Dengan vokal melownya, ibu dua anak ini siap menghibur warga penggemar Warga Pop Batak di mana pun berada. (bbs/int)
 
Bagikan:

14 Desember 2016

Kau Cuma Dengkur, Pencemar Udara Sunyi

Sajak-sajak Panda MT Siallagan

Ilustrasi
SAJAK BUTA

Jadi begitu, ia sobek-sobek bulan itu mencari benang mantera, begitu caranya meluncur ke dasar kabut, mencari butir-butir doa ke benua tengah, menuruni sobekan-sobekan kata yang melilit tunas mimpi di pot bunga yang sunyi. Begitu.

Pematangsiantar 2016

SAJAK PENJARA

sunyi meruncing,
bergasing-gasing jadi puisi
menggergaji jeruji bui:
birahi kita yang rimba
maka pohon-pohon tumbang
hanyut serupa mimpi
di sungai birahi
yang meraung-raung
di dalam jantungmu

dan ketika hasrat menumpuk
di jurang kembara
kubangun jembatan
dengan pahatan luka
kudatang padamu
dengan jiwa menganga

ah, telah pecah benar
nafasku menanti, katamu
dan suaramu menyalakan api
oh kau yang bermain api
harus kulemparkah matahari
ke ranjangmu?
oh kau yang meyeruku datang
haruskah kau kudekap dengan neraka?

tapi aku telah datang padamu
dengan jiwa menganga
tidak cukupkah tangisku
memadamkan kobar luka di kelaminmu?

Pekanbaru, 2004

SAJAK KURSI

Coba tinggalkan otakmu
yang tak bertubuh itu, atau
kuburkan tubuhmu
yang tak punya betis itu.
Kau akan lihat burung-burung
terbang tanpa sayap,
kau akan saksikan
dirimu seperti kursi
tanpa kaki. Coba,
kau akan merasakan dengkulmu
mengunyah otakmu, maka terfirmanlah:
kau cuma dengkur,
pencemar udara sunyi
di malam-malam
yang
j
a
t
u
h
jadi kencing.

Pematangsiantar, 2016
Bagikan:

11 Desember 2016

Sapardi Djoko Damono Raih Penghargaan dari Iluni FIB

SolupL - Sapardi Djoko Damono, sastrawan Indonesia terkemukan, meraih penghargaan dari Ikatan Alumni (Iluni) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Penghargaan itu diberikan atas dedikasi dan karya yang dihasilkan Sapardi sepanjang hidupnya.

Sapardi Djoko Damono
Ketua Iluni FIB UI Ratu Febriana Erawati mengatakan penghargaan tersebut merupakan yang pertama kepada sastrawan terbaik sekaligus alumnus UI. "Penghargaan ini bentuk kepedulian dan apresiasi Iluni FIB UI kepada mereka yang bekerja untuk sastra dan kebudayaan, sekaligus memotivasi lahirnya generasi sastrawan baru dari Universitas Indonesia," ujar Ratu dalam siaran tertulis, Sabtu (10/12/16).

Penghargaan kepada Sapardi diberikan Sabtu (10/12/16) malam di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, dalam rangka Dies Natalis ke-76 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI pada Desember 2016.

Selama hidupnya sebagai pengarang, Sapardi telah menerima banyak penghargaan, antara lain Anugerah SEA Write Award pada 1986, dan penghargaan Achmad Bakrie pada 2003.

Pria kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu dikenal melalui puisi-puisinya yang populer di kalangan sastrawan dan masyarakat umum. Tak hanya puisi, cerita pendek, terjemahan karya penulis asing, esei, dan tulisan di kolom atau artikel surat kabar juga populer. Bahkan, buku nonfiksi seputar sastra dan kebudayaan ciptaannya banyak digunakan sebagai bahan ajar kuliah mahasiswa.

Sapardi memperoleh pendidikan sastra tingkat sarjana di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1964. Kemudian, dia melanjutkan studi di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat, pada 1970-1971, dan meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia pada 1989.

Sejak 1974, Sapardi mengajar di FSUI (kini FIB) hingga pensiun. DI FIB UI Sapardi meraih predikat guru besar, menjadi dekan FSUI, sebelum pensiun. Selama menjadi dosen Sapardi juga tercatat menjadi redaktur di sejumlah majalah. (bbs/int)
Bagikan:

Bob Bylan Tak Hadiri Acara Penyerahan Hadiah Nobel, Hanya Kirim Pidato Tertulis


SolupL - Musisi legendaris Bob Dylan tidak menghadiri acara Nobel Prize Award Ceremony and Banquet di Stockholm, Swedia, Sabtu (10/12/16). Dylan seharusnya menerima Hadiah Nobel Sastra yang dianugerahkan kepadanya pada malam itu.
Bob Dylan
Dylan mengirimkan sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Duta Besar AS untuk Swedia, Azita Raji. Pria yang lahir dengan nama Robert Allen Zimmerman itu meminta maaf karena tidak menghadiri acara tersebut.

"Saya merasa terhormat mendapat hadiah yang sangat bergengsi ini. Saya tidak pernah membayangkan bakal mendapat Hadiah Nobel Sastra," kata Dylan dalam sambutannya.

Ia mengatakan, sejak kecil ia sudah membaca karya para penerima Hadiah Nobel Sastra seperti Kipling, Pearl S Buck, Thomas Mann, dan Bernard Shaw, Camus, Hemingway. Karya-karya mereka meninggalkan kesan yang dalam.

"Sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata "sekarang nama saya disandingkan dengan mereka," ucap Dylan, yang lahir 24 Mei 1941 itu.

Ia sempat dikecam dan dianggap tidak sopan oleh banyak orang karena tidak memberi komentar apapun ketika namanya diumumkan sebagai penerima Hadiah Nobel pada Oktober lalu.

"Saya sedang menjalani tur ketika mendapat kabar yang mengejutkan itu. Butuh waktu beberapa menit untuk mencernanya," lanjut musisi yang irit bicara itu.

Ia tidak menyangka bakal mendapat penghargaan sebesar Nobel karena tidak pernah memikirkan apakah lagu-lagunya merupakan karya sastra.

Ketika mulai menulis lagu di usia remaja, bahkan saat kemampuannya sudah mulai diakui, Dylan hanya ingin karya-karyanya dimainkan di kafe atau bar, atau Carnegie Hall dan London Palladium.

Ketika itu, lanjut Dylan, kalau bisa disebut mimpi, ia dulu membayangkan bisa membuat album dan lagu-lagunya diputar di radio.

"Membuat album dan mendengarkan lagu Anda di radio berarti Anda berhasil meraih pemirsa yang luas dan Anda bisa melanjutkan hal yang ingin Anda inginkan," papar Dylan.

Ia mengaku sudah mencapai hal itu. Ia sudah mengeluarkan puluhan album dan tampil di ribuan konser di seluruh dunia.

"Tetapi lagu sayalah yang menjadi bagian terpenting dari apapun yang selama ini saya lakukan. Lagu-lagu saya tampaknya diterima masyarakat dari berbagai budaya. Saya bersyukur karena itu," lanjut dia.

"Tidak sekali pun terlintas pertanyaan di benak saya 'apakah lagu-lagu saya karya sastra," ia menegaskan.

"Jadi saya berterima kasih kepada Swedish Academy karena meluangkan waktu untuk memikirkan pertanyaan itu  dan memberikan jawaban yang indah," pungkas Dylan.

Berikut pidato lengkap Bob Dylan sebagaimana ditampilkan di laman nobelprize.org:

Good evening, everyone. I extend my warmest greetings to the members of the Swedish Academy and to all of the other distinguished guests in attendance tonight.

I'm sorry I can't be with you in person, but please know that I am most definitely with you in spirit and honored to be receiving such a prestigious prize. Being awarded the Nobel Prize for Literature is something I never could have imagined or seen coming. From an early age, I've been familiar with and reading and absorbing the works of those who were deemed worthy of such a distinction: Kipling, Shaw, Thomas Mann, Pearl Buck, Albert Camus, Hemingway. These giants of literature whose works are taught in the schoolroom, housed in libraries around the world and spoken of in reverent tones have always made a deep impression. That I now join the names on such a list is truly beyond words.

I don't know if these men and women ever thought of the Nobel honor for themselves, but I suppose that anyone writing a book, or a poem, or a play anywhere in the world might harbor that secret dream deep down inside. It's probably buried so deep that they don't even know it's there.

If someone had ever told me that I had the slightest chance of winning the Nobel Prize, I would have to think that I'd have about the same odds as standing on the moon. In fact, during the year I was born and for a few years after, there wasn't anyone in the world who was considered good enough to win this Nobel Prize. So, I recognize that I am in very rare company, to say the least.

I was out on the road when I received this surprising news, and it took me more than a few minutes to properly process it. I began to think about William Shakespeare, the great literary figure. I would reckon he thought of himself as a dramatist. The thought that he was writing literature couldn't have entered his head. His words were written for the stage. Meant to be spoken not read. When he was writing Hamlet, I'm sure he was thinking about a lot of different things: "Who're the right actors for these roles?" "How should this be staged?" "Do I really want to set this in Denmark?" His creative vision and ambitions were no doubt at the forefront of his mind, but there were also more mundane matters to consider and deal with. "Is the financing in place?" "Are there enough good seats for my patrons?" "Where am I going to get a human skull?" I would bet that the farthest thing from Shakespeare's mind was the question "Is this literature?"

When I started writing songs as a teenager, and even as I started to achieve some renown for my abilities, my aspirations for these songs only went so far. I thought they could be heard in coffee houses or bars, maybe later in places like Carnegie Hall, the London Palladium. If I was really dreaming big, maybe I could imagine getting to make a record and then hearing my songs on the radio. That was really the big prize in my mind. Making records and hearing your songs on the radio meant that you were reaching a big audience and that you might get to keep doing what you had set out to do.

Well, I've been doing what I set out to do for a long time, now. I've made dozens of records and played thousands of concerts all around the world. But it's my songs that are at the vital center of almost everything I do. They seemed to have found a place in the lives of many people throughout many different cultures and I'm grateful for that.

But there's one thing I must say. As a performer I've played for 50,000 people and I've played for 50 people and I can tell you that it is harder to play for 50 people. 50,000 people have a singular persona, not so with 50. Each person has an individual, separate identity, a world unto themselves. They can perceive things more clearly. Your honesty and how it relates to the depth of your talent is tried. The fact that the Nobel committee is so small is not lost on me.

But, like Shakespeare, I too am often occupied with the pursuit of my creative endeavors and dealing with all aspects of life's mundane matters. "Who are the best musicians for these songs?" "Am I recording in the right studio?" "Is this song in the right key?" Some things never change, even in 400 years.

Not once have I ever had the time to ask myself, "Are my songs literature?"

So, I do thank the Swedish Academy, both for taking the time to consider that very question, and, ultimately, for providing such a wonderful answer.

My best wishes to you all,

Bob Dylan

(berbagaisumber/int)
Bagikan:

Sajak Pulang


Oleh Panda MT Siallagan

Ilustrasi.
Ketika bulan pecah di kaca jendela, kuputuskan jaga. Meski malam mengapung, kukemasi sisa sunyi dari kolong ranjang dan mengepak semua luka dan derita. Kubersihkan kamar agar tak ada kenangan tertinggal. Aku akan pergi meski menggigil raga disiksa hujan. Kubawa foto-foto, surat-surat, pakaian bekas, juga sisa parfum agar rumah tak sedih mengenang aroma peluh dan lapuk tubuh, agar ada pintu kelak untuk masuk dan bermain-main dengan kenangan itu. Perlahan kubuka pintu meski malam semakin koyak dicabik dingin. Kupakai sepatu dan baju terbaru, sejenak menyapa diri di muka cermin, dan kulihat mataku sudah buta dikerat rindu, kutahu kepulangan adalah obat paling manjur. Akan kutinggalkan rumah itu meski malam hancur dicambuk petir dan jalanan tenggelam. Sejenak aku beku di depan pintu mengingat apakah masih ada masa lalu yang harus dibawa atau apakah masih ada kenangan yang perlu dirawat sehingga aku perlu membatalkan kepulangan. Tapi tidak, semua sudah tanpa masa depan dan aku harus meninggalkan waktu meski malam sangat sembab dan hujan menyerbu tubuhku dengan ribuan jarum. Tak apa, aku harus berangkat. Aku berjalan sambil berperang dengan ingatan sambil berkhayal tentang masadepan sambil tersenyum membayangkan betapa bahagia tiba di tanah asal. Aku akan bercanda dengan harum bukit dan lembah-lembah. Aku berjalan mengganti malam dengan subuh dan mengusir subuh jadi rembang tapi hujan tak kunjung kering sampai kutahu akulah yang menangis antara sedih meninggalkan masalalu dan riang menuju rumah lama demi kehidupan baru. Pagi pun tiba. Aku mulai bertanya seberapa jauh telah mengembara sebab terlalu lelah aku berkelana. Matahari memercikkan api di mana-mana. Kuputuskan tidur. Meski panas menyengat, kupanggil semua suara dan keriuhan masa lalu agar aku tahu seberapa beku hatiku pada kerusuhan dan aku akan bermimpi di antara hujatan orang-orang. Kuhirup warna kota-kota dalam mimpi meski matahari makin tajam menikam tanah meski raungan kendaraan menyayat-nyayat peradaban, aku terus bermimpi dan tidur membunuh pagi, menghidupkan siang dan memanggil senja. Kini aku bangun dan kembali berjalan membawa tubuh yang telah berlalu menuju asal dan perjalanan berakhir ketika bulan pecah di atas nisan bertulis namaku. Selamat rehat!

Pematangsiantar, Juni 2009

Bagikan:

09 Desember 2016

Novelis Indonesia Eka Kurniawan Memukau di Amerika


SolupL - Seorang novelis atau sastrawan Indonesia yang saat ini sedang naik daun, Eka Kurniawan, memukau warga Amerika Serikat di Washington DC, melalui karyanya, Cantik Itu Luka. Di ruang seminar dan toko buku ini, Eka menyapa peminat Sastra Indonesia dengan diskusi mendalam tentang sastra dan proses kreafitnya dalam menulis.
Eka Kurniawan. (Foto/int)
Tahun lalu, dua buku Eka, Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau dialihbahasakan ke bahasa Inggris dan menerima sambutan hangat di kalangan penikmat sastra di Amerika. Tak sedikit kolom ulasan literatur ternama di Amerika, seperti The New York Times book review, membahas bukunya.

Beberapa penghargaan literatur internasional memasukkan karyanya sebagai finalis, seperti Man Booker Prize. Eka bahkan memenangkan World Reader’s Award. Kunjungannya ke Amerika kali ini juga untuk menerima penghargaan Emerging Voice 2016 kategori fiksi.

Namun tak jarang, ia dibandingkan dengan penulis Indonesia angkatan sebelumnya, Pramudya Ananta Toer. “Selama beberapa waktu, orang hanya mengenal Pramudya, jadi ketika ada penulis Indonesia baru, mereka tentu saja membandingkannya dengan seseorang mereka kenal. Terlepas dari itu, Pramudya penulis berpengaruh untuk saya, dia salah satu favorit saya,” ujar Eka.

Ia mengakui sastra Indonesia punya banyak hambatan untuk dikenal komunitas internasional. “Pertama, harus kita akui, bahasa Indonesia bukan bahasa yang populer di dunia, karena itu masih susah untuk memperoleh penerjemah yang baik. Selain itu, dorongan kebijakan pemerintah atau lembaga pendukung lainnya harus sangat aktif,” jelasnya.

Namun, Eka optimistis sastra Indonesia bisa mendobrak batasan kultural yang sebelumnya ada. Bart Thanhauser, pernah tinggal di Indonesia mendapati buku Eka sebagai ekspresi jujur Indonesia. “Saya suka sekali dengan caranya menggabungkan sejarah, seni dan percintaan. Bukunya tidak beraturan dan itu alasan saya suka membacanya,” kata Bart.

Bagi mereka belum pernah mengunjungi Indonesia, mengenal Indonesia lewat tulisan Eka adalah pengalaman menarik. Seperti dikatakan Sarah Baline. “Menurut saya Eka hebat, ia sangat lucu dan bukunya berisi humor gelap dan ia menceritakan isi bukunya pada kami malam ini.”

Pengakuan internasional ini diikuti keprihatinan Eka terhadap rendahnya tingkat minat baca masyarakat Indonesia. Menurut survei UNESCO pada 2016, Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei tentang minat membaca mereka.

“Lemahnya tradisi membaca kita lebih bersifat struktural, memang keberadaan buku sangat susah untuk diperoleh terutama di luar daerah kota besar. Saya rasa kita harus berpikir dengan cara yang terbalik, kita dekatkan buku kepada mereka, bukan mereka yang harus datang,” jelas Eka dilansir dari VOA Indonesia.

Saat ini Eka sedang menanti penerbitan bukunya seperti ‘Dendam’, ‘Rindu Harus Dibayar Tuntas’ dalam bahasa Inggris. Eka belum berencana menulis buku lagi setelah novel terbarunya ‘O’ terbit dalam bahasa Indonesia. (bbs/int)
Bagikan:

08 Desember 2016

Khasiat Andaliman atau Merica Batak Terhadap Kesehatan


SolupL - Setiap orang Batak pasti mengenal andaliman. Sebab, makanan-makanan khas mereka selalu tak luput dari andaliman. Di balik selera makanannya yang pedas, ada sensasi andaliman di belakangnya.
Andaliman kering.
Nama ilmiah andaliman adalah Zanthoxylum acanthopodium dan lebih dikenal sebagai Merica Batak. Bentuknya bulat-buat kecil berwarna hijau jika masih muda kemudian berubah merah jika sudah tua dan hitam dalam kondisi kering. Rasa pedasnya awet di lidah. Aromanya pun sangat khas dan menggiurkan. Andaliman menjadi rempah wajib bagi setiap masakan Batak.

Sesuai data yang dari Kementerian Kesehatan, andaliman ternyata kaya akan senyawa terpenoid yang berperan sebagai antioksidan sangat baik untuk kesehatan. Senyawa terpenoid juga berperan penting dalam mempertahankan mutu produk pangan dan sebagai anti mikroba. Hal inilah yang menyebabkan masakan khas Batak tidak gampang basi dan berubah warna.

Beberapa manfaat andaliman untuk kesehatan antara lain sebagai antioksidan, penambah darah, melancarkan peredaran darah dan menghindari penggumpalan, menyehatkan mata dan menjernihkan pandangan, menguatkan tulang dan gigi, menjaga kinerja otak, mencegah kulit wajah pucat, melancarkan menstruasi, dan bisa jadi bahan untuk aroma terapi.

Berdasarkan hasil penelitian, setiap 100 gram (1 ons) andaliman mengandung nutrisi atau gizi dengan komposisi sebagai berikut: energi 99 kilo kalori, protein 4,6 gr, lemak 1 gr, karbohidrat 18 gr, kalsium     383 mg, fosfor 107 mg, zat besi 2,9 mg, vitamin A, Vitamin B1 3 mg, dan vitamin C 14,7 mg.

Di Indonesia, rempah ini umum digunakan oleh masyarakat Batak dan sunda. Tapi jangan salah, andaliman juga dikonsumsi di beberapa Negara di Asia seperti Thailand, Nepal, India, China, Jepang, Korea, Tibet dan Bhutan. Di Tibet dan sekitarnya, Andaliman dimanfaatkan sebagai bahan aromatic, tonik, perangsang nafsu makan dan obat sakit perut. (bbs/int)
Bagikan:

07 Desember 2016

Kemerdekaan: Meraut Bambu dengan Airmata


Oleh: Aiyuni Salis Utami Tanjung

Kita semua tahu, merdeka adalah kebebasan hak meraih kendali penuh atas seluruhwilayah. Kisah perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia yang digadangkan dengan senjatanya “Bambu runcing”, masih mengisahkan cerita pedih di masa kini. Meskipun yang dilihat oleh masyarakat Indonesia bahwa negeri ini sudah merdeka.

Ilustrasi.
Karya-karya sastra salah satunya puisi, masih banyak yang mengisahkan kepedihan akan jajahan. Salah satunya puisi Panda MT Siallagan yang berjudul “Setelah Bambu Meruncing Lagi Diraut Airmata”. Berikut bait pertama: a/ setelah bambu-bambu itu meruncing lagi diraut airmata, kami menunggal tanah-tanah yang telah terbakar di dalam jantung kami. kami tanami harapan-harapan, dan membesar jadi pohon-pohon di sepanjang usia kami…”

Indonesia berjuang sangat lama dengan senjata “Bambu runcing” mengharapkan kebebasan meski hanya dalam mimpi. Tapi kesan semangat juang dan pantang menyerah terus mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan hanyalah perintah semata. Seolah-olah negeri ini memang merdeka. Apakah demikian? Sampai sekarang pun yang paling utama adalah penguasa dan dikuasai.

Pengungkapan puisi Panda MT Siallagan dalam bait ke-dua: b/ setelah pada bambu dan pohon-pohon yang terbakar itu kami kibarkan bendera, kampung kami memancarkan warna merah dan putih. kami takjub, dan berpawai merayakan kemenangan itu. tapi kami tiba-tiba tersentak. kami ternyata sedang berjalan di atas genangan darah, tulang-tulang  saudara kami berserakan di halaman. kami ternyata tidak sedang mengibarkan bendera untuk memugar hutan, tapi melukis tanah dengan darah. dan menyusun serakan tulang-tulang jadi jalan raya”.

Seperti menggambarkan kemenangan sementara. Seperti halnya tercatat dalam sejarah (sumber: https://id.m.wikipedia.org, Konferensi Malino-Terbentuknya “Negara” Baru), pada bulan Juli 1946 terjadi suatu krisis dalam pemerintahan Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah menguasai sebelah Timur Nusantara. Di bawah Dr. Van Mook, organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur Raya. Latar belakang konferensi ini dalam rangka SEAC setelah Perang Dunia II, Australia menyerahkan kembali Indonesia Timur kepada Belanda (NICA) pada 15 Juli 1946.

Bait kedua seperti mengisahkan sebuah penyesalan, menang dalam perang tapi masih jadi budak di bawah perintah federasi Belanda. Semua orang tentu harus menikmati haknya dengan berusaha dan berdoa. Tapi pada masa penjajahan dulu (Belanda-Jepang), kematian adalah harga mati dari merdeka. Segala janji kebahagiaan pada masa itu sangat mudah dikhianati dan kembali menderita. Dalam bait ketiga pun bermakna demikian; c/ lalu kami berjalan di atasnya, mencoba membunuh ketakutan dengan ketajaman doa-doa. kami jelajahi jalan-jalan menuju kebebasan. tapi kami tersesat…”

Penulis sangat apik mendeskripsikan kewajaran fisik manusia, maksudnya setelah bekerja keras tentu akan mengalami kelelahan dan tentunya membutuhkan istirahat. Perjalanan panjang tentang perjuangan pun sama yang tercantum pada bait ke-empat: d/ akhirnya kami putuskan untuk rehat, lelap memeluk duka sendiri, tidur di kamar yang kami tukangi dengan airmata kami sendiri. dan di dalam mimpi kami, anak-anak bernyanyi: indonesia raya...merdeka...merdeka…"

Berakhir memasuki dunia mimpi sambil menghayati, memahami, memaknai kemerdekaan masa kini dengan masa lampau. Mendeskripsikan perjuangan yang lelah dan tertidur lalu bermimpi sambil menghayati nada-nada lagu kebangsaan dalam bait ke-lima: e/ kami menghayati nadanya dengan jiwa yang berdarah, dan menjadi kian tak paham memaknai kemerdekaan".

Penulisan puisi yang sangat kental dengan narasi dan deskripsi waktu sangat baik. Menggambarkan perasaan akan jajahan masa lalu. Membacanya seperti memutar film dokumentasi nasional tentang peperangan dengan senjata bambu runcing. Perincian puisi yang sangat apik membuat orang merasa bernostalgia akan sejarah kelam Indonesia.

Dalam khasanah sastra, kita perlu menggali sejarah sebagai bukti nyata yang relevan dalam dunia kepenulisan. Bukan hanya menulis tentang apa yang dirasa. Mengingat masalalu adalah kunci sukses sebuah karya sastra dalam hal menyadarkan akan masa-masa kelam yang mungkin akan punah ditelan zaman. Tapi sastra mendokumentasikan perjalanan sejarah. Apalagi perjuangaan Indonesia untuk merdeka.

Puisi karya Panda MT Siallagan, merupakan puisi-puisi yang mengkisahkan betapa pedihnya perjuangan di masa lalu, dan masih bisa dirasakan di masa sekarang. Bahkan pada masa sekarang, puisi ini memiliki makna tak paham dengan kemerdekaan yang berlangsung. Apakah negeri ini memang merdeka sungguhan. Atau masih saja ada kata “penjajah” di dalamnya dengan konteks berbeda (baca: penguasa)? Ataukah memang benar bahwa arti kemerdekaan adalah meraut bambu dengan airmata?

Segala kata-kata yang ditulis dalam puisi tentunya banyak memiliki makna dengan persepsi yang berbeda serta analisisnya. Semoga, analisis ini mendekati kebenaran tentang arti kemerdekaan yang sesungguhnya.

Sumber puisi: https://solup.blogspot.co.id 

Catt: Artikel ini dimuat di Solup Literal atas seizin penulisnya.
Bagikan:

04 Desember 2016

Mengenang Dewi Sartika, Pelopor Pendidikan Wanita Nusantara


SolupL - Dulu pada masa kemerdekaan, penetapan tanggal lahir Kartini sebagai hari besar dan penobatannya sebagai Pahlawan Nasional, juga menuai perdebatan, sebab kebijakan itu dianggap pilih kasih. Nyata memang, Indonesia memiliki wanita-wanita hebat lain melebihi Kartini, sebutlah Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.
Ilustrasi.
Apakah Kartini mengenal Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain? Mengapa Mengapa Kartini tidak menulis surat kepada perempuan-perempuan pejuang nusantara pada masa itu? Tapi kita tidak hendak membahas itu.

Kita hanya ingin mengingatkan bahwa hari ini tanggal 4 Desember adalah ulang tahun Dewi Sartika ke-132. Bangsa Indonesia seolah lupa, tapi Google merayakannya.

Dewi Sartika lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1966 karena jasa-jasanya memajukan pendidikan pada kaum wanita di Indonesia pada masanya.

Google Indonesia pun memajang doodle yang menggambarkan sosok Dewi Sartika bersama enam gadis kecil. Mereka semua memakai kebaya. Tampak Dewi Sartika sedang mengajar keenam murid perempuan mungil tersebut.

Jika doodle tersebut diklik, langsung muncullah beragam informasi mengenai Dewi Sartika. Ia adalah pahlawan dan inspirasi bagi kaum wanita, seperti sosok Kartini.

Orang tuanya adalah kalangan bangsawan, Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Meski bertentangan dengan adat pada waktu itu, Dewi Sartika sempat mengenyam pendidikan di sekolah yang didirikan Belanda. Ia pun tergerak memajukan kaum wanita.

Pada 16 Januari 1904, dia mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan bernama Sekolah Isteri di Bandung. Sekolah tersebut kemudian berganti nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri.

Sekolah tersebut cepat berkembang dan pada 1912, ada sekitar sembilan Sekolah Kaoetamaan Isteri yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Barat. Tahun 1924, sekolah itu berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Dewi Sartika meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga pun berharap hari lahir Raden Dewi Sartika tiap 4 Desember diperingati secara nasional seperti Raden Ajeng Kartini. Hingga kini peringatan hari lahir pejuang emansipasi wanita itu dirayakan secara lokal di Jawa Barat saja, tempat kelahirannya.

"Beliau (Dewi Sartika) dan Kartini sama-sama perintis emansipasi wanita. Tetapi hanya Kartini yang diperingati secara nasional, sehingga Dewi Sartika kurang dikenal," kata cucu menantu Dewi Sartika Deddy Rukadi di SMP Dewi Sartika, Jalan Kautamaan Istri, Minggu (4/12/16).

Menurutnya, dukungan pemerintah pusat agar hari lahir sang pahlawan nasional dirayakan oleh segenap bangsa Indonesia masih kurang. "Selama ini kami tidak menunggu pemerintah (pusat), tapi merayakan secara mandiri dengan bantuan Pemkot Bandung dan masyarakat Tatar Sunda," terang Deddy.

Dengan dirayakan secara nasional, kata Deddy, Dewi Sartika sebagai perempuan yang menginginkan kesetaraan pendidikan bagi kaum hawa, bisa dikenal masyarakat luas.

"Bidang pendidikan yang akan kami tonjolkan untuk generasi penerus dari sosok Raden Dewi Sartika yaitu cageur, bageur, pinter, wanter (sehat, baik, pintar, berani)," sebut Deddy.

Kabid Kepemudaan Dinas Pemuda Olahraga (Dispora) Kota Bandung Sony Teguh Prasetya menyebut Dewi Sartika dan Kartini sama-sama pejuang wanita. Untuk itu tidak ada salahnya hari lahir Dewi Sartika juga dirayakan secara nasional.

"Dua pahlawan nasional emansipasi wanita itu Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Ini harus menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Harapannya perlu ada hari Dewi Sartika juga nantinya," ungkap Sony. (bbs/int)

Baca Juga: Mengenang Gagasan-gagasan Indah RA Kartini


Bagikan:

Ini Manfaat Facebook untuk Kesehatan


SolupL - Setiap orang hampir mengenal Facebook, jejaring sosial paling populer sejagad. Mulai dari remaja hingga orangtua, mulai dari warga desa hingga perkotaan, media ini sangat akrab dengan kehidupan masing-masing pribadi.
Ilustrasi.
Mereka yang memiliki akun Facebook, pasti sering mengunggah banyak hal di Facebook. Ketika mereka sedih dan tentunya status dan jenis gambar yang Anda unggah pasti juga berubah. Ternyata, Facebook sangat bermanfaat untuk kesehatan.

Menurut sebuah studi baru, status Facebook dan sejenisnya bisa membantu dalam mendeteksi dini adanya gangguan jiwa yang menunjukkan bahwa jaringan sosial bisa membantu memberikan dukungan dan intervensi.

"Facebook sangat populer dan bisa memberikan Anda banyak data untuk meningkatkan pengetahuan tentang gangguan kesehatan mental seperti depresi dan skizofrenia," kata peneliti bernama Dr. Becky Inkster, sebagaimana dilansir India Times, baru-baru ini.

Michal Kosinski, co-author dari Stanford Graduate Business School di AS, mengatakan bahwa data Facebook cenderung lebih bisa diandalkan.

Dengan menganalisis bahasa, emosi dan topik yang digunakan dalam update status, para peneliti mengatakan bahwa mereka bisa mencari gejala atau tanda-tanda awal dari penyakit mental.

Bahkan foto-foto pengguna Facebook mungkin memberikan wawasan baru. Informasi yang dikumpulkan dari media sosial bisa membantu mendeteksi tahap awal depresi.

"Facebook bisa membantu memberikan pendampingan bagi individu yang terisolasi secara sosial. Kita tahu bahwa remaja yang terisolasi secara sosial lebih mungkin untuk menderita depresi dan memiliki pikiran untuk bunuh diri, sehingga online melalui Facebook bisa mendorong pasien untuk mereformasi hubungan sosial offline mereka," demikian Inkster.(bbs/int)

Baca Juga: KETIKA WANITA BATAK BERGAYA DI FACEBOOK


Bagikan:

27 November 2016

Cerpen: Tabir Monalisa


Oleh: Panda MT Siallagan

Sebenarnya, ia tak pandai berbasa-basi, apalagi menyemir sepatu. Tapi demi bisa masuk ke ruangan Tuan Maranggir, ia mempelajari dua hal itu dengan semangat dan hasrat yang menggetarkan. Dan pagi yang cerah itu, ia tiba lebih awal di areal pabrik.

"Selamat pagi, Tuan. Cerah sekali, seperti wajah Tuan. Menyenangkan!" ujarnya ketika Tuan Maranggir tiba dan turun dari mobil. Sapaan itu terdengar penuh percaya diri, tapi hatinya sebenarnya rontok dan ia menanggungkan rasa malu.

Tuan Maranggir tersenyum dan menyerahkan tasnya kepada pria kecil berkulit legam itu. Ia gembira. Ditangkapnya tas itu dengan sikap hormat, lalu mengikuti langkah Tuan Maranggir. Hatinya riang, harapannya akan terkabul masuk ke ruangan Tuan Maranggir.

Setiba di depan pintu, jantungnya berdegup, terlebih ketika Tuan Maranggir merogoh anak kunci dari saku celana, memasukkannya ke lubang kunci. Dan…! Klek. Pintu terbuka, terdengar sedikit bunyi riut. Tapi tiba-tiba Tuan Maranggir membalikkan badan dan mengambil tasnya dari tangan Ultop.

"Selamat bekerja, Ultop," ujar Tuan Maranggir.

Secepat kilat Ultop merogoh dan mengeluarkan plastik dari saku celana, dan menunjukkan isinya: minyak semir dan kuas.

"Sudah saya siapkan, Tuan. Saya akan membersihkan sepatu Tuan, saya bikin semengkilat mungkin. "

Ilustrasi.
Saat mengatakan itu, matanya mencuri pandang ke ruangan. Ia tidak lagi melihat lukisan itu. Yang terpampang di dinding justru poster pemain bola terkenal: Luiz Figo.

"Hebat. Tapi sepatu saya bersih,” ujar Tuan Maranggir.

Lelaki ceking itu kaget, dan pada waktu bersamaan, pintu ditutup.

"Drama pagi ini agak keji," gumamnya dalam hati, sambil berjalan merindukan hujan.

Peristiwa berhujan itu belum genap sebulan, saat Tuan Maranggir pulang dari suatu acara di kantor kecamatan. Hari itu supirnya tak bekerja karena istrinya melahirkan anak keenam. Jadilah Tuan Maranggir menyetir sendiri. Ultop yang saat itu duduk-duduk di areal parkir menunggu hujan reda, seperti mendapat durian runtuh ketika Tuan Maranggir memanggil dan mengajaknya ke ruangannya. Tapi takdir tetaplah takdir. Tuan Maranggir ternyata menyuruh Ultop membersihkan sepatunya. Hanya ada sedikit butiran pasir dan lelehan air bercampur tanah di sekeliling sol sepatu itu. Begitupun, Ultop merasa bangga bisa masuk ke kantor Tuan Maranggir, orang kaya di kota kecamatan itu, pemilik beberapa pabrik penggilingan padi. Tapi ia jarang mengunjungi pabrik yang lain, ia lebih betah berkantor di pabrik satu ini. Konon, pabrik inilah mata pencaharian mendiang ayahnya. Sepeninggal ayahnya, di tangan Tuan Maranggir, pabrik warisan itu beranak-pinak.

Tak ada percakapan selama Ultop membersihkan sepatu. Barulah setelah selesai, Tuan Maranggir memintanya duduk di sofa, sementara Tuan Maranggir duduk di kursinya sambil bersandar dan sesekali berputar-putar. Ultop gugup. Tangannya dilipat dan diletak di antara kedua pahanya. Sikap tubuhnya selalu membungkuk. Tak sulit baginya menerapkan tatakrama semacam ini, sebab sudah terbiasa jadi orang kecil, bahkan menggelandang.

“Sudah berapa lama kamu jadi tukang potong rumput?” tanya Tuan Maranggir.

“Delapan tahun, Bapak. Sejak saya menikah. Anak saya dua. Saya harus belanjai mereka dengan penuh tanggungjawab,” ujarnya.

“Istrimu tidak bekerja?” tanya Tuan Maranggir.

“Sesekali, Bapak, kalau ada permintaan, mencuci pakaian di rumah orang-orang berada.”

“Oh, begitu.”

“Iya, Bapak.”

“Jangan panggil Bapak. Panggil Tuan saja. Haha.”

“Iya, Tuan.”

“Baik, hujan sepertinya sudah reda. Terimakasih, ya,” ujar Tuan Maranggir.

Ultop paham dan langsung bangkit. Ketika beranjak dari sofa menuju pintu, saat itulah matanya terjebak pada gambar yang menempel di dinding ruangan itu. Gambar perempuan cantik. Ultop terpaku pada gambar itu dan sesuatu menjalar keji di jantungnya. Mata wanita itu menancap ke matanya, seolah tersenyum, seolah mengabarkan sesuatu.

“Itu lukisan Monalisa,” ujar Tuan Maranggir. Ultop kembali sadar ke dunia nyata. Dan benar, ia membaca di bagian bawah lukisan itu, ada tulisan kecil: Monalisa.

“Maaf, Tuan, saya terkesima, gambarnya bagus. Permisi, Tuan,” ujar Ultop.

“Eh, tunggu,” ujar Tuan Maranggir menghampirinya, dan memasukkan amplop ke saku bajunya.

“Aduh, terimakasih banyak, Tuan. Terimakasih,” katanya.

Ketika melangkah dari ruangan itu, ia hanya memikirkan gambar wanita ajaib itu.

Dan kini, ketika melangkah meninggalkan ruangan itu, ia merasa kecewa tak bertemu wanita pujaannya. Ia berjalan gontai menuju kedai kopidekat pabrik. Ketika kopi terhidang, ia menyeruputnya, lalu menyalakan rokok. Saat itulah ia sadar: bahwa dengan cara halus, Tuan Maranggir telah menolaknya masuk ke ruangan itu. Dan kesadaran itu bercabang lagi, apakah Tuan Maranggir berpikir bahwa ia datang demi uang? Hatinya kacau. Ia ingat, isi amplop yang diberikan Tuan Maranggir cukup besar dan cukup belanja dua minggu. Dan istrinya berkata seperti tokoh agama: Tuhan selalu punya cara unik membantu umatnya.

Tapi kini, Ultop panas hati. Jiwanya terbakar. Ia seruput lagi kopinya. Sekilas ditatapnya dua anak muda bermain catur dengan tangan menopang wajah, diam membisu, seperti pecatur ulung. Dan pikirannya terus melayang pada gambar wanita cantik yang telah tiada di ruangan Tuan Maranggir, dan ia merasa harga dirinya ambruk. Amarahnya kian berkobar.

Lukisan wanita itu memang telah merusak ketenangan hidupnya. Malam setelah peristiwa itu, dia tidak bisa tidur. Wajah wanita itu lama-lama seperti ia kenal, seperti pernah ditemuinya di suatu tempat, di suatu waktu. Malam berikutnya, ia mulai yakin bahwa wanita itu memang ia kenal, meski hati tetap bertanya, siapa Monalisa? Kenapa Tuan Maranggir menggantinya dengan gambar pemain bola?

Puncaknya, suatu malam, ketika istri dan anak-anaknya sudah pulas, ia duduk-duduk di teras rumahnya. Tiba-tiba perempuan mirip Monalisa datang, duduk di sampingnya. Ia melirik kalau-kalau istrinya terbangun, tapi suasana senyap belaka. Lalu perempuan mirip Monalisa itu mencoba memeluknya. Ia melompat dihentak rasa takut. Ia lihat wanita itu seperti ibunya. “Astaga,” katanya sambil bangkit, menjauh dari ibunya. Tapi tiada siapa-siapa di teras itu.

Malam itu ia menyusun siasat agar bisa masuk ke ruangan Tuan Maranggir, melihat lagi gambar wanita itu, yang membuat hidupnya remuk dalam bayang-bayang mistik. Mendadak ia benci kepada pria itu. Ia berkhayal menampar orang kaya itu.

“Bangsat. Curang kau. Kau yang curang, kurang ajar.”

Khayalannya terganggu oleh keributan. Dua anak muda pecatur  ulung tadi nyaris adu jotos dan ia melihat papan catur dan buah-buahnya sudah berserak. Pemilik kedai mengusir mereka. Ia juga beranjak dari kedai. Ia ingin pulang, menghapus  bayang-bayang buruk yang mengacau jiwanya.

Tapi entah bagaimana, langkah kakinya tidak menuju rumah. Ia justru berada di depan ruangan Tuan Maranggir. Ia mengetuk pintu, tak ada sahutan. Ia ulangi. Dua kali. Tiga kali. Dan pada ketukan kelima, pintu dibuka. Tuan Maranggir terkejut. Dan kian terkejut ketika Ultop memberondongnya dengan pertanyaan tajam.

“Kau sembunyikan di mana ibuku?”

“Ibumu? Saya tidak paham kata kau. Tinggalkan tempat ini, atau kuseret kau ke Pengadilan!”

“Tak perlu, aku yang akan mengantar diriku ke Pengadilan,” ujarnya.

Sigap tangannya mengambil parang dari tas kerja, lalu mengayunnya berkali-kali secara membabi-buta. Setelah itu, ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya ingat, darah muncrat kemana-mana.

***

Ketika aku mengunjungi Ultop di penjara, ia menyebarkan ancaman yang sama. “Untuk apa kau bertanya-tanya, mau kupenggal kepalamu?” katanya.

“Aku ada di pihakmu,” sahutku.

"Tak perlu,” katanya.

Pelayan kantin penjara datang membawa kopi dan tiga bungkus rokok. Aku bernegoisasi agak lama dengan kepala Lapas untuk meluluskan urusan ini. Hingga pelayan berlalu, kami masih saling diam. Kusorong satu gelas kopi dan dua bungkus rokok itu ke arahnya.  Satu gelas lain untukku. Kuseruput kopi, dan menyalakan rokok. Ia melakukan hal yang sama. Dan tiba-tiba, dengan mata basah, ia bicara.

“Tak ada lagi yang perlu kuceritakan, semua sudah kalian tulis,” katanya.

Ia diam dan mengisap rokoknya. “Apa lagi yang kau inginkan? Kau wartawan, tentu mudah bagimu meramu cerita di luar sana. Aku sudah damai di sini.”

“Aku ingin tahu tentang ibumu.”

Ultop bangkit dan berdiri berkacak pinggang. Tubuhnya gemetar. Giginya gemeretak, menudingku. “Kau!!!” katanya dengan suara menggeram.
Aku diam, mencoba tenang. Tak lama kemudian, ia menangis, lalu duduk lagi dengan nafas tersengal. Aku membiarkan situasi itu mengalir apa adanya. Kutatap matanya. Pedih.

Kupahami kisahnya. Dari warga, aku tahu pria ini tak memiliki ayah. Ibunya pulang dari Malaysia dan membawanya dalam usia dua tahun. Saat ia duduk di kelas dua sekolah dasar, ibunya bunuh diri. Sejak itu, ia hilang ingatan dan keluyuran di sekotah kampung. Lalu seperti dongeng, suatu hari Ultop bertemu dengan Irna ketika keluyuran di pasar. Konon, ketika melihat Irna, ia tiba-tiba waras dan kembali normal. Dan ajaibnya, Irna bersedia jadi istrinya.

Kulihat Ultop masih sesunggukan. Maka kuputuskan mengakhiri wawancara. Aku bangkit dan pamit padanya. “Maafkan aku,” kataku.

“Tak ada yang perlu dimaafkan,” katanya terbata, “Gambar wanita di ruangan itu membangkitkan kenanganku. Ia memperkosa ibuku, ibuku yang cantik dan bunuh diri.”

Dadaku sesak. Entah bagaimana, aku memeluknya. Dia memelukku. Kami sama-sama menangis. ***

Pematangsiantar, 2016

Panda MT Siallagan, menulis puisi dan prosa. Kini tinggal dan bekerja di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.

* Cerpen ini dimuat di Media Indonesia, Edisi Minggu 27 November 2016

Bagikan:

26 November 2016

Minum Kopi dan Baca Puisi di Pabrik Kopi


SolupL - Untuk memeriahkan November Kopi Gayo dalam rangkaian pesta penyair puisi kopi dunia, hadir sejumlah penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mengekspresikan diri dalam larutan kopi Gayo.

Para penyair itu tampil membacakan puisi bertema kopi di Tootor Coffee Takengon, Aceh Tengah, Jumat malam (25/11/2016). Hentakan puisi menguar diiringi musik yang dimainkan Komunitas Anak Kopi Gayo, memadati kafe itu hingga pukul jam 23.00 WIB.

Baca puisi malam tersebut dipandu oleh Asmira dan Salman Yoga. Diawali baca puisi Abu Rahmat (Lhokseumawe), selanjutnya Endut Ahadiat (Padang), kemudian penyair Gayo Ansar Salihin (Aceh), Julaiha (Medan), Ayu Harahap (Medan), Kunni Masrohani (Riau), Siwi Widjayanti (Jakarta), Mahlizar (Takengon) dan Willy Ana (Bengkulu).

Ada pula Mezra Pellondou (NTT) yang berkolaborasi bersama penyair cilik Gayo Ine Salfani Renggali (Takengon), Zuliana Ibrahim (Takengon), Devie Matahari (Bekasi), Ace Sumatera (Bogor), Syarifuddin Arifin (Padang). Pembacaan puisi ditutup penyair Mustafa Ismail (Jakarta).

Penyair Salman Yoga, yang juga pihak penyelenggara acara pesta penyair puisi kopi dunia, mengatakan, panitia membuka ruang kepada penyair mengekspresikan diri melalui puisi di cafe. Sambil membaca puisi menikmati kopi gayo dengan berbagai cita rasa.

"Seluruh penyair yang hadir terlihat menikmati pertunjukan sambil minum kopi Gayo di Tootor Caffee Takengon," jelasnya.

Setelah baca puisi di Tootor Coffee, acara baca puisi dilanjutkan di Seladang Kopi Bener Meriah milik Sadikin alias Gembel 26/11/2016 pukul 15.00-18.00 WIB. Selanjutnya, pada Sabtu malam baca puisi akan digelar di Pabrik Kopi Haji Rasyid Bebesen Takengon. Penutup baca puisi di Pantan Terong, Minggu pagi (27/11/2016).

Pesta Puisi Kopi yang berlangsung di Tanah Gayo (Takengon dan Bener Meriah) pada 25-27 November 2016 adalah bagian dari kegiatan November Kopi Gayo yang berlangsung sebulan penuh. Pesta Puisi Kopi ditandai dengan penerbitan buku puisi Kopi 1.550 Mdpl berisi puisi-puisi dari 255 penyair Indonesia, Malaysia dan Singapura. Buku setebal lebih 500 halaman itu dikuratori Fikar W. Eda, Mustafa Ismail, dan Salman Yoga. (rel/wa-ruangsastra)

BACA JUGA: Pentas Penyair Kopi Dunia Digelar di Takengon
Bagikan:

24 November 2016

Apakah Pustaha Laklak akan Kembali ke Toba?


SolupL - Sebuah kabar mengejutkan datang dari Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Ia mengatakan akan mengembalikan 1.500 artefak milik Indonesia yang tersimpan di Belanda.

Ilustrasi buku laklak.
Hal itu disampaikannya dalam pertemuan bilateral antara Belanda dan Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/11/16). Dalam pertemuan itu, Mark Rutte bahkan memberikan sebuah keris kepada Presiden Joko Widodo.

Perdana Menteri Rutte mengatakan keris yang diberikan merupakan salah satu dari koleksi artefak-artefak Indonesia yang ada di Delft, salah satu kota di Belanda.

"Ada 1.500 artefak yang akan dikembalikan ke Indonesia dan keris ini sebagai simbolnya," kata dia di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/11/16).

Keris tersebut merupakan simbolisasi bahwa pemerintah Belanda akan mengembalikan 1.500 artefak ke Indonesia. Benda-benda bersejarah itu selama ini disimpan di Museum Nusantara di Kota Delft, Belanda.

"Saya rasa itu kejutan dari PM Belanda, saya kira luar biasa," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi di Istana Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/16).

Muhadjir mengatakan, belum ada pembahasan sebelumnya tentang hal ini. Dia sendiri sebelumnya sudah melakukan pertemuan dengan pihak Belanda, namun yang dibahas adalah mengenai sekolah vokasi.

"Saya tak tahu apakah sebelumnya ada pembicaraan atau belum, tapi termasuk pertemuan antar grup kami dengan pihak Belanda dan tak pernah disinggung soal itu," kata Muhadjir.

Belum ada pembicaraan teknis bagaimana ribuan benda bernilai sejarah tinggi itu akan sampai ke Tanah Air. Muhadjir akan berkunjung ke Belanda dahulu untuk membicarakan lebih lanjut tentang hal ini.

Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, Belanda memang sudah berniat mengembalikan artefak Indonsia.

"Jadi kan ada museum, Museum Nusantara di Delft yang akan ditutup. Oleh karena itu Belanda memang berniat untuk menyumbangkan berapa item, tadi disebutkan ada 1.500 item kepada pemerintah Indonesia," ujarnya di Istana Negara, Rabu (23/11/16).

Lantas, bagaimana dengan artefak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Pak-pak dan suku-suku lain di Sumatera Utara? Kita berharap pustaha laklak milik suku-suku di Sumut turut dikembalikan. Sebab konon, ratusan bahkan ribuan pustaha laklak asli tersimpan di Negeri Kincir Angin itu. (berbagai sumber/int)
Bagikan:

23 November 2016

Sekilas tentang Hadatuon, Eksotisme Batak


Leluhur orang Batak pada zaman dahulu menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan itu hingga kini masih tersisa dan dipraktekkan oleh orang-orang tertentu. Tentu saja, terkait dengan kepercayaan Batak lama itu, ada diwariskan ilmu supranatural yang disebut hadatuon.


Ilustrasi lembaran Pustaha Laklak.
Namun perlu ditegaskan, hadatuon yang dimaksud di sini bukanlah bermakna negatif sebagaimana dipahami generasi baru bangsa Batak di zaman modern ini. Hadatuon sesungguhnya mencakup keseluruhan kearifan lokal Batak baik dari aspek religius maupun sekuler.

Hadatuon adalah merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang dapat diajarkan dan dipelajari orang-orang tertentu, terutama oleh mereka yang diberi anugerah istimewa. Anugerah ini disebut sahala hadatuon. Proses penyampaian ilmu tersebut selalu bersifat tertutup: dilakukan di luar lingkungan antara seorang guru (datu) dan seorang ‘murid’.

Konon, datu hanya seorang guru bagi seorang murid, artinya ia tidak bisa sembarangan mengajarkan ilmunya kepada sembarangan orang. Proses penurunan ilmu itu selalu berlangsung dengan cara-cara yang juga sulit dipahami.

Jadi dengan kata lain, datu bukanlah guru masyarakat sebagaimana guru-guru lain, katakanlah guru silat atau bela diri. Secara umum, orang Batak memahami bahwa eksistensi datu di tengah-tengah masyarakat berfungsi sebagai ahli pengobatan, atau pemimpin dalam ritual keagamaan Batak lama. Selain itu, datu juga sering dianggap sebagai cenayang (medium) dalam memanggil atau berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, dan juga sebagai peramal atau dukun tenung.

Seperti dikatakan di atas, dengan demikian, datu dan hadatuan adalah ilmu yang dikuasai oleh seseorang dan cakupannya sangat luas dan bersifat khusus. Proses penurunan ilmu itu juga merupakan rangkaian ritual yang aneh, unik, irasional, tapi sungguh nyata dan diyakini.

Menurut orang-orang tua, ilmu hadatuon sebenarnya telah dituliskan di sebuah kitab yang disebut pustaha agong (pustaka arang). Orang Batak lebih mengenal kitab ini sebagai pustaha laklak, kitab yang terbut dari kulit kayu. Konon, di dalamnya tersaji secara lengkap ilmu hadatuon.

Menurut mitologi, pustaha laklak diwariskan Si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu. Dengan demikin, Guru Tatea Bulan dapatlah dikatakan sebagi datu pertama suku Batak yang mengajarkan ilmu itu kepada anak-anaknya.
Sebagaimana diketahui, pustaha laklak itu berisi ilmu untuk memelihara kehidupan seperti diagnosa penyakit, terapi, ramuan obat-obatan magis, ajimat, parmanisan dan sebagainya.

Sebaliknya, buku laklak juga berisi ilmu untuk membinasakan kehidupan seperti seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma, guna-guna pemikat cinta.

Kemdudian, ada juga ilmu meramal, perintah para roh dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Isi pustaha itu kemudian dipraktekkan dan dikembangkan dalam upacara-upacara magis untuk berkomunikasi dengan kekuatan supranatural, baik roh leluhur, roh penghuni alam (pangingani) maupun roh-roh jahat. (berbagaisumber/int)

BACA JUGA: Pustaha Laklak, Aksara Batak, Mistik Gubahan Datu

Bagikan:

21 November 2016

Pentas Penyair Kopi Dunia Digelar di Takengon


SolupL - Merayakan panen raya kopi tahun ini, seratus penyair nasional dan internasional akan hadir di dataran tinggi Gayo, dalam acara baca puisi di kebun kopi dan sekaligus peluncuran buku puisi bertajuk Kopi 1.550 MDPL, pada 25-27 November 2016.

November Kopi Gayo
Kegiatan tersebut merupakan rangkaian acara 'November Kopi Gayo 2016' yang diselenggarakan Komunitas Anak Kopi.

Penyair Mustafa Ismail, salah seorang kurator buku puisi tersebut, mengatakan, antologi Puisi 1.550 MDPL ditulis oleh 300 penyair yang berasal dari dalam dan luar negeri. "Kuator sudah menyelesaikan tugasnya, mengkurasi lebih dari 1500 karya puisi yang masuk ke meja kurator," kata Mustafa, Rabu (16/11/16) malam di Jakarta.

Mengiringi peluncuran buku puisi, para penyair akan hadir ke Tanah Gayo membacakan sendiri karyanya di sejumkah tempat di Aceh Tengah dan Bener Meriah. "Puisi yang dihimpun dalam buku seluruhnya bertema kopi," kata Salman Yoga, dari The Gayo Institute, yang juga kurator buku.

Penyair dari Sumatera Utara, Suyadi San dan penyair Sumbar Iyut Fitra, mengatakan akan hadir ke Tanah Gayo dalam rangka peluncuran buku puisi tersebut. Penyair Singapura Anie Dhien juga merencanakan terbang ke Gayo melalui bandara Rembele Takengon.

Lomba Lukis Kopi

Perayaan November Kopi 2016 juga akan dimarakkan dengan lomba melukis kopi tingkat sekolah menengah dan lomba memanen kopi.

Panitia November Kopi, Ditha, secara terpisah menjelaskan, pemenang lomba memanen kopi akan mendapatkan hadiah kain Gayo. "Sepanjang November ini, Tanah Gayo dimeriahkan dengan aneka atraksi seni," ujar Ditha.

Rangkaian kegiatan November Kopi Gayo sudah diawali dengan peluncuran perdana (soft launching) di Seladang Coffee, Bener Meriah dan Datu Coffee Takengon, 6 dan 7 November 2016. Soft Launching diisi dengan pertunjukan musik Rangkaian Bunga Kopi, tari, pembacaan puisi dan musik.

Plt Bupati  Bener Meriah Hasanudin Darjo dan Plt Bupati Aceh Tengah Alhudri menyampaikan apresiasi atas kegiatan tersebut. "Kami mendukung kreasi-kreasi seperti ini. Ini adalah bagian dari menegakkan kemuliaan kopi Gayo," kata Hasanuddin Darjo.

Plt Bupati Aceh Tengah Alhudri dalam pertemuan dengan panitia pelaksana di Pendopo Bupati Takengon, mengatakan, Tanah Gayo tidak boleh sepi dari kegiatan kopi. "Masyarakat Gayo itu sangat terikat dengan kopi, dan karena itu kami sangat mendukungnya," ujarnya.

November Kopi Gayo diselenggarakan Komunitas Anak Kopi Gayo dengan pertunjukan seni di pabrik kopi,  kedai kopi, kebun kopi, lomba lukis kopi, karnaval kopi, penerbitan buku puisi kopi, lomba memanen kopi, bersepeda di lintasan kebun kopi dan lain-lain, termsasuk rafting kopi di Ketambe Aceh Tenggara. (rel/grup wa ruang sastra)
Bagikan:

20 November 2016

Filosofi Cicak dan Payudara bagi Orang Batak


Orang Batak sangat dekat dengan cicak. Hewan melata ini oleh orang Batak bahkan dijadikan pedoman hidup yang diwujudkan dalam seni ornamen atau gorga. Di setiap rumah adat Batak atau Rumah Bolon, kita akan menemukan ukiran atau gorga cicak terpampang pada bagian depan rumah.

Gorga Boraspati dan Adop-adop (bagian bawah)

Dalam konteks ilmu seni rupa Batak, ornamen cicak ini disebut dengan gorga boraspati. Sebagaimana tatanan masyarakat lain, pergaulan sosial masyarakat Batak juga memiliki ragam filosofi. Dan nampaknya, leluhur Batak memilih cicak sebagai salah satu filosofi hidup berdasarkan pengamatan dan perenungan yang cerdas, cermat dan mendalam. Cicak dijadikan simbol kebijaksanaan, kehormatan, kesetiaan dan kekayaan.

Saya mencoba memahami filosofi cicak ini dengan perenungan sederhana. Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya kerap menyaksikan cicak di dinding gubuk di tengah ladang yang terbuat dari rajutan bambu. Selama periode cukup lama, saya ingat kami sekeluarga pernah hidup di ladang dan tinggal di sebuah gubuk kecil.

Bertahun-tahun kemudian, kami pindah ke sebuah rumah di tengah desa yang terbuat dari papan. Di rumah ini saya juga kerap menyaksikan cicak. Bahkan kerap menjadikannya tontotan pada malam hari, terutama ketika cicak mengintip dan menerkam nyamuk atau serangga yang terbang di sekitarnya, persis seperti lagu anak-anak yang terkenal itu: cicak-cicak di dinding...

Ketika di kemudian hari rumah orangtua saya di desa itu bisa diperbaiki menjadi gedung, cicak-cicak itu tetap ada. Bahkan, ketika kini saya tinggal di kota dan usia terus bergulir menuju uzur, cicak tetap saya temukan di rumah. Kadang berlarian di dinding bersama teman-temannya, bahkan sesekali membuat terkejut ketika saya mengambil buku dari rak, cicak tiba-tiba melompat.

Saya ingat, suatu pagi di halaman rumah, seekor cicak terperangkap di bawah ancaman induk ayam. Dengan perasaan seru, saya saksikan sang ayam berusaha mematuk si cicak. Lalu, tiba-tiba ekor cicak itu putus. Si ayam mematuk ekor yang tertinggal dan menggeliat (bergerak-gerak), tapi cicak tanpa ekor itu lari dan berhasil menghilang ke semak-semak dekat rumah. Belakangan saya tahu, cicak juga memberikan ekornya sebagai umpan untuk mengelabui kucing yang menyerangnya.


Itulah mengapa saya katakan, leluhur orang Batak sangat cerdas dan cermat ketika memilih cicak sebagai salah satu simbol filsafat dalam kehidupan mereka. Baik di gubuk, rumah papan, gedung, pedesaan dan perkotaan, cicak selalu eksis dan mampu melanjutkan hidup. Demikianlah kiranya orang Batak bisa hidup dan beradaptasi dan bertahan di setiap situasi dan kondisi.

Zaman dulu, konon orang Batak akan merasa bahagia jika cicak muncul di lahan pertanian baik ladang dan sawah, sebab hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa tanaman akan subur dan produktif. Semakin sering cicak muncul, tanaman semakin subur, dan produksi akan semakin memuaskan.

Memang, cicak adalah hewan yang kontroversial bagi suku tertentu jika dihadapkan pada pemahaman dan pemaknaan suku Batak. Orang Jawa, misalnya, konon menganggap cicak sebagai hewan pembawa sial. Dalam agama tertentu, beberapa pendapat mengatakan bahwa cicak adalah hewan yang tidak bersahabat dengan nabi.

Tapi terlepas dari perbedaan itu, secara luas dapatlah dipahami bahwa generasi penerus bangsa Batak harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi lingkungan. Orang Batak yang gemar merantau ke daerah lain tentu sangat terbantu dengan filosofi ini, sehingga mereka bisa bertahan dalam segala kondisi. Dia harus mampu bertahan seperti ciccak mencengkeram dinding, tiang, atau masuk ke celah-celah sempit.

Dalam konteks pergaulan, filosofi ini mendidik orang Batak menjadi lentur dan dapat bergaul dengan siapa saja, dan memiliki kebijaksanaan yang unggul menghadapi perbedaan di suatu lingkungan. Jadi tidak heran, meskipun stereotip orang Batak dikenal sebagai suku keras, berani dan bernyali, tapi setelah mengenal mereka, siapa saja bisa terbius dan merasakan nilai persahabatan yang istimewa.

Menariknya, gorga cicak selalu berhadapan dengan ornamen 4 payudara, yang disebut gorga adop-adop. Adop-adop berjumlah 4 memiliki makna: 1. Simbol kesucian. 2. Simbol kesetiaan. 3. Simbol kesejahteraan. 4. Simbol kesuburan wanita.

Gorga adop-adop ini diibaratkan sebagai ibu yang selalu menyusu pada anak-anaknya. Cicak bisa dimaknai sebagai orang Batak yang harus menghormati ibu kapanpun dan di manapun. Menurut orang-orang tua, ornamen ini diletak di bagian depan rumah sebagai tanda bahwa ke mana pun dan dimana pun orang Batak hidup apalagi sudah sukses, dia tidak boleh lupa pada kampung halaman.

Empat payudara itu juga melambangkan sosok ibu yang penuh dengan unsur kehidupan, kasih sayang, kesucian, dan kesuburan. Itulah sebabnya orang Batak sangat hormat dan menjunjung tinggi martabat ibunya. (Panda MT Siallagan/int)

Bagikan:

19 November 2016

Pomparan Guru Tatea Bulan Marga Pasaribu Kerasukan di Batu Hobon


Batu Hobon tampak terbelah.
SolupL - Delegasi 4 Marga Guru Tatea Bulan meninjau Batu Hobon di Dusun Arsam, Desa Sari Marrihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, Samosir, Selasa (15/11/2016).

Kunjungan itu terkait dengan heboh pemberitaan di media sosial tentang terbelahnya Batu Hobon. Delegasi rumpun marga Parsadaan Pomparan Guru Tatea Bulan (PP-GTB) yang khusus datang dari berbagai daerah meninjau lokasi itu, baik dari Medan, Tarutung, Tapteng, Siantar-Simalungun dan dari daerah lain.

Dalam kunjungan itu, rombongan menyempatkan diri melakukan doa bersama di lokasi Batu Hobon. Saat itulah terjadi sesuatu yang gaib. Usai doa bersama yang dipimpin Datu Saur Pasaribu, seorang peserta dari Sibolga bernama Sabar Barita Pasaribu mendadak kerasukan atau trans (bukan kesurupan) setelah jatuh lunglai dengan posisi dan gerakan tubuh seperti orang cacat (tuna daksa), yang mengingatkan peserta delegasi akan salah satu keturunan (putra sulung) Guru Tatea Bulan atau cucu pertama Si Raja Batak, yang lahir kembar tujuh cacat tanpa tangan dan tanpa kaki, yaitu Si Raja Uti atau Raja Si Gumeleng Geleng.

Sabar Pasaribu, yang diduga kerasukan arwah 'Raja Dolok Na Timbo' (istilah lain dari sebutan penguasa gunung Pusuk Buhit di seberang lokasi Batu Hobon), baru tampak tenang setelah dipakaikan seperangkat alas duduk tikar pandan, baju kurung putih, kain sarung, balutan kepala (gedar) tiga warna, dan tujuh batang rokok yang disulut (dinyalakan) ke mulutnya sekaligus. Tak lama kemudian, Sabar Pasaribu bicara dengan suara lain yang bukan suaranya.

"Didia hamuna angka pinomparhu? Unang pasombu disursari ugasan on.... (Di mana kalian para keturunanku, jangan biarkan dirusak benda-benda berharga ini..." kata suara 'orang lain' melalui Sabar Pasaribu.

Dia kemudian memanggil satu persatu para keturunannya, merangkul dan membisikkan sesuatu dengan gerakan khusus kepada ND Malau dan Enni Martalena Pasaribu. Suasana kerasukan itu sempat membuat Datu Saur Pasaribu tersentak sehingga sempat bersahut-sahutan dengan suara membahana.

"Gerakan orang kemasukan (kerasukan) itu persis gerakan Si Raja Uti, yang cuma bisa ber guling-guling dengan tubuhnya yang kecil dan cacat, sehingga dijuluki Raja Gumeleng Geleng. Cuma terus terang, aku agak sedih karena tidak ikut dipannggil 'ompung' itu," ujar RS Limbong sebagaimana dilansir hariansib.co, Selasa (15/11/2016).

Usai meninjau objek Batu Hobon, rombongan PP-GTB  kemudian menuju kantor Bupati Samosir dan langsung diterima Bupati Rapidin Simbolon didampingi Asisten I Mangihut Sinaga selaku pelaksana harian (Plh) Sekda Samosir, Kadis Tarukim Edison Pasaribu selaku Pimpro Renovasi Batu Hobon, dan Camat Sianjur Mulamula Darwin Sihombing.

"Saya sudah dengar sikap  pihak keturunan Guru Tatea Bulan atas kabar dan kondisi Batu Hobon yang disebut-sebut dirusak atau dibelah oleh pihak tertentu selama ini. Tapi hari ini saya bersyukur dengan kedatangan delegasi marga ini karena akan tahu langsung kondisi dan kasus sebenarnya karena saya sendiri sejak awal ketika pembangunan Tugu Saribu Raja di lokasi itu, sudah bilang agar peninggalan leluhur Batak itu dipelihara dan dilestarikan, baik sebagai situs budaya sebagaimana diatur UU No.11 Tahun 2010 dan Keppres 81 Tahun 2014. Tapi yang jelas, semua pihak di kalangan keturunan Guru Tatea Bulan ini sebaiknya kompak dan bersatulah, sehingga kita bisa meneruskan renovasi Batu Hobon itu agar tampak lebih asri dan bermanfaat bagi semua pihak, bahkan bagi masyarakat luas," ujar Bupati di hadapan para delegasi. (bbs/int)

BACA JUGA: BATU HOBON TERNYATA TERBELAH SENDIRI, GAIB DAN AJAIB

Bagikan:

Batu Hobon Ternyata Terbelah Sendiri, Gaib dan Ajaib


SolupL - Beberapa waktu lalu, beredar berita heboh di media sosial tentang terbelahnya Batu Hobon. Situs budaya peninggalan leluhur Orang Batak konon terbelah karena campur tangan manusia, sebab lokasi Batu Hobon itu memang sedang dipugar pemerintah setempat. Kini muncul lagi informasi baru yang menyebut Batu Hobon terbelah sendiri. Gaib dan Ajaib!

Batu Hobon tampak terbelah.
Hal itu terungkap ketika Delegasi 4 Marga Guru Tatea Bulan meninjau Batu Hobon di Dusun Arsam, Desa Sari Marrihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, Samosir, Selasa (15/11/2016).

"Kami tidak mengomentari pemberitaan di media-media sosial. Kami berharap semua marga yang berkepentingan dengan Batu Hobon bisa melihat langsung dan mengetahui cerita sebenarnya. Batu Hobon memang sudah terbelah, tapi terbelah karena kekuatan yang tak diduga manusia, atau katakanlah terbelah secara alami," ujar Robert Sagala di lokasi Batu Hobon.

Sagala menyampaikan hal itu kepada pers dan  delegasi rumpun marga Parsadaan Pomparan Guru Tatea Bulan (PP-GTB) yang khusus datang dari berbagai daerah meninjau lokasi itu.

Robert Sagala menunjukkan bagian fisik belahan batu yang tampak terpisah menjadi dua bagian. Pada belahan itu sama sekali tak tampak bekas potongan  mesin, gerinda atau gergaji. Belahan batu itu sama sekali tak rata (sebagaimana  gergajian), warna warna fisik belahan batu juga tampak asli atau sama dengan batu belahannya. Bila belahan batu itu didempetkan maka akan tampak Batu Hobon itu akan utuh kembali seperti semula.

Dia mengatakan, sudah ada yang menyarankan agar batu ini disatukan, tapi mereka tidak berani melakukannya. Sebab, mereka percaya, itu adalah kekuatan tersendiri melalui gerakan alami yang pasti ada tujuan atau maksud dari yang Mahakuasa.

Dalam kunjungan itu, ikut 60-an orang keturunan PP-GTB bermarga Pasaribu, Limbong, Sagala dan Malau, datang dari berbagai daerah di Sumut. Dari Medan antara lain 'Datu Partahi Sahala' Saur Pasaribu, Amir Pasaribu, RS Limbong, Robert Limbong, Walter Sagala, Poltak Sagala, ND Malau, Pardomuan Malau, Enni Martalena Pasaribu, Dermawaty Sitindaon (nyonya Pasaribu) dan lainnya.

Dari Tarutung hadir Bertho Pasaribu (tokoh adat-budaya daerah itu) dan Amri Pasaribu, Ketua Generasi Muda PP-GTB Tapteng Sabar Barita Pasaribu, Makmur Pasaribu, Nilsen Matondang dan Marihot Siregar. Dari Pakpak Bharat hadir Alfonsona Pasaribu dan Rihat Malau bersama rombongan. Selain itu ada juga beberapa utusan PP-GTB dari Siantar Simalungun. Sedang dari Samosir sendiri  puluhan warga dari 4 marga tersebut turut bergabung dalam kunjungan itu, termasuk dari kalangan aparat (Koramil dan Polsek) setempat. (berbagaisumber/int)

Baca Juga:
* Heboh! Batu Hobon Terbelah
* Bukan Terbelah, Batu Hobon Ternyata Sedang Dipugar


Bagikan:

17 November 2016

Dewan Pers Nyatakan Perang terhadap Wartawan Abal-abal


SolupL - Dewan Pers menyatakan sikap menolak kebeadaan wartawan abal-abal. Hal itu disampaikan Staf Alhi Dewan Pers H A Ronny Simon ketika menjadi nara sumber dalam acara Penyuluhan Hukum Pemkab dan Polres Tobasa yang digelar di Balai Data, Kantor Bupati Tobasa, Balige, Kamis (17/11/16)
Ilustrasi.
"Dewan Pers menyatakan perang terhadap wartawan abal-abal. Indonesia terlalu banyak media abal-abal, termasuk media online. Perusahaan pers yang berbadan hukum CV, itu tidak berlaku. Ini perlu diketahui para wartawan khususnya di Tobasa. Sudah ada surat edaran Dewan Pers No 01/SE-DP/I/2014 tentang pelaksanaan UU Pers dan standar perusahaan pers," ujar Ronny Simon dalam paparannya terkait UU RI No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik.

Dia menceritakan, dalam beberapa kasus menyangkut wartawan abal-abal, dia turut menjadi saksi dari Dewan Pers, dan seringkali wartawan jadi korban karena tidak memahami Standar Perusahaan Pers. Dia juga meminta agar dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, seorang wartawan selalu berpedoman pada kode etik jurnalistik.

"Banyak wartawan yang tidak jelas dan tidak pahami kode etik jusnalistik. Khususnya menjalankan amanah Pasal 4 kode etik jurnalistik, yakni membuat berita bohong dan fitnah," katanya.

Sementara, Kapolres Tobasa AKBP Jidin Siagian dalam paparannya terkait tindak pidana pungutan liar, suap menyuap dan gratifikasi mengingatkan agar jangan sampai ada jurnalis di Tobasa terlibat. Dalam melaksanakan jurnalistik, wartawan harus berpedoman pada undang-undang yang berlaku.

"Rekan-rekan pers bebas mengumpulkan informasi, membuat berita. Kami tidak pernah membatasi tugas dan pemberitaan. Tapi tetaplah mengacu pada undang-undang," katanya. (sumber: newtapanuli)

Bagikan: