26 Juli 2017

Jenis-jenis Media Massa


SolupL - Pers atau media massa merupakan suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk menjangkau masyarakat luas, atau yang bersifat massal. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.

Ilustrasi.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.

Fungsinya media massa adalah alat/media perantara untuk menyampaikan pesan/informasi dari sumber kepada khalayak umum dalam jumlah yang banyak (massa). Jadi media massa adalah bagian dari komunikasi massa. Jenis-jenis media massa ada 3, yaitu media cetak, media elektronik dan media internet.

1. Media Cetak (printed media)

Surat kabar adalah contoh media cetak, merupakan media massa pertama kali yang muncul di dunia pada tahun 1920 an. Pada awalnya media massa digunakan pemerintah untuk mendoktrin masayarakat, sehingga masyarakat pembaca dapat mengetahui sesutu dengan tujuan tertentu pula. Namun saat ini kebebasan pers sudah sangat dijunjung, sehingga ada timbal balik kebutuhan antara surat kabar dengan audiens. Contoh-contoh media cetak: surat kabar, majalah dan tabloid.

2. Media Elektronik (electronic media)

Radio dan Televisi adalah contoh media elektronik. Setelah media cetak muncullah media elektronik pertama yaitu radio. Yaitu sebagai media audio yang menyampaikan pesan lewat suara. Kecepetatan dan ketepatan waktu dalam penyampain pesan radio tentu lebih cepat dengan menggunakan siaran langsung. Pada waktu penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan media massa radio berperan utama dalam penyebaran berita. Setelah itu muncul Televisi yang lebih canggih bisa menayangkan gambar. Yaitu sebagai media massa audio visual.

3. Media Massa Internet (cyber media/online media)

Contoh media massa internet atau media online. Baru populer di abad 21, google lahir pada tahun 1997. Media internet bisa melebihi kemampuan media cetak dan elektronik. Apa yang ada pada kedua media tersebut bisa masuk dalam jaringan internet melalui website. Banyak kelebihan media maassa internet dibanding media yang lain.

Namun akses internet yang masih terbilang bebas bisa berbahaya bagi pengguna yang belum mengerti. Misalnya penipuan, pornografi dsb. Media internet tidak harus dikelola sebuah perusahaan layaknya media cetak dan elektronik,  melainkan bisa juga dilakukan oleh individu. (bbs/int)
Bagikan:

09 Juli 2017

Sastrawan Sumbar Raih SEA Write Award 2017 di Thailand


SolupL - Rusli Marzuki Saria (RMS) menerima banyak panggilan telepon dan pesan singkat pada Senin (3/7) malam yang mengonfirmasi bahwa benarkah RMS terpilih sebagai  penerima South East Asean (SEA) Write Award 2017. Di antara orang-orang yang bertanya, ada pula yang meragukan kabar bahwa RMS menjadi penerima anugrah sastra dari Kerajaan Thailand itu karena pada 1997, RMS juga dikabarkan menerima SEA Write Award, tetapi ternyata hanya masuk nominasi.

Papa Rusli
RMS menceritakan hal itu kepada Haluan di rumahnya, Jalan Bangka No. 13, Wisma Warta, Ulak Karang, Padang, Selasa (4/7). Ia membenarkan bahwa ia dinyatakan sebagai penerima SEA Write Award 2017.

“Sebenarnya saya mengetahui bahwa saya ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award pada 7 Juni. Pemberitahuan itu saya terima melalui email dari Badan Bahasa. Bahkan, sehari sebelumnya, sudah ada teman yang mengabarkan informasi itu kepada saya melalui SMS. Namun, saya belum memberi tahu siapa pun karena nanti pasti akan ribut-ribut. Pada Senin (3/7), saya mengirim SMS kepada Dasril Ahmad untuk memberi tahu soal itu karena dia saya rekomendasikan sebagai narasumber yang akan diwawancarai Badan Bahasa pada 7 Juli ini,” ujar penyair yang kini berusia 81 tahun itu.

Setelah mendapatkan informasi dari RMS, Dasril Ahmad, dosen Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta (UBH), memberitahukan informasi tersebut kepada publik melalui status Facebook-nya pada Senin malam.

RMS mengatakan, dalam surel yang diterimanya, ia dinyatakan meraih SEA Write Award atas buku puisinya One by One Line by Line (Kabarita, 2014). Ia mengirim buku itu ke Badan Bahasa tidak lama setelah diterbitkan. Namun, ia tidak mengirimkan buku itu dengan maksud dimasukkan sebagai nomine penerima SEA Write Award, tetapi hanya sebagai dokumentasi untuk Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Saya tidak menyangka mendapatkan SEA Write Award pada tahun ini. Dulu, pada tahun 1997, buku puisi saya Sembilu Darah, masuk nominasi penerima penghargaan itu. Namun, buku puisi saya hanya nomor tiga sehingga hanya menerima penghargaan dari Pusat Bahasa. Pada tahun itu, Seno Gumira Ajidarma ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award. Dari tahun 1997 hingga 2017, berarti sudah dua puluh tahun saya menunggu penghargaan itu,” tutur pria Kamang, Kabupaten Agam, 26 Februari 1937 itu.

Sebelum berangkat ke Bankok, Thailand, pada Oktober 2017 untuk menerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand, RMS akan diwawancarai oleh tim dari Badan Bahasa pada 7 Juli ini. RMS menyebutkan, selain mewawancarai RMS, Badan Bahasa juga akan meminta komentar dari orang yang mengenal puisi-puisi RMS selama ini. RMS lalu merekomendasikan Dasril Ahmad dan Yusrizal KW kepada Badan Bahasa untuk diwawancarai.

“Saya merekomendasikan Dasril karena skripsinya tentang saya, dan Yusrizal KW karena buku One by One Line by Line diterbitkan Kabarita, penerbit miliknya,” ucap anggota DPRD Padang periode 1985-1991 itu.

RMS menambahkan, buku One by One Line by Line (sendiri-sendiri, sebaris-sebaris), berisi 90 puisi pilihannya sejak 1960-2010, dan 4 esai.

Anggota Staf Subbidang Penghargaan, Badan Bahasa, Luh Anik Mayani, melalui keterangan tertulisnya kepada Haluan, mengatakan, sastrawan Indonesia yang ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award adalah sastrawan yang pernah menerima Penghargaan Sastra Badan Bahasa. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang memperoleh Penghargaan Sastra Badan Bahasa secara otomatis ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award karena masih ada kriteria lain yang harus dipenuhi.

Ia membeberkan, ada beberapa kriteria seseorang ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award, antara lain, pernah menerima senghargaan sastra dari Badan Bahasa; menghasilkan karya secara konsisten dalam kurun waktu lima tahun terakhir; memiliki karya yang berdampak dan tersebar luas, baik berskala nasional maupun internasional; memiliki karya yang menonjolkan ciri khas keindonesiaan yang dapat dibanggakan di dunia internasional; dan memiliki karya yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban dan perdamaian dunia; danberperan aktif dalam pengembangan dan pembinaan sastra Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun internasional.

“Pak Rusli Marzuki Saria tercatat sebagai penerima Penghargaan Sastra Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) pada tahun 1997 melalui karyanya yang berjudul Sembilu Darah (1995). Beliau ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award karena beliau masih berkarya secara konsisten dan masih menghasilkan karya baru dalam lima tahun terakhir,” tuturnya.

Sementara itu, sastrawan lain yang terpilih sebagai penerima penghargaan sastra dari Badan Bahasa pada tahun ini adalah A. Mustofa Bisri (kumpulan puisi), Sungging Raga (kumpulan cerpen), dan M. Ibrahim Ilyas (naskah drama). Nama terakhir yang disebutkan adalah sastrawan yang sehari-hari beraktivitas di Padang.

RMS adalah sastrawan Sumatra Barat keempat yang menerima SEA Write Award. Sastrawan Sumbar pertama yang meraih penghargaan itu adalah A. A Navis pada 1992 atas buku Bertanya Kerbau pada Pedati, kemudian Wisran Hadi pada 2000 atas naskah drama Cindua Mato, dan Gus TF Sakai pada 2004 atas buku kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta.

Sementara itu, Dasril Ahmad mengatakan, ia menulis skripsi tentang puisi-puisi RMS saat kuliah pada Jurusan Sastra Indonesia di UBH pada 1986. Judul skripnya adalah "Pengaruh Kaba Minangkabau terhadap Puisi-Puisi Rusli Marzuki Saria".

Menurutnya, puisi-puisi RMS adalah puisi sederhana. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kerinduan, keresahan, napas keagamaan, dan kritik sosial. Beberapa nilai dalam puisi itu ditemukan adanya pengaruh dari kaba Minangkabau. Di samping itu, puisi-puisi RMS adalah puisi lirik-romantik-puisi yang berisi curahan perasaan.

“Puisi-puisi RMS adalah jenis puisi yang bertolak dari nilai-nilai budaya Minangkabau, yakni sastra lisan kaba. Struktur puisi-puisi RMS mempunyai persamaan dengan struktur kaba, yakni dari segi plot, latar, dan penokohan. Karena itu, puisi RMS patut dibaca dan diteliti lebih dalam sebagai upaya menggali, membina, dan mengembangkan budaya Minangkabau,” ucapnya.

Yusrizal KW, mengatakan, ia menerbitkan One by One Line by Line karena buku itu merupakan kumpulan puisi terbaik RMS yang dipilih oleh penyairnya sendiri sepanjang karier kepenyairannya. Karena itu, orang-orang yang tidak memiliki semua buku-buku RMS, bisa melihat puisi-puisi RMS pada buku tersebut.

“Kabarita hanya menerbitkan buku-buku berkualitas. Pada 2014, salah satu buku puisi yang diterbitkan Kabarita, yakni Odong-Odong Fort De Kock karya Deddy Arsya, meraih penghargaan buku puisi terbaik Tempo. Menurut kami, puisi-puisi Papa Rusli juga pantas kami terbitkan karena Papa memiliki orininalitas diksi dalam puisinya. Kabarita menerbitkan buku One by One Line by Line juga sebagai penghargaan kepada Papa dalam dunia kepenyairannya. Kami bangga Kabarita menjadi jembatan karya papa kepada pembaca,” tutur pendiri rumah baca Tanah Ombak.

Selain sebagai sastrawan, RMS merupakan wartawan di Padang. Ia menjadi wartawan Haluan pada 1969—1999. Di Haluan, ia mengelola rubrik Budaya, yakni Budaya Minggu Ini yang terbit tiap selasa, dan Remaja Minggu Ini yang terbit tiap Minggu. Dari tangannya di rubrik Budaya Haluan “lahir” banyak penulis yang berasal dari Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan daerah lainnya. (holy adib/harianhaluan.com) 
Bagikan:

05 Juli 2017

Melihat Kekacauan Zaman dari Lirik Lagu-lagu Batak


Oleh: Panda MT Siallagan

Sebuah simpul masih dipercaya hingga kini: karya yang bagus pasti tahan lama. Ia kekal melintasi waktu. Dan, adakalanya sebuah karya hadir menjawab dinamika sosial dari masa ke masa.

Karya dimaksud tidak terbatas pada satu bidang. Karya para intelektual dalam bentuk buku, karya para ilmuan, arsitek, para seniman dan budayawan, semua akan abadi oleh mutunya. Dan sering kali, kualitas sebuah karya tampak dari relevansinya terhadap perkembangan zaman.

Ilustrasi.
Bangsa Batak banyak melahirkan para ahli yang mumpuni di bidangnya. Dan mereka telah menyumbangkan karya-karya besar untuk kemaslahatan puaknya, bahkan untuk bangsa dan negara.

Kita ambil contoh di bidang musik. Batak telah melahirkan musisi-musisi legendaris seperti Nahum Situmorang, Tilhang Gultom, Cornel Simanjuntak, Bill Saragih dan lain-lain yang tak mungkin disebut satu per satu.

Sebagian karya-karya mereka kini diakui dunia bahkan ada yang menjadi lagu kebangsaan. Namun artikel ini tak akan membahas itu secara luas, tapi hanya ingin melihat sejenak bahwa lagu-lagu Batak sudah sejak dulu memperingatkan kita akan kekacauan zaman.

Kekacauan zaman yang dimaksud adalah situasi sosial yang kita hadapi pada masa ini, terutama tingkah-pola generasi muda secara sosial. Makin mudah kita saksikan generasi muda Batak sudah kehilangan jati diri. Mereka tidak lagi memahami apalagi manganut nilai-nilai budayanya.

Tatakrama pergaulan makin krisis, bahkan sebagian tak malu memamerkan diri dengan pose-pose erotis, terutama kaum perempuan. Kaum pria suka bicara kotor dengan kata-kata yang tidak pantas. Bahkan, antara laki-laki dan perempuan yang bersaudara dalam ikatan marga, sudah kerap bercanda-ria tanpa rasa sungkan. Dan itu antara lain bisa kita saksikan di media sosial atau sarana hiburan atau tempat nongkrong dalam dunia nyata.

Sebuah lagu berjudul Tinitip Sanggar, ciptaan Tilhang Gultom, kondisi itu ada digambarkan, demikian cuplikan liriknya:

... Nungnga godang di tikkion 
Akka baoa dang sipatihon
Pangalohana ai nungnya sipat
Naung maralo tu adat Batak
Ai dang tanda be na mariboto
Dohot mardalan marsigoitan...

(Sudah banyak pada masa ini
Para lelaki tak pantas ditiru
Perilakunya sudah terlalu
Bertentangan dengan adat Batak
Tiada beda saudara
Sambil berjalan bebas bergenit ria)

Lagu ini diciptakan jauh beberapa dekade di belakang. Tapi relevansinya bisa kita saksikan sekarang ini. Pada zaman yang rasanya kian gila digempur jejaring sosial atau medsos.

Nahum Situmorang menciptakan lagu Sega Nama Ho, kutipan liriknya sebagai berikut:

...Sega na maho
Namarbaju nasomalo
Ai molo sega ho ito
Sumolsol bagi nama ho

Tuntun lomomi o namarbaju
Sai namanggila doho
Na matua do ro manggoda ho...

Lagu menggambarkan rusaknya moral seorang perempuan, yang diistilahkan sebagai perempuan bodoh (namarbaju na so malo). Perempuan mengikuti kegilaannya, tergoda pada pria-pria tua. Dan lagu ini menegaskan: perempuan seperti ini akan terbuang, penuh penyesalan dalam hidupnya.

Di lagu lain, Tilhang Gultom menyampaikan kritik yang lebih keras, tentang seorang wanita menantu pendeta, yang bergaya menor, membuat rusak banyak orang. Tilhang seolah ingin mengatakan bahwa anak atau menantu dari pendeta pun bisa saja melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Seperti si Jamila dalam lirik lagu itu:

Oh...Jamilah...
Boru ru ni kalibat parumaen ni pandita
ai tung godang do halak sega dibahen ho da Jamilah
dirippu anak boru hape naung ina-ina,  oh jamilah

Anak-anak muda zaman sekarang cukup akrab dengan istilah cinta palsu, cinta palsu, obral kasih sayang, atau istilah lain yang mengacu pada makna itu. Dan memang, betapa gampangnya anak-anak muda kini mengatakan cinta. Lagu Antar Didongkon ciptaan Addimar Panjaitan yang populer tahun 80-an sudah mengingatkan itu.

...nungnga be huboto rohami.
ale ito da pargabus.
lao ma ho ito lao ma ho ito.
sian jabu nami on

mulak ma jo ho, mulak ma jo ho ale ito.
sotung sanga muruk, sotung sanga muruk au annon.

Itulah beberapa lagu Batak yang menggambarkan kekacauan zaman terutama kehidupan generasi muda. Lagu-lagu lama itu selamanya akan penting bagi zaman karena substansi atau ajaran moralnya selalu hidup dari masa ke masa. Demikianlah! Semoga bermanfaat. (***)


Bagikan:

02 Juli 2017

Pesona Puitis Bukit Simarjarunjung: Pohon Cinta, Desis Angin, dan Kopi


Belakangan ini, Dolok Simarjarunjung mendadak tenar. Sebab sejumlah foto sempat viral di media sosial: tentang rumah pohon atau rumah cinta. Rumah yang dicantolkan ke batang pohon pinus, dengan lansekap Danau Toba terhampar luas sebagai latar. Alangkah indah!

Rumah Pohon Bukit Simarjarunjung
Sebenarnya, ia tak tepat dikatakan rumah. Konsep 'rumah pohon' agaknya lahir dari inspirasi dangau berbentuk rumah panggung yang lazim ditemukan di areal persawahan desa-desa lama. Di sebagian desa, rumah semacam itu dinamai passa-passa. Gunanya: sarana berlindung bagi pemilik sawah dari cuaca ketika menjaga burung. Dari passa-passa ini lazim pula dibentang tali panjang untuk menggerakkan orang-orangan pengusir burung. Passa-passa ini kerap didesain di sebuah pohon yang berfungsi sekaligus sebagai tiang atau penyanggah.

Demikianlah 'rumah cinta' di Bukit Simarjarunjung itu. Kreatif. Bersandar pada sumber daya yang disediakan alam, yang selama ini belum tersentuh. Saat menaiki 'rumah cinta' ini, saya terkenang pada Ruma Bolon, rumah adat Batak. Ada tangga pada bagian depan untuk naik, dan kepala harus disurukkan untuk naik ke lantai. Hmm...!

Pada sore Sabtu 1 Juli 2017 itu, lokasi wisata yang diberi nama Bukit Indah Simarjarunjung (BIS), ini ramai disesaki pengunjung. Mereka datang dari berbagai daerah di Sumatera Utara, sehingga untuk naik dan berfoto ke rumah pohon itu harus antre berjam-jam. Duduk di bawah pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, angin mendesis kencang dari hamparan danau yang tenang, dingin tapi sejuk. Syahdu.

Iseng-iseng saya memesan segelas kopi yang disiapkan pengelola. Jujur: citarasa kopinya sedap. Saya jadi mahfum, sepanjang jalan menuju Tigaras, ladang-ladang kopi terbentang di sisi kiri-kanan jalan. Nikmat segelas kopi itu menguap jadi rasa syukur, sebab alangkah mengecewakan andai tersuguh kopi tak bercita-rasa di daerah penghasil kopi semacam itu. Harga juga sedap, cuma Rp5.000 per gelas.

Untuk naik dan berfoto di rumah pohon juga tergolong murah, Rp5.000 per orang. Biaya foto Rp10.000 untuk 5 kali jepret, atau Rp20.000 untuk 10 jepret. Fotografernya sudah tersedia, inilah agaknya salah satu cara pengelola untuk menghasilkan uang dari objek wisata itu.

Selain 'pohon cinta', sarana lain yang bisa dinikmati adalah ayunan yang juga dicantolkan ke pohon pinus. Pengunjung bisa sepuasnya berayun-ayun dengan menghadap langsung ke lembah terjal dan hamparan danau. Tak semua orang bernyali menikmati ayunan ini. 

Lesehan untuk bersantai juga tersedia, semacam joglo-joglo dengan aneka makanan yang masih terbatas. Dalam hal ini, perlu kiranya pengelola menyediakan menu-menu khas, atau kuliner tradisional untuk meneguhkan kekayaan budaya di daerah itu. Atau mungkin, perlu panggung atau ruang khusus untuk menggelar pertunjukan budaya. Sehingga sarana hiburan lebih variatif, tidak sebatas berfoto ria lalu pulang. 

"Ini prospeknya bagus, tapi harus dikelola secara profesional. Harus ditata sesuai standar pariwisata modern tanpa meninggalkan kearifan lokal," kata Hanna Panjaitan, istri saya, yang tampak kedinginan diterpa angin danau.

Rumah Pohon Simarjarunjung
Inilah persoalaannya. Standar keamanan lokasi itu masih jauh dari harapan. Sarana pembatas sepanjang tepi bukit ke lembah curam masih terbuat dari pagar kayu alakadarnya. Rasa was-was akan menghantui terlebih ketika anak-anak balita bermain bebas dan berlari-lari. 

Bukit Indah Simarjarunjung, Kecamatan Dolok Pardamean, Simalungun, betapapun telah menyajikan kesejukan sederhana. Dengan jarak tak lebih 40 kilometer dari Kota Pematangsiantar, lokasi itu bisa ditempuh dengan dua jalur: via Sidamanik, kota perkebunan yang murung. Atau via Simpang Raya, melewati desa-desa tua seperti Sipoldas, Simantin Tolu, Sibuntuon dan berujung di Sipintu Angin. 

Demikianlah, di Dolok Simarjarunjung yang dingin, pohon-pohon pinus menjulang tinggi, angin mendesis menyibak kulit, dan kopi menawarkan kehangatan yang tepat. Jauh di lembah sana, Pantai Tigaras menawarkan godaan air danau. Danau Toba yang terberkati. (Panda MT Siallagan)
Bagikan: