28 Desember 2015

Surat dari Kekasih


Cerpen Panda MT Siallagan

Aku berada di rumah sakit untuk menjaga ibu mertuaku yang sedang dirawat inap selama beberapa hari. Sakit yang dideritanya sebetulnya tidak terlalu parah, hanya penyakit-penyakit ringan yang sudah lazim menimpa orang-orang tua.

Tapi, Attar Brozova, suamiku, bersikeras menginapkan emak yang sangat dicintainya itu di rumah sakit. Katanya, agar aku tidak terlalu repot mengurusinya mengingat pekerjaan rumah saja sudah menumpuk dan setiap saat harus selalu dibereskan. Di satu sisi, apa yang dikatakan suamiku itu memang benar, tapi di lain sisi, itu justru membuatku semakin repot karena aku harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit, antara mengurus ibu mertua dan mengurus rumah dan anak-anak.
 
Dan malam itu, setelah pada sore harinya ada telepon dari rumah sakit yang memberitahu bahwa kondisi kesehatan ibu mertuaku semakin parah, aku harus berada di rumah sakit untuk menjaganya. Suamiku kebetulan tidak bisa ikut. Ada urusan yang harus diselesaikannya berkaitan dengan pekerjaan kantor.

Ilustrasi.
Untuk menyelamatkan diri dari serbuan jengah, aku keluar dari ruangan di mana ibu mertuaku dirawat, pada saat beliau tertidur, tentu saja. Aku duduk di sebuah bangku yang khusus disediakan bagi para pembesuk. Sekilas kuamati orang-orang yang lalu-lalang dengan wajah-wajah cemas, sedih, putus asa, dan menjadi sadar: alangkah aneh rumah sakit. Di situ, keriangan hidup benar-benar terampas.

Tak jauh dari tempatku, duduk juga dua wanita cantik yang tampak sedang asyik mengobrol. Mereka agaknya terlibat dalam suatu pembicaraan menyenangkan, tapi tawa yang sesekali meledak dari mulut mereka, sungguh membuatku sedikit tidak nyaman. Apakah gerangan ihwal yang bersarang di otak mereka sehingga di rumah sakitpun masih bisa cekikikan? Apakah mereka ke rumah sakit tidak untuk membesuk keluarga atau teman yang sakit?

Aku mendadak kehilangan rasa hormat kepada dua wanita itu. Tapi, entah mengapa, aku justru merasa tergoda untuk mengamati tingkah dan pemampilan mereka, dan berusaha sebisa mungkin menguping pada apa-apa yang mereka bicarakan. Seorang dari mereka, duduk di sebelah kiri arahku memandang, memiliki rambut panjang, hidung mancung, ada kacamata bertengger di atas hidungnya dan matanya yang angkuh tampak lebih teduh di balik kacamata itu. Yang seorang lagi tampak sangat anggun dengan rambut sebahu yang dipotong dan disisir rapi, dagunya sedikit lancip, berleher jenjang.

Mereka berdua sama-sama berkulit putih, belum ada kerut-merut dikulitnya, memiliki payudara besar dan masih membusung, perut langsing dan wajah mereka berseri-seri seperti tak ada marabahaya dan kesedihan-kesedihan yang berusaha merusak wajah itu. Diam-diam aku merasa iri. Aku tidak lagi secantik mereka. Perutku sudah penuh dengan lipatan-lipatan lemak. Pada wajahku sudah mulai bermunculan bintik-bintik hitam yang menyebalkan.

Dan, orang-orang berkata bahwa mereka sudah tidak bisa lagi menemukan kecantikanku yang berdelau pada saat masih muda. Ah, aku jadi benci pada dua wanita itu. Tapi tidak. Perasaan buruk itu tidak boleh kubiarkan melilit jiwaku. Maka, sambil berusaha menata perasaan-perasaan kurang ajar, aku mencoba mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.

"Kerja di mana?" pemilik rambut panjang bertanya.

"Di bank. Kamu tahu, aku senang sekali dengan pekerjaan itu. Selain memang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kumiliki, bekerja di bank sudah menjadi impianku sejak kecil," sahut pemilik dagu lancip dengan kebanggaan yang berlebihan.

"Oh, begitu ya," kata si empunya hidung mancung takjub, lalu bertanya lagi, "Kuliah di mana dulu?"

"Di Universitas Diponegoro, di Semarang."

"Angkatan berapa?"

"Sembilan dua."

"Wow, kebetulan banget. Kamu kenal dong sama Jonggi Monakov?"

"Oh, kenal. Kenal sekali. Dia teman baikku sewaktu kuliah. Asyik tuh berteman dengan dia. Orangnya santun, ramah, cerdas dan suka ngeguyon. Dia juga tampan. Kamu kok bisa kenal sama dia?"

"Dia teman SMA-ku. Kami sangat akrab dan aku selalu yakin bahwa dialah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dia sangat penyayang sih, sangat perasa. Sesudah dia kuliah, kami masih terus bersahabat lewat surat dan email. Waktu itu aku kuliah di Medan.

"Tapi..." kata kedua wanita itu serentak, tapi segera diambil alih oleh pemilik hidung mancung, "Dia sekarang di penjara. Dia membunuh istrinya."

"Yah, aku tahu. Aku sedih sekali mendengar kabar itu."

Lalu, kedua perempuan itu terdiam. Ada kesedihan yang menguar dari wajah mereka. Dan, dengan langkah getir, aku meninggalkan mereka dan kembali ke ruangan dimana ibu mertuaku dirawat. Tapi, pada saat kusadari pikiranku sangat tersita oleh dua perempuan itu, aku tiba-tiba merasa seperti mengenal mereka, seperti pernah bertemu dengan mereka. Tapi dimana?

Ah, persetan dengan mereka. Aku justru terkenang pada Jonggi, lelaki yang baru saja mereka bicarakan. Lelaki itu adalah bekas kekasihku. Aku pernah mencintainya dengan gila. Dia pernah mencintaiku secara membabi-buta. Tapi jika ingat penyimpangannya.

Keesokan harinya, segera setelah tiba di rumah, kubuka kembali album-album lama yang menyimpan foto-foto keluarga, teman-teman, dan Jonggi. Dan benar, dua wanita yang kutemui di rumah sakit itu adalah Miralev dan Yola. Di album itu masih tersisa beberapa lembar foto mereka. Meski telah banyak yang berubah dalam hal penampilan, tapi wajah mereka tidak jauh berubah.

Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang dua perempuan ini kepadaku karena, katanya, ia ingin jujur tentang masalalunya. Ia tidak ingin aku kecewa jika kelak mengetahui bahwa ia telah memiliki banyak gadis yang dipacarinya jauh hari sebelum bertemu aku. Dan, kejujuran itulah yang membuatku percaya bahwa ia lelaki yang baik.

Sering memang aku merasa cemburu jika kuminta padanya untuk membakar saja foto-foto itu, tapi ia selalu berkata bahwa tidak baik membakar foto orang lain. Hal itu bisa membuat kita mengalami kesialan-kesialan dan sebaliknya, menjaga potret orang bahkan yang kita benci, bisa membawa suatu keberuntungan di setiap hal yang kita lakukan. Aku tidak mau berdebat.

Meskipun pendapatnya itu terasa sangat konyol, aku berusaha menerimanya, menghargainya sebagai tanda bahwa Jonggi memang baik. Tapi, aku ternyata salah. Ia justru pergi dan menikah dengan perempuan lain, perempuan yang kini telah mati di tangannya, dan kini ia harus membayarnya dengan derita panjang.

Aku sebetulnya masih merasa cinta pada Jonggi, dan aku sempat hampir pingsan ketika berita buruk yang menimpa dirinya kudengar dari berita kriminal di salah satu televisi. Dan, pertemuanku dengan dua perempuan itu, sungguh membuatku merasa rindu pada Jonggi. Haruskah aku menemuinya ke penjara?

Tapi, mengapa kedua wanita itu tidak saling mengaku bahwa mereka adalah mantan pacar Jonggi. Malukah mereka disebut pernah pacaran dengan seorang yang kini meringkuk di penjara? Benarlah apa yang dikatakan Jonggi: Miralev dan Yola bukan perempuan yang baik. Pantas saja Jonggi meninggalkan mereka dan jatuh kepelukanku sebelum akhirnya hancur setelah menikah dan membunuh istrinya.
***

AKU berada di rumah sakit untuk menjaga adik iparku yang harus di rawat inap selama beberpa hari. Ulinya, adik iparku itu, baru saja menjalani operasi pengangkatan usus buntu. Karena bosan berada di ruangan, aku keluar dan duduk-duduk di sebuah bangku yang disediakan khusus bagi para pembesuk. Aku merenung tentang perjalanan hidupku yang getir. Meski secara materi suamiku bisa menghidupiku lebih dari cukup, tapi bathinku selalu tersiksa.

Hingga kini, dalam usia pernikahan kami yang sudah berlangsung lima tahun, kami belum juga memiliki anak. Aku benar-benar menderita, kesepian dan sering mengutuk diri mengapa pada waktu muda dulu aku sering kali melakukan perbuatan-perbuatan najis. Ini mungkin kutukan, hukuman yang diberikan Tuhan atas dosa-dosaku.

Untunglah perasaan sedih itu tiba-tiba terhenti karena kehadiran seorang perempuan dan langsung duduk di sebelahku. Perempuan itu mungkin masih sebaya dengan aku. Dia sangat cantik. Kami lalu berkenalan, saling mengobrol. Dia bernama Miralev, sangat menyenangkan, suka bercerita, dan gampang tertawa. Beban yang menghimpit dadaku terasa sedikit longgar.

Setelah pembicaraan melompat-lompat dari satu hal ke lain hal, kami lalu masuk pada pembicaraan yang lebih serius. Aku bertanya dimana dia bekerja, dan pertanyaan itu menyeret kami pada suatu peristiwa kebetulan. Dia berkata bahwa dia bekerja di sebuah bank, sebuah pekerjaan yang memang sudah dicita-citakannya sejak kecil, dan itu sangat sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia tamat dari sebuah universitas di Jawa Tengah. Aku kaget.

Di universitas itulah dulu Jonggi Monakov menuntut ilmu. Ketika kutanya, dia berkata bahwa dia mengenal Jonggi dengan sangat baik. Dia bahkan memuji-muji mantan pacarku itu agak berlebihan. Dia lalu bertanya bagaimana aku bisa mengenal Jonggi. Kukatakan, Jonggi adalah teman baikku sewaktu SMA, tapi aku tidak memberitahu bahwa Jonggi adalah mantan pacarku. Aku malu jika harus mengaku pernah berpacaran dengan seorang pembunuh.

Biarlah kuakui ia sebagai teman dan itu cukup membanggakan karena pada saat itu, Jonggi masih lelaki yang gagah dan selalu menjadi idaman gadis-gadis. Kalaupun saat ini hidupnya hancur, itu barangkali karena hidup tak selalu menguntungkan dan aku tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya yang sial itu.

Tapi, pembicaraanku dengan Miralev tiba-tiba sedikit terganggu karena mataku tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di bangku lain tak jauh dari tempat kami. Perempuan itu barangkali sudah duduk sejak lama di tempat itu. Dan rasa-rasanya aku seperti pernah bertemu dengan perempuan itu, seperti mengenalnya. Dan, ya, setelah berusaha mengingat-ingat, akhirnya kutahu bahwa perempuan itu adalah Maryanka. Dia adalah mantan pacar Jonggi, sebelum aku.

Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan itu dan berkali-kali menunjukkan fotonya kepadaku. Jonggi bilang, ia sangat menghargaiku sebagai seorang kekasih. Oleh karena itu, sifatnya yang suka menunjukkan foto perempuan itu adalah sebentuk kejujuran bahwa ia pernah berpacaran dengan perempuan lain dan itulah caranya membuatku yakin bahwa akulah perempuan terakhir baginya.

Tapi, aku menaruh dendam yang dalam pada perempuan itu, sebab dengan alasan yang terlalu dibuat-buat, Jonggi selalu berusaha menolak jika aku menyuruhnya membakar foto itu. Dan benar, Jonggi memang pembohong. Dia malah menikah dengan perempuan lain. Tapi sayang, istrinya meninggal di tangannya.

Tapi, urusanku dengan Maryanka belum selesai. Maka, ketika aku berkata kepada Miralev bahwa Jonggi berada di penjara, sengaja kukeraskan volume suaraku agar perempuan itu bisa mendengar, agar dia tahu bahwa mantan kekasihnya adalah orang bejat.

***
RUMAH sakit selalu menjadi tempat yang sangat memuakkan bagiku. Aku selalu merasa mual jika berada di rumah sakit. Tapi, malam itu aku harus berada di rumah sakit untuk menjaga adik lelakiku yang sedang dirawat karena kecelakaan. Adik lelakiku itu memang sangat nakal, sering ugal-ugalan jika sedang berkendara di jalan raya, dan akibatnya, ia bertabrakan dengan sebuah truk. Untung nyawanya masih selamat. Dulu, adik lelakiku itu pernah kecanduan obat.

Dan, setelah berhasil terbebas dari bubuk setan itu melalui proses yang sangat panjang, aku dan suamiku selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya asalkan dia tidak kembali lagi mengkonsumsi narkoba. Dia minta dibelikan sepeda motor, kami memenuhinya. Tapi sejak itu, dia malah ugal-ugalan di jalan, acap melakukan balapan liar bersama teman-temannya dan terakhir kuketahui dia malah sudah mabuk-mabukan lagi dengan menenggak alkohol. Dia benar-benar membuatku pusing.

Malam itu, karena sudah tak tahan berada di ruangan dimana adik lelakiku dirawat, aku keluar untuk menghirup udara segar. Aku duduk pada sebuah bangku dan di situ telah duduk juga seorang perempuan cantik, seusiaku. Kami berkenalan. Kebetulan sekali, dari pembicaraan kami yang entah kenapa bisa berlangsung dengan sangat lancar, terungkap bahwa ada ikatan persahabatan tak langsung antara aku dan perempuan. Dia ternyata sangat akrab dengan Jonggi Monakov, pacarku sewaktu kuliah. Perempuan bernama Yola itu berkata bahwa Jonggi adalah teman baiknya sewaktu SMA. Peristiwa kebetulan itu tentu saja membuat kami semakin akrab.

Aku sebetulnya ingin sekali berkata bahwa Jonggi adalah mantan kekasihku. Tapi, karena tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang juga sedang duduk-duduk tak jauh dari tempat kami, kuurungkan niat itu. Masalahnya, aku sangat kenal pada perempuan itu. Dia bernama Maryanka. Aku pernah beberapa kali bertemu dengan dia. Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan ini kepadaku. Dia adalah mantan pacarnya. Jonggi memang begitu, selalu jujur tentang perempuan-perempuan masalalunya.

Dan, setiap kali ia selesai menceritakan perempuan-permpuannya, ia selalu mengatakan kalimat yang membuatku nyaman, "Kamu adalah perempuan terakhir bagiku." Dari sekian banyak perempuan yang pernah dipacarinya, katanya, aku merupakan perempuan terbaik. Tapi, Jonggi justru menikah dengan perempuan lain. Perempuan yang kini telah mati dibunuhnya.

Dulu, aku selalu ingin berkenalan dan berbagi cerita dengan Maryanka, tapi hal itu tidak pernah bisa terjadi. Setiap kali kami bertemu di jalan, di mal, atau di mana saja, Jonggi selalu mengajakku mengelak agar dia tidak sempat melihat kami. Kata Jonggi , ia tidak ingin membuat perempuan itu lebih terluka.

Aku sebetulnya masih mencintai Jonggi hingga saat ini. Aku seringkali berpikir untuk mengunjunginya di penjara. Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah mempunyai dua anak yang lucu-lucu dan memberiku kebahagiaan yang dasyat. Suamiku juga sangat baik. Apa yang kuterima saat ini adalah anugerah luar biasa. Suamiku tidak pernah menyakitiku meskipun sejak awal-awal pernikahan kami dia sudah tahu bahwa aku tidak gadis lagi.

***
TUAH, itulah kisah yang dituturkan tiga sahabat kepadaku. Mereka bercerita dengan penuh kesedihan, disertai isak, seolah-olah ingatan akan peristiwa itu adalah bahaya tak tertanggungkan. Dari cerita itu kamu sudah bisa mereka-reka betapa cinta ketiga sahabatku itu pada Jonggi. Cinta yang sangat pelik, sama rumitnya seperti cintaku padamu yang tak pernah bisa kupahami.

Dan, meskipun kerap dihantui rasa bersalah yang akut, aku tetap merasa bangga karena hingga kini aku masih tetap menjaga rapi rahasia itu dan tidak membeberkan kepada mereka bahwa sebetulnya Jonggi memacari mereka sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Aku juga mengenal Jonggi. Dia adalah rekan kerjaku di kantor tempatku bekerja, sekarang.

Dulu, sebelum Jonggi masuk bui, mereka bertiga pernah datang ke kantor kami dan sejak itulah aku berkenalan dan menjadi bersahabat dengan mereka. Bahkan, akulah yang dimintai tolong oleh Jonggi untuk mengatur jadwal pertemuan mereka dan mengaturnya sedemikian rupa agar tidak bertabrakan jika sesekali mereka ingin bertemu dengan Jonggi.

Sungguh, aku merasa bangga bisa menjaga dengan rapi rahasia itu. Aku tidak ingin melukai mereka, tidak ingin membuat mereka benci pada Jonggi. Kasihan Jonggi jika harus dibenci oleh kekasih-kekasihnya apalagi pada saat remuk seperti sekarang ini. Dan, tahukah kamu kenyataan pedih di balik semua itu?

Suatu hal yang mengerikan memang, Tuah. Tapi, kamu harus tahu karena kisah itulah yang menjadi sedikit jawaban mengapa aku selalu menolak menikah denganmu, dan kini malah pergi meninggalkanmu.

Ingatkah kamu setiap kali kita bercumbu, aku selalu berusaha meringkusmu, dan tanpa sadar, aku selalu mencakar punggung dan lehermu. Sungguh, pada saat kita bercinta, aku ingin kamu menamparku, menjambak rambut, bahkan bila mungkin mancambuk, menendang dan mencakari tubuhku.

Apa yang terjadi pada ketiga sahabatku itu adalah hal yang sebaliknya. Sayang sekali, memang, mereka bertiga adalah orang-orang yang tidak terlalu peduli pada moral. Selama berpacaran, ketiga sahabatku itu sudah kenyang dengan pengalaman-pengalaman seksual bersama Jonggi, dan selama itu pulalah mereka mengalami penderitaan. Sebagaimana yang mereka tuturkan, setiap kali bercinta, Jonggi selalu menampar wajah, menjambak rambut, menghantukkan kepala mereka ke dinding kamar, juga kekerasan-kekerasan lainnya.

Ketika Jonggi berkhianat, ada memang rasa senang dan lega yang menyusup ke dalam dada mereka karena terbebas dari monster jahat. Tapi, ketika perasaan cinta bersuara dan bergetar dengan lebih kencang, mereka sedih, menangis, dan ingin sekali membebaskan Jonggi dari penyakitnya itu.

Tapi syukurlah, atas anjuranku, lambat laun mereka mulai sadar akan posisi mereka dan tidak lagi pernah menemui Jonggi. Bahkan, ketika kabar tentang pembunuhan yang dilakukan Jonggi pada istrinya menyebar, tak satupun dari mereka yang panik dan tetap mencoba bersikap tenang, meski kutahu mereka sangat terluka. Tapi sejak peristiwa di rumah sakit itu, mereka bertiga kembali memikirkan Jonggi dan seringkali berpikir untuk mengunjungi Jonggi di penjara.

Tuah, aku percaya, Jonggi tidak bermaksud membunuh istrinya. Ia melakukan itu karena cinta. Penyimpangan seksual yang dideritanya itu mungkin tidak pernah dianggapnya sebagai sebuah kekerasan, tapi dilakukannya sebagai bentuk ungkapan cinta terdalam.

Sekarang, aku ingin bertanya sama kamu, mungkinkah kita menikah karena aku juga mengidap penyakit yang sama. Sekarang, aku telah memutuskan langkah apa yang harus kutempuh. Aku mungkin akan berusaha mencari suami seperti Jonggi. Kupikir, jika sadis bersatu dengan masokhis, akan ada pengertian yang melebihi cinta antara mereka dan itu tidak akan pernah bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi pada istri Jonggi.

Dan, anggaplah sekarang ini adalah saat-saat di mana aku harus pergi, melenggang dengan sangat sedih karena harus meninggalkanmu. Jangan pernah lagi bertanya pada perenungan-perenunganmu mengapa aku pergi. Pada saat terakhir seperti sekarang ini, aku hanya bisa memberimu jawaban: aku pergi meninggalkanmu karena aku terlalu mencintaimu. Salam.

***
TUAH melipat kembali sepucuk surat yang diterimanya siang tadi. Dada lelaki itu bergemuruh, sesak seperti dilanda badai gurun, tubuhnya lemas, dan ia longsor di akhir penantian yang tragis. Ketika matanya banjir, ia mengenang saat kekasihnya itu pergi meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, tanpa pesan. Kini, ia harus bersiap untuk berdamai dengan kesedihan dan kesepiannya. ***

Bagikan:

20 Desember 2015

Pacar Rembulan


Cerpen Panda MT Siallagan
Ilustrasi.
Karena setiap ingatan menyakitkan, maka panggil aku Rembulan, kataku malam ini. Angin terasa nyaman, dihangati sinar bulan. Dedaunan pohon beringin menawarkan kesejukan yang lain ke dalam hati kita.

"Mengapa?"

Ah, kau seperti belum pernah bepergian. Usia sudah sesenja ini, belum cukup memberi artikah banyak peristiwa? Ingat-ingatlah semua kepedihan, hatimu pasti sakit. Ingat-ingat juga segala kebahagiaan, hatimu juga pasti sakit. Begitulah, kekasih, hal-hal yang hilang pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, baik pedih maupun bahagia. Maka, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Aduh, kau belum paham juga. Ingatkah kau pacar pertamamu? Ketika pertama kali kaukecup bibirnya, tangannya yang lembut menampar pipimu, iya kan? Dan kau pasti bahagia ketika mengenangnya, menatap rembulan pada malam yang dingin, bermanja-manja dengan lengang. Begitulah, dengan egoisme dan kelicikan usia remaja, kau mungkin pernah merayunya dengan berkata bahwa dialah satu-satunya perempuan yang kaucintai. Dialah perempuan yang membuatmu masuk ke tahap dewasa awal, sebab berpisah dengannya membuatmu berpikir tentang kematian. "Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku akan bunuh diri jika kau meninggalkanku."

Nyatanya, ketika lengan kecil pacarmu itu merangkul pinggang lelaki lain, kau hanya mengumpat, melupakannya, lalu senyum-senyum sendiri mengenangnya, sambil memandang rembulan. Mungkin sambil merayakan kemenangan karena kau baru saja mendapatkan kekasih yang lebih cantik. Tak ada luka sebenar dalam hidup ini. Tak ada bahagia sebenar sepanjang perjalanan ini. Dan tentang cinta, kepada kita telah selalu dikisahkan: Once upon a time , hiduplah sepasang kekasih yang saling mencintai tapi harus berpisah karena perang. Tetapi, sepasang kekasih itu selalu bertemu pada bulan purnama. Yah, selalu wajah mereka saling bicara di wajah bulan....

"Itu bukan dahulu kala," kau menyela. "Kisah itu ada di depanmu, di halaman rumah kita."

Ah, lagi-lagi kau seperti belum pernah bepergian. Sejarah, sayangku, bukan peristiwa yang berjalan lurus. Ia seperti hatimu. Meskipun banyak hal kauyakini telah usai, adakalanya hati akan membawamu mengunjungi banyak peristiwa. Ketika wajah kota muram oleh gerimis, kau menemui lagi pacar keduamu di tepian sungai. Kalian duduk dengan kaki berselonjor ke dalam air. Sayangku, katamu dengan suara renyah, bagaimana kalau tiba-tiba kedua kakimu berubah jadi ekor ikan, dan kau menjelma putri duyung? Kekasihmu menyahut: ‘Aku akan bersusur di sepanjang sungai, mencari pangeran-pangeran ikan. Aku akan bercinta dengan mereka sepuas hatiku. Sebab mereka pasti lebih tampan daripada kau.' Merasa kalah, kau bangkit secara mendadak, berlari dan berteriak dengan keras: Awas, ada buaya... ada buaya. Kekasihmu ketakutan, lalu mengejarmu. Setelah itu kau tertawa. Kekasihmu jatuh ke pelukmu dengan tubuh gemetar, lemas karena sandiwara kecilmu.

Hati juga akan membawamu ke suatu masa di mana segala sesuatu masih tampak sempurna. Gubuk kecil tempat bapa dan ibu merawatmu. Kali kecil berair jernih. Sawah dan ladang hijau. Hutan-hutan yang ditumbuhi pohon-pohon tegak. Gunung dan perbukitan yang mengokohkan jiwa. Kicau burung dan kokok ayam yang membangunkanmu pada pagi hari. Jalanan berbatu yang kaulintasi setiap pulang-pergi sekolah. Juga kau kecil yang suka usil pada teman-teman perempuanmu. Pernah, kan, kau menjambak rambut gadis tercantik di kelasmu?
"Ah, kau mengigau. Aku tak pernah memiliki semua itu. Aku tumbuh dan besar di sebuah bandar," katamu.

Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan, kataku. Malam ini semakin dingin, bulan mulai lenyap disapu awan, bintang-bintang menyisih entah kemana. Tapi percakapan kita masih hangat, seperti tak akan terusir oleh apapun.

"Mengapa?"

Ah, kau membuatku gemas. Ingin kucakar hatimu yang tak juga mengerti. Tidak tahukah kau makna setiap kenangan? Aku pernah melihat bulan rebah di sepanjang pantai. Kadang ia menari-nari digoyang ombak. Agak jauh di utara, sedikit menjorok ke arah laut, kapal-kapal mengonggok. Tiang pelabuhan bercerita tentang sunyi sejarah. Peluit-peluit kapal meruncing seperti ingatan yang menusuk. Kapten dan anak buah kapal berbondong-bondong menuju restoran-restoran murah, tentu dengan harapan bisa melingkarkan tangan di pinggang pelacur-pelacur pelabuhan. Ah, bagian ini membuatku sedih. Kau mirip seperti anak buah kapal bertubuh kecil. Ya, kau mirip seperti lelaki berkulit hitam dan berbulu itu, warna kalian mirip seperti malam. Wajah kalian seperti kegelapan kota yang terbakar. Di atas pasir, dialah lelaki yang mengajariku cinta, juga kehidupan.

"Kau bersetubuh dengannya?"

Cinta dan kehidupan tidak melulu lahir dari persetubuhan. Kau tahu, lumut-lumut yang menghijau di dinding kapal dan dermaga itu tak tumbuh dari persetubuhan. Kau, ah, bukan, tapi lelaki itu. Lelaki itu menjadikanku adik. Meski tubuhku mungkin berkali-kali menyulut birahi di hatinya, tapi ia tak pernah tega mengecapnya. Dan aku salah telah mencintainya dengan membabibuta. Ketika kuutarakan debarku, ia mengelak dan pergi untuk tak kembali. Kau seperti adikku, katanya. Ada apa dengan adikmu? Aku bertanya. Tapi ia terus saja mengayun langkah. Tetapi, dari teman-temannya sesama anak buah kapal aku tahu bahwa adiknya meninggal di sebuah kerusuhan. Padahal, dia sudah berkorban menghentikan kuliahnya demi mencari biaya untuk sekolah adiknya. Pada awal-awal pertemuan kami, ia pernah bercanda dengan berkata bahwa ia seorang aktivis yang lari dari kampus. Jika aku bertahan, mereka pasti sudah menculik dan menghabisi nyawaku. Itu artinya kita tidak akan bertemu, katanya.

Lama sesudahnya, barulah aku berpikir bahwa kalimat ‘kita tidak akan bertemu' adalah ungkapan syukur dari seorang lelaki yang beruntung menemukan sosok adiknya dalam diri orang lain, bukan rasa syukur karena bertemu dengan lawan jenis yang membuatnya jatuh cinta, sebagaimana perasaanku padanya. So, once upon a time, sesuatu pernah hancur. Seperti sejarah, peristiwa-peristiwa akan berulang. Kemiskinan, bencana, kesewenang-wenangan penguasa, perang, teror, semua akan berulang. Pikiranku kacau, kekasih, sebab selalu lelaki itu kuanggap sebagai kau. Oleh sebab itu panggil aku Rembulan.

"Tapi aku cemburu cahaya hatimu masih tetap untuk lelaki itu."

Jangan munafik. Pacar ketigamu membuatmu hampir lumpuh. Ingat kau bagaimana ia selalu mengirimimu puisi-puisi. Tapi kau tak pernah belajar memahami puisi. Ia juga mengepak doa-doanya dalam surat cinta. Mestinya kau sudah lebih pandai merawat waktu. Tapi apa? Kau bahkan mengutuk pagi, menyumpahi siang, memaki malam sebab saban waktu perempuan itu mengoceh tentang puisi. Kau tidak butuh itu. Kau hanya butuh tubuhnya, kau hanya ingin bermain-main dengan gelombang birahi di tubuhnya. Apa kau kira gelombang laut yang membuncah-buncah di sepanjang pantai selalu bisa menjadi isyarat cinta dan kehidupan yang dasyat? Tidak sayangku, tidak. Mestinya kaubaca puisi-puisi itu, rekaman kehidupan itu.

Di situlah kematian saudara-saudaramu terkisahkan, ibumu yang tak sudah-sudah meminum air mata sendiri. Juga adik-adikmu yang telanjang, berlari-lari mengejar keriangan di sepanjang pantai. Coba jawab aku, mengapa kau tak belajar memahami puisi-puisi itu? Kau malah meninggalkannya, mabuk-mabukan dengan pacar keempatmu. Pacar keempatmu lalu meninggalkanmu, sebab pelacur tak butuh cinta. Dan seperti keangkuhan seorang penakluk, kau terus saja memburu perempuan. Tapi aku tahu hatimu tak pernah lepas dari perempuan itu, penyair itu, pendoa itu. Sebab sesungguhnya, perempuan seperti itulah yang bisa menyelamatkan lelaki bajingan seperti kau. Tapi, seperti kau tahu, tak ada perempuan baik seperti dia yang mau mencelakakan diri demi lelaki seperti kau. Maka, kekasihku, bersyukurlah kau atas cintaku.

"Bersyukur? Aku harus bersyukur untuk pelacur seperti kau?"

Ah, kau barangkali memang belum pernah bepergian. Kau tidak tahu lukaku. Kau tidak punya apa-apa selain kedunguan. Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Uhh... tak adakah tanya selain itu, kekasihku? Sini, kecup keningku, biar kuceritakan. Lihat, kita sedang duduk di bawah pohon beringin ini. Dan sisa gedung terbakar di sebelah sana adalah saksi betapa sudah banyak orang yang singgah dan mengomeli hidup di bawah pohon ini. Dan sekiranya pohon ini bisa bercerita, buku setebal jumlah jam usiamu tak akan mampu menampungnya. Dan ini yang terpenting: Kau lihat sinar bulan itu, kekasihku, tumpah ke bumi dalam bentuk utuh, tapi menjadi berserpih ketika terbentur pada benda-benda. Lihat, setelah membentur daun-daun beringin ini, cahaya itu berserak serupa remahan, remahan cahaya. Begitulah perjalanan. Ada yang selalu rontok, pecah, hancur dan bersisa jadi remahan-remahan peristiwa dalam ingatan. Sebab itu setiap ingatan pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, betapapun peristiwa teramat sakit.

"Lalu, mengapa aku harus memanggilmu Rembulan?"

Kau belum paham juga. Sudahlah, aku pergi.

"Ke mana?"

"Meninggalkanmu?"

"Kenapa?

"Karena kau tak paham kata-kataku."

"Pergilah!"

Lalu kosong. Kulintasi sepi yang menusuk-nusuk tubuhku malam ini. Kuayun langkah dengan airmata bercucuran di pipi. Benarkah kau menyuruhku pergi. Benar, kan, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Kau mestinya memanggilku, merengkuh tubuhku dan memintaku menjelaskan lagi kenapa kau harus memanggilku Rembulan. Kau mestinya merayuku agar aku tidak pergi. Apakah karena aku pelacur? Ah, aku bukan pelacur. Aku hanya diperlakukan seperti pelacur. Kau memang tak pernah sungguh-sungguh mencintaiku.

"Sayang, jangan pergi. Aku sungguh mencintaimu."

Kau menyusulku? Ketika aku membalikkan badan, kau langsung mendekapku. "Aku mencintaimu, Rembulan."

Kau memanggilku Rembulan?

Kau tersenyum, mengangguk.

Jika begitu, aku harus pergi.

"Kenapa?"

Karena kau sudah memanggilku Rembulan.

"Lho?"

Karena setiap ingatan pasti menyakitkan. Karena remahan-remahan cahaya bulan selalu seperti sejarah. Berserpih. Berpuing. Ayahku mati. Ibuku mati. Saudara-saudaraku mati. Kau mati. Teman-temanku mati. Tapi perang tak usai-usai. Bencana tak hendak sudah. Bom tetap saja meledak. Biarkan aku pergi. Dan tahukah kau, sayangku, setiap kali aku datang ke tempat ini menemuimu, pemuda-pemuda berndal di simpang sana selalu berbisik satu sama lain, "Lihat, perempuan gila itu datang lagi ke pokok beringin."

Padahal aku hanya ingin menatap rembulan. Ingat, kan, di tempat ini dulu kau berkata bahwa wajahku mirip bulan. Kalau kau mencintaiku, seharusnya kau datang menghajar pemuda-pemuda dan berkata kepada mereka, "Dia Rembulanku." Kau seharusnya membunuh mereka, karena pemuda-pemuda berandal seperti merekalah yang menjarah, membakar dan memperkosaku. Maka biarkan aku pergi.

"Kenapa?"

"!!!"***

Pekanbaru, Januari 2005

Bagikan:

29 November 2015

Amsal Dangau


Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Amsal Dangau

Ricik air membingkai subuh. Maka keran yang patah di sudut lukisan itu selamanya berteriak tentang kota yang hancur, tentang rindu yang tawar di pematang sawah dan kebun. Petani berkemas, menyiang tikus dari rumpun padi, sebab tak sesiapa terwahyu mengusir mimpi dari tumpukan gabah, tak sesiapa mampu memanggil pipit jadi budak. Dalam gigil subuh, kokok ayam menggali lubang jangkrik. Bunga mekar menjemur luka.

Ilustrasi.
Mati

lewat lengang yang mengaliri kamar
derita mengirim bayangmu ke lorong tidurku
wajahmu mengapung di atas gelap
matamu merangkai lengang jadi kepingan usia
dan mimpiku saling berkejaran dengan rasa takut
sebab kealpaan jasadmu selalu membawa keranda
kita tidur diselimuti kematian

Pekanbaru, 2003

Amsal Lidah

Kapan kita bernyanyi lagi, tanyamu sembari meraut lidah. Sebab lama memang kicau burung sumbang ditiup kemarau, hilang kuasa mengayun mimpi di benak anak-anak. Aku ragu bersiul, sebab pagi sangat jauh. Sementara sulap kian tajam diasah kata, mendustai puisi. Malam getir tanpa suaramu. Aku pura-pura jadi nyamuk, berdendang tentang tungkai para lelaki penakik getah di tubuhmu. Kutahu: darahmu sudah mahir menyanyikan lenguh. Jejak ular menganga di jantungmu. Lagu-lagu padam.

Medan, April 2010

Sajak Rindu

rindu bertunas lagi
di musim sepi
luka mengelopak
memekarkan sakit
maka di hatikutaman pun berdarah
bunga-bunga tumbang
mengakhiri mimpi kumbang
akukah yang kehilangan itu?

musim sepi kian panjang
luka beranak-pinak
taman makin berdarah
di dalam hatiku
ditikami bayangmu

Pekanbaru, 2005

Belajar Sujud

butir air dari ujung daun
jatuh ke mata yang tengadah
menggambar wajahMu di antara gerimis
pohon sekeliling masjid setia
seperti Kau menantiku merampungkan resah

tapi hujan yang mengaris-garis udara
menautkan tanah dan langit dalam dingin
tak jua membentuk jalan
udara cuma sembab
butir-butir air terhisap muasal
bagaimana kutemui Kau di ruang senyap itu?

Pematangsiantar, Agustus 2007
Bagikan:

27 November 2015

Tragedi Budaya, Terbunuh Karena Jambar Adat


September tahun 2015 lalu, sebuah peristiwa heboh terjadi di Bosar Galugur, Tanah Jawa, Simalungun. Seorang bernama Jonner Sirat, tewas dibunuh gara-gara berselisih soal jambar  adat. Peristiwa terasa sangat mengerikan karena perselisihan itu terjadi dalam upacara adat pemakaman.

Ilustrasi
Sebagaimana dilansir berbagai media, berikut kisah dari sari beritanya:

Jonner Sirait tewas setelah ditikam teman sekampungnya bernama Hendri Malau. Pembunuhan terjadi karena salah paham antara keduanya ketika acara adat pemakaman seorang warga berlangsung di kampung mereka di Huta Batang Hio, 17 September 2015.

Pemakaman awalnya berjalan lancar hingga masuk pada acara pembagian jambar. Dalam acara itu, Hendri Malau bersama bersama beberapa rekannya memang berhak mendapatkan jambar pakkallung (jambar bagi warga yang bertugas mengangkat jenazah dan menggali tanah pemakaman).

Namun, ketika jambar belum saatnya dibagi oleh suhut (tuan rumah acara adat), Hendri terlebih dulu mengambil jambar tersebut. Padahal, seharusnya suhut memberikan jambar itu kepada ketua serikat (ketua perkumpulan kampung), lalu diserahkan kepada orang yang berhak menerima, termasuk kepada Hendri dan rekannya.

Pada saat pembagian jambar itu, suasana gaduh terjadi karena jambar tidak ditemukan lagi. Warga mencari-cari dimana jambar yang hilang itu. Dan ternyata, seseorang mengaku melihat bahwa Hendri mengambil jambar itu sebelum dibagi. Hal itu lalu diberitahu kepada ketua serikat.

Sontak, ketua serikat Jonner Sirait (41) marah dan menegur Hendri Malau. “Boasa dibuat ho jambar pakkallung, hape so tikkina dope dibagi? (kenapa kau ambil jambbar pakkallung, padahal belum waktunya dibagi),” ujarnya.

Saat itu Hendri mengaku merasa malu dan hanya diam. Namun, dia mengaku marah dendam karena dipermalukan di hadapan umum. Pada saat itulah timbul rencana jahat menghabisi korban. Sebelum tiba acara makkallung (mengantar dan menguburkan jenazah ke makam), diam-diam dia pergi ke rumah dan mengambil belati dan menyelipkannya di pinggang sebelah kiri.

Sementara Jonner Sirait tidak tidak ikut ke pemakaman. Dia pergi menyadap tuak untuk diantar ke warung langganannya. Dan usai penguburan, sekira pukul 17.00 WIB, di situlah pembunuhan terjadi. Hendri menunggu korban di dekat jalan masuk ke Huta Batangio, saat korban hendak pergi menyadap tuak yang memang merupakan pekerjaan sehari-harinya.

Begitu Jonner muncul, Hendri memanggilnya. Tanpa curiga, Jonner menghampiri Hendri. Begitu jarak mereka sudah dekat, Hendri langsung memeluk korban dan menikamkan belatinya berkali-kali. Mendapat serangan mendadak, Jonner roboh.

Warga sekitar yang melihat kejadian langsung mengamankan tersangka dan membawa jenazah korban ke RSU Djasamen Saragih Pematangsiantar.  Warga yang emosi melihat kejadian tersebut, sempat menghajar tersangka hingga korban lebam-lebam.

Peristiwa itu memancing reaksi luas dari masyarakat. Banyak kemudian orang bicara tentang apa dan bagaimana sesungguhnya makna folosofis jambar dalam adat-istiadat Batak.

Batakolog Manguji Nababan menilai jambar memiliki arti penting dalam Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang atau sekelompok orang. “Orang Batak memang sangat menghayati dirinya sebagai parjambar,” ujar Nababan.

Menurut Manguji Nababan, ada 3 jenis jambar, yaitu hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).

Dia menjelaskan, tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta dll) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar. “Ini yang mendasari bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar,” jelasnya.

Menurut Manguji, persoalan jambar pada hakikatnya bukan pada nilai atau besar bagian daging yang diterima tetapi lebih kepada penghargaan. Sering ditemukan ada perdebatan serius dalam sebuah pesta ketika pembagian jambar tidak sesuai. Tentunya sangat disayangkan jika memang pembagian jambar berujung pada kekerasan.

“Sangat disesalkan jika akibat pembagian jambar terjadi aksi kekerasan. Karena dalam ada Batak dilandasi konsep dalihan natolu, harusnya diutamakan konsep musyawarah mufakat. Parjambaron memang harus dijalankan tetapi harus melalui mufakat,” ujar Batakolog UHN tersebut.

Semoga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. ***

Bagikan:

24 November 2015

Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia



Pengarang: Fahrudin Nasrulloh, dkk.
Pengantar : Joni Ariadinata
Pengulas : Nenden Lilis A
Tebal : XII + 296 halaman
Ukuran : 14 x 21 cm

Sampul Buku.
Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) Edisi # 10 merupakan Edisi Khusus yang memuat sejumlah cerpenis mutakhir tanah air yang diundang secara khusus dan terbuka. Edisi khusus cerpenis muda pilihan ini diberi tema Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia.

Redaksi memilih dari ratusan karya yang masuk, dan akhirnya didapatkan 19 cerpen dari para cerpenis muda yang tersebar dari berbagai kota di tanah air. Tema-tema yang mereka usung relatif beragam, dengan bahasa ekspresi yang kuat dan menampilkan estetika terkini dari cerpen Indonesia.

Menariknya, jika selama ini muncul kekhawatiran atas minimnya perempuan penulis, maka dalam edisi ini keberadaan mereka cukup berimbang. Tak kalah menariknya pula, banyak nama yang muncul bukan nama yang dikenal secara “popular” di media mainstream, katakanlah sastra koran, namun muncul nama-nama yang selama ini memilih prosesnya sendiri.

Selain itu, ada beberapa nama yang memang sudah cukup dikenal publik sastra, sebagian lain mereka adalah orang-orang yang “jauh” dari hiruk-pikuk sastra Indonesia.

Penulis dalam edisi ini ialah Fahrudin Nasrulloh (Jombang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Kadek Sonia Piscayanti (Singaraja), Fina Sato (Bandung), Hasan Al-Banna (Medan), Nurul Hanafi (Bantul), Azizah Hefni (Malang), Yuni Kristianingsih (Ponorogo), Dyah Merta (Yogyakarta), Sandi Firly (Banjarbaru), Sunlie Thomas Alexander (Bangka), Ahmad Muchlis Amrin (Madura), Mahwi Air Tawar (Yogyakarta), Dalih Sembiring (Jakarta), Pandapotan MT Siallagan dengan cerpen berjudul KASET (Pematangsiantar), Ragdi F. Daye (Padang), Hendra Kasmi (Aceh), Jusuf AN (Wonosobo) dan Bramantio (Surabaya).

Keberagaman itu tertangkap dalam cerpen-cerpen dalam Jurnal Cerpen Indonesia edisi # 10, yang sekaligus menjadi dokumentasi regenerasi sastra Indonesia. Sebagian besar nama-nama tersebut saat ini tentu cukup sering terdengar dan tetap konsisten berkarya.

Sesuai dengan temanya, Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia. JCI # 10 ini adalah semacam potret yang menyimpan sejumlah nama dan karya. ***

Bagikan:

23 November 2015

Ujung Laut Pulau Marwah


Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini. Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya.

Sampul buku.
Demikian tulisan pada bagian atas sampul belakang buku Ujung Laut Pulau Marwah yang diambil dari Pengantar Kuratorial, Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman. Buku ini diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober 2010, setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).

Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan: Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).

Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun “sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia. Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, “Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul “Bustan’l Katibin” (1857), dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.

Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan, setelah melalui proses seleksi tentunya. Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.

Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk “Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni: “Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), “Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), “Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), “Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), “Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), “Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta), “Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), “Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), “Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), “Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten), “15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), “Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), “Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), “Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Pangkalpinang, Bangka-Belitung), “Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), “Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Bai Liang”  (Marsel Robot, Kupang, NTT), “Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), “Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), “Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), “Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung), “Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), “Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan “Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).

Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).

Lepas dari itu, Ujung Laut Pulau Marwah terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.

Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. “Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis “Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, “Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada “kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan “Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis “Yos Gamalama”. Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?

Pada bagian bawah sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk. Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan Chairil Gibran Ramadhan)

Bagikan:

22 November 2015

Upacara Terakhir


Cerpen Panda MT Siallagan

Malam menjelang Lebaran di kampung kami selalu berlangsung eksotis. Usai takbiran, hampir seluruh warga memilih terjaga sambil menunggu detik-detik suci keesokan harinya. Anak-anak biasanya bermain riang di halaman, kaula muda berkumpul di warung kopi antara ngobrol dan menonton televisi, sedangkan orang-orangtua berbincang tenang di rumah bersama sanak saudara yang pulang dari rantau. Suasana itu terasa lebih unik karena obor biasanya dinyalakan di halaman setiap rumah. Lepas tengah malam, anak-anak dan kaula muda akan kembali ke rumah. Kampung itu segera sepi.

Ilustrasi.
Dulu, aku masih bagian dari anak-anak itu. Bertahun-tahun kemudian, aku berubah jadi bagian dari kaula muda itu. Kini usiaku 35 tahun, sudah kehilangan tempat. Saat pulang tahun ini, kulihat anak-anak dan kaula muda berduyun-duyun ke tanah lapang SD di kampung itu. Konon ada tontonan menarik. Terdorong keinginan menikmati angin malam desa yang kerap memicu rindu di tanah rantau, aku ikut bersama rombongan. Di tanah lapang, anak-anak muda berkerumun, berdiri membentuk formasi lingkaran. Semua mata tertuju ke pusat lingkaran.

Pusat lingkaran itu adalah seorang lelaki yang sedang duduk bersila di tanah. Di depannya menyala dua lilin kecil sebagai penerang. Mata lelaki itu menatap tajam ke langit malam, mulutnya meracau memuntahkan kalimat-kalimat kacau. Awalnya kupikir pertunjukan sirkus. Tapi perlahan, racauan lelaki itu makin jelas.

Aku mendengar, lelaki itu berteriak, cintaku yang elok, cintaku yang indah, datanglah, datanglah. Orang-orang yang menonton mulai cekikikan. Aku semakin penasaran. Kusibak barisan anak-anak itu, mencoba menerobos ke tengah. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, lelaki itu mendongakkan kepala, meludah ke udara, lalu berteriak, “Anjingggg. Pergi kalian semua. Setaannn. Kalian nggak ngerti sakitku. Aarrrggghhh...”

Astaga! Aku kenal lelaki itu. Tapi bagaimana aku harus bercerita? Nama lelaki itu Jogal. Warga kampung kami akan selalu ingat, ia adalah hantu penebar resah. Saat berusia lima tahun, ia sudah mahir memanjat pohon-pohon tinggi. Jika pohon petai tua dekat balai desa berbuah, Jogal selalu mendapat peran memanjatnya. Dengan arit terselip di pinggang, ia tangkas menaklukkan dahan demi dahan, berpindah dari ranting ke ranting, memotong tangkai-tangkai, lalu berjatuhanlah buah-buah petai itu. Kadang orang-orang ingin menangis menahan nafas, gerun menyaksikan tubuhnya menggelantung di ranting-ranting kecil.

Di sekolah, Jogal kerap jadi sasaran kemarahan guru, sebab ia suka memanjat tiang bendera sambil menyanyikan Indonesia Raya. Berkali-kali disebat, ia bertahan melakukan hobinya itu hingga suatu hari tiang bendera bambu itu patah. Itulah sejarah berdirinya tiang bendera besi di SD itu dan hingga kini masih terpatri kokoh. Ia juga kerap memanjat dinding sekolah, menjebol asbes, naik ke loteng, lalu membawa turun anak-anak burung gereja. Di hadapan teman-teman, ia membunuh anak-anak burung gereja itu secara menyedihkan. Aku sedih dan marah setiap mengingat itu.

Keahlian memanjat itu kemudian digunakannya untuk mencuri, memetik cengkeh, mangga, jambu, rambutan, kelapa dan pinang milik warga. Ia menjual hasil bumi itu kepada tengkulak yang datang setiap akhir pekan. Tetua-tetua kampung kerap memanggil abah dan emaknya untuk dimintai pertanggungjawaban. Jika sudah begitu, alamat Jogal kena bantai. Abah akan menghantam punggungnya dengan kayu, bahkan betisnya kerap dilibas dengan rantai sepeda hingga berdarah-darah.

Aku pernah melihatnya dan gemetar setiap mengenang hal itu. Konon, setelah tanah ulayat milik leluhur mereka terjual kepada pengusaha dari kota, abahnya kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi sopir truk. Tapi profesi itu tak lama digeluti dan abahnya pulang ke desa tanpa membawa harapan. Sejak itu, ia suka berjudi, menenggak tuak, berkelahi dengan sesama pemabuk, juga kerap memukuli istrinya, terlebih ketika wanita kurus itu tak gesit mencari upahan ke kebun sawit untuk dihabiskan di meja judi. Sangat menyedihkan.

Akibat kenakalannya, Jogal harus menjalani SD selama 9 tahun. Saat lulus, teman-teman sebayanya sudah SMA dan mulai berserak ke berbagai kota. Jogal tidak melanjut ke SMP dan mendadak berubah baik, membantu emak mencari nafkah sebagai pekerja upahan.

Suatu hari, saat anak-anak sekolah liburan, Jogal menyatakan cinta kepada Mirna, putri kepala dusun, si cantik yang pintar. Kabar itu menyebar di seantero kampung dan Jogal dicela sebagai lelaki tak tahu diri. Secara bersamaan, menyebar pula kabar bahwa emak Jogal memiliki banyak utang kepada si kepala dusun. Jogal pergi dari desa itu, merantau ke Lampung, mengikuti pamannya, pedagang pengumpul karet. Lama tak ada kabar, hingga suatu hari ia pulang membawa perempuan bunting. Abah dan emak meradang murka, tapi nasi sudah jadi bubur. Jogal dinikahkan dengan perempuan itu.

Untuk menghidupi istrinya, ia bekerja sebagai buruh harian di perkebunan kelapa sawit milik swasta, dan tidak ada masalah sejauh itu. Ia tampak sayang sangat pada istrinya, rajin bekerja, dan jarang pergi ke kedai atau berjudi sebagaimana kebiasaan abah. Saat putri pertamanya lahir, warga menyaksikan, Jogal sangat telaten mencuci, mengangkut air dari pancuran, memasak, dan memandikan bayinya. Entah apa yang terjadi beberapa tahun kemudian, istrinya tewas bakar diri. Jogal agaknya hanya baik di mata khalayak, tapi di rumah ia kerap menganiaya istrinya, hingga depresi dan akhirnya bunuh diri. Tapi ada yang bilang, istrinya bukan bunuh diri, tapi sengaja dibakar Jogal.

Aku sudah kuliah waktu itu. Cerita mengerikan ini kudengar dari ibu ketika pulang liburan. Menurut ibu, tak lama setelah istrinya tewas, Jogal raib lagi dari kampung, sementara abah dan emak menutup diri, malu pada orang sekampung.

Setahun berselang, kehidupan orangtuanya kembali normal. Ayahnya kembali mengunjungi kedai. Ibunya, sambil menggendong Lumi (putri Jogal), kembali bercampur dengan ibu-ibu lain. Sejak itu pula, nama Jogal jadi bahan pembincangan, tapi dengan citra berbeda. Konon Jogal sudah sukses di Pekanbaru, berhasil jadi pengusaha di kota bertuah itu, dan sudah memiliki rumah dan mobil.

Sekedar diketahui, ada kebiasaan buruk berlaku umum di kampung kami, yaitu kebiasaan menggadang-gadang anak di rantau: sudah punya rumah, mampu beli ini-itu, meski kenyataannya taklah demikian. Orangtua sangat bangga menceritakan kepada seisi kampung bahwa anaknya mengirimi mereka uang setiap bulan, dan itu disengaja agar muncul kesan bahwa anaknya itu benar-benar sudah sukses. Perantau juga memiliki keburukan serupa, selalu mengirim uang ke kampung agar tersiar kesuksesannya, sementara di kota mereka hanya makan mi instan campur nasi. Maka cerita tentang kesuksesan Jogal tak sepenuhnya dipercaya.

Orang-orang menduga, itu sengaja dilakukan orangtuanya untuk memulihkan harga diri. Tapi ketika orangtuanya membangun rumah, orang-orang tersentak dan mulai percaya, meski tetap ada yang curiga sebab Jogal tak pernah pulang. Sebab lumrah juga perantau pulang setiap Lebaran, menyewa mobil, merayakan hari kemenangan itu dengan hura-hura.

Tapi kita tahu, sekembalinya ke kota, mereka pontang-panting bayar utang. Tapi, bagaimanapun, Jogal telah berhasil menorehkan gelar sebagai perantau sukses. Saat itu aku sudah sarjana dan bekerja sebagai supervisor di sebuah supermarket, meski latar belakang pendidikanku adalah sarjana pendidikan. Sebenarnya aku ingin mengabdi sebagai guru, tapi itu tak mungkin sebab honor sebagai guru tiada pernah cukup untuk biaya sehari-hari, sementara untuk jadi pegawai negeri sipil, abah tak punya uang membayar pelicin. Sudah berkali-kali aku ikut ujian dan mengikutinya tanpa kesulitan, nyatanya aku tak pernah lulus.

Secara fisik, Jogal termasuklah budak beruntung. Tubuhnya tinggi besar, hidung mancung, bulu dan alis menghias lebat pada mata yang bersorot kokoh dan tajam. Ia mewarisi tubuh abah, mengambil bagian-bagian elok dari emak seperti alis dan mata itu. Waktu duduk di kelas tiga SD, tubuhnya sudah sebanding dengan anak-anak SMP, sehingga ia berkuasa sebagai ‘bos’ di sekolah. Tiada seorangpun punya berani menantang dia punya kekuasaan, sebab ia bertenaga sangatlah kuat dan teramat suka ia berkelahi. Sedikit saja ia punya teman berbuat salah, ia akan memukul. Maka, ketika ia berubah sikap daripada yang jahat setamat SD itu, orang sekampung merasa lega dan lapang hati.

Tapi tiada yang tahu, di sebalik itu, aku merasa terteror. Suatu hari Jogal mencegat masa balik dari sekolah, dan memberikan sepucuk surat yang menyatakan denyut cintanya padaku. Aku tiada menanggapi surat itu, hingga di waktu lain, ia kembali memberikan lagi sepucuk surat lainnya. Isinya sama, tapi lebih berani. Ia mengatakan hendak memperistri aku, dan ihwal perubahan diri jadi elok daripada yang jahat, ia sebut sebagai wujud keseriusannya mencintaiku. Percampuran jijik dan rasa takut menjalari penuh hatiku masa itu.

Meski diam-diam aku mulai tertarik pada budak lelaki, tapi cara terang-terangan seperti Jogal punya laku itu membuatku ngeri. Amat tegas, melalui surat juga, kutolak hasrat dan inginnya. Ia tiada mengatakan apa-apa, tapi tak berapa lama, pernyataan cintanya kepada Mirna menyebar. Dari Lampung, ia berkirim surat ke sekolahku. Ia mengaku pergi dari desa karena malu atas perlakuan Mirna yang turut menghina kemiskinan abahnya. Dan, katanya, ihwal pernyataan cinta itu sengaja ia lakukan mencari perhatianku sebab ia sangat kecewa menghadapi penolakanku. Surat itu diakhiri dengan ancaman, bahwa hidupnya akan hancur jika aku tetap menolaknya. Setahun kemudian, ia pulang membawa perempuan bunting itu.

***

“Anjinggg! Kalian pikir aku gila? Setannn! Ayo bubar kalian,” Jogal terus berteriak. Orang-orang perlahan menjauh. Tiba-tiba ia meniup lilin di hadapannya.

Tanah lapang sekolah itu gulita seketika. Bersama orang-orang, aku bergegas meninggalkan tempat itu. Di kegelapan, Jogal berteriak lagi:

"Kalian dengar, ini ritual terakhir. Ini ritual terakhir. Tak akan ada lagi penderitaan. Matahari menjilat peluh, sebaik jatuh dikuras letih. Siang jadi peta neraka. Angin jiwa anak menyeru sejuk. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah bara. Seperti datuk dikepung api, meradang keringkan jiwa. Untai doa, pulangkanlah uap peluh. Tibakanlah ringai alam murka bah, hujan badai mata hati bocah. Tidur melayang dari benak anak. Dengkur luka abah dan emak menerbangkan uap tikar pandan. Keluar dia menemani dingin, bertembang bersama bulan. Alam kosong, berucap mulutmu. Bumi gersang, berkedip matamu. Jika mati kampung, berhembus nafasmu. Jika punah tanah,  mengelus tanganmu. Aku bocah menadah tangan di tanah leluhur. Tanah leluhur, jiwa kosong. Tanah ziarah, gersang ruh. Tanah leluhur, kampung mati. Tanah ziarah, tanah mati. Tanah punah. Tapi aku selalu pulang menggelombang, menjilat bibir bandar, meneguk aliran hidup di mata pelacur. Kuawankan rasa, kemendungkan mata, kuhujankan rindu. Kuingin jantung tak menyala tapi alkohol membakar jiwa. Dayu lagu tak henti menyulut kenangan jadi bara jadi abu."

Usai berteriak-teriak macam orang tak waras, sayup-sayup terdengar Jogal sesunggukan. Aku hampir tergoda untuk membujuknya, tapi kubulatkan niat meninggalkan tempat itu.

Setiba di rumah, emak bercerita, sudah hampir setahun Jogal pulang. Saat ia tiba di kampung, kisah indah tentang kesuksesannya berganti jadi cemoohan-cemoohan menyakitkan. Reputasinya sebagai perantau sukses runtuh seketika. Ia pulang sebagai lelaki sampah, dengan tubuh sangat kurus, wajah disemaki cambang, mata cekung, dan rambut acak-acakan. Ia menderita batuk akut, membuang dahak di sembarang tempat. Seperti mencari hal-hal yang hilang, ia selalu keluyuran pada malam hari di jalan-jalan kampung. Sejak ia pulang, kabar-kabari menyebar.

Ada yang bilang, ia adalah perampok kelas kakap selama merantau. Sebagian berkata, ia pengedar narkoba lintas provinsi, sekaligus pemakai, sebab itu otak dan tubuhnya hancur. Tak kalah menyakitkan, ada yang menyebut ia germo, penjual anak-anak gadis ke Malaysia dan Singapura melalui Batam. Yang terakhir ini, aku tak percaya sebab aku tahu ia tak pernah menginjakkan kaki di pulau Batam. Tiba-tiba aku merasa bersalah.

Emak melanjutkan cerita. Saat tiba di kampung, kondisi Jogal belum terlalu parah. Ia mulai suka berteriak beberapa minggu belakangan dan lari-lari telanjang di jalanan kampung. Berkali-kali dipasung, tapi selalu berhasil membebaskan diri. Adakalanya ia waras, dan menjadi sangat ramah pada setiap orang. Hari hampir subuh, emak terus bercerita, termasuk kepergian bapak-ibunya dari desa itu karena tak tahan menanggung malu.

Tiba-tiba, saat emak asyik bercerita, terdengar ketukan di pintu rumah kami. Saat kubuka, Jogal berdiri dengan pakaian rapi. Kami sangat terkejut. Secara refleks, bapak mengambil golok untuk jaga-jaga. Emak bergetar menahan rasa takut. Tapi Jogal tersenyum dan meminta kami tidak takut. Kebisuan menyergap, lalu pecah saat Jogal berkata, “Syukurlah kau pulang. Hanya kau yang kutunggu. Aku mencintaimu.”

Setelah mengucapkan itu, Jogal pergi. Bapak dan ibu tak bertanya tentang apapun. Esok harinya, Jogal ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Aku menangis dan hambur ke pelukan ibu. Lama aku tak pernah sesedih itu.

Pematangsiantar, Oktober 2008

Bagikan:

18 November 2015

Dua Perempuan Sunyi


Cerpen Panda MT Siallagan

Ketika bangun menjelang subuh,  hal yang pertama sekali dilakukannya adalah menanak nasi, mempersiapkan lauk-pauk, lalu menjerang air. Sambil menunggu air mendidih, ia memberesi kamar tidurnya, menyapu rumah, dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya ke kebun kakao. Ia lalu menyeduh teh, hanya segelas, sebab tiada lagi sesiapa di rumah tua itu selain dirinya.

Ilustrasi.
Kebun Kakao

Sambil menyeruput tehnya sedikit demi sedikit, ia biasanya membaca, sambil menunggu matahari bangkit dari peraduannya. Entah mengapa, membaca baginya lebih terasa sebagai sebuah peruntungan ketimbang ingin mengetahui sesuatu. Peruntungan yang membuat gairah hidupnya selalu bangkit. Peruntungan yang membuat ia selalu berada pada perbatasan antara sunyi dan gembira. Itulah sebabnya, dalam usia yang sudah kepala lima, ia tetap mempertahankan kebiasaan membaca sebagai pengisi waktu luang.

Lalu, setelah mentari terbit, dia segera bergegas, pergi ke kebun kakao. Seperti seorang pelajar, ia juga selalu membawa buku ke kebun, yang ditaruhnya di dalam bakul bersama goni dan termos tempat air dan makanan. Setibanya di kebun, segera ia akan berjalan menyusuri kebun kakao itu baris per baris, mengawasi buah demi buah, dan memetik jika ada buah yang menguning. 

Buah-buah yang matang itu kemudian dipecah, diambil bijinya yang berlendir, dimasukkan ke dalam goni, lalu diangkut ke rumah untuk dijemur sebelum dijual. Begitulah perempuan tua itu selalu bahagia melakukan pekerjaannya dari hari ke hari, seperti tak pernah didera lelah. Kalaupun lelah, ia akan istirahat, minum air secukupnya, lalu membaca, seperti mencari kekuatan baru dari buku yang dibacanya.

Kebun kakao itu sudah berumur puluhan tahun, tidak terlalu luas, hanya sekitar 4000 meter persegi. Ia menanam kakao itu bersama suaminya ketika putri semata wayang mereka baru lahir. Dulu, sewaktu mereka menanam kakao itu, banyak cibiran datang dari tetangga bahwa tindakan mereka kurang bijak, karena kelak kakao tidak akan laku lagi. Pada saat itu, orang-orang memang sedang demam menanam sawit. 

Tapi, orang-orang kemudian takjub manakala kebun kakao itu mampu membuat hidup mereka menjadi lebih makmur. Bahkan, pada saat putri mereka masih duduk di sekolah dasar, suaminya sudah mampu membeli sepeda motor. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suaminya meninggal karena kecelakaan. Ia diseruduk truk pada saat berkendara, sepulang dari kota belanja pestisida.

Mendadak segala sesuatu menjadi berubah sejak itu. Kemampuannya menyikapi hidup, kiat-kiatnya mengasuh anak, dan kecakapannya bersosialisasi dengan penduduk, sungguh membuat orang-orang merasa takjub dan terkesan. Pada saat suaminya meninggal, orang-orang sangat kuatir apakah ia mampu mengurus rumahtangganya. Sebab ia bukan contoh ibu yang baik. Ia sering menjadi bahan gunjingan karena tidak cakap memasak dan mencuci. 

Ia juga seringkali dipandang sebagai orang yang tak pandai bergaul, seolah-olah berbaur dengan masyarakat desa adalah sesuatu yang hina. Karena itu, ketika ada orang yang berkata bahwa suaminya mungkin diguna-gunai orang sehingga buta pandangannya ketika berkendara, ia merasa ada benarnya, tapi tidak menganggapnya sebagai kebenaran. Ia hanya berkata, "Aku percaya hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan."

Sebenarnya, ia tidak seburuk yang disangkakan orang. Hanya saja, ia belum terbiasa dengan suasana dan pola hidup desa. Ia memang berasal dari keluarga kaya. Ayahnya punya toko penyalur bahan bangunan, juga beberapa kilang penggilingan padi yang sekaligus berfungsi sebagai distributor beras ke kota-kota kecamatan. Di rumah, ia selalu dilayani dua orang pembantu yang selalu siap memanjakannya. 

Sebenarnya, orangtuanya sudah sejak awal menentang hubungannya dengan Attar Tua, almarhum suaminya itu. Tapi ia bersikeras bahwa ia tidak salah memilih lelaki itu, sebab ia adalah lelaki pemberani, cerdas, punya kemauan, dan masadepannya memancar gemilang dari setiap lakunya. Mereka saat itu sama-sama sedang kuliah di fakultas hukum, aktif berorganisasi, dan rutin menulis di berbagai media untuk menelanjangi kezaliman penguasa. 

Ia bertemu dengan Attar Tua sebagai sebuah peruntungan yang mengesankan. Mereka memiliki kesamaan yang membuat mereka selalu bersama. Membaca buku, tidak hanya buku-buku hukum, tetapi juga buku-buku lain seperti ekonomi, filsafat bahkan sastra. Mereka juga senang sekali berbicara tentang dunia hewan dan tumbuhan. Bunga, misalnya, selalu mereka maknai sebagai tanda betapa hidup memiliki banyak warna. 

Pada saat berbicara tentang hewan dan tetumbuhan itulah Attar Tua selalu bercerita tentang kampungnya yang sunyi, ayah-ibunya yang habis usianya diisap ladang karena setiap hari harus banting tulang, demi menyekolahkannya. Dan itu tidak boleh disia-siakan. Itulah sebabnya ia berusaha menjadi mahasiswa aktif, dan merasa sempurna setelah bertemu dirinya, yang juga seorang perempuan pemberani, meski agak manja. 

Pada saat mahasiswa rame-rame unjuk rasa melengserkan Soekarno, mereka terlibat aktif sebagai penggerak di kotanya. Tapi, setelah Soekarno lengser, dan Soeharto mengambil alih kekuasaan, mereka melarikan diri ke kampung Attar Tua dan segera menikah. Pelarian itu mereka pilih karena banyak rekan-rekan mereka yang lenyap dalam ‘pembersihan' ala Soeharto. 

Mereka memang tidak terlibat dalam suatu ideologi tertentu, tapi demi keselamatan, mereka memilih hidup di desa Attar Tua. Ayahnya lalu memberi sedikit uang untuk membeli tanah di desa terisolir itu, dan itulah modal yang kemudian mereka pergunakan untuk menanam kebun kakao.

Burung-burung

Rumah besar itu terdiri dari tiga bagian. Bagian depan adalah ruang praktek, bagian tengah merupakan rumah keluarga, dan bagian belakang terdiri dari gudang dan kebun kecil yang penuh dengan sayur-sayuran. Pemiliknya memang sengaja membuat desain bangunan rumah seperti itu, agar tanah berukuran 10 X 50 meter yang memanjang ke arah belakang itu penuh terisi. 

Setiap sore, orang-orang selalu ramai di ruang depan, datang untuk berobat. Dr. Hanna Bertha, istri pemilik rumah itu, akan melayani pasien-pasiennya dengan sabar, hangat dan penuh senyum. Sementara suaminya, di salah satu kamar kerja di ruangan tengah, sibuk dengan bunyi tik-tak komputer. Lelaki itu adalah seorang penulis. Dulu, ia bekerja sebagai wartawan, tapi berhenti karena sastra terlalu kuat mencengkeram hati dan pikirannya.

Di ruang belakang, puluhan sangkar burung menggantung di plafon teras gudang. Seperti suara indah dari kehidupan yang lain, kicau merdu burung-burung itu selalu menemani tuannya beraktivitas. Burung-burung dalam sangkar itu adalah sebait ingatan tentang cinta yang dipersembahkan bagi seorang perempuan tua. 

Semua berawal ketika suatu kali ia pergi ke pasar burung untuk membeli pakan bagi burung yang terdampar lemah di kebun belakang rumahnya. Burung itu mungkin disambar petir, kita harus merawatnya, kata suaminya. Dan ketika berada di pasar burung, ia tertegun mendengar kicau-kicau merdu yang menguar dari beragam burung. Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu: ketika ayahnya meninggal, malam sebelumnya ia mendengar burung-burung berkicau di sekitar rumah mereka. Mengingat hal itu, tiba-tiba kepalanya pusing, dan ia jatuh pingsan. Dan inilah yang dilihatnya:

Seorang gadis cilik hidup di rumah sederhana, di sebuah kampung sunyi. Ibunya, seorang diri, berjuang mengayomi dan memberi nafkah baginya. Wanita itu tak pernah marah, selalu ramah. Meski begitu, selalu ia merasa ada yang tidak sempurna dalam diri ibunya. Ibunya masih sering salah ketika mengerjakan banyak hal. Ketika menanak nasi, sering nasi yang ditanaknya kurang matang, atau terlalu lembek. Jika ia menyapu rumah, sering ada bagian-bagian yang tertinggal sehingga debu-debu tetap saja melekat di lantai. 

Dan jika ia mencuci, noda dan kotoran sering tertinggal di piring dan pakaian. Ia ingat, ketika ayahnya masih hidup, hal seperti itu tidak pernah terjadi. Ayahnya selalu menyertai ibu ketika mengerjakan sesuatu, sehingga tampak selalu sempurna. Tapi, itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja ibunya berubah menjadi wanita yang gesit, telaten, bersih, rapi dan sempurna mengerjakan segala hal. Dan ia tidak menyangka bahwa ibunya juga akan sanggup bekerja di kebun karena semasa hidup ayah, ibu tak pernah pergi ke kebun. 

Setiap hari wanita itu bekerja banting tulang, seperti menemukan kekuatan baru dalam setiap pekerjaannya. Dan ia makin bangga pada ibu, karena di tengah-tengah kesibukan yang padat, ibu masih sempat membaca buku-buku. Dan kebiasaan itu kemudian turun kepadanya. Pernah ia membaca novel tentang seorang istri yang menikah lagi setelah ditinggal mati suaminya pada saat anak pertama mereka baru lahir. Lalu, ia bertanya, "Ibu, mengapa Ibu tidak menikah lagi?" Dan ibunya menjawab: "Kelak, ketika kamu sudah punya anak, kamu akan tahu jawabnya."

Bertahun-tahun kemudian, ia menikah. Tapi ia tidak bahagia. Ia punya suami yang tidak pandai menyiasati hidup, tak gesit mencari uang. Oleh sebab itu, dia harus bekerja matian-matian untuk menghidupi rumah tangga. Pagi hari, ia bekerja di sebuah rumah sakit. Dan sore hari, ia membuka praktek di rumahnya. Ia tidak pernah marah pada suaminya, sebab ia paham potensi seseorang. Ia paham bahwa zaman sudah berubah, paham bahwa konsep patriarkal sudah tak berlaku lagi dalam kehidupan rumah tangga. 

Ia ingin seperti ibunya, berhasil membesarkan, mendidik dan menghantarkan dirinya ke kehidupan yang layak, meski ibu tak punya suami. Tapi ini bukan berarti bahwa ia mencuaikan suaminya. Ia tetap mencintai lelaki itu, menghormatinya, menganggapnya sebagai tuan yang harus dijunjung. Ia paham, apa yang dilakukan suaminya sedikit banyak telah pula membangun kehormatan di tengah-tengah keluarga. Anak-anaknya juga bangga punya ayah seperti suaminya, terlebih-lebih ketika teman-temannya berkata, "Ayah kamu penulis yang sering masuk koran itu, ya? Hebat dong!" 

Tapi, sesekali ia merasa lelah juga manakala suaminya hanya asyik dengan buku-buku, sampai-sampai untuk memperbaiki toilet yang sumbat, mengoreksi lampu yang rusak, harus dilakukannya sendiri. Seperti sore itu, ia pergi ke pasar burung setelah terlebih dahulu membersihkan kebun. Apakah ia jatuh pingsan karena terlalu lelah? Apakah itu terjadi karena kekaguman mengingat ibu, lalu lemas dan kecewa menerima kenyataan bahwa suaminya hanya duduk di depan komputer? Tapi, ia mencintai lelaki itu, seperti lelaki itu juga mencintainya. Ia paham, suaminya kurang tahu cara mencintai, itulah persoalannya.

Ketika siuman, ia berada di rumah sakit. Suami dan anak-anaknya berada di sampingnya dengan mata sembab. Sejak peristiwa itu, ia mulai suka mengoleksi burung, dan ditaruh di bagian belakang rumahnya.

Pertentangan

Pernah suatu hari ia pulang menjenguk ibu, tanpa ditemani suami dan anak-anaknya. "Hanya kamu seorang?" ibunya bertanya. Ia berkata bahwa ia rindu pada ibu, pada kampung, pada sesuatu yang pernah mereka jalani bersama sebelum suami dan anak-anaknya hadir. "Aku ingin menikmati hal itu bersama ibu," katanya. Mereka kemudian berjalan-jalan ke kebun kakao sambil saling bercerita. Ia berkisah dengan antusias tentang anak-anaknya yang lincah dan gemuk-gemuk., juga tentang suaminya yang tetap seperti dulu.

"Suamimu itu memang baik, tapi tingkahnya seringkali membuat orang-orang tersiksa. Masih suka diam dia?" tanya ibu.

"Masih, Bu. Sekarang malah makin pendiam, susah diajak ngobrol. Tapi ia tidak pernah menyakitiku. Ia tetap baik. Ibu sendiri bagaimana, apa Ibu masih betah hidup di sini?"

"Pasti betah. Kehidupan Ibu memang di sini. Ada apa?"

"Bagaimana kalau Ibu tinggal saja bersama kami di kota?"

Mendengar itu, ibu tertegun, lalu berkata: "Itu tidak mungkin. Kamu bisa saja membiayai Ibu tanpa kurang suatu apapun, mengurus Ibu, dan memanjakan Ibu dengan segala apa yang kamu miliki. Tapi apa kamu yakin Ibu akan betah di kota? Dengar ya, Ibu juga berasal dari kota. Jika Ibu mau, sudah sejak ayahmu meninggal Ibu pergi ke kota, bersama kakek dan nenekmu yang hingga akhir hayatnya masih tetap jadi orang kota. Tidak, Nak, di desa inilah kehidupan ibu. Desa ini telah menyelamatkan ibu dari kejaran penguasa, meski desa ini jugalah yang merenggut nyawa ayahmu. Di sinilah tersimpan sejarahmu, dan desa inilah tempatmu pulang jika kamu rindu pada sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan di kota."

"Tapi Ibu, aku ingin punya seseorang tempat bicara, menantu Ibu tidak bisa diajak bicara. Aku sepertinya salah pilih, ya, Ibu?"

"Eh, jangan bicara begitu. Dulu, sebelum kamu menikah, kamu kan sudah tahu wataknya. Jadi, kamu harus terima itu. Jangan lupa, ia penerus ayahmu yang juga suka nulis."

"Aku mohon, sudilah Ibu tinggal bersamaku di kota. Aku mungkin tidak sekuat Ibu, bisa hidup tanpa suami."

"Tidak bisa. Ibu hanya bisa berkata bahwa kamu harus lebih paham apa itu makna cinta. Jika kamu memahaminya dengan benar, kamu pasti bisa menangani segalanya dengan baik. Berjuanglah demi anak-anakmu, bukan untuk suamimu."

Percakapan mereka berhenti sampai di situ, mereka pulang dari kebun kakao dengan saling diam. Baginya, penolakan ibu terasa seperti sebuah pertentangan yang berdebam-debam di dadanya. Satu-satunya hal yang mungkin masih bisa dilakukannya adalah bersabar, belajar, berjuang seperti kata ibu, meski suaminya tak bisa seperti harapannya. Ia sebenarnya tak menuntut apa-apa dari suaminya itu kecuali sikap yang hangat. Tidak lebih.

Kenyataan

Sejarah terus berjalan, bergerak, meski tak selalu baik rupa. Adakah sesuatu yang sempurna di dunia ini? Seperti cuaca yang terkadang pecah, rontok dan lumat ditimpa waktu, hidup juga punya ledakan-ledakan tersendiri dalam perjalanannya. Tak ada kedamaian sebenar dalam hidup ini. Tak ada kehancuran sebenar dalam perjalanan ini. Dan perempuan tua itu tetap menjalani hari-hari di kampungnya yang sunyi, berdamai dengan sejarah yang mengendap di kebun kakao. Dan putrinya, Dr Hanna Bertha, bersetia pada kehidupan yang tak sepenuhnya salah tata. Dan harapan demi harapan selalu menguar dari kicau burung yang melengking-lengking dari belakang rumahnya. Dan itu membuatnya tabah bukan karena ia perempuan, tapi hanya karena cinta. ***

Pekanbaru, April 2005

Bagikan:

15 November 2015

Lelaki Kunang-kunang


Cerpen Panda MT Siallagan

Suatu dini hari. Kelam melebarkan sayapnya. Merangkul jagad. Inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan taring hening yang menggigit. Setiap tempat yang dikepung kelam adalah bentangan ketidaktahuan manusia atas sepenggal usianya yang diringkus oleh raksasa berwarna gelap.

Ilustrasi.
Pada saat seperti ini hening melingkup segala. Lindap. Tak ada suara yang kita kenal ada pada saat matahari ada. Tapi, bagi mereka yang melukis telinga kesunyian di dalam jiwanya, akan terdengar semut malam bernyanyi, melantun liris seperti desah angin yang tergesek pada daun-daun. Akan terdengar bagi mereka yang mencintai keheningan, bahwa malam lebih bernyawa mendesahkan suara-suara gaib, suara-suara yang menggema dari jantung sepi, bunyi-bunyian yang lebih merdu dan nadanya berirama seperti sajak yang berdentingan dari nafas Tuhan.

Dari langit yang jauh, pada saat kelam mengepung itu, terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah di kejauhan di bawah. Rumah-rumah itu tampak seperti serakan batu kerikil berwarna hitam di suatu tanah lapang. Adakalanya rumah-rumah itu juga tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab dari setiap rumah memancar cahaya lampu serambi yang sengaja tidak dipadamkan pada malam hari.

Tapi jika perhatian lebih seksama ditujukan pada atapnya, maka ruma-rumah itu tampak seperti pemandangan aneh menyerupai sisik kasar manusia tua yang berteriak-teriak memanggil maut, berseru-seru agar nyawanya dicabut. Manusia yang sudah bersisik kasar selalu memang merasa nyawanya tiada lagi berarti sehingga mereka sering berharap lekas-lekas mati.

Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis resah di atas sebuah peta negeri yang sekarat. Di atasnya, sesekali motor dan mobil melintas seperti tak peduli pada malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Dan, cahaya yang berhamburan dari lampu-lampu kendaraan itu melesat seperti kunang-kunang ajaib. Kunang-kunang semacam itu diutus untuk tidak pernah dilihat manusia kecuali mereka yang gemar menantang malam.

Ia selalu terbang pada malam hari, pada saat makhluk-makhluk lain tertidur pulas merangkai mimpi dari rasa lelah yang dibaringkan di atas ranjang. Dan kini, kunang-kunang itu muncul dari sebuah tempat yang gelap di ketinggian. Ia terbang menukik agak lambat menuju rumah-rumah yang terhampar di bawah. Ia terbang berkitar-kitar hendak memilih rumah mana yang akan dikunjunginya. Setelah agak lama terbang berputar-putar, kunang-kunang itu bergerak menuju sebuah rumah yang terletak di ujung sebuah jalan, lalu masuk ke dalamnya.

Di dalam rumah itu, seorang lelaki muda masih terjaga dan duduk di atas sebuah kursi yang agak reot. Ia sedang membaca sebuah buku yang terletak di atas meja yang juga sudah mulai lapuk. Lihat, sesekali lelaki itu mengerutkan kening lalu mencatatkan sesuatu setelah agak lama berfikir. Selain buku yang sedang dibacanya, masih ada buku-buku lain yang masih berserak di atas meja itu.

Sementara, lantai penuh dengan sobekan-sobekan kertas yang berserak dengan sangat amburadul. Di dalam asbak yang terbuat dari tanah liat, menumpuk abu dan puntung-puntung rokok yang barangkali lupa dibuang lelaki itu. Di dinding kamar itu terpajang beberapa lukisan cat air di atas media karton. Lukisan-lukisan itu merupakan buah karya dari tangannya sendiri, warna lukisan itu terkesan agak menguning, barangkali asap rokok telah begitu banyak menyerap ke dalam medianya.

Lihat, lelaki itu melemparkan buku ke kolong tempat tidur. Ia lalu mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kemudian ia menuliskan sesuatu di atas kertas itu dan sesekali menusuk-nusuk pena itu ke pelipisnya. Tahukah kau, orang-orang menyebut lelaki itu si ‘penyair gila'. Tapi, ada manusia-manusia gila yang justru menyebut lelaki itu sebagai ‘orang yang belajar nabi'.

Ketika aku mengunjungi lelaki itu, ia terkejut dan buru-buru bertanya untuk ihwal apa aku datang mengunjunginya.

"Aku senang kau datang meski kuakui pekerjaanku terganggu dengan kehadiranmu, tapi aku senang. Kaulah satu-satunya sahabat yang paling mengerti aku. Ada apa, kawan?" tanyanya.

"Maaf jika memang mengganggu. Aku hanya ingin tahu, apa gerangan yang kau tulis?" tanyaku.

Tapi setelah menanyakan hal itu, aku mendadak merasa bodoh dan malu pada diri sendiri. Sebab kedatanganku yang sesungguhnya bukan untuk mengetahui sedang menulis apa lelaki itu. Lagipula bagaimana mungkin aku tahu dia sedang menulis di rumahnya? Meskipun dia seroang penyair, menyimpulkan ia selalu menulis adalah dugaan yang bisa sangat salah. Tapi untunglah lelaki itu tidak begitu peduli dengan pertanyaanku yang ceroboh itu. Dia lalu berkata bahwa ia sedang menulis sebuah cerita.

"Cerita apa?" aku bertanya.

"Cerita tentang kunang-kunang ajaib. Katamu kau ingin tahu sedang menulis apa aku. Maka, jika kau ingin mendengarnya, aku akan membacakannya bagimu."

Entah mengapa, ketika berkata demikian, aku merasa bahwa lelaki itu merupakan pencerita yang hebat dan sangat terkenal sehingga aku merasa sangat perlu dan bangga sekali jika ia membacakan ceritanya padaku.

"Dengan senang hati aku akan mendengarnya. Bacakanlah!" kataku akhirnya, setengah meminta.

Maka lelaki itu menceritakan ini:

"Ada seorang lelaki muda yang tiba-tiba mengubah wujudnya menjadi kunang-kunang. Di suatu tempat. Yah, di suatu tempat dimana waktu hanya terdiri dari huruf-huruf yang mengkristal jadi sajak lelah. Lelaki itu merasa bahwa waktu ataupun sajak-sajak lelah itu selalu melingkar membungkus tubuh, mengepak nafas, meringkus gerak dan membekap jalan pikirannya. Ia mengubah dirinya jadi kunang-kunang supaya bisa lari dan keluar dari lingkaran yang menjerat serupa penjara gelap itu. Dengan menjadi kunang-kunang, tubuhnya akan menjadi suluh bagi dirinya untuk keluar dan lari dari lingkaran itu. Maka terbanglah ia menerjang seluruh arah, sudut dan permukaan segala yang berwujud. Setelah ia berada di luar lingkaran, ia merasa bebas sebab tak akan dialaminya lagi perjalanan di sisi lingkaran yang selalu menghantamnya pada titik yang sama secara berulang-ulang..."

"Maaf," kataku menyela, "Aku tak faham apa kandungan ceritamu."

"Haha..." lelaki itu tertawa, dan melanjutkan, "aku sedang bercerita soal waktu, kawan. Kau tahu, waktu adalah lingkaran. Hidup kita hanya terdiri dari perjalanan berulang-ulang di sisi lingkaran demi mengurangi waktu. Kita berangkat dari satu titik ke titik lain tapi akan tetap tiba pada titik yang sama pada akhirnya. Lihat, pada pagi hari kau bangun dan tidur pada malam hari. Dan itu akan berulang-ulang kau lakukan tanpa perlawanan. Jika kau merasa lapar, kau akan makan. Jika lapar lagi, kau akan makan lagi. Kau meninggalkan rumah pada waktu-waktu tertentu dan akan tetap kembali ke rumah sejauh apapun kau berkelana. Yah, hidup kita mengarungi waktu persis seperti ketika kita mengelilingi lingkaran. Jika suatu waktu kau tertawa, kau akan diam setelahnya. Jika suatu waktu kau menangis, kau akan diam sesudahnya."

"Cukup! Cukup, Kawan!" kataku menyela, "Sekarang aku paham apa maksudmu. Tapi apakah kau merasa mampu melepaskan diri dari ringkusan waktu?"

"Oh, tentu. Hal itulah yang menjadi bagian lanjut dari cerita yang kutulis ini. Apakah kau masih tertarik mendengarnya?"

"Yah. Ceritakanlah!"

"Lelaki kunang-kunang itu, suatu malam, seperti mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk tidak hanya keluar dari lingkaran waktu, tapi juga harus mampu menghentikan waktu. Maka ia bersemedi, memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan pikiran, lalu berpikir keras mencari tahu bagaimana caranya menghentikan waktu. Tapi di tengah persemedian yang dalam itu, segala kekuatannya tercerai berai dihantam bunyi jam dinding yang berdetak memecah keheningan pada malam itu. Diambilnya jam itu lalu dihempaskannya ke lantai. Jam itu pecah menjadi puing-puing. Saat itulah lelaki itu merasa ada gemuruh yang mendadak di kepalanya. Jawaban tentang bagaimana membunuh waktu tiba-tiba masuk ke ceruk otaknya."

"Apa itu?" tanyaku tidak sabar.

"Ia harus menghentikan seluruh aktivitasnya yang berhubungan dengan waktu. Itulah satu-satunya cara membunuh waktu."

"Menghentikan seluruh aktivitas?" tanyaku agak ngeri, "Itu tidak mungkin, kawan. Kau barangkali sedang tidak waras."

"Ya, ini memag ide gila. Tapi kita harus berani menjadi gila demi mengelak dari takdir bernama waktu yang selalu mempermainkan kita dengan sangat keparat," katanya.

"Jika begitu, teruskanlah kegilaanmu, tuntaskan cerita itu," kataku setengah jengkel dan segera bergegas meninggalkan lelaki itu.

Esok harinya, pagi-pagi benar, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Seperti ada kekuatan aneh yang mendesak aku untuk pergi ke rumahnya. Kudapati lelaki itu masih saja terjaga.

"Ini sudah pagi, tapi kau belum juga tidur, Kawan?" tanyaku.

"Aku tidak lagi ingin tidur. Kau tahu, aku juga sudah berhenti mandi, tidak lagi ganti pakaian, tidak lagi makan dan minum. Itulah caraku menghentikan waktu, dan karena waktu sudah kuberhentikan, maka rasa lapar telah hilang, rasa haus tiada lagi. Aku juga tak perlu lagi menikmati udara luar, melihat matahari atau berbaur dengan manusia-manusia dungu di luar sana."

"Aku tidak percaya," kataku.

"Kau boleh tidak percaya, tapi itulah jalan hidup yang dipilih lelaki kunang-kunang dalam cerita yang kutulis tadi malam. Aku juga sedang belajar mengadaptasi pola hidup semacam itu, juga kau. Kita semua harus melakukannya, sebab pilihan itu bersumber dari penglihatan Illahi semacam wahyu."

"Benarkah?"

Ya, katanya. Lalu ihwal ini diceritakannya:

Suatu malam, lelaki itu merasa bahwa ia berada di langit. Ia melihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah. Rumah-rumah itu tampak seperti batu-batu yang berserak di suatu tanah lapang, dan terkadang seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab rumah-rumah itu memiliki lampu serambi yang sengaja tidak dimatikan pada malam hari. Ia melihat atap rumah-rumah itu seperti pemandangan aneh, seperti sisik kasar manusia tua yang bosan mengutuk maut yang tidak juga datang mencabut nyawanya.

Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis di atas peta sebuah negeri yang sekarat. Sesekali motor dan mobil melintas seolah tak peduli pada tikaman malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Cahaya yang menghambur dari lampu-lampu kendaraan itu tampak seperti kunang-kunang...

"Cukup! Cukup, kawan! Kau sedang menyindir aku. Tapi, bagaimana kau tahu bahwa aku pernah berfantasi seperti itu?"

"Haha," lelaki itu tertawa. "Jangan bodoh, kawan. Kita adalah satu. Kau adalah aku. Kunang-kunang itu adalah kita."

Sejenak lelaki itu menghentikan pembicaraannya, mulai menangis, dan aku juga menangis, persis seperti tangisannya. Aku tahu aku tak lagi hidup. Aku tahu lelaki itu adalah aku. Aku tahu kunang-kunang itu adalah harapan-harapanku.

Pada saat itu, pintu tiba-tiba didobrak dan beberapa petugas kepolisian masuk ke rumahku.

Di luar, kudengar orang-orang sudah ramai dan kasak-kusuk membicarakan sesuatu. Salah seorang dari orang ramai itu bertanya kepada polisi tentang apa yang terjadi. Tapi polisi itu tidak menjawab, ia hanya berkata bahwa kasus bunuh diri telah terjadi.

Esok harinya, koran-koran menulis; seorang lelaki muda ditemukan tewas di dalam kamarnya. Tidak ada indikasi yang mengarah pada dugaan bunuh diri, ataupun penganiayaan. Kematian lelaki itu benar-benar terasa ganjil. Para penyidik mengatakan lelaki itu mungkin terindroktrinisasi oleh teori waktu. Dugaan ini didasarkan atas ditemukannya banyak buku tentang waktu di dalam kamarnya. Waktu adalah lingkaran, begitu tulis lelaki itu di atas secarik kertas. Formulasi ini diduga kuat telah meracuni otaknya sehingga seluruh aktivitas yang memang berlangsung seurut waktu, dihentikan lelaki itu dengan sangat berani, termasuk makan dan minum.

Dan aku, aku sendiri pergi menjauh, menyeret langkah, berjalan tanpa arah yang pasti. Aku tahu aku dirasuki sesal. Tapi sadar akan ketidakmungkinan untuk kembal ke kehidupan semula, aku tertawa. Aku terbahak-bahak menyaksikan anekdot kematian yang kuciptakan sendiri untuk diriku.

Pekanbaru, Januari 2002

Bagikan: