13 Juni 2016

Tentang Hari Puisi Indonesia

Sebagian besar pelajar dan mahasiswa di Indonesia belum mengetahui adanya Hari Puisi Indonesia. Padahal, Hari Puisi Indonesia itu sudah dideklarasikan 4 tahun lalu, tepatnya tanggal 22 November 2012. Pengetahuan tentang Hari Puisi Indonesia ini penting terutama bagi mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu budaya atau bahasa dan sastra Indonesia.

26 Juli, Hari Puisi Indonesia

Beberapa waktu lalu, tepatnya 28 April 2016, media sosial ramai dengan topik puisi. Sebuah tagar menjadi trending topik, yaitu: Selamat Hari Puisi Nasional. Netizen (masyarakat internet) lalu ramai-ramai menulis puisi. Di dinding-dinding jejaring, berhamburan kata-kata indah yang mereka namai puisi, atau kalimat-kalimat memorial pada penyair legendaris kita: Chairil Anwar.

Memang, penyair Chairil Anwar wafat tanggal 28 April. Chairil lahir di Medan, Sumatera Utara, tanggal 26 Juli 1922 dan wafat di Jakarta tangal 28 April 1949 pada usia 26 tahun. Penyair ‘Si Binatang Jalang’ ini hijrah ke Jakarta (Batavia) mengikut ibunya yang bercerai dengan sang suami. Hingga kini, pengagum Chairil Anwar terus bertambah. Puisi-puisi Anwar yang hanya berjumlah 70-an judul itu, juga sangat dikagumi oleh generasi lintas zaman, bahkan hingga era digital ini.

Kita tidak tahu siapa orang yang mencetuskan Hari Puisi Nasional tanggal 28 April. Padahal sejauh ini, tidak ada deklarasai atau penetapan soal itu. Ucapan-ucapan Selamat Hari Puisi Nasional dengan demikian bisa menjadi informasi yang membingungkan. Sejumlah media-online bahkan menulis secara terang-terangan bahwa hari wafatnya Chairil Anwar diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

Agar kebingungan tersebut tidak melebar, sebaiknya dijelaskan bahwa Indonesia memang benar sudah memiliki Hari Puisi. Namanya Hari Puisi Indonesia, bukan Hari Puisi Nasional. Peringatan Hari Puisi Indonesia juga bukan pada tanggal wafatnya Chairil Anwar, tapi pada hari lahirnya, yaitu 26 Juli.

Deklarasi dan penetapan Hari Puisi Indonesia itu dilakukan oleh puluhan penyair Indonesia di Pekanbaru, Riau, 22 November 2012 silam. Setelah ditandatangani para penyair, teks deklarasi dibacakan oleh presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.

Sejumlah penyair yang ikut mendeklarasikan Hari Puisi Indonesia antara lain Sutardji Calzoum Bachri (Jakarta), Rida K Liamsi (Riau), John Waromi (Papua), D. Kemalawati (Aceh), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), Kazzaini KS (Riau), Rahman Arge (Sulawesi Selatan), Micky Hidayat (Kalimantan Selatan), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Anwar Putra Bayu (Sumatera Selatan), Dimas Arika Mihardja (Jambi), Pranita Dewi (Bali), Bambang Widiatmoko (Jakarta), Fatin Hamama (Jakarta), Sosiawan Leak (Jawa Tengah), Agus R Sarjono (Jakarta), dan Jamal D Rahman (Jakarta), Chavcay Syaefullah (Banten), Husnu Abadi (Riau), Hasan Albana (Sumatera Utara), Hasan Aspahani (Riau), Iyut Fitra (Sumatera Barat), Marhalim Zaini (Riau), Panda MT Siallagan (Sumatera Utara), Jefri Al-Malay (Kepulauan Riau), dan Samson Rambahpasir (Kepulauan Riau).

Setelah dideklarasikan, peringatan Hari Puisi Indonesia telah berlangsung rutin mulai tahun 2013, 2014 dan 2015. Bahkan, untuk menyokong konsistensi perayaan Hari Puisi Indonesia, Yayasan Hari Puisi telah didirikan atas inisiatif penyair Rida K Liamsi. Yayasan ini telah menggelar perayaan Hari Puisi Indonesia setiap tahun dengan berbagai acara, termasuk menyelenggarakan Anugerah Hari Puisi, yaitu penghargaan atas buku puisi terbaik. Demikianlah! (panda mt siallagan)

Teks Deklarasi Hari Puisi Indonesia

Indonesia dilahirkan oleh puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air. Puisi pendek itu adalah Sumpah Pemuda. Ia memberi dampak yang panjang dan luas bagi imajinasi dan kesadaran rakyat nusantara. Sejak itu pula, sastrawan dari berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia, mengantarkan bangsa Indonesia meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.

Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sangat nasionalistis. Dengan semangat itu pula para penyair memilih menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga puisi secara nyata ikut membangun kebudayaan Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental pada Chairil Anwar, yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak utama tradisi puisi Indonesia modern.

Sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan dan kesusastraan, sekaligus untuk mengabadikan kenangan atas puisi yang telah ikut melahirkan bangsa ini, kami mendeklarasikan tanggal lahir Chairil Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia.

Dengan ditetapkannya Hari Puisi Indonesia, maka kita memiliki hari puisi nasional sebagai sumber inspirasi untuk memajukan kebudayaan Indonesia yang modern, literat, dan terbuka.

Pekanbaru, 22 November 2012 ***
Bagikan:

12 Juni 2016

Sajak Mistis dari Lembah Toba


Lanskap pusuk buhit
Foto/Internet
Sajak-sajak Panda MT Siallagan


Aubade Lembah Toba

Suatu sementara aku tidur
di dalam babi panggang, mendengar
kepala berdenyut jadi cicak,
bersama dengung kipas komputer.
Aku tidur dihantar segelas kopi
berbau jagung, ditemani tawa remaja
penuh dusta, di halaman rumah
mengkaji-kaji bulan, tolol sekali
tawa itu menemaniku tidur. Oh sepi,
hai sepi, hai Mulajadi Nabolon,
aku bermimpi tentang janggutmu
menugal punggungku, seperti kolesterol
yang menderu di leher, menugal-nugal
lubang di antara bibir, dengkur, siapakah
yang menanam gorga ini?

Goresan-goresan darah memanjang
di ujung desa. Goresan-goresan darah
menjangkau kota di dadaku, memburu
babi panggang, mengejar jeruk nipis,
aku tidur mengenang tulang-belulang
yang hanyut menemui cacing, cacingku,
cacingmu, cacing yang bergendang
dan tidur bersama tidurku. Aku mati,
tersisa jadi daun-daun di pekuburan,
kemudian lari ke pohon beringin,
berteduh di samping ular
yang bermimpi jadi tidurku,
oh Mulajadi Nabolon, lemparkanlah
awan itu, aku ingin mendengkur
tenang, mendengkur tentang ombak 
yang melompat menangkap gagak
di punggung kerbau, dan hinggap jadi cicak
di kepala kerbau, mematuki garis-garis gorga.

Suatu sementara aku bermimpi,
terbang jadi burung ke kamar mandi,
lalu berjongkok atau berkicau
tentang debur petir dari mulut naga,
suaraku menjelma asap rokok,
menerbangkan atap-atap,
menjatuhkan langit ke dalam rumah.

Dari kamar mandi aku melompat
ke  ranjang yang terbuat dari langit,
dan mulai tidur tenang.
Kudengar dengkur babi menjauh
dari mulut anak-anak muda
di halaman rumah itu, mungkin mereka
pergi ke bawah pohon beringin,
menyerahkan pantat pada semut
atau cerita murahan tentang cita-cita
yang terpampang dalam smartphone.
Aku tidur tenang dalam smartphone,
dalam mimpi yang pergi
mencari-cari pagi dan embun
yang pernah terpampang sebagai cerita
di mata ayah, atau sarang laba-laba
yang pernah membingkai rambut ibu
jadi pelangi di punggung gunung,
oh Mulajadi, aku ingin jadi pelangi
membungkam Pusuk Buhit.

Lalu ekor naga. Pelangi menjelma
ekor naga, memukul-mukul danau,
menerbangkan perahu-perahu, oh babi
panggang. Aku terbangun mengingat
babi panggang yang mengantarku
pada kiamat di Pusuk Buhit
dan ekor naga berwarna pelangi,
membangunkanku dari mimpi.
Lututku gemetar, dadaku bergemuruh,
tengkukku panas, layar komputer masih
menyala memandangi rumah yang sepi
dipermain-mainkan cicak dan tikus.
Oh, di jalanan yang jauh, orang-orang
berteriak tentang gol sepak bola,
mengapa layar kaca seperti pusaran air
yang menghisap segala? Nyamuk
berdengung, dan kudengar bibir dokter
meledak seperti balon:
kolesterol, kolester, koles, kol, ko, k!
Sepertinya, sepakbola telah berakhir
dan penggila-penggila itu pulang
ke tubuhku, mencari-cari aroma
babi panggang. Dan kudengar
Yudas bersimpuh dengan tangis bayi
yang melengking dari rumah tetangga,
 memelas penuh cinta, katanya:
Oh, Mulajadi Nabolon, maafkan
tangan-tangan jahil yang melemparkan
mobil-mobil ke Pusuk Buhit itu.

Suatu sementara tidurku semakin kacau,
pohon-pohon tumbuh di atas meja,
melemparkan buku-buku
ke dalam komputer, lalu seisi rumah
terbang jadi ulos dan pergi
meninggalkan tidurku. Sebuah suara
nyaring menyambutku, “Selamat pagi,
anak-anak sudah pergi sekolah,
ayo kita sarapan puisi!"

Pematangsiantar, 2016

Kutuk Puisi

Sejak demam itu, tanam-tanaman
berebut lubang tumbuh di tubuhku,
sejak puisi itu.

Jagung meninggalkan ladang,
memutus masadepan dan hari tua.
Parutan menganga, membuka takdir
dan meremukkan waktu demi jiwaku.
Lumpur jagung menjelma Tuhan,
melemparkan sungai ke bukit-bukit
gersang. Melarung virus. Merawat puisi.

Sungguh sejak demam itu, sejak puisi itu,
daun asam dan temulawak tiba jua
menjelma budak, mengabdi pada tuan buruk:
tubuh lumpuh penuh ruam. Oh… tragis,
tubuh jadi medan perang

Tapi sungguhkah jagung, daun asam
dan temulawak mujarab menambal luka?
Kuseru lagi puisi-puisi itu. Ciplukan tiba
dari huma, mengurai takdir dalam panci,
pada air pada api. Dan terbanglah
ke bandar, wahai, bertempurlah di lautan,
merekam puisi ibu: mandilah anakku,
mandilah, sebab surga masih jauh.

Dan mimpi berakhir di lorong infus,
pada daratan kutuk:  kerikil-kerikil hitam
dan puing-puing perang membusuk
di tubuhku. Kembalilah, bisik roh
pengutus demam itu, dan aku berhenti
di bawah pohon kemiri. Perang
berkumandang lagi: petik dan cungkil
buah-buah muda itu, aduk dengan kucai
di lembah lesung. Remukkan hingga debu,
lumpurkan di bawah pancuran. Dan aku
berenang di lumpur itu.

Tapi demam itu menjelma kelabang
dalam lumpur, menggerogoti segalaku.
Sejak itu, aku tak ingin bicara lagi,
sebab puisi tak utuh lagi. 

Pematangsiantar, 2016
Bagikan:

10 Juni 2016

Pustaha Laklak, Aksara Batak, Mistik Gubahan Datu

Oleh Panda MT Siallagan

Salah satu warisan berharga kebudayaan Batak adalah pustaha laklak (kitab kulit kayu). Pustaha laklak ini sangat populer di kalangan orang Batak, baik generasi terdahulu maupun generasi yang lebih baru. Tapi jika dilakukan jajak pendapat, saya yakin, hampir 100 persen masyarakat Batak tidak tahu atau tidak pernah membaca buku laklak yang sebenarnya.


Inilah ironinya. Jangankan membaca pustaha laklak, membaca dan menggunakan aksara Batak saja sebagian besar orang Batak mungkin tidak mampu. Saya termasuk generasi Batak yang seumur hidup tidak pernah belajar dan mendapat pengajaran aksara Batak. Sistem pendidikan yang tak pernah serius memasukkan Aksara dan Bahasa Batak sebagai muatan lokal, patut kita curigai sebagai upaya laten menenggelamkan kekayaan khasanah budaya itu. Simpulnya jelas: pustaha laklak yang ditulis dengan aksara Batak akan tenggelam dihisap arus zaman dan kelak hanya tertinggal sebagai kisah-kisah.

Upaya transliterasi pustaha laklak ke dalam aksara latin juga jauh panggang dari api. Kita tidak tahu, kegaiban apa sesungguhnya termaktub dalam pustaha laklak itu sehingga generasi muda sering dihasut untuk tidak membacanya. Ketika saya masih kanak-kanak, racun itu dipaksa saya telan dengan sempurna: bahwa buku laklak berisi jampi-jampi atau mantera-mantera yang apabila dibaca bisa menyebabkan kesurupan atau kerasukan, jadi sebaiknya tak perlu berhasrat mengetahui isi pustaha laklak itu.

Setelah dewasa (kini mulai tua), saya mengenang petuah itu sebagai kebohongan yang bisa melenyapkan eksistensi salah satu aset budaya. Dan hingga kini, saya tidak pernah bisa menyaksikan pustaha laklak yang sebenarnya. Sebab konon, ribuan naskah kuno Batak dalam pustaha laklak itu berada di Eropa, terutama Belanda dan Jerman. Untuk melihat wujud atau manuskripnya, seseorang harus ke Eropa. Betapa menyedihkan.

Suatu kali, dalam perjalanan penuh nostalgia ke beberapa objek wisata di kawawan Danau Toba, saya terkejut menyaksikan banyak sekali suvenir pustaha laklak terpajang di toko atau kios-kios penjual suvenir wisata. Saya tanya kepada pedagang, apakah aksara yang tecatat di suvenir itu mengacu pada isi pustaha laklak yang sebenarnya? Si pedagang menjawab: tidak. Bahkan, aksara yang tertulis di suvenir itu seringkali tak punya makna, yang penting menyerupai aksara Batak.

Kenapa bisa begitu? Sebab konon, perajin suvenir ada yang buta huruf, sama sekali tak menguasai aksara Batak. Keuntungan terbaik yang bisa diperoleh dari suvenir itu adalah kebenaran aksaranya, jika kebetulan perajinnya melek aksara Batak. Maka, aksara yang tertulis dalam pustaha suvenir hanya pajangan kaligrafis hampa makna. Tapi begitupun, ide kreatif itu patut diapresiasi, paling tidak dalam konteks melestarikan ingatan generasi baru bahwa Batak punya aksara dan ribuan naskah kuno.

Pertanyaannya, apakah selama-lamanya generasi Batak akan mendiamkan pustaha itu tanpa mengetahui isinya? Dan apa sesungguhnya isi naskah-naskah itu? Apakah dalam buku laklak itu tercatat umpasa-umpasa? Apakah di dalamnya terdapat dongeng (turi-turian) atau mitos-mitos Toba yang mistis itu? Apakah di dalam laklak terdapat juga ilmu-ilmu pengobatan tradisional yang kita kenal sekarang ini? Saya pikir, harus ada proyek besar transliterasi pustaha ini, agar generasi baru bisa membacanya.

Selama ini, kita hanya tahu dari referensi terbatas. Sejumlah sumber mengatakan, pustaha laklak umumnya berisi ilmu supranatural atawa mistik Batak. Di dalamnya ada petunjuk-petunjuk hadatuon. Hadatuan itu antara lain pangulubalang, mantera tunggal panaluan, pamunu tanduk, pamodilan, gadam, pagar, simbora, dorma, paranggiron, pamapai ulu-ulu dan lain-lain.

Selain itu, terdapat juga horoskop (ilmu perbintangan) Batak yang dinamai parmesa na sampulu duwa, panggorda na ualu, pehu na pitu, parmamis na lima, tajom burik, panei na bolon, parhalaan, dan ramalan-ramalan yang digunakan memakai tubuh hewan.

Hadatuan memang termasuk warisan budaya Batak yang paling seram dan mengerikan. Sampai saat ini, fenomena sigumoang (begu ganjang) masih kerap terjadi tatanan sosial masyarakat Batak. Di mana-mana, gejalanya sama: seseorang dituduh memelihara begu ganjang dan biasanya dikaitkan dengan adanya orang sakit atau meninggal secara tidak wajar di daerah itu. Sederhananya: tuan pemilik begu menyuruh begu ganjang miliknya menyakiti atau membunuh. Dan sebagai balasan, orang itu harus diusir bahkan kerap dihakimi hingga tewas.

Selain begu ganjang, ada juga pangulubalang. Sebagaimana begu ganjang, pangulubalang juga merupakan peliharaan atau suruh-suruhan si tuan (biasanya datu) untuk menyakiti musuh atau lawan yang tak berkenaan di hatinya. Namun, ada juga pangulubalang yang khusus ditugasi mengawal rumah, kampung dan ladang. Nah, kalau kita baca, proses penciptaan pangulubalang ini memang sangat dasyat dan mengerikan dibayangkan.

Menurut TM Sihombing dalam bukunya Jambar Hata, proses penciptaan pangulubalang diawali dengan menculik seseorang dari kampung musuh lalu menjadikannya tawanan. Tawanan itu kemudian dikubur hidup-hidup dalam posisi berdiri, hanya kepala yang mencuat atau kelihatan di atas permukaan tanah. Lalu dibiarkan berhari-hari.

Setelah si tawanan kelaparan dan kehausan dalam posisi tubuh terkubur, datu berkata, "Kau akan kuberi minum dan makanan lezat, apapun yang kau mau. Tapi kau harus berjanji tunduk padaku, dan harus patuh melakukan apapun yang kuperintah."

Karena rasa haus dan lapar yang maha hebat, si tawanan itu mengiayakan. Lalu datu menyuruhnya membuka mulut. Dan si tawanan berpikir, ke mulutnya sedang dituangkan air minum, tapi yang dituang ternyata cairan timah yang sedang mendidih. Si tawanan pun mati. Setelah dibiarkan berhari-hari, lelehan mayat itu diambil dan disimpan dalam wadah, sementara tulang-belulangnya disangrai hingga jadi abu. Kedua bahan ini kemudian dicampur dengan ramuan-ramuan. Setelah itu dibuat patung. Patung dan ramu-ramuan inilah pangulubalang yang bisa dusuruh-suruh datu menghabisi lawan-lawannya.

Itulah antara sejumlah mistik yang konon tercatat dalam pustaha laklak, sehingga memang sangat mengerikan untuk dipelajari. Adapun aksara Batak, konon lahir juga dari tulisan seorang datu. Namanya Mangarapintu. Mangarapintu sempat terbawa ke langit dan di langit ia belajar dari Batara Guru tentang berbagai ilmu, termasuk ilmu aksara. Setelah ia pulang ke bumi, ia mengambil kulit (laklak) kayu dan menuliskan seluruh ilmu yang dipelajarinya. Itulah aksara dan pustaha mula-mula, yang konon naskah-naskah itu berada di Eropa. Demikianlah, semoga bermanfaat, semoga ada masukan. Horas....! ***
Bagikan:

06 Juni 2016

Di Depan Lukisan Herbert Hutagalung, Gadis Muda Terpana

Oleh Panda MT Siallagan

Seorang gadis cantik terpana dan takjub menatap sebuah lukisan berjudul Di Pinggir Kali Ciliwung, dan berkata dengan suara bahagia, "Alangkah manisnya!" Lukisan itu adalah karya Herbert Hutagalung, pelukis Batak yang sangat disegani pada zaman kolonial.

Pelukis Batak Herbert Hutagalung

Lukisan Herbert itu sedang dipampang pada sebuah pameran di Gedung Kunstkring, yang berlangsung tanggal 3-19 September 1942. Beratus-ratus orang datang setiap malam menyaksikan pameran itu, dan barangkali beribu orang terhibur, terharu dan bahagia menyaksikan lukisan Herbert itu.

Tapi di tempat lain, di sebuah rumah sakit, maut sedang mengintai. Saat pameran berlangsung, Herbet sedang sakit parah. Ia berjuang melawan sakitnya, sementara banyak orang bahagia menatap lukisannya. Dan tak lama, kira-kira sebulan kemudian, tepatnya 11 Oktober 1942, Herbert Hutagalung wafat, meninggalkan keindahan di dunia yang fana ini.

Kisah ini saya temukan dari buku karangan S. Sudjojono berjudul Seni Lukis, Kesenian dan Seniman. Buku ini pertama kali terbit di Jogyakarta tahun 1946, tapi buku yang saya punya adalah terbitan ulang tahun 2000 oleh Yayasan Aksara Indonesia, dengan penyunting Eka Kurniawan dan Subandi.

S. Sudjojono sendiri adalah pelukis legendaris Indonesia dan dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern. Demikian kesaksian Sudjojono: "Dia sendiri sakit keras, tetapi gambarnya menggembirakan orang dan berjanji membawa si penglihat ke dunia yang tenang, dalam mimpi yang bahagia, kebagusan rakit dan bukit di pingir Sungai Ciliwung yang mengalir sudah beribu-ribu tahun lamanya dari pegunungan tinggi di tanah Priangan ke lembah bawah, lembah Jakarta, menuju ke lautan Jawa."

Lukisan seperti apakah kiranya buah karya yang membuat orang-orang dan gadis muda itu takjub? Itu adalah lukisan tentang Sungai Ciliwung dari perspektif yang berbeda. Berdasarkan catata Sudjojono, kita kemudian tahu bahwa sudah sejak masa kolonial Sungai Ciliwung itu jorok dan setiap hari mengalirkan limbah domestik. Tapi lewat lukisannya, Herbert menyadarkan orang bahwa Ciliwung adalah sungai yang indah.

"Orang banyak yang berjalan, melancong, bersuka-suka di pinggir sungai tadi atau mandi, mengail, berak, bersendagurau saban hari di air itu, tak ingat akan kebagusan Ciliwung. Tapi Herbert menunjukkan kepada mereka, mencoba memberitahu, dan mengarahkan mata mereka sekejap, ke gambarnya untuk menolong menegaskan bisikan Ciliwung: Lupakan ribut sehari-hari, pandanglah aku dari sudut pandangan lain. Kecuali aku berfaedah bagi kamu semua, aku juga bagus. Tak cantikkah aku, aku  sebagai Sungai Ciliwung?" ujar Sudjojono.

Sayang sekali, tak banyak referensi tentang perjalanan hidup Herbert Hutagalung. Atau barangkali, saya belum memperolehnya dan besar harapan saya, generasi muda Batak dapat mengenal tokoh hebat ini sedetail-detailnya agar bisa hidup jadi inspirasi. Sejauh ini, satu-satunya referensi saya paling mewakili adalah buku S.Sudjojono ini.

Ketika Herbert meninggal, Sudjojono mengalami 'penglihatan' nyata pada sebuah kenangan. Sangat dekat. "Herbert datang ke rumah saya, memakai pet putih, kemeja bergaris, sepatu putih sol hitam, tas kelabu panjang, koper cat menggambar yang kecil, hendak menggambar di dekat Sekip beberapa bulan sebelum Perang Pasifik pecah. Saya termenung. Namanya tak saya coret dalam daftar anggota PERSAGI meskipun saudara Herbert tak ada lagi, sebab saya tahu dia tak keluar dari hati PERSAGI".

PERSAGI adalah organisasi seni rupa Indonesia, singkatan dari Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia. Organisasi ini berdiri 23 Oktober 1938, diketuai Agus Djaya Suminta dan sekretaris S. Sudjojono, dengan para anggota: Ramli, Abdulsalam, Otto Djaya, S. Tutur, Emira Soenassa, L. Setijoso, S. Sudiardjo, Saptarita Latif, Herbert Hutagalung, Sindusisworo, TB. Ateng Rusyian, Syuaib Sastradiwilja, Sukirno dan Suromo. PERSAGI bertujuan membentuk para seniman lukis Indonesia menciptakan karya seni yang kreatif dan berkepribadan Indonesia. Menurut S. Sudjojono, Herbet selalu turut dalam pameran-pameran awal yang digelar PERSAGI.

Kita tahu, S. Sudjojono masih panjang umur dan hidup hingga tahun 1985. Saya berimajinasi, andai ada generasi muda Batak peduli ketika itu dan berupaya mewawancarai S. Sudjojono, mungkin saat ini kita bisa menemukan kisah-kisah yang lebih lengkap tentang Herbert Hutagalung. Memang, dalam sejumlah pembahasan tentang perkembangan seni rupa modern Indonesia, nama Herbert selalu disebut namun tidak terurai sejarah lengkap kehidupannya (semoga ada, semoga sayalah yang belum mendapatkannya).

Menurut S. Sudjojono, Herbert Hutagalung lahir di Tarutung, Tapanuli (waktu itu masih keresidenan) tanggal 24 Maret 1917. Demikianlah, semoga bermanfaat. ***
Bagikan:

05 Juni 2016

Nabokov dan Peri-peri Asmara

Oleh Panda MT Siallagan

Peri-peri asmara
Ilustrasi/Internet
Tahun ini kita dikejutkan sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menggelinding hingga ke istana. Ulasan tentang hukuman terhadap pelaku bergulir amat panjang. Dan, kebiri menjadi tema lazim. Betapa memalukan sebetulnya: pemotongan alat kelamin diperbincangkan sedemikian vulgar.

Saya ringkaskan sebuah kisah: Humbert Humbert (selanjutnya disebut H.H) dan Annabel saling jatuh cinta pada usia yang sangat belia. H.H berusia 13 tahun, lebih tua beberapa bulan dari Annabel, sang peri asmara. Betapapun rapuh kisah-kisah hati permulaan semacam ini, tapi ia bisa sangat gila dan mengetengahkan dua jalur berbahaya: kehancuran atau kedewasaan.

Seperti itulah pengakuan H.H, perasaan saling memiliki itu telah membuat mereka gila dan hanya bisa dihentikan dengan perbauran seluruh jiwa dan raga antara keduanya. Gampang diduga, H.H dan Anabella kemudian terjebak dalam percobaan-percobaan liar tentang bagaimana gelegak yang merusakkan jiwa itu diekspresikan. Dan secara alami, Humbert dan Anabella sampai pada pengalaman spiritual, tentang bagaimana dan mengapa mereka hadir di dunia yang penuh misteri ini.

Singkat simpul, mereka seolah tiada lagi terpisahkan dan hanya akan mampu menatap dunia dalam kebersamaan yang sesunggguhnya tiada harapan. Sebab, pertemuan emosional yang mereka perankan itu adalah neraka bagi orang-orang yang melihat pasangan itu sebagai bocah. Dan demikian adanya: mereka memang bocah yang baru saja menemukan alamnya yang mengerikan, sekaligus membahagiakan, dan kita menyebut mereka sebagai monyet dengan cap ‘cinta monyet’.

Di tengah ekstase yang membubung itu, otak dan jiwa H.H tiba-tiba pecah dan retak, sebab Anabella meninggal diserang tifus, empat bulan sejak mereka saling jatuh cinta. H.H tertinggal, terdampar dalam sepi yang gerun sebagai pangeran kecil yang tak punya pijakan untuk sekedar menjerit atau berteriak. Siapapun dapat memahami, betapa tak tertanggungkan luka itu. Dan H.H tumbuh dalam rasa sakit yang tak bisa dipahaminya selama-lamanya.

Sejak itu hingga H.H dewasa, retakan itu terus membayang-bayangi hidupnya dan sesosok hantu mengerikan lahir secara alami dalam jiwanya: ia terobsesi pada Annabel yang bocah, dan ia tak bisa lagi mencintai wanita dewasa. Ia bisa merasa jijik pada pada wanita-wanita anggun berbau parfum, tapi setiap menyaksikan gadis kecil seusia Annabel, jiwanya menyala seperti api yang siap menggilas segala yang mungkin terbakar. Meski sekuat-kuat kesadaran ia meredam dosa memalukan itu, tapi pada akhirnya ia kalah, remuk dan tak berdaya, dan ia tahu: eksistensinya sebagai manusia terjerembab dalam getaran-getaran dasyat setiap bertemu dengan gadis-gadis kecil, yang kemudian ia namai: peri-peri asmara.

Maka kita kemudian mahfum, alangkah bahagia H.H menyaksikan gadis-gadis kecil itu bergerombol ketika pergi dan pulang sekolah, betapa rindunya ia pada Annabel yang anggun dalam ingatannya yang penuh derita. Ia sempat menikah dengan seorang wanita bernama Valeria, tapi rumah tangga itu segera berakhir karena Valeria memilih pergi bersama pria lain.

Ketika usia H.H menginjak 40 tahun, ia bermigrasi ke Amerika, dan malapetaka Annabel itu sepertinya tak akan berakhir. Ia jatuh cinta kepada gadis bocah bernama Lolita, putri induk semangnya. Sementara di lain pihak, induk semangnya yang sudah janda itu jatuh cinta padanya dan baginya itu sangat memuakkan. Tapi, agar selalu bisa berdampingan dengan Lolita pujaan hatinya, H.H bersedia menikahi ibu gadis itu. Dan takdir berpihak padanya, ibu si gadis meninggal dalam sebuah kecelakaan.

H.H menemukan impiannya yang sesungguhnya, dan membawa anak tiri sekaligus kekasihnya itu berkelana mengelilingi Amerika, menikmati cinta terlarang yang getir, kontroversial, dan penuh dengan saputan rasa takut. Selama dua tahun H. H bersama Lolita berkelana dari satu tempat ke tempat lain, hidup dihantui rasa cemburu yang tak tertanggulangi, hingga gadis itu akhirnya melarikan diri.

Dua tahun lebih H.H menghabiskan waktu mencari gadis itu. Dan ketika mereka bertemu lagi, Lolita sudah menikah dan sedang mengandung anak pertamanya. Pada bagian inilah H.H sadar bahwa ia tidak hanya mencintai Lolita sebagai anak kecil berusia dua belas tahun, tapi benar-benar mencintai Lolita tanpa hitung-hitungan usia.

Kisah berakhir dengan sebuah aksi pembunuhan. Ya, H.H membunuh suami Lolita yang menyia-nyiakan kekasihnya. Tapi bagaimanapun, H.H bukan seorang hipokrit berhati keji. Ia mengakui dirinya sebagai pengidap pedofilia buas yang sewaktu-waktu dapat merusak kehidupan gadis-gadis kecil, dan untuk menahan kebuasan itu, ia sudah berpengalaman menanggung derita, seperti diakuinya: Aku tahu benar apa yang kulakukan dan bagaimana melakukannya tanpa menodai kesucian seorang bocah. Aku yang berpengalaman dalam kehidupan pedofiliaku, yang angan-angannya terasuki peri-peri asmara yang bertebaran di taman-taman, telah menahan kuat-kuat kebuasanku di sudut sebuah trem yang paling panas dan paling padat disesaki anak-anak sekolah.

Pengakuan H.H terkisah secara menakjubkan dalam novel berjudul Lolita, gubahan Vladimir Nabokov, sastrawan dua negara yang sangat bertentangan. Nabokov lahir di St Petersburg, Rusia, dan menjalani hidupnya sebagai putra pejabat kaya pengikut Kaisar. Proses kreatif kesastraan Nabokov jauh-jauh hari sudah terbentuk secara mapan di Rusia, lalu ia hijrah ke Amerika. Lolita ditulis setelah ia berada di Amerika. Novel kontroversial ini sempat dilarang beredar di Amerika, tapi pada akhirnya, Lolita dianggap menjadi salah satu novel terbaik di dunia.

H.H, tokoh utama dalam novel itu, saya ketengahkan untuk direnungkan dan nyatalah bagi kita: pedofilia dilatari peristiwa hebat yang mengguncangkan jiwa dan sesungguhnya, perasaan cinta yang senantiasa menggebu pada gadis-gadis cilik tidak lahir bersama hasrat kekerasaan. Tapi, sebagaimana bisa kita tangkap dalam kisah ini, pengidap pedofilia yang ditolak secara membabi-buta di tengah-tengah masyarakat, telah menjadikan mereka jadi pecinta yang dipenuhi rasa takut, mahluk amoral yang gila dan harus disingkirkan dari muka bumi ini.

Maka ketika tak ada jalan dan ruang pembenaran bagi cinta mereka atas gadis-gadis cilik, mereka melakukannya dengan kekerasan yang dipenuhi rasa putus asa: menunaikan cinta sekaligus mengakhirinya dengan kepasrahan pada maut. Maut pada kekasih hati, sekaligus maut pada diri sendiri.  Sekarang mari bertanya, mengapa Negara mewacanakan kebiri sebagai hukuman bagi mereka? Mengapa tak ada upaya menghormati kenangan traumatis yang menyebabkan gangguan kejiwaan itu muncul? Mengapa diskusi tentang hal itu serasa tersingkir?

Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1955 di Paris, Perancis, dan itu menunjukkan kepada kita bahwa Pedofilia sudah ada sejak setengah abad atau bahkan ratusan tahun silam, dan Indonesia baru saja digemparkan dampaknya yang mengerikan beberapa bulan belakangan ini. Pada akhirnya, saya ingin mengatakan hal sederhana: andai para elit dan tokoh-tokoh bangsa membaca sastra, barangkali tak perlu ada wacana memalukan soal kebiri, kita barangkali hanya perlu membentuk ruang-ruang yang lebih manusiawi untuk mengenal dan menyiasati ihwal kejiwaan tiap-tiap warga. ***

Sumber: Sumut Pos, 5 Juni 2016
Bagikan: