24 April 2016

Balasan Surat Kartini

Oleh Panda MT Siallagan

Sampai kini, masih mengendap tiada jawab perihal kontroversi surat-surat Kartini. Di manakah naskah asli surat Kartini itu? Keturunan JH Abendanon juga sangat sulit ditemukan sehingga banyak pihak meragukan kebenaran surat-surat itu. Ada dugaan, JH Abendanon melakukan rekayasa surat-surat Kartini untuk kepentingan politik etis Hinda Belanda.

Dugaan itu muncul karena surat-surat Kartini memang diterbitkan pada saat pemerintahan Belanda menjalankan politik etis. Ketika itu, JH Abendanon termasuk pendukung politik etis yang tengah menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.


Di masa kemerdekaan, penetapan tanggal lahir Kartini sebagai hari besar dan penobatannya sebagai Pahlawan Nasional, juga menuai perdebatan, sebab kebijakan itu dianggap pilih kasih. Nyata memang, Indonesia memiliki wanita-wanita hebat lain melebihi Kartini, sebutlah Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.

Apakah Kartini mengenal Cut Nyak Dien seperti ia mengenal Estelle 'Stella' Zeehandelaar yang dituding sebagai agen feminisme Barat itu? Mengapa Kartini tidak menulis surat kepada perempuan-perempuan pejuang nusantara pada masa itu? Kenapa ia tidak berkirim surat kepada pribumi-pribumi terpelajar seperti Abdul Rivai, yang sepertinya memang dikaguminya itu?

Atau jangan-jangan, banyak juga surat yang dikirimkan Kartini kepada sesamanya terpelajar di Nusantara ketika itu, tapi tak mendapat perhatian dan terbuang begitu saja sehingga sejarah menganggapnya tidak pernah ada? Entahlah.

Menggenapi seluruh perdebatan yang tiada berjawab itu, imajinasi tergoda lagi bertanya, berapa banyak sesungguhnya sahabat pena Kartini? Kalau mengacu buku Habis Gelap Terbitlah Terang, setidaknya ada 8 nama tercatat yang kepada mereka Kartini kerap mengirimkan surat-surat. Lalu, berapa banyak (pucuk) surat telah dikirimkan Kartini kepada para sahabatnya itu? Sampai kini, tiada yang tahu. Jika surat-surat Kartini itu berbalas, lalu di manakah balasan surat-surat itu dan apa isinya?

Ketimbang memikirkan di mana naskah asli surat-surat Kartini, lebih dekat rasanya berkhayal dan bermimpi tentang balasan surat-surat itu, sebab naskah-nashkah itu tentulah berada di Jepara atau di Rembang. Sungguh, saya sangat ingin membaca surat Nona Zeehandelaar, yang kepadanya Kartini bicara meluap-luap dan sangat bebas mengemukakan pikiran-pikirannya. Saya ingin membaca surat Nyonya Ovink-Soer, yang kepadanya Kartini bicara nyaman, santun dan memanggil nyonya Belanda itu sebagai Ibu. Saya ingin membaca surat-surat Abendanon. Di mana saya bisa mencarinya? Atau jangan-jangan surat-surat Kartini itu tidak pernah mendapat balas?

Tapi jika kita membaca surat-surat Kartini yang terangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang karangan Armin Pane (Terbitan Kedua tahun 1938), kita dapat membaca beberapa kutipan berikut:

- Stella, terimakasihku sangatlah besarnya, karena baik pendapatanmu (pendapat, red), tentang kami orang Jawa… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)

- Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang serupa itu…  (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899).

- Engkau menghibur hatiku, terimakasih, Stella. Berharaplah aku, katamu itu menjadi benar kiranya… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 12 Januari 1900)

- Tuan Van Kol ada mengirimkan kepada kami sebagian daripada surat istrinya… (Surat kepada Nyonya Ovink-Soer, Oktober 1900)

- Segala yang Nyonya tuliskan itu, sudah pernah kupikirkan dan kurasakan, kutanggungkan… (Surat kepada Nyonya Abendanon, 29 November 1901).

- Benarlah kata Nyonya itu. Adikku berangkat, kehilangan besar bagi kami...(Surat kepada Nyonya de Booij, 21 Maret 1902).

Dari beberapa nukilan itu, nyatalah kiranya bahwa sebagian surat-surat Kartini itu mendapat balasan dari para sahabat yang disuratinya. Armin Pane dalam buku tersebut juga menegaskan hal yang sama dalam Kata Pembimbing, katanya: "Sudah kita terangkan waktu dia sudah di 'bui', kerapkalilah menerima surat-surat dan banyaklah dia berkirim surat, semuanya dengan orang Belanda. Surat-surat itulah yang memperkuat imannya dan surat-surat itulah tempat dia mencurahkan cita-cita, penanggungan, perjuangannya itu."

Andai balasan-balasan surat itu bisa kita baca, akan nyatanyalah sebenarnya apa-apa saja yang dibicarakan orang-orang Belanda itu kepada Kartini, sehingga ia tumbuh menjadi gadis cemerlang, yang pikiran-pikirannya melampui zamannya, yang jika dikait-hubungkan dengan usia, rasanya ia sudah seperti feminis kawakan dalam memercikkan beragam gagasan.

Lalu kita tahu, Kartini menulis surat terakhirnya kepada Nyonya Abendanon dari Rembang pada tanggal 7 September 1904. Enam hari kemudian, 13 September 1904, Kartini melahirkan anak laki-lakinya dan wafat pada pada tanggal 17 September, meninggalkan bayi yang masih berusia 4 hari. Surat-suratnya kemudian diterbitkan dalam buku pada tahun 1911 di Belanda, atau 7 tahun kemudian setelah Kartini tiada, bahkan buku itu baru tiba dalam Bahasa Melayu 17 tahun kemudian (tahun 1922).

Tentu, segala hal bisa saja terjadi selama 7 tahun atau 17 tahun, termasuk mengenyahkan surat-surat orang Belanda itu, sehingga kita hanya mengenal surat-surat Kartini itu, mengenal pemikiran-pemikirannya, tanpa tahu bagaimana gagasan-gagasan itu dipantik atau disulut. Entahlah. Jiwa memang terasa mengharu-biru membaca surat-surat Kartini itu, bahkan dalam posisi kritis dan objektif, haru-biru lain pun menggema: surat-surat itu seperti monolog pertapa yang meminta penyelamatan kepada Tuhannya, si Belanda, si Eropa atau si Politik Etis itu.

Tapi, semoga kiranya referensi sayalah yang kering atau belum mendapatkannya. Tentu  sangat menyenangkan andai ada pemilik referensi yang menyimpan surat-surat balasan itu dan menyiarkannya kepada generasi kini. Sebab kita tahu, korespondensi adalah peristiwa surat-menyurat, ada si penyurat dan ada si pembalas surat, ada surat dan ada balasan. Entahlah…! ***

Sumber: Sumut Pos 24 April 2016
Bagikan:

17 April 2016

Allen, Medsos, Moloch

Oleh Panda MT Siallagan



Andai Allen Ginsberg hidup di sini dan kini, puisi seperti apakah kiranya tercipta untuk Sonya Depari dan ayahnya itu? Ia mungkin akan menulis sajak panjang penuh gelombang dan seruan kemanusiaan. Dan saya bayangkan ia menghujat media sosial (medsos) yang begitu keji mengirim kematian ke ruang jiwa Sonya yang rentan. Hei Medsos, anak revolusi teknologi, kaukah Moloch yang buas, cahaya pemanggil kematian itu?

Sebagaimana Allen ‘menggampar’ revolusi industri sebagai biang kehampaan jiwa, ia mungkin berteriak juga tentang medsos yang masif itu, produk revolusi teknologi itu, yang ‘menghancurkan’ banyak sendi dan nilai kehidupan tanpa keberimbangan yang patut atas penghargaan terhadap kemanusiaan. Medos yang dioperasikan penuh sensasi, penyamaran, bual hampa, hipokrisi, kebohongan dan percikan-percikan narsisme maksiat menyerupai racun.

Kita tahu, sebelum tragedi Sonya meliuk-liuk merongrong jiwa, medsos telah pula terlebih dahulu mengobrak-abrik kepekaan nurani publik dengan hujatan-hujatan mengerikan tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Kini wacana LGBT sudah senyap, Sonya juga hening dalam derita. Tak ada yang bertanggungjawab. Tak ada yang merasa bersalah.

Dan kita was-was menanti, Medsos barangkali akan kembali menerjang mangsa-mangsa lain dalam perang yang timpang. Saya membayangkan: ketika LGBT diserang, kaum itu merunduk seperti gerombolan anak-anak di depan serdadu bersepatu lars dan senjata lengkap, pun ketika Sonya dihujat, dia adalah anak belia yang panik dibantun rasa takut atas berondongan bom dari berbagai penjuru. Dan ayahnya pergi untuk selama-lamanya. Betapa pedihnya.

Penyair mestinya marah dan berteriak: "Go f*** yourself with your atom bomb," seperti Allen berkecam dalam sajaknya berjudul America. Tapi kita saksikan, penyair tak lagi hadir dalam tragedi itu semacam itu. Atau mungkin hadir, tapi hanya menyair di bilik-bilik sunyi, menangis menerka-nerka retak batinnya. Atau tiada mungkin corong untuk syair serupa itu, atau barangkali syair serupa itu tak lagi punya tempat. Kita, barangkali, telah mati jua ditetak homogenisasi standar kualitas persyairan. Syair-syair protes sosial kian jauh dan menjauh. Ke manakah para pemuja Rendra itu?

Inilah barangkali yang dimaksudkan Allen dengan 'puisi terpisah dari tubuhnya'. Dalam sebuah sesi wawancara dengan Radio Voice of America (VOA), Ginsberg mengatakan hal itu dalam kaitannya dengan revolusi industri, yang telah melahirkan hegemonisasi atas segala hal, termasuk puisi. Orang-orang kemudian menjadi lebih abstrak dan birokratis ketika bicara tentang puisi, terpisah dari situasi-situasi dimana puisi mestinya lahir dan bersuara.

Sesungguhnya, kita kini sedang berhadapan dengan perang sosial yang dikumandangkan teknologi. Batas kalah atau memang, hanya setipis jiwa, kita tinggal memilih. Maka, hujatan-hujatan yang ditanggungkan seseorang akibat teknologi, sama kuatnya dengan solidartias yang bisa menggelegar seperti sebuah ledakan. Ketika terjadi sebuah bencana, misalnya, teks-teks akan segera berhamburan, baik puisi maupun tidak, yang secara substansial menyerukan kebersamaan mengharukan. Telah berulang kita saksikan, bencana bisa membuat orang-orang sedemikian spontan dan produktif dalam hal berbagi rasa. Di sini teknologi hadir sebagai sosok perekat sosial. Sejenak, segala sindiran, kecaman dan keluhan, menjadi musnah. Dan kesadaran kolektif yang menyeruak itu mengingatkan bahwa kita memang mahluk sosial.

Tapi mengapa puisi seolah menjauh? Mengapa Allen Ginsberg?

Penyair besar ini akan selama-lamanya dikenang dengan jiwa sosialnya yang kuat, setia kawan, tak pernah takut menantang kesewenang-wenangan yang menyebabkan penderitaan bagi manusia. Ia mencintai kemanusiaan dengan segala warnanya sebagaimana ia mencintai puisi sepenuh iramanya. Meski untuk itu, ia kadang-kadang menderita, seklaigus menangis untuk kisah-kisah penuh cinta.

Demikianlah Allen, sosok penentang perang Vietnam itu. Sesungguhnya, Allen tak hanya mengutuk atas perang Vietnam, tapi juga mengecam seluruh aksi kekerasan mulai dari kekejaman Nazi, pembantaian kulit hitam oleh Belgia di Kongo, kamp konsentrasi Gulag di Rusia, bahkan kekerasan yang terjadi di Indonesia pada saat penggulingan Soekarno tahun 1965-1966 yang menyebabkan setengah juta jiwa komunis tewas terbantai. Dalam wawancara dengan VOA itu, Ginsberg dengan tegas mengatakan bahwa pembantaian itu berada di balik dukungan America.

Aksi-aksi kekejamanan itu, menurut Allen, sangat mungkin meluas dan membesar karena politik juga kian terpisahkan dari tubuh rakyat yang sebenarnya. "Poetry got separated from the body and politics got separated from real people's body actually. So that it was possible to have vast holocausts like the Nazi concentration camps, or the Belgian slaughter of Blacks in the Congo at the beginning of the 20th century, or the vast concentration camps and Gulags in Russia, or vast massacres that the United States comiited in Central America and elsewhere, as the half-million 'reds' killed with the US-backed overthrow of Sukarno in Indonesia 1965-1966," demikian Allen dalam wawancara itu. (Forum Series Vol.1 American Writing Today).

Bersama Jack Kerouac dan William Burroughs, Allen adalah tokoh gerakan sastra Beat Generation yang mencuat dan berpengaruh luas pada 1950-an. Ia kontroversial dan berperan penting dalam revolusi pemikiran Amerika selama tahun 1960an. Akibat aksi unjuk rasa anti perang di New York, ia ditangkap bersama ratusan demonstran lainnya.

Ketika AS riuh atas penyusunan undang-undang terkait perilaku homoseksual yang dianggap sebagai tindak kejahatan, Allen malah memperkenalkan karyanya berjudul Howl, sebuah puisi tentang keintiman heteroseksual dan homoseksual yang fulgar dan tabu. Howl menyebabkan Ginsberg dikenal sebagai tokoh homoseksualitas yang cabul. Puisi ini sempat dilarang karena menggunakan kata-kata cabul yang dinilai bisa merusak moral masyarakat. Tapi pengadilan memenangkan Ginsberg.

Lahir 3 June 1926 di Newark, New Jersey, Allen anak kedua dari penyair Louis Ginsberg. Salah satu puisi ayahnya yang terkenal adalah “Waterfalls of Stones”. Sastra dan puisi memang sudah karib dengan Allen sejak kanak-kanak sebab ayahnya kerap membacakan padanya puisi-puisi Emily Dickinson, YB Keats, Edgar Alan Poe dan lain-lain. Tentang ayahnya, Allen bicara tentang pentingnya unsur musik dalam puisi. "Dia menulis lirik-lirik tradisional, tapi kau tahu, dia tidak beryanyi," katanya.

Di kelak hari, ia memang intim dengan musik. Puisi-puisinya banyak mempengaruhi kaum budayawan dan musisi. Bob Dylan, musisi Amerika legendaris, kerap mengadopsi gaya puisi Generasi Beat ke dalam gubahan lagu-lagunya. Karena obsesinya pada Ginsberg, John Lennon bahkan mengganti nama band-nya dari ‘Beetles’ menjadi ‘Beatles’, mengacu Beat Generation.

Allen menjalani kehidupan masa kanaknya dengan kondisi ‘kegilaan’ yang menyedihkan karena ibunya, Naomi, mengalami skizofrenia kronis dengan emosi yang kacau. Tahun 1947, Allen menyetujui ibunya menjalani Lobotomi, bedah pemotongan saraf otak. Penderitaan bertahun-tahun berakhir dengan kematian sang ibu. Ratap kesedihan Allen tertulis dalam puisi Kaddish, sajak liris religius sebagai penghormatan untuk ibunya.

Allen terlibat dalam hampir seluruh bidang kesenian. Saat pergi ke London tahun 1965 bersama tokoh-tokoh Beat lain, mereka melakukan pembacaan puisi dan memunculkan Gerakan London Bawah Tanah yang bermarkas di UFO Club. Di situlah band-band besar seperti Pink Floyd dan The Soft Machine muncul. Bob Dylan menganggap Allen Ginsberg sebagai salah satu tokoh sastra yang dia kagumi. Tahun 1965, Allen tampil dalam video Bob Dylan Subterranean Homesick Blues dan tahun 1977 mendapat peran  di film Dylan berjudul 'Renaldo and Clara.' Tahun 1970, ia mendirikan sekolah puisi The Jack Kerouac School of Disembodied Poetics di Trungpa's Naropa Institute in Boulder, Colorado. Tahun 1980 Allen bergabung dengan kelompok punk rock dan muncul di album “Combat Rock” dan tampil bersama dengan mereka di panggung.

Tahun 1972, Allen memperoleh National Book Award untuk bukunya The Fall of America: Selected Gay Poems and Correspondence, sebuah koleksi puisi dan surat-surat antara Ginsberg dan Peter Orlovsky, yang terbit pada 1978. Pada 1984 diterbitkan kumpulan puisinya, Collected Poems 1947-1980, setebal 800 halaman. Ginsberg meninggal karena kanker pada 5 April 1997. ***

(Sumber: Sumut Pos, 17 April 2016)
Bagikan:

13 April 2016

Dan Kau, Brutus?

Oleh Panda MT Siallagan

Segala hal di dunia ini bisa kau beli, kata seorang kawan. Ia mengekspresikan rasa kecewa yang menyakitkan dengan bahasa yang sopan. Tetapi, katanya melanjutkan, kepercayaan tidak bisa kau beli dengan apapun, meskipun nyawa kau pertaruhkan.


Begitulah, banyak hal berlalu dan harus hilang dalam kehidupan. Dan salah satu kehilangan terberat adalah kehilangan kepercayaan. Berat bagi pihak yang mencoba memberi lagi kepercayaan itu, sebab ia akan hidup dibayang-bayangi kekhawatiran. Berat bagi pihak yang tidak lagi dipercaya, seolah-olah tak ada lagi kebenaran dalam hidupnya.

Maka ada kalanya kita putus asa berpikir: mengapa seorang pemimpin yang di pundaknya diletakkan tugas dan kehormatan mengurus hidup warga, bisa dengan mudah mengkhianati amanah? Cikal-bakal budaya bohong dan tindak-tanduk pengkhianatan, mungkin memang berawal dari kelakuan para pemimpin dan kaum elit. Sebab seringkali, panutan bermula dari aspek dan wujud superior. Dan meskipun nilai-nilai proletar sesungguhnya menyimpan kekuatan, ia selalu tertinggal. Sama halnya kearifan lokal, ia dikenang dan dituntut di kemudian waktu, tapi sesungguhnya kita telah terlebih dahulu didera kehilangan yang menghancurkan.

Lalu, di dunia yang gelisah dan penuh curiga, Tuhan di mana? Kita patut mengenang William Shakespeare (1564-1616), seorang penulis, sastrawan terbesar Inggris. Ia menulis sekitar 38 sandiwara tragedi, komedi, sejarah, sonata, dan puisi-puisi. Ia menulis antara tahun 1585 dan dan karyanya telah diterjemahkan di hampir semua bahasa di dunia. Karyanya tercatat paling banyak dipentaskan di seluruh dunia.

William Shakespeare mengajarkan kita banyak hal. Beberapa kalimat ciptaannya kekal digunakan hingga saat ini. Apalah arti sebuah nama, misalnya, sangat luas dipakai orang, tapi tak semua orang tahu bahwa kalimat itu berasal dari ungkapan Shakespeare. Dan drama Romeo dan Juliet, menjadi legenda yang tak akan terlupakan di seluruh dunia. Satu drama lain yang sangat terkenal adalah Julius Caesar. Drama ini mengisahkan rencana pembunuhan terhadap Caesar oleh sekelompok tokoh politik di senat Romawi. Dan salah satu pentolan komplotan pembunuhan ini adalah Brutus, Marcus Brutus lengkapnya.

Brutus merupakan sahabat Caesar dan kepadanya urusan pemerintahan dipercayakan. Hal apakah gerangan yang mendasari Brutus merencanakan pembunuhan terhadap sahabatnya dengan tega? Tak lain karena kekuasaan. Ya, komplotan ini mendengar bahwa Caesar akan mengubah sistem pemerintahan Romawi dan Republik menjadi monarki, agar Romawi mutlak di bawah kekuasaannya. Maka demikianlah, Brutus dkk mulai merancang konspirasi pembunuhan terhadap Caesar.

Sebelum pembunuhan, Caesar sesungguhnya sudah diingatkan oleh istrinya, Calpurnia, agar tidak keluar ke senat malam itu. Sebab ia bermimpi patung suaminya memancarkan darah. Tapi Caesar berkata dengan tegak, “Pengecut mati berkali-kali sebelum saatnya. Seorang pemberani hanya merasakan maut satu kali. Dari semua keanehan yang pernah kudengar, hal paling aneh bagiku adalah orang yang ketakutan melihat maut.”

Singkat kisah, para konspirator membuat sebuah petisi yang dibawa Metellus Cimber. Dalam petisi itu, mereka memohon pembebasan saudaranya yang saat itu dibuang karena keasalahan pada Caesar. Tentu saja, Caesar menolak permohonan itu. Tapi dengan berbagai upaya, termasuk sembah sujud, para komplotan merayu Caesar. Tapi Caesar tetap menolak. Pada saat itulah, saat Caesar berpaling membelakangi komplotan, lehernya dihujani tikaman. Ia menoleh Brutus, temannya, ikut menikam lehernya.

Di tengah kondisi sekarat dan tenaga yang masih tersisa, Caesar berkata, “Et Tu, Brutus?" (Dan kau, Brutus?). Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu, Caesar mati. Begitulah, sejarah tidak melulu soal kisah-kisah kepahlawanan. Bentangan waktu juga mempertontonkan kepada kita tragedi pengkhianatan demi pengkhianatan. Kita tahu, kabar tewasnya Pemimpin Libya, Moammar Khadafi, berawal dari bocornya rahasia perihal lokasi keberadaannya, yang tak lain dilakukan pasukan dan pengikutnya.

Lantas, manusia jahatkah pengkhianat? Mungkin tidak, sebab bisa saja pengkhianatan lahir dari pengingkaran komitmen, negosiasi dan pengalaman-pengalaman yang mencederai integritas. Setelah Caesar mati, Brutus membuat penjelasan bahwa mereka melakukan pembunuhan itu untuk kepentingan Roma, bukan untuk tujuan mereka sendiri. Brutus membela tindakannya sebagai aksi patriotis untuk orang banyak. Dan memang, pengkhianatan selalu punya alasan yang pasti. Tapi selanjutnya, kepercayaan takkan terbeli lagi. Selama-lamanya. ***
Bagikan:

12 April 2016

Hidup Absurd

Kebahagiaan dan penderitaan mungkin cuma sebuah kesadaran. Ketika seorang buruh sadar bahwa mimpi dan hasrat menikmati kehidupan selama-lamanya akan terbatas, ia mungkin menderita. Tapi setiap ia pasrah dan tulus memerankan takdir, kita harus berpikir: mungkin ia manusia paling bahagia.


Mitologi Yunani memperkenalkan ita kisah dewa-dewa. Salah satu tokoh mitologi yang akan selalu dikenang dan kekal adalah Sisifus. Ia sesungguhnya mahluk bijak, peka, waspada, berani dan keras ketika memutuskan menjalankan peran. Dan mungkin, superioritas itulah yang menyebabkan ia pongah dan berani menghina dewa-dewa, meremehkan kematian dan sangat bernafsu pada kehidupan yang kekal. Dewa-dewa murka. Ia dihukum.

Maka menjadi aneh sekaligus: ia patuh dan pasrah menerima sanksi atas sikapnya itu. Ketika ia dihukum mendorong batu besar ke puncak gunung, ia patuh, membiarkan dirinya melihat kebodohan menggelinding dalam wujud batu. Dikisahkan, setelah batu menggelinding, Sisifus turun lagi untuk kemudian mendorong batu besar itu ke puncak gunung dengan seluruh energi dan keberadaannya. Lalu batu menggelinding lagi, ia turun lagi, mendorong lagi, hingga kemudian kita kesal mengetahuinya: tak masuk akal. Ya, tak masuk akal. Absurd. Sangat absurd. Terlebih, kita mengenal peribahasa: hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Maka sesungguhnya, adakah hal yang benar-benar masuk akal dalam hidup ini? Kepada seorang teman, ketika kami berulang-ulang minum kopi dan menghabiskan malam hingga subuh, saya berkata, “Kita sangat absurd.”

Secara sederhana, absurdisme dapat diartikan sebagai bidang ilmu kajian yang mempercayai bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal. Kesadaran para pengikut aliran itu lahir atas peraturan dan keteraturan yang sering berbenturan dengan kepentingan umum.

Albert Camus, filsuf dan sastrawan Perancis, mengulas mitologi Sisifus dalam bukunya berjudul Mite Sisifus, Pergulatan dengan Absurditas. Ia mengulas betapa tak masuk akal kehidupan dalam kesadaran yang konyol semacam itu. Meski sekilas, dalam buku itu Albert Camus bicara tentang mengapa, misalnya, seseorang melakukan bunuh diri? Mengapa orang menciptakan sandiwara, mengapa filsafat dan roman-roman ditulis? Benarkah semua itu berguna bagi kehidupan? Untuk apa sesungguhnya kita bekerja dan hidup, terus bekerja dan bekerja?

Kadang-kadang, kita bahkan tak mampu mengukur masa depan. Kita hanya bergumul dalam ketiadaan harapan dan kepastian. Haruskah orang bunuh diri ketika hati kosong dan hidup seolah tak bermakna? Pertanyaan-pertanyaan tu saya rangkum seadanya dengan sedikit permenungan. Tapi ketika saya sampai pada bagian buku itu yang mengambil contoh Don Yuan, saya berhenti berpikir. Tersebab Camus, saya mulai pasrah: biarlah, mungkin hobi mengoleksi benda-benda adalah sebuah upaya mengekalkan  sejarah juga.

Dan setiap orang berhak membayangkan dirinya abadi dalam hal-hal semacam itu. Memang, keabadian selalu berhadap-hadapan dengan pertentangan. Dan kita semua, mulai dari kalangan proletar hingga kaum borjuis, pada akhirnya akan terhempas dan tersiksa oleh kegetiran bernama kesadaran.

Saya selalu berusaha meyakini bahwa seorang walikota atau bupati adalah manusia-manusia bahagia, tapi saya selalu gagal. Kenyataan itu selalu mendera pikiran dan gerak jiwa: para pemimpin, tak terkecuali bupati dan walikota, mungkin justru manusia-manusia paling absurd, kesepian dalam kehormatan yang dihujat sekaligus dipuja. Tak punya siapa-siapa di tengah kerumunan orang yang datang berbondong bondong memanggul kepentingan.

Filsuf lain dari Jerman, Erich Fromm, meski tak secara langsung memunculkan istilah absurditas, dalam bukunya The Revolution of Hope, menyinggung kehidupan manusia modern yang tragis dan menyedihkan. Menurut Fromm, dalam kehidupan manusia modern selalu ada ‘hantu’. Dalam terminus ini, hantu tentu saja ilustrasi, penggambaran pola masyarakat yang dimesinkan secara total: manusia adalah mesin.

Sebagaimana memang kita rasakan, hampir seluruh eksistensi kehidupan dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material, yang dalam prosesnya diarahkan oleh komputer. Manusia tidak lagi berfungsi sebagai manusia utuh. Dalam proses sosial semacam ini manusia menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan. Tapi ia pasif, tidak hidup dan nyaris kehilangan perasaan.

Lalu, saat segalanya terasa jenuh dan membosankan, jiwa kehilangan denyut. Dan kitapun kehilangan debar-debar yang tulus.***
Bagikan:

11 April 2016

Ombak Sekanak, Derai-derai Perjuangan


Judul Buku: Ombak Sekanak
Penulis: Rida K Liamsi
Penerbit: Yayasan Sagang Pekanbaru
Tanggal Terbit: Juni 2013
Jumlah Halaman: 566 halaman
Jenis Cover: Hard & Soft
Kategori : Otobiografi

Sesekali nafas tercekat. Pada ketika lain, menguar rasa haru yang membuat pikiran berhenti, sekaligus berkecamuk dalam renung, betapa memang bergelombang, sarat arus dan penuh warna. Siapa yang peka terhadap nilai-nilai kehidupan, akan terhempas dalam derai-derai: tawa maupun tangis.

Itulah sekilas luapan ekspresi ketika membaca buku Ombak Sekanak karya Rida K Liamsi yang diterbitkan Yayasan Sagang, Pekanbaru, Juni 2013, sebuah memoar, sebuah buku otobiografi yang dipersembahkan Rida untuk khalayak.

Rida K Liamsi dikenal sebagai guru, wartawan, budayawan, seniman, sastrawan dan pengusaha sukses. Kini ia menjadi chairman Riau Pos Group yang mengelola kelompok bisnis media di bawah bendera Jawa Pos Group. Group Riau Pos sendiri mempunyai bisnis media yang tersebar di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.

Metro Siantar merupakan salah satu surat kabar dalam kelompok yang dipimpinnya. Metro Siantar sendiri kini berkembang menjadi 4 surat kabar. Tiga lainnnya: New Tapanuli, Metro Tabagsel dan Metro Asahan, berada di bawah naungan Divisi Regional Medan, bersama-sama dengan Sumut Pos, Posmetro Medan, dan Rakyat Aceh. Selain surat kabar, Riau Pos Grup juga memiliki beberapa TV lokal seperti Riau Televisi, Batam Televisi, serta Padang Televisi.

Dalam konstelasi sastra Indonesia, Rida K Liamsi termasuk penyair penting. Ia telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi seperti Ode X (1971), Tempuling (2004), Perjalanan Kelekatu (2008), dan kumpulan puisi dwibahasa Rose (2013). Rida K Liamsi juga sudah menerbitkan novel, Bulang Cahaya (2007). Dan paling mutakhir adalah Ombak Sekanak (2013).  Di buku kumpulan Tempuling, Ombak Sekanak merupakan salah satu judul puisi yang terkandung di dalamnya. Rida juga banyak menulis esei-esei tentang kebudayaan, dan kerap menghadiri event-event sastra skala internasional seperti festival penyair Korea-ASEAN di Korea Selatan dan Festival Penyair Srilanka.

Banyak khalayak penasaran, siapakah Rida K Liamsi yang bisa sukses menjadi Raja Media di Sumatera Bagian Utara, tapi juga berhasil menjadi seniman dan budayawan ternama? Kehidupan seperti apa yang telah berlaku atas sosok ini, sehingga ia mampu meraih banyak cita-cita secara seimbang dan sama-sama bersinar?

Ombak Sekanak bisa menjadi jawaban sekaligus referensi untuk memahami sejarah tokoh Melayu ini. “Judul ini saya pilih untuk menandai geliat dan percikan perjalanan hidup saya yang bagaikan ombak mengalun dari tanah Sekanak, tempat saya lahir dan dibesarkan, menuju ke samudera dan gelora kehidupan di rantau orang. Tumbuh, berkembang, jatuh bangun, sakit senang dan berjuang untuk memberi arti bagi tiap hela nafas, tiap sayatan musim yang diberikan Allah. Sebisanya, seridha-Nya. Hidup memang begitu indah, tetapi juga begitu penuh tantangan, yang membuat kita jatuh bangun bersamanya,” demikian Rida K Liamsi mengantar memoar Ombak Sekanak.

Rida K Liamsi tumbuh dan besar di kampung Bakong,  Singkep, Kepulauan Riau. Bakong terletak di bibir pantai yang sebagian berpasir putih dan sebagian dipenuhi hutan bakau yang berlumpur. Tapi kampung itu akrab disebut sekanak, negeri yang tak bisa dikalahkan. Nama sekanak dilekatkan pada Bakong, konon menurut cerita para tetua, karena kampung itu didirikan orang-orang yang berasal dari sebuah tempat bernama Sekanak di Palembang. Mereka datang membangun pusat pertahanan setelah habis diserang Majapahit. Mereka tentu turut membawa adat dan tradisi mereka.

Dalam situasi kampung yang demikian itulah Rida hidup pada masa kanak-kanak. Ayahnya seorang dai, selalu bepergian ke daerah-daerah untuk mengajar anak-anak mengaji dan sembahyang. Rida mengenang ayah sebagai lelaki pendiam, tapi keras dan teguh pada prinsip, jarang sakit dan tegar seperti batu karang. Rida tumbuh meneladani karakter-karakter bersahaja ayahnya.

“Orang hidup ini, jangan setengah-setengah. Kau kelak, kalau mau sekolah, ya sekolah. Jangan setengah-setengah. Hidup ini tak boleh takut. Kalau ada apa-apa ya berserahlah kepada Tuhan,” itu petuah sang ayahanda menghunjam saat Rida akan berangkat sekolah ke Tanjung Pinang.

Demikianlah hidupnya mengalir. Ia kemudian menjadi guru sembari mengaktualisasikan bakat seninya. Ia sebenarnya ingin jadi seorang pelukis, namun entah bagaimana sastra memanggilnya lebih karib. Saat memulai karir sebagai guru, saat terjadi konfrontasi Indonesia dan Malaysia, gaji guru tak mencukupi karena harga-harga sangat tinggi akibat dampak konfrontasi. Rida lalu memutuskan untuk beralih jadi kelasi kapal, berlayar mengarungi laut di sekitar Singkep, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, Bangka dan sekitarnya.

"Aku belajar memikul goni berisi arang bakau yang beratnya rata-rata 30 kg. Hari-hari pertama aku melakukannya, bahuku menjadi lecet dan merah. Mengelupas. Memar. Berminggu-minggu pedih rasanya. Juga telapak tanganku…” ujar Rida (hal. 57)

Setahun lebih Rida bergulat dengan laut, hingga akhirnya berhenti. Ia meninggalkan kapal karena kesedihan mendalam. Sebab, pada saat kapalnya berlayar, ayahnya meninggal dan ia memutuskan kembali ke daratan. “Jangan-jangan nanti saat aku berlayar, ibuku pula yang pergi ke pangkuan Illahi,” katanya.

Ia kemudian mencoba melamar ke pertambangan timah, tapi sedang tidak ada lowongan. Akhirnya, ia bekerja sebagai karyawan toko buku di Dabo Singkep, milik Habib Al Idrus, orang Malaysia keturunan Arab. Ketika bekerja di toko buku itulah ia kembali bergabung dengan teman-teman semasa sekolah. Dan tentu saja, ketika di toko buku itulah dia punya kesempatan membaca banyak buku-buku secara gratis, termasuk berkenalan lebih dekat dengan pujaannya Chairil Anwar dan Bung Karno melalui bacaan. Tak lama di toko buku, dia kembali jadi guru. Dia aktif lagi menulis dan berkesenian, hingga kadang-kadang menelantarkan tugas-tugas sebagai guru. Saat itu, Rida menggunakan nama pena Iskandar Leo. Nama Iskandar Leo inilah yang dulu berkibar sebagai penyair. Rida K Liamsi sebenarnya bernama asli Ismail Kadir. Rida K Liamsi adalah bacaan terbalik dari Ismail Kadir. Nama Ismail Kadir inilah yang dikenal sebagai. Sebagai penyair ia bernama Iskandar Leo, dan sebagai wartawan hingga pengusaha sukses, ia dikenal Rida K Liamsi hingga kini.

Pada usia 26 tahun, Rida menikah dengan Asmini Syukur, yang juga berprofesi sebagai guru. Banyak tantangan yang harus dihadapi pasangan guru miskin ini. Lagi-lagi, Rida memutuskan berhenti jadi guru. Dia lalu menjadi wartawan TEMPO sekian lama. Pada masa di TEMPO itulah ia berkenalan dengan Dahlan Iskan, tapi perkenalan itu mengendap karena Rida kemudian mundur dari TEMPO dan kembali ke Pekanbaru, mengurus surat kabar Genta, surat kabar satu-satunya di Riau ketika itu.

Riwayat bersama Genta juga berakhir. Ia mencoba melamar ke KOMPAS dan Suara Karya, tapi Suara Karya lah yang terlebih dahulu menerimanya. Oleh Suara Karya, Rida ditugas meliput ke berbagai tempat seperti Aceh, Lampung dan kota-kota lain, hingga akhirnya dimagangkan jadi asisten redaktur di Jakarta, lalu dikirim ke Surabaya mengelola halaman khusus Surabaya yang diberi nama Rek Ayo Rek.

Lalu tiba pada 1990, ia ditugasi mewawancarai Dahlan Iskan, terkait kesebelasan Persebaya yang kalah dengan Persib Bandung. Pendukung Persebaya waktu itu bertindak tidak terima kekalahan Persebaya dan meluluh-lantak beberapa stasiun kereta api. Rida akan mewawancarai Dahlan sebagai Manajer Tim Persebaya ketika itu. Dahlan sudah berhasil membangun Jawa Pos, kantornya sudah bagus dan membuat Rida terhenyak. Tapi setelah bertemu di kantor Jawa Pos, mereka berbincang ngalor ngidul, hingga akhirnya lupa atau sengaja melupakan wawancara soal bola. Dahlan malah berkata pada Rida, “Alah, sudahlah itu, Rid. Untuk apa? Ayo kita bikin koran di Riau. Anda berani?”

Itulah mula perjuangan, kerja keras, kepedihan, jatuh bangun, kebahagiaan hingga kemudian sukses. Riau Pos Group kini sudah besar di tangan Rida K Liamsi. 

Dan semua periode itu dilalui dengan sangat sulit, bahkan kadang-kadang menyakitkan, terlebih ketika ia harus berkali-kali meninggalkan istri dan anak-anak selama masa-masa perjuangan. Tentang hal ini, Rida menulis wejangan penuh jiwa dan kesadaran hati yang sangat lembut:

“Di usia yang bertambah, kadang-kadang aku selalu luluh dan menangis saat-saat sujud di hadapan Tuhanku Yang Maha Mengetahui dan Mengakui bahwa aku harus membayar sangat mahal untuk keluargaku ini karena proses perjalanan karirku yang bagai gelombang laut ini. Aku tak tahu sejauh mana anak-anakku kemudian memahami apa arti yang aku lakukan itu. Aku yakin suatu hari, mereka akan paham, mereka akan menyadari bahwa setiap karir, setiap upaya, betapapun kecil, selalu harus punya konsekwensi. Harus ada korban, harus ada yang mengalah, harus ada toleransi dan juga harus ada yang benar-benar sadar dan menanyai dirinya, ‘Apakah semua yang terjadi dan dilakukan itu, adalah yang terbaik untuk kita.’ Untuk anak, istri, keluarga dan mereka yang menjadi bagian dari perjalanan hidup kita ini. Harus ada dan harus mau. Karena akhirnya mereka punya anak. Dan anak-anak itu juga akan segera berhadapan dengan badai kehidupan….” (hal 118).

Demikianlah buku ini dikemas dengan bahasa renyah, ringan dan lancar. Alurnya maju mundur, sehingga meski buku dibagi ke dalam beberapa bab untuk memberikan batasan periode dan kisah-kisah tertentu, tapi seluruhnya adalah satu kesatuan yang tidak bisa lepas bab demi bab. Tentang Rida di mata para sahabat, juga disertakan tanggapan atau pendapat beberapa tokoh, baik politisi, akademisi, sastrawan maupun seniman.

Buku Ombak Sekanak bersama-sama dengan Rose telan diluncurkan di Ballroom Hotel Aryaduta, Pekanbaru, Sabtu (12/10). Acara dihadiri lebih dari 600 undangan seperti Meneg BUMN Dahlan Iskan  dan para CEO, pemimpin redaksi dan pimpinan perusahaan JPNN se-Indonesia. Selanjutnya, di pelantar De’Patros komplek Harbour Bay, Batuampar, Batam, Sabtu (19/10) malam, kedua buku ini kembali diluncurkan (re-lounching).

Dahlan Iskan Way

Di dalam Ombak Sekanak, Rida K Liamsi mengisahkan, sukses Riau Pos menjadi sebuah grup besar tak lepas dari peran Dahlan Iskan sebagai pemimpin yang mumpuni. Di Jawa Pos Grup, Dahlan mengajarkan bagaimana membangun landasan bisnis media yang baik. Dahlan paling tidak meletakkan 4 prinsip manajemen yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Empat prinsip itu adalah: focus (fokus), care (peduli), creative (kreatif) dan visioner (berpandangan jauh ke depan).

“Kami juga punya satu corporate culture: Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam Kebersamaan. Coporate Culture ini Pak Alwi Hamu yang pertama mencetuskannya. Itulah rahasia suksesnya, itulah kita berkembangnya. Dan aku ada di dalam system ini, sebagai salah satu bagian, saksi dari seluruh pengalaman dan perjalanan bisnis itu. Prinsip manajemen yang diletakkan Pak Dahlan Iskan itulah yang kemudian sering kami namakan Dahlan Iskan Way,” ujar Rida K Liamsi (hal.242-243).

Demikianlah, keberhasilan bukan sesuatu yang diraih begitu saja, bukan sebuah kebetulan, dan bukan hanya retak tangan atau nasib baik. Tapi adalah sebuah kerja keras, sebuah proses manajemen yang digeluti sepenuh hati. “Fokus! Fokus! Fokus,” demikian Rida mengutip Dahlan Iskan.

Dan, tak ada satupun anak perusahaan di Jawa Pos Group dimulai dengan investasi yang besar dan fasilitas berlimpah. Semua dimulai dari kecil, dan yang sederhana. Yang penting berfungsi, mesin cetak bekas, komputer bekas, kantor kecil dan fasilitas yang terbatas. “Yang besar itu semangat dan keyakinan, kata Pak Dahlan. Karena kepedulian terhadap asset yang dimiliki, menjaga apa yang dimiliki, betatapun itu sederhana, membuat kami bisa tumbuh dan berkembang,” tulis Rida.

Pada akhirnya, kreativitas dan sikap pantang menyerah menjadi keharusan yang dikisahkan Rida K Liamsi sebagai implementasi prinsip manajemen, dan tentu saja harus berpikir jauh ke depan.

“Sementara pelajaran bisnis dari Pak Dahlan kini lebih banyak mengalir melalui tulisan-tulisannya yang muncul secara tetap di koran-koran milik JP Group; Manufacturing Hope (memproduksi harapan). Memelihara optimisme untuk Indonesia yang lebih maju. Tesisnya cuma satu: Kerja! Kerja! Kerja! Demi Indonesia!

Buku ini ditutup oleh Maman S Mahayana, kritikus sastra Indonesia terkemuka, yang pada tahun 2009 menjalani tugas mengajar sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Maman mencoba memahami Rida K Liamsi lewat pembacaan sebuah puisinya berjudul Tempuling. Mahluk apakah gerangan Tempuling? Untunglah, kata Maman, tempuling bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disebutkan, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling.

Menurut Maman, tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah symbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) dan mandau (Dayak).

Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan, Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian seorang nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara. (hal. 534). Dan agaknya, Rida K Liamsi adalah nelayan piawai itu, sang jawara itu. (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

10 April 2016

Puisi dalam Kardus

Oleh Panda MT Siallagan

Di masa lalu, pengenalan awal manusia terhadap sastra berlangsung dalam disiplin tradisi lisan.  Kisah-kisah, pantun, nyanyian, nasihat, dongeng atau balada, semua disampaikan lewat cerita oleh generasi yang lebih leluhur ke generasi pewaris. Bahkan di zaman modern ketika keberaksaraan sudah keniscayaan, tradisi itu masih bertahan lewat dongeng-dongeng yang dikisahkan ibu pada anak-anaknya.


Sulit membayangkan bagaimana kisah-kisah itu bertahan dan awet secara turun-temurun hanya melalui ingatan. Ketika sastra lisan itu hidup sebagai bagian dari roh kebudayaan suatu masyarakat lama, tak pernah barangkali dongeng-dongeng itu terpikirkan diabadikan dalam teks, sebagaimana kini bisa dinikmati dalam sosok kitab atau buku.

Pun mitos-mitos tentang asal-usul suatu puak, sejatinya mungkin tak pernah diniatkan jadi warisan tulis. Tapi hadirnya ilmu pengetahuan bernama sejarah mengubah takdir mitos-mitos itu jadi benda aksara, yang tergantung pada hegemoni teks yang mewakilinya. Dikatakan ‘tergantung’, sebab adakalanya mereka direproduksi dalam bahasa yang tak pernah bersentuhan dengannya.

Merangsek ke zaman yang lebih tua, kepada kita dikenalkan pula naskah-naskah kuno yang tercatat pada beragam media seperti daun lontar , ukiran atau prasasti pada batu-batu. Sama seperti dongeng, naskah-naskah kuno itu kini bisa dinikmati, dan alangkah takjub membayangkannya: kita bisa memasuki alam ribuan tahun silam hanya melalui teks.

Siapa bisa membayangkan, misalnya, Babad Tanah Jawi hadir dalam kemasan cantik, menyuguhkan kisah tentang asal-usul Tanah Jawa atau silsilah raja-raja Mataram, yang oleh karena kekuatan bahasanya, di dalamnya kita bisa menikmati dua genre sekaligus: prosa dan syair. Siapa bisa membayangkan karya-karya Raja Ali Haji, terutama Gurindam Dua Belas, bisa melegenda dan menyeberang antar benua? Atau, mitologi Si Boru Deak Parujar dalam silsilah Batak, siapa bisa bayangkan kini jadi bacaan nikmat bagi para pengelana budaya?

Atas pertanyaan itu, saya menghayalkan bahwa di masa yang tak kita kenal itu, mungkin terdapat juga beragam dongeng atau naskah lain, tapi tak seluruhnya kekal. Dongeng atau naskah-naskah masalalu yang kita kenal saat ini barangkali adalah mutiara-mutiara terpilih yang oleh nenek moyang dianggap berkualitas dan diwariskan lewat literasi oral. Dan itulah barangkali mengapa dunia perpuisian kita dari zaman ke zaman tak pernah lepas dari Chairil Anwar, atau literasi Inggris Raya tak bisa luput dari Rudyard Kipling, sekedar contoh dari sekian nama dan karya-karya legendaris, yang siapapun tertarik menikmatinya, bisa mendapatkannya kapan dan di mana saja pada era ini.

Saya terharu membaca kisah penyair eksperimental Amerika, Frank O’hara, di buku American Writing Today, Forum Series Vol.1. Buku yang diselenggarakan atas wawancara broadcaster radio Voice of America (VOA) dengan sastrawan-sastrawan negeri itu. Tentang Frank O’hara, VOA mewawancarai Kenneth Koch, yang tak lain adalah teman O’hara di klub New York School of Poetry. Bersama seorang lagi bernama John Ashbery, mereka adalah tiga serangkai penyair Amerika kontemporer yang mendedahkan resah atas goncangan tradisi lama dan arus modernisme.

Ketika Frank O’hara wafat pada tahun 1966, namanya tak terlalu harum sebagai penyair sebab hanya ada sedikit puisinya yang terbit di buletin yang dikelola komunitas mereka, New York School itu. Tapi bertahun-tahun kemudian, tak ada keraguan: O’hara adalah penyair besar Amerika, yang dipuja oleh generasi demi generasi di kelak hari. Sebab ternyata, ia mewariskan banyak puisi bermutu tinggi yang tak pernah diterbitkan semasa hidupnya. Karya-karyanya yang dibukukan setelah ia tiada bahkan memperoleh penghargaan National Book Award. Mengapa O’hara tak begitu peduli dan terkesan sembrono atas karya-karyanya?

“Aku tak tahu. Sampai ia meninggal, aku tak pernah tahu seberapa banyak ia menulis. Ketika dia meninggal, aku dan beberapa teman pergi ke apartemennya dan mendapatkan semua manuskripnya. Kemudian beberapa penyair dan teman-teman membuat katalog atas puisi-puisi itu. Saya takjub menemukan beberapa puisi menunjukkan kualitas yang belum pernah saya saksikan. Frank menyimpan puisi-puisi itu dalam kardus, lengkap dengan tanggal,” ujar Kenneth Koch.

Mengapa O’hara tidak memublikasikan karya-karyanya? Koch mengatakan, untuk satu alasan, tak mudah memang bagi mereka untuk menerbitkan karya pada masa itu hingga ahirnya O’hara meninggal. “Kedua, Frank memiliki standar yang sangat tinggi atas karya-karyanya. Seberapa bagus karyanya menurut padangannya hingga ia meninggal, aku tidak tahu. Kini ia penyair besar,” ujar Koch ketika itu.

Sampai di situ, saya coba menghayati karya-karya O’hara meski tak mudah mencarinya dalam bahasa Indonesia. Salah satu puisinya berjudul Steps, digandrungi anak-anak muda di seluruh dunia. …Oh, Tuhan, alangkah takjub/keluar meninggalkan tempat tidur/dan terlalu banyak minum kopi/dan terlalu banyak merokok/dan sangat mencintaimu…! Demikian bait terakhir puisi itu. Hmm…

Suatu kali yang lain, Orhan Pamuk mengenalkan saya pada empat penulis Turki terkenal, yang sepertinya sengaja dipilihkan Pamuk mewakili berbagai genre: Abdulhak Sinasi Hisar (penulis memoar), Yahya Kemal (penyair), Ahmet Hamdi Tanpinar (novelis), Resat Ekram Kocu (jurnalis-sejarahwan). Keempat penulis melankolis itu, menurut Pamuk, sama-sama terpukau pada kegemilangan kesusasteraan Barat, terutama Perancis. Mereka ingin menulis selayaknya orang Perancis, tapi sekaligus menyadari bahwa mereka tidak mungkin sama seperti penulis-penulis Perancis pujaannya.

“Satu pelajaran yang mereka ambil dari kebudayaan Prancis dan ide-ide Perancis tentang kesusasteran adalah  adalah bahwa tulisan yang hebat harus asli, otentik dan jujur. Hal lain yang mereka pelajari, yang membantu mereka mencapai kejujuran dan keaslian adalah konsep ‘seni untuk seni’ atau ‘puisi murni’,” demikian Pamuk.

Dari karya-karya empat penulis inilah Pamuk antara lain menggali kenangan masa kanak-kanaknya di Istanbul, kota kelahirannya, yang ia sajikan secara mengesankan dalam buku memoarnya. Penyair Yahya Kemal, misalnya, melakukan pencarian atas citra Istanbul “Turki-Usmani” yang murung karena tak ada teladan di antara puing-puing lingkungan miskin kota, yang berserak bersama keprihatinan-keprihatinan sosial akibat ledakan jumlah penduduk kota pada masa itu. Satu hal mengesankan tentang Yahya Kemal, dialah penyair terbesar Istanbul dan paling berpengaruh, tapi sepanjang masa hidupnya menolak untuk menerbitkan satu buku pun.

Demikianlah, sejak tradisi lisan hingga zaman digital yang riuh dengan teks-teks tak terkendali (bahasa medsos), saya tak pernah ragu bahwa karya-karya bermutu akan mengatasi zaman, akan menemui takdirnya sebagai karya agung: menjenguk dan dijenguk dunia. Bahkan, ketika sebuah karya diniatkan pengarang untuk mati bersamanya karena beberapa pertimbangan, barangkali akan ada juga tangan-tangan ajaib menyelamatkan karya itu untuk dipersembahkan pada peradaban.

Saya memahami, gagasan penerbitan karya adalah kesenangan penuh kebanggaan, tapi ia sekaligus mengandung racun, yang tak searah dengan sinar panggilan sunyi itu: tentang mengapa sesungguhnya seseorang mengarang, menjerumuskan diri ke jalan yang membuat ia terasing dalam kehidupan, terasing dalam nilai-nilai kekal yang terkandung dalam goresan dan luahan jiwanya.

(Sumber, Sumut Pos, 10 April 2016)


Bagikan:

09 April 2016

Rapsodi Melayu

Sajak-sajak Panda MT Siallagan

Rapsodi Melayu

Lancang kuning, berlayar malam, berlayar malam...
Kenangan menyeret mimpi, melarung hati, merangkum tuah. Kulayari laut. Laut tak bertepi, mimpi tak berbatas, rindu tak berujung, cinta tak terkayuh. Kulayari bait. Bait dara panggung, suara rumah luka penembang nyanyi sejarah.

Bar ini banyak bercerita. Peluh nahkoda, keluh kuli, tangis nelayan, amis kerang, bangkai ikan, apak sarung lelaki pemilik kedai, ampas kopi di bibir para awak kapal, wanita bersirih penjual tembakau, lumut pada bangkai perahu rompak, para perantau dililit segala gelisah. Bar ini cerita peluh. Peluh aku keluh aku tangis aku amis aku bangkai aku.

Lancang kuning berlayar malam berlayar malam. Aku pulang menggelombang, menjilat bibir bandar, meneguk aliran hidup di mata pelacur. Ada laut dalam bir, pantai dalam lagu, kau dalam dada. Tapi aku terusir dari pesisir, terasing di pulau luka, sebab kutenggak pedih doa dari dosa para penista. Bar ini banyak berkisah.

Kuawankan rasa, kumendungkan mata, kuhujankan rindu. Kuingin jantung tak menyala tapi alkohol membakar jiwa. Dayu lagu tak henti menyulut kenangan jadi bara jadi abu.

Lancang kuning berlayar malam berlayar malam, apa aku mabuk?
Lancang kuning berlayar malam berlayar malam, kenapa kepalaku berombak?
Lancang kuning berlayar malam berlayar malam, apa dadaku guita?
Berlayar malam, hatiku tanpa dermaga

Pematangsiantar 2007


Sajak Nikah-2
: Hanna Panjaitan

Pintu mimpi sudah terbuka
Sayang, mari kita belajar tidur tenang

Malam memang tak punya kepastian
akan bunga apa esok tumbuh di taman
Nafaskan saja sebuah tunas merecup
agar kau belajar memaknai warna

Muliakan daun dengan cahaya, jika putih
Jika hitam, bujuk kelopak berbulan ibada
Jika tidak hitam tidak putih
Maka peristiwa makin tuah
Kita ambil surga obat lelah

Pintu mimpi sudah terbuka
Sayang,mari kita tidur dengan tenang

Pematangsiantar, 2007


Lampin

Selalu kuhirup aroma pagi itu, pintu yang menjerang darah sematang kisah pisau. Selamat uzur, Ibu, telah lama kokok ayam jantan mengoyak rahimmu, tapi masih tajam siul merpati berdesing menyibak pintu lapuk di teras ketuban itu. Kau ingat, tangisku dihantar lenguh kerbau, melenting mendekap awan, mengajar matahari menenun gubuk di bukit-bukit. Itulah lampin pertamaku berbaring menyusu warna ladang dari tubuhmu.

Securam apa tebing dan tenung di lembah lampin itu, Ibu? Sebab gubuk bambu dan tungku berkalang pupuk kandang masih dingin terkembang, merajah harum ubi dan rebung santan di lambungku, melukis belacan jadi sampan, melayari telaga pengutuk lumut di ceruk mataku. Aku ingin pecah jadi ombak, Ibu, tolong aduk doaku dengan peluhmu.

Setajam sembilu, pusarku mengulur mimpi, menjuluri rabuk tanah, mencari mulut naga padoha, pulang ke laut rahimmu. Aku ingin bertapa, berabad-abad lagi mengintip gelombang mimpi di dinding ari-ari yang licin. Tapi tangisku selalu menggunting akar ubanmu, dan kau menyulam sajak pahit di keranda. “Hasian, selamat jadi penyair.”

Begitulah curam takdir mengiris perut menantu dan cucumu, sebab kokok ayam hanya mahir menanam syair di kepala, mengaduk mimpi hingga busuk jadi doa. Selamat uzur, Ibu, aku bahagia dipancar cahaya kalung dan kerut surga di keningmu.

Pematangsiantar, Desember 2009



Bagikan:

07 April 2016

Menjinjing Riuh Kota

Puisi-puisi Panda MT Siallagan 




Tualang

Pernah kita sepakat mengembara ke arah berbeda. Serupa sungai, kau dan dirimu mengalir menuju samudera, menunggang gelombang, menggembalakan badai. Kau dan dirimu berhantam-hantam luka. Hingga kau dan dirimu tenggelam dalam doa tak usai. Sekeparat apa hidup yang kau impi, Puan?

Tak kau menoleh ke belakang, mengelak kutuk. Serupa angin laut, sangkamu aku mendaki bukit-bukit, memahat-mahat sunyi gunung jadi doa dalam jantung. Kau tak tahu, aku dan diriku mematung, serupa batu-batu tualang.

Kau lalu pulang, menjinjing riuh kota dan bandar dalam doa, membawa tas berisi hikmah tualang dalam bibel.

Buru-buru aku mendaki, tak ingin ditemui khianat. Dan setiba di gunung dan di bukit, kutatap kau dan dirimu menjerit, murka menungguku yang tiada datang mendekat. Haruskah aku membawamu ke dosa, Puan?

Tidak. Aku harus bergegas, mengemas kicau burung, mengepak aroma ladang, membungkus aroma kampung. Serupa hatimu menantang kota, mendekap doa. Tapi tak kudapati kau dan dirimu, hancur serupa kota dalam neraka.

Sejak itu, aku pergi jadi pengembara, sebab aku tak pernah berani memasuki gereja.

Pekanbaru, 2005


Kolase Sakai

Matahari menjilat airmata, sebaik jatuh dari mata bocah itu. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah hutan. Seperti setan mengeja jalan, lamban menggilas impian. Perang ini siapa yang tuai?

Matahari menjilat peluh, sebaik jatuh dikuras letih. Siang jadi peta neraka. Angin jiwa anak menyeru sejuk. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah bara. Seperti datuk dikepung api, meradang keringkan hutan. Untai doa, pulangkanlah uap peluh. Tibakanlah ringai alam murka bah, hujan badai mata hati bocah. Kekalahan ini siapa yang mula?

Tapi malam berbohong. Gubuk yang dibungkus hening bening, bergetar diketuk mimpi dari jauh, "Jangan! habis suah mimpi jernih!"

Tidur melayang dari benak anak. Dengkur luka abah dan emak menerbangkan uap tikar pandan. Keluar dia menemani dingin, bertembang bersama bulan. Alam kosong, berucap mulutmu. Bumi gersang, berkedip matamu.Jika mati kampung, berhembus nafasmu. Jika punah tanah, mengelus tanganmu.

Bulan bernyanyi. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah bertuah. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah terjarah. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah terjajah. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah penadah. Kau bocah menadah jemari di tanah leluhur. Tanah leluhur, jiwa kosong. Tanah ziarah, gersang ruh. Tanah leluhur, kampung mati. Tanah ziarah, tanah mati. Tanah punah.

Berteman bulan dia bernyanyi. Dengkur jantung abah dan emak, menerbangkan uap tikar pandan. Mengajak bulan nyenyak di hati anak.

Pematangsiantar, 2007

Sajak Nikah*
: hanna panjaitan

jika kita menikah, aku ingin anak-anak kita lahir
dan membangun sarang di rambutmu. hidup pasti tak pernah sepi
akan selalu kutemukan engkau dengan sanggul penuh cericit
seperti memasuki lagi masa kanak-kanakku di dusun terpencil
selalu kutiup seruling di situ, mengiringi burung-burung bernyanyi
bukankah kita bertemu dalam melodi hidup yang melengking-lengking?

jika kita menikah, aku ingin anak-anak kita lahir jadi burung
dan membangun sarang di rambutmu. hidup pasti selalu sejuk
senantiasa akan kutemukan engkau dengan sanggul beraroma hutan,
dan akupun akan selalu ingat sejarahku: lelaki gunung
bukankah kita telah berjanji seteguh bukit-bukit?

Pekanbaru, 2004

* Sajak ini termaktub dalam buku Dian Sastro for President! End of Trology, INSISTPress Jogyakarta (2005)

Bagikan:

06 April 2016

Telepon Dini Hari


Cerpen Panda MT Siallagan

Tiba-tiba pukul tiga dini hari itu hujan turun. Di luar, angin mendesis, dan daun-daun akasia terdengar menggelepar. Aku dapat membayangkan beberapa daunnya gugur, meliuk-liuk diputar angin hingga akhirnya jatuh, tersadai di atas tanah. Lalu, petir menggelegar, bersabung dengan angin. Kudengar bunyi berdentang dari arah rumah kosong yang berada tak jauh dari rumah ini. Salah satu sengnya mungkin tercerabut dan melayang dihantam angin.

Aku segera mematikan komputer, kesal karena harus berhenti menulis. Bukan apa-apa, listrik di kota ini selalu menyisakan cerita menjengkelkan. Tiada hujan tiada angin, listrik di kota ini bisa padam dengan tiba-tiba, dan hampir bisa dipastikan, jika cuaca seburuk dan hampir membadai seperti sekarang, listrik akan padam. Aku tidak ingin komputerku yang sudah sakit-sakitan menjadi lebih parah karena listrik yang nyala-mati. Dan benar, sesaat setelah komputer kumatikan, lampu benar-benar padam. Gelap mengerkah. Lindap menggeram. Kunyalakan lilin yang memang selalu tersedia di laci mejaku. Dan puji lilin, sinarnya membuat kamarku sedikit terang.

Ilustrasi.
Pada saat itu, tiba-tiba ponselku berdering. Aku terkejut. Siapakah gerangan yang ingin berbicara padaku pada dini hari seperti ini? Penting sangatkah hal yang akan dibicarakannya sehingga ia perlu mengontak aku pada jam-jam mengerikan seperti saat ini? Kuperhatikan ponsel, sebuah nomor yang tak kukenal tertera di layarnya.

“Halo, selamat pagi!”

Tak ada sahutan dari seberang, maka kulanjutkan, “Halo, ini siapa?”

Tetap tak ada jawaban. Kumatikan ponsel itu. Tapi, beberapa detik kemudian, ponsel itu berdering lagi. “Halo!” kataku dengan nada kesal.

Dan di seberang, terdengar tangisan yang berbaur dengan rintihan-rintihan pilu, menyayat hati. Darahku menggelegak, jantungku berdetak, bulu romaku berdiri, aku didera rasa takut. Tangisan yang baru saja kudengar itu persis seperti tangisan yang biasa terjadi pada saat seseorang meninggal. Aku tiba-tiba teringat pada ibu yang dua tahun belakangan ini memang sudah sering sakit-sakitan. Apakah ibu meninggal? Apakah telepon yang kuterima tadi berasal dari salah seorang anggota keluarga yang ingin memberitahuku tapi karena kesedihan yang mendalam ia menjadi tak mampu bicara? Pada detik itu juga kuputuskan menelepon ke rumah. Dan, ada beberapa menit lamanya aku dikepung resah, menunggu telepon di seberang diangkat.

“Halo….” Kudengar suara ibu. Aku lega.

“Ibu ya? Apa ibu sehat?”

“Hei, kau rupanya? Ibu baik-baik saja. Bapa juga sehat. Ada apa menelepon sepagi ini?”

“Syukurlah. Aku bermimpi buruk, Ibu. Buruk sekali. Makanya langsung kutelepon.” Aku berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan peristiwa yang kualami itu kepada ibu. Ibu sangat tidak percaya pada hal-hal gaib.

“Itu artinya kau mesti pulang. Sudah tiga tahun kau tidak pernah pulang, bapa dan Ibu sudah kangen. Bagaimana, apa kau sudah punya seseorang yang akan kaubawa menjadi menantu buat kami?”

Nah, ujung-ujungnya pasti ke situ. “Ibu tenang sajalah. Jika waktunya tiba, keinginan Ibu akan terwujud. Akan kubawakan buat Ibu seorang perempuan yang sangat cantik.”

“Tapi kapan?”

“Jika waktunya sudah tiba, tentu saja.”

“Ah, kau selalu begitu.” Suara ibu tiba-tiba melemah, menguarkan nada kecewa.

“Udah dulu, ya, Ibu! Aku ngantuk, mau tidur lagi.”

“Baik-baik kau ya, anakku!”

***
Pagi itu, aku tidak bisa tidur lagi. Diselimuti rasa takut, aku tak henti-henti berpikir tentang persitiwa itu. Memang, sudah sejak dua tahun yang lalu, sejak ibuku mulai sakit-sakitan, aku sering dihantui rasa takut jika ponsel berdering. Aku takut jika suatu hari ponsel berdering dan tiba-tiba kuterima kabar duka tentang kematian ibu. Aku merasa belum siap untuk itu. Lalu, peristiwa menggerunkan itu, isyarat apakah?

Esok harinya, kuceritakan peristiwa itu kepada seorang kawan. Tapi, seperti kuduga, kawan itu hanya berkata, “Dasar pengarang. Tidakkah kau punya cerita lain yang lebih berguna untuk kau kisahkan kepadaku, tentang Liana, misalnya?”

Aku jengkel. Kutinggalkan kawan itu dengan perasaan kecewa. Bukan, bukan karena aku tidak suka bercerita tentang Liana, tapi jika saat ini kawan itu memintaku bercerita tentang kekasih, itu tampak lebih menyerupai ejekan ketimbang sokongan moral. Sebab hingga kini aku belum menikah. Yah, lelaki penakluk hati banyak perempuan ini belum menikah. Lelaki yang dulu menggurui banyak lelaki tentang bagaimana memerangkap perempuan ini masih membujang. Membujang dalam usia kepala tiga. Tapi, benarkah aku telah menceritakan peristiwa itu pada seorang sahabat?

Aku sebenarnya tidak anti pada gagasan pernikahan. Seperti banyak orang, aku juga rindu pada kehadiran sebuah keluarga, seorang istri, anak-anak yang mungkin manja-manja dan gemuk-gemuk. Keriangan suasana itu, sungguh merupakan keriangan yang tak tergantikan oleh keriangan apapun.

Tetapi, ibu, kekasihku bernama Liana itu tidak sudi kunikahi jika aku tidak mapan secara materi. Ia tidak sudi mempersuamikan lelaki pengarang berbakat pas-pasan seperti aku. Ia tidak mau menikah dengan pria miskin.

***

Malam keesokan harinya, aku memutuskan tidur lebih awal, berusaha tidur, tepatnya. Sebab, setahun belakangan, aku mengidap insomnia akut yang membuatku hampir tidak pernah tidur pada malam hari. Tidur benar-benar menjadi sesuatu yang sangat mahal dalam hidupku. Dan anehnya, kondisi ini tidak pernah membuatku merasa tertekan secara emosional, tidak membuatku lelah. Aku menikmatinya seperti sebuah anugerah. Bahkan, ketika suatu malam aku menyusuri jalan setapak di sepanjang aliran sungai, dan akhirnya sampai pada sebuah gubuk di tengah ladang, aku bersyukur sekali. Aku bersyukur karena aku bisa mengunjungi sebuah tempat yang suasananya mirip seperti lanskap kampungku. Tapi, ketika seekor ular muncul dari semak-semak, aku terguncang dan menjadi sadar bahwa aku sedang melamun di dalam kamarku.

Ketika hal ini kuceritakan pada seorang sahabat, ia berkata bahwa itu halusinasi akibat kurang tidur. Aku percaya. Dan peristiwa telepon yang berdering malam sebelumnya, sebuah halusinasi jugakah? Mungkin. Dan itulah sebabnya mengapa aku memutuskan tidur lebih awal setelah pada sore harinya kukuras tenaga dengan bermain badminton. Aku berharap, dengan kondisi tubuh yang lelah, aku bisa lebih mudah tertidur. Tapi harapanku meleset. Hingga pukul dua dini hari, aku tidak juga bisa tidur. Dan tiba-tiba, pada saat aku gelisah memikirkan ibu, ponsel berdering. Aku tersentak. Tubuhku gemetar. Kucubit lenganku untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi. Lalu, dengan dada yang berdegup kencang, kuterima telepon, “Halo….”

Dan di seberang, kudengar percakapan ini:

“Maukah kau menerima Liana dalam keadaan susah maupun senang, sakit atau sehat, hingga maut memisahkan?” seorang lelaki bersuara berat bertanya.

“Ya,” jawab seorang lelaki.

“Liana, maukah kau menerima Sarja dalam keadaan susah maupun senang, sakit atau sehat, hingga maut memisahkan?” seorang lelaki bersuara berat itu bertanya lagi.

“Tidak,” jawab seorang perempuan. Tiba-tiba kudengar suara gaduh serupa umpatan dan bisik-bisik dari mulut banyak orang. Kumatikan telepon itu. Ini benar-benar gila.

Malam itu, untuk pertama kalinya aku berdoa, “Tuhan, ada apa dengan otakku. Tolong, tolong jangan biarkan aku menjadi gila.”

Setelah mengucapkan doa itu, ponsel berdering lagi. “Halo……..”

“Nah, begitu dong. Aku seneng kamu berdoa. Doamu kukabulkan. Kau tidak akan gila.”

“Keparat. Siapa kau?”

“Bah, berani kau memaki Tuhan.”

“Anjing!” kataku seraya melemparkan ponsel itu ke lantai. Dan aku merasa lega ketika kusaksikan ponsel itu pecah dan serpihannya berserakan di lantai. “Ha ha, mampus kau, ponsel sialan.”

Pada saat itu, pintu kamarku diketuk. “Siapa?”

“Aku, Niko.” Ternyata tetanggaku.

“Ada apa?”

“Boleh aku masuk?”

Kubukakan pintu.

“Kudengar suara berisik dari kamarmu. Aku terbangun. Boleh kutahu apa yang terjadi?” tanyanya.

“Ponsel sialan ini menggangguku. Lihat, ia sudah kupecahkan hingga tak berbentuk,” kataku sambil menunjuk pecahan-pecahan ponsel itu di lantai. Kawan itu geleng-geleng kepala.

“Kurasa kau butuh seorang psikiater.”

“Apa kau kira aku gila, ha?”

“Aku tidak mengatakan sepeti itu. Aku hanya memberi saran. Tingkahmu makin aneh saja belakangan ini.”

“Katakan. Katakan di mana letak keanehanku?”

“Sudahlah, kawan. Kau sakit. Kau memerlukan seseorang yang bisa merawatmu,” kata kawan itu sambil menepuk pundakku. Aneh, tiba-tiba saja aku merasa damai.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Boleh kau ceritakan apa-apa saja keanehanku?”

“Kau sering mengira ponselmu berbunyi, tapi tidak. Ketika kau angkat, kau dengar suara-suara aneh di seberang, tapi sebenarnya hal itu tidak terjadi.”

“Tapi aku merasa hal itu benar-benar terjadi?”

“Tidak, kawan. Semua itu tidak pernah terjadi.”

“Lantas?”

“Semua bermula sejak dua tahun yang lalu. Sejak kau membeli ponsel itu. Ibumu sering menelepon dan bertanya kapan kau menikah. Kapan kau pulang dan membawa menantu kepada mereka?”

“Bukankah itu hal yang sangat wajar?”

“Ya, itu sangat wajar. Tapi bagimu, itu menyakitkan.”

“Menyakitkan?”

“Lupakah kau, kawan, bahwa perempuan yang kau kasihi itu telah tiada?”

“Tidak. Liana masih hidup.”

“Liana sudah pergi. Dia sudah pergi enam tahun yang lalu, sebulan menjelang kau membawanya kepada ayah dan ibumu, setengah tahun menjelang kau berencana menikahinya. Ingat-ingatlah, kerusuhan itu telah merenggut nyawanya. Dan seperti percaya pada kekuatan talenta yang diberi Tuhan, kau memutuskan diri jadi pengarang, tapi hingga saat ini tetap gagal. Sebab sebetulnya kau tak berbakat, kau hanya ingin lari dari frustasi dan kecewa yang dalam. Ayolah, kawan, bangkitlah, lupakan semuanya. Hidup ini masih teramat panjang untuk disia-siakan.”

“Hei, kau mengguruiku?”

“Tidak. Aku hanya ingin kau realistis. Lihat hidupmu, setiap hari kau bertindak seperti orang gila. Dan kuharap, malam ini kau bisa tidur. Sudah tiga malam kau tak tidur,” kata kawan itu seraya berlalu dari kamarku.

Sepeninggalnya, aku berusaha menata pikiran dan merenungkan sekuat mungkin apa-apa yang baru saja dikatakan kawan itu. Dan, tiba-tiba aku terserang kantuk, dan tertidur.

Esok harinya ketika bangun menjelang sore, pikiranku sedikit jernih. Aku segera mandi, dan kurasakan tubuhku sangat segar. Sungguh, sudah sangat lama aku tidak pernah merasakan tubuh sesegar ini. Dan, tiba-tiba aku teringat pada ibu. Aku ingin sekali meneleponnya. Tapi, ketika kusadari ponsel sudah hancur, aku mengutuk diri kenapa aku harus membantingnya tadi malam. Oh, aku ingat, aku masih punya sedikit tabungan. Sore itu aku pergi membeli ponsel bekas, sebab untuk membeli ponsel baru, uangku tidak cukup.

Dan malam harinya, kutelepon ibu dengan perasaan gembira. “Halo ibuku yang cantik, apa kabar?”

“Oh, anakku sang pengelana. Ibu baik-baik saja.“

“Bapa sehat juga kan?”

“Ya, semuanya sehat-sehat. Tapi, bapa sekarang makin sering uring-uringan. Ia mulai tak sabaran menunggu kapan kau membawa menantu buat kami. “

Pada saat ibu mengatakan itu, sesuatu tiba-tiba berderak di dalam otakku. Kepalaku seperti terbentur, tapi kutata pikiranku, sehingga aku masih bisa berkata, “Ibu dan bapa yang baik, aku masih ingin memusatkan perhatian dan pikiran untuk mengarang. Agar kelak, ketika aku menikah, aku sudah terkenal, dan pesta pernikahanku pasti lebih meriah. Oke, udah dulu ya, Ibu. Salam buat bapa jelek.”

Sesudah menutup telepon, aku tertawa, geli  membayangkan tingkahku barusan. Aku merasa seperti masih kanak-kanak. Di usia yang sudah tigapuluh lima ini? Ah…

Tapi, malam itu semangatku seperti terbangkitkan. Setelah selesai makan malam, aku menghidupkan komputer. Aku ingin menulis sebuah kisah. Kisah yang benar-benar terjadi dalam hidupku. Dan puji cerita, kisah ini selesai kutulis dalam waktu satu jam. Aku puas. Aku merasa bangga. Aku bahagia sekali. Tapi, beberapa menit kemudian, seluruh keriangan itu hancur terberai-berai ketika ponselku berdering. Kusambar ponsel itu, “Haloo…”

Di seberang, kudengar tangisan, jeritan, teriakan orang-orang, suara tembakan dan berakhir pada rintihan seorang wanita. Aku kenal suara itu. Suara itu adalah suara Liana. ***

Pekanbaru, 2004

Bagikan:

03 April 2016

Diterima Kabar Luka


Cerpen Panda MT Siallagan

Diterima kabar duka pada 26 Desember 2004: Telah terbang ribuan nyawa, telah hilang berlaksa jiwa, lesap disapu bencana. Mari menundukkan kepala, berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga untuk jiwa-jiwa yang kehilangan. Di sekotah tanah kekasih, kesedihan menggelombang, seperti laut yang mengamuk. Di sekujur negeri kesayangan, hati menggeletar, seperti ledakan gempa.

Didengar dan disaksikan kabar duka lewat televisi, radio, koran, pembicaraan mulut ke mulut, dan ratusan juta penghuni bumi menangis, mencucurkan luka dari setiap dada yang menggelepar diaduk kesedihan.

Seorang perempuan muda menangis ketika menonton televisi. "Mengerikan, ini mengerikan sekali. Hentikan... berhentilah mempertontonkan luka ini," isaknya entah kepada siapa, memukul-memukul kepalanya dengan kepalan tangan yang begetar. Tapi televisi makin buas menyodorkan airmata, tangisan, jeritan, mayat, serpih-serpih kehancuran. Hati perempuan itu remuk, lumat. Ia tak tahan. Ia mengerang sambil berlari ke belakang rumah, mengambil balok kayu, lalu menghantam layar televisi dengan sangat keras. "Braak..." Televisi hancur. "Tak pantas luka ini dipertontonkan," katanya dengan suara yang tersiksa. Perempuan muda itu tiba-tiba menjadi benci pada televisi, juga orang-orang yang muncul dan berlintasan di dalamnya.

Ilustrasi.
Tetapi, untuk bisa terus-menerus memantau perkembangan duka, perempuan itu harus mengikuti berita. Maka ia beralih ke surat kabar. Ia membaca surat kabar dengan airmata bercucuran. Ia membaca surat kabar dengan tangan dan tubuh bergetar. Ia membaca surat kabar dengan hati yang terhantam. "Bangsat," perempuan itu berteriak, "Ini bukan berita duka. Ini tulisan sensasional." Ia mencabik-cabik surat kabar hingga menjadi serpihan-serpihan kecil dan menghamburkannya ke selokan di depan rumahnya. "Enyahlah kalian, wahai iblis-iblis laknat. Tak pantas luka dikomodifikasi untuk meraup keuntungan." Perempuan itu benci pada surat kabar, juga orang-orang yang sedang bertukang di dalamnya.

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menggeletar dari menit ke menit, menguras airmata. Perempuan muda itu terus-menerus mengamati perkembangan luka. Ia mendengarkan radio. Setiap berita yang dihadirkan selalu disimaknya dengan penuh khusyuk, seperti sedang berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga bagi jiwa-jiwa yang kehilangan. Tapi, lagi-lagi amarahnya meledak. "Bedebah," katanya seraya membanting radio ke lantai, "Kalian kira orang-orang senang mendengar suara kalian pada saat-saat sedih seperti sekarang." Perempuan itu merasa, pembaca berita hanya tampil untuk menonjol-nonjolkan suranya yang bagus, mendayu-dayu di antara jeda kata, tanpa sedikit pun menguarkan suasana sedih. Ia benci radio dan suara-suara yang melacurkan diri di dalamnya.

Diterima kabar duka yang beredar meremuk jiwa. Perempuan itu turun ke jalan-jalan, berbicara dan mengajak orang-orang menangis. Ia meneriakkan puisi-puisi keprihatinan, menyenandungkan tembang-tembang ngilu, menerbangkan ratapan ke angkasa, agar burung-burung mendengar, agar kupu-kupu menangis. "Mari, Saudara-saudara," ratap perempuan itu, "Kita berikan apa yang bisa kita berikan. Kita kuatkan saudara-saudara kita."

Tapi ia menemukan hanya sedikit saja orang yang bersedih. Hanya beberapa gelintir yang benar-benar prihatin. Selebihnya adalah sosok-sosok yang terperangah, takjub dan terhibur menyaksikan perkembangan duka.

"Dasyat," kata seseorang ketika melihat rekaman luka di sebuah televisi. Ombak bergulung dari dari arah laut, menghempas dan menerjang-nerjang, kota-kota di sepanjang pantai ambruk.

"Luar biasa," kata yang lain menyaksikan ribuan mayat teronggok.

"Ini baru seru, akan tercatat sebagai rekor terdasyat dalam sejarah."

"Tontonan yang sangat menarik."

"Tuhan memang luar biasa."

"Tuhan murka."

Dan telinga perempuan itu serasa ingin meledak ketika mendengar ucapan-ucapan itu berdentam. Ia tidak melihat garis kesedihan mencuat pada wajah-wajah. Ia tidak melihat airmata duka mengalir dari mata mereka. Dan ketika perempuan itu singgah di lepau, kedai kopi, dan warung-warung, ia mendengar lelaki-lelaki kuli, pemabuk dan para penjudi sedang ribut mempersoalkan angka berapa kira-kira yang diisyaratkan peristiwa itu. Mereka akan menukarnya dengan kupon-kupon togel. "Anjing kalian," kata perempuan mencopoti seluruh pakaiannya, dan menari-nari. Para lelaki kuli, pemabuk dan penjudi itu berlarian, hambur seperti diterjang gelombang.

Diterima dan disaksikan kabar duka pada 26 Desember 2004. Perempuan itu terus-menerus mengurai tangis, seperti tak akan habis air hati dari matanya. Seperti tak akan lelah jiwa dan rongga dadanya meratap. Dari hari ke hari ia tak berhenti merintih, melantunkan puisi-puisi pilu, mendendangkan tembang-tembang ngilu.

Dan, setelah beberapa hari meratap seperti orang gila, perempuan itu akhirnya bunuh diri, tepat pada pukul 00.00 penghujung tahun. "Selamat tinggal, saudara-saudara, aku akan pergi menemui luka."

Orang memakamkan jenazahnya dengan segudang ucapan.

"Darahnya bukan Aceh, tapi ia telah gila dan bunuh diri karena tak tahan menyaksikan duka Aceh," kata seseorang terbata-bata.

"Duka ini duka kita semua."

"Dia gadis cantik yang masih muda. Orang berjiwa seperti dia sangat dibutuhkan untuk menata negeri ini di masa depan. Sayang sekali dia meninggal."

"Rasa kebersamaanya luar biasa hebat, patut kita panjatkan hormat kepadanya."

"Ah, kenapa dia selemah itu. Harusnya dia lebih kuat," kata seseorang dengan ketus.

"Memangnya kenapa?" Seseorang yang lain bertanya.

"Lucu aja. Orang yang kehilangan seluruh keluarganya aja bisa tabah, nggak gila dan bunuh diri kayak dia."

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar meremuk jiwa. Dan, tiada seorang pun yang tahu mengapa perempuan itu gila lalu bunuh diri. Yah, tiada seorangpun yang tahu sebusuk apa nanah luka di dada perempuan itu, tiada seorang pun yang tahu, kecuali aku. Dan aku, aku tidak sanggup mengisahkannya kepadamu. Tapi karena telah kita terima kabar duka yang menyayat jiwa, aku ingin menghiburmu, ingin menghibur diriku dengan berkisah tentang perempuan lain, perempuan yang kukasihi. Mengapa harus perempuan lain? Mengapa tidak perempuan itu? Sesuka hatimulah, kau boleh menuduhku gila. Aku sedang sedih.

Umi nama kekasihku itu. Ia tidak memiliki ayah, tidak memiliki ibu, tidak memiliki saudara. Ayahnya mati sebagai salah satu korban DOM. Ibunya mati digerogoti kesedihan, tak tahan membayangkan kepala suaminya pecah diberondong peluru. Adiknya, adik lelakinya yang manis, tewas pada suatu hari di gedung sekolahnya yang terbakar. Pagi menjelang siang itu, gerombolan tentara tiba-tiba diserang pasukan tak dikenal. Tembak-menembak terjadi dengan sangat mengerikan. Beberapa aparat pemerintah tewas dan berakhir di tempat. Komandan regu murka, ia perintahkan anak buahnya membakar desa, menghancurkan segala yang ada dengan alasan bahwa penduduk setempat telah memberi tempat bagi para pemberontak. Penduduk desa kocar-kacir. Banyak yang tewas dihantam peluru dan hanya beberapa yang selamat, dan salah satunya adalah Umi. Seusai insiden, ia menguburkan mayat adiknya di belakang rumah, lalu pergi ke tempat yang jauh.

"Aku datang ke kota ini karena di sini aku punya seorang paman," katanya kepadaku. Ia menangis waktu itu. "Sekarang sudah kau tahu, aku tidak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini kecuali pamanku. Jadi, tentang sikapku yang sangat pendiam dan selalu murung, jangan kau tanyakan lagi. Sekarang, kau sudah tahu alasannya. Dan ingat, aku tidak pernah bisa sanggup menceritakan hal ini kepada siapapun. Aku tidak pernah sanggup," katanya terbata-bata, dan airmata mulai menetes dipipinya, "Aku menceritakannya kepadamu karena aku mencintaimu. Kau telah membuatku kuat."

Sejak menceritakan itu, Umi mulai bisa tertawa, bergaul dengan teman-temannya secara lebih wajar. Ia ternyata sangat menyenangkan. Tawanya renyah. Tingkahnya lucu. Aku bahagia melihat perubahannya. Tapi, aku juga menjadi sering kesal karena waktunya semakin berkurang kepadaku. Aku seperti kehilangan sesuatu yang sangat kusuka dari dirinya. Yah, terus terang, aku jatuh cinta kepadanya karena prilakunya yang aneh. Pada saat pertama kali ia tiba di kota ini, aku sering melihatnya merenung pada pagi hari di serambi rumah pamannya. Lalu, seperti takjub pada biru langit, ia seringkali berlama-lama memandang langit, tengadah dengan wajah tersenyum. Dan pada senja hari, ia melakukan hal sama. Sesekali ia juga menyanyikan lagu-lagu sedih dengan suaranya yang sangat merdu. Aku mengira ia gila pada awalnya, tapi setelah suatu kali aku menyapanya dan ia menjawab dengan sangat sopan, aku tahu bahwa ia adalah gadis yang tak biasa. Aku jatuh hati kepadanya. Sejak itu, aku mulai sering berkunjung ke rumah itu, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Pamannya sangat senang dan suatu kali berkata kepadaku, "Nak, kehadiranmu membuatnya lebih bahagia."

Tak berapa lama kemudian, ia masuk ke sebuah akedemi perawat. Bagaimanapun, kata pamannya, ia harus mempersiapkan masa depannya. "Saya sudah tua, sebentar lagi akan pensiun. Kelak, dengan bekal ilmu yang diperolehnya, ia bisa menata dan mempersiapkan hidupnya," kata pamannya waktu itu.

Dan setahun yang lalu pamannya benar-benar pensiun. Dan pada suatu malam aku diundang pamannya ke rumah mereka. "Nak, saya sudah pensiun. Kami sekeluarga punya rencana untuk kembali ke Banda Aceh," kata pamannya memulai, "Nanti setelah kau tua, kau akan tahu bahwa usia uzur seringkali membuat kita rindu pada kampung halaman. Saya dan keluarga mungkin akan lebih merasa damai jika tinggal di sana. Lagipula, anakku satu-satunya itu sudah berada di sana sejak beberapa tahun yang lalu. Seperti kau tahu, aku bersyukur sekali atas pilihannya menjadi seorang pendidik di sana. Jadi, karena Umi belum selesai kuliahnya, kutitipkan ia padamu. Ia akan tetap tinggal di rumah ini. Kelak, jika ia memutuskan kembali ke Aceh, rumah ini kami jual. Tapi jika tidak, biarlah rumah ini untuknya."

Pada saat itu aku bergetar menyadari kebaikan hati pamannya. Dan ketika mereka berangkat, aku menangis dan tiba-tiba menjadi sadar bahwa aku sudah sejak lama menjadi bagian keluarga itu. Aku benar-benar menangis.

Dan kini, diterima dan disaksikan kabar duka yang bergetar meremuk jiwa. Seorang perempuan muda meratap berhari-hari dan akhirnya bunuh diri tepat pada detik-detik pergantian tahun. Perempuan muda itu adalah Umi, kekasihku.

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar menyiksa jiwa. Aku ingin bunuh diri. ***

Pekanbaru, Desember 2004

Bagikan: