27 November 2016

Cerpen: Tabir Monalisa


Oleh: Panda MT Siallagan

Sebenarnya, ia tak pandai berbasa-basi, apalagi menyemir sepatu. Tapi demi bisa masuk ke ruangan Tuan Maranggir, ia mempelajari dua hal itu dengan semangat dan hasrat yang menggetarkan. Dan pagi yang cerah itu, ia tiba lebih awal di areal pabrik.

"Selamat pagi, Tuan. Cerah sekali, seperti wajah Tuan. Menyenangkan!" ujarnya ketika Tuan Maranggir tiba dan turun dari mobil. Sapaan itu terdengar penuh percaya diri, tapi hatinya sebenarnya rontok dan ia menanggungkan rasa malu.

Tuan Maranggir tersenyum dan menyerahkan tasnya kepada pria kecil berkulit legam itu. Ia gembira. Ditangkapnya tas itu dengan sikap hormat, lalu mengikuti langkah Tuan Maranggir. Hatinya riang, harapannya akan terkabul masuk ke ruangan Tuan Maranggir.

Setiba di depan pintu, jantungnya berdegup, terlebih ketika Tuan Maranggir merogoh anak kunci dari saku celana, memasukkannya ke lubang kunci. Dan…! Klek. Pintu terbuka, terdengar sedikit bunyi riut. Tapi tiba-tiba Tuan Maranggir membalikkan badan dan mengambil tasnya dari tangan Ultop.

"Selamat bekerja, Ultop," ujar Tuan Maranggir.

Secepat kilat Ultop merogoh dan mengeluarkan plastik dari saku celana, dan menunjukkan isinya: minyak semir dan kuas.

"Sudah saya siapkan, Tuan. Saya akan membersihkan sepatu Tuan, saya bikin semengkilat mungkin. "

Ilustrasi.
Saat mengatakan itu, matanya mencuri pandang ke ruangan. Ia tidak lagi melihat lukisan itu. Yang terpampang di dinding justru poster pemain bola terkenal: Luiz Figo.

"Hebat. Tapi sepatu saya bersih,” ujar Tuan Maranggir.

Lelaki ceking itu kaget, dan pada waktu bersamaan, pintu ditutup.

"Drama pagi ini agak keji," gumamnya dalam hati, sambil berjalan merindukan hujan.

Peristiwa berhujan itu belum genap sebulan, saat Tuan Maranggir pulang dari suatu acara di kantor kecamatan. Hari itu supirnya tak bekerja karena istrinya melahirkan anak keenam. Jadilah Tuan Maranggir menyetir sendiri. Ultop yang saat itu duduk-duduk di areal parkir menunggu hujan reda, seperti mendapat durian runtuh ketika Tuan Maranggir memanggil dan mengajaknya ke ruangannya. Tapi takdir tetaplah takdir. Tuan Maranggir ternyata menyuruh Ultop membersihkan sepatunya. Hanya ada sedikit butiran pasir dan lelehan air bercampur tanah di sekeliling sol sepatu itu. Begitupun, Ultop merasa bangga bisa masuk ke kantor Tuan Maranggir, orang kaya di kota kecamatan itu, pemilik beberapa pabrik penggilingan padi. Tapi ia jarang mengunjungi pabrik yang lain, ia lebih betah berkantor di pabrik satu ini. Konon, pabrik inilah mata pencaharian mendiang ayahnya. Sepeninggal ayahnya, di tangan Tuan Maranggir, pabrik warisan itu beranak-pinak.

Tak ada percakapan selama Ultop membersihkan sepatu. Barulah setelah selesai, Tuan Maranggir memintanya duduk di sofa, sementara Tuan Maranggir duduk di kursinya sambil bersandar dan sesekali berputar-putar. Ultop gugup. Tangannya dilipat dan diletak di antara kedua pahanya. Sikap tubuhnya selalu membungkuk. Tak sulit baginya menerapkan tatakrama semacam ini, sebab sudah terbiasa jadi orang kecil, bahkan menggelandang.

“Sudah berapa lama kamu jadi tukang potong rumput?” tanya Tuan Maranggir.

“Delapan tahun, Bapak. Sejak saya menikah. Anak saya dua. Saya harus belanjai mereka dengan penuh tanggungjawab,” ujarnya.

“Istrimu tidak bekerja?” tanya Tuan Maranggir.

“Sesekali, Bapak, kalau ada permintaan, mencuci pakaian di rumah orang-orang berada.”

“Oh, begitu.”

“Iya, Bapak.”

“Jangan panggil Bapak. Panggil Tuan saja. Haha.”

“Iya, Tuan.”

“Baik, hujan sepertinya sudah reda. Terimakasih, ya,” ujar Tuan Maranggir.

Ultop paham dan langsung bangkit. Ketika beranjak dari sofa menuju pintu, saat itulah matanya terjebak pada gambar yang menempel di dinding ruangan itu. Gambar perempuan cantik. Ultop terpaku pada gambar itu dan sesuatu menjalar keji di jantungnya. Mata wanita itu menancap ke matanya, seolah tersenyum, seolah mengabarkan sesuatu.

“Itu lukisan Monalisa,” ujar Tuan Maranggir. Ultop kembali sadar ke dunia nyata. Dan benar, ia membaca di bagian bawah lukisan itu, ada tulisan kecil: Monalisa.

“Maaf, Tuan, saya terkesima, gambarnya bagus. Permisi, Tuan,” ujar Ultop.

“Eh, tunggu,” ujar Tuan Maranggir menghampirinya, dan memasukkan amplop ke saku bajunya.

“Aduh, terimakasih banyak, Tuan. Terimakasih,” katanya.

Ketika melangkah dari ruangan itu, ia hanya memikirkan gambar wanita ajaib itu.

Dan kini, ketika melangkah meninggalkan ruangan itu, ia merasa kecewa tak bertemu wanita pujaannya. Ia berjalan gontai menuju kedai kopidekat pabrik. Ketika kopi terhidang, ia menyeruputnya, lalu menyalakan rokok. Saat itulah ia sadar: bahwa dengan cara halus, Tuan Maranggir telah menolaknya masuk ke ruangan itu. Dan kesadaran itu bercabang lagi, apakah Tuan Maranggir berpikir bahwa ia datang demi uang? Hatinya kacau. Ia ingat, isi amplop yang diberikan Tuan Maranggir cukup besar dan cukup belanja dua minggu. Dan istrinya berkata seperti tokoh agama: Tuhan selalu punya cara unik membantu umatnya.

Tapi kini, Ultop panas hati. Jiwanya terbakar. Ia seruput lagi kopinya. Sekilas ditatapnya dua anak muda bermain catur dengan tangan menopang wajah, diam membisu, seperti pecatur ulung. Dan pikirannya terus melayang pada gambar wanita cantik yang telah tiada di ruangan Tuan Maranggir, dan ia merasa harga dirinya ambruk. Amarahnya kian berkobar.

Lukisan wanita itu memang telah merusak ketenangan hidupnya. Malam setelah peristiwa itu, dia tidak bisa tidur. Wajah wanita itu lama-lama seperti ia kenal, seperti pernah ditemuinya di suatu tempat, di suatu waktu. Malam berikutnya, ia mulai yakin bahwa wanita itu memang ia kenal, meski hati tetap bertanya, siapa Monalisa? Kenapa Tuan Maranggir menggantinya dengan gambar pemain bola?

Puncaknya, suatu malam, ketika istri dan anak-anaknya sudah pulas, ia duduk-duduk di teras rumahnya. Tiba-tiba perempuan mirip Monalisa datang, duduk di sampingnya. Ia melirik kalau-kalau istrinya terbangun, tapi suasana senyap belaka. Lalu perempuan mirip Monalisa itu mencoba memeluknya. Ia melompat dihentak rasa takut. Ia lihat wanita itu seperti ibunya. “Astaga,” katanya sambil bangkit, menjauh dari ibunya. Tapi tiada siapa-siapa di teras itu.

Malam itu ia menyusun siasat agar bisa masuk ke ruangan Tuan Maranggir, melihat lagi gambar wanita itu, yang membuat hidupnya remuk dalam bayang-bayang mistik. Mendadak ia benci kepada pria itu. Ia berkhayal menampar orang kaya itu.

“Bangsat. Curang kau. Kau yang curang, kurang ajar.”

Khayalannya terganggu oleh keributan. Dua anak muda pecatur  ulung tadi nyaris adu jotos dan ia melihat papan catur dan buah-buahnya sudah berserak. Pemilik kedai mengusir mereka. Ia juga beranjak dari kedai. Ia ingin pulang, menghapus  bayang-bayang buruk yang mengacau jiwanya.

Tapi entah bagaimana, langkah kakinya tidak menuju rumah. Ia justru berada di depan ruangan Tuan Maranggir. Ia mengetuk pintu, tak ada sahutan. Ia ulangi. Dua kali. Tiga kali. Dan pada ketukan kelima, pintu dibuka. Tuan Maranggir terkejut. Dan kian terkejut ketika Ultop memberondongnya dengan pertanyaan tajam.

“Kau sembunyikan di mana ibuku?”

“Ibumu? Saya tidak paham kata kau. Tinggalkan tempat ini, atau kuseret kau ke Pengadilan!”

“Tak perlu, aku yang akan mengantar diriku ke Pengadilan,” ujarnya.

Sigap tangannya mengambil parang dari tas kerja, lalu mengayunnya berkali-kali secara membabi-buta. Setelah itu, ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya ingat, darah muncrat kemana-mana.

***

Ketika aku mengunjungi Ultop di penjara, ia menyebarkan ancaman yang sama. “Untuk apa kau bertanya-tanya, mau kupenggal kepalamu?” katanya.

“Aku ada di pihakmu,” sahutku.

"Tak perlu,” katanya.

Pelayan kantin penjara datang membawa kopi dan tiga bungkus rokok. Aku bernegoisasi agak lama dengan kepala Lapas untuk meluluskan urusan ini. Hingga pelayan berlalu, kami masih saling diam. Kusorong satu gelas kopi dan dua bungkus rokok itu ke arahnya.  Satu gelas lain untukku. Kuseruput kopi, dan menyalakan rokok. Ia melakukan hal yang sama. Dan tiba-tiba, dengan mata basah, ia bicara.

“Tak ada lagi yang perlu kuceritakan, semua sudah kalian tulis,” katanya.

Ia diam dan mengisap rokoknya. “Apa lagi yang kau inginkan? Kau wartawan, tentu mudah bagimu meramu cerita di luar sana. Aku sudah damai di sini.”

“Aku ingin tahu tentang ibumu.”

Ultop bangkit dan berdiri berkacak pinggang. Tubuhnya gemetar. Giginya gemeretak, menudingku. “Kau!!!” katanya dengan suara menggeram.
Aku diam, mencoba tenang. Tak lama kemudian, ia menangis, lalu duduk lagi dengan nafas tersengal. Aku membiarkan situasi itu mengalir apa adanya. Kutatap matanya. Pedih.

Kupahami kisahnya. Dari warga, aku tahu pria ini tak memiliki ayah. Ibunya pulang dari Malaysia dan membawanya dalam usia dua tahun. Saat ia duduk di kelas dua sekolah dasar, ibunya bunuh diri. Sejak itu, ia hilang ingatan dan keluyuran di sekotah kampung. Lalu seperti dongeng, suatu hari Ultop bertemu dengan Irna ketika keluyuran di pasar. Konon, ketika melihat Irna, ia tiba-tiba waras dan kembali normal. Dan ajaibnya, Irna bersedia jadi istrinya.

Kulihat Ultop masih sesunggukan. Maka kuputuskan mengakhiri wawancara. Aku bangkit dan pamit padanya. “Maafkan aku,” kataku.

“Tak ada yang perlu dimaafkan,” katanya terbata, “Gambar wanita di ruangan itu membangkitkan kenanganku. Ia memperkosa ibuku, ibuku yang cantik dan bunuh diri.”

Dadaku sesak. Entah bagaimana, aku memeluknya. Dia memelukku. Kami sama-sama menangis. ***

Pematangsiantar, 2016

Panda MT Siallagan, menulis puisi dan prosa. Kini tinggal dan bekerja di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.

* Cerpen ini dimuat di Media Indonesia, Edisi Minggu 27 November 2016

Bagikan:

26 November 2016

Minum Kopi dan Baca Puisi di Pabrik Kopi


SolupL - Untuk memeriahkan November Kopi Gayo dalam rangkaian pesta penyair puisi kopi dunia, hadir sejumlah penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mengekspresikan diri dalam larutan kopi Gayo.

Para penyair itu tampil membacakan puisi bertema kopi di Tootor Coffee Takengon, Aceh Tengah, Jumat malam (25/11/2016). Hentakan puisi menguar diiringi musik yang dimainkan Komunitas Anak Kopi Gayo, memadati kafe itu hingga pukul jam 23.00 WIB.

Baca puisi malam tersebut dipandu oleh Asmira dan Salman Yoga. Diawali baca puisi Abu Rahmat (Lhokseumawe), selanjutnya Endut Ahadiat (Padang), kemudian penyair Gayo Ansar Salihin (Aceh), Julaiha (Medan), Ayu Harahap (Medan), Kunni Masrohani (Riau), Siwi Widjayanti (Jakarta), Mahlizar (Takengon) dan Willy Ana (Bengkulu).

Ada pula Mezra Pellondou (NTT) yang berkolaborasi bersama penyair cilik Gayo Ine Salfani Renggali (Takengon), Zuliana Ibrahim (Takengon), Devie Matahari (Bekasi), Ace Sumatera (Bogor), Syarifuddin Arifin (Padang). Pembacaan puisi ditutup penyair Mustafa Ismail (Jakarta).

Penyair Salman Yoga, yang juga pihak penyelenggara acara pesta penyair puisi kopi dunia, mengatakan, panitia membuka ruang kepada penyair mengekspresikan diri melalui puisi di cafe. Sambil membaca puisi menikmati kopi gayo dengan berbagai cita rasa.

"Seluruh penyair yang hadir terlihat menikmati pertunjukan sambil minum kopi Gayo di Tootor Caffee Takengon," jelasnya.

Setelah baca puisi di Tootor Coffee, acara baca puisi dilanjutkan di Seladang Kopi Bener Meriah milik Sadikin alias Gembel 26/11/2016 pukul 15.00-18.00 WIB. Selanjutnya, pada Sabtu malam baca puisi akan digelar di Pabrik Kopi Haji Rasyid Bebesen Takengon. Penutup baca puisi di Pantan Terong, Minggu pagi (27/11/2016).

Pesta Puisi Kopi yang berlangsung di Tanah Gayo (Takengon dan Bener Meriah) pada 25-27 November 2016 adalah bagian dari kegiatan November Kopi Gayo yang berlangsung sebulan penuh. Pesta Puisi Kopi ditandai dengan penerbitan buku puisi Kopi 1.550 Mdpl berisi puisi-puisi dari 255 penyair Indonesia, Malaysia dan Singapura. Buku setebal lebih 500 halaman itu dikuratori Fikar W. Eda, Mustafa Ismail, dan Salman Yoga. (rel/wa-ruangsastra)

BACA JUGA: Pentas Penyair Kopi Dunia Digelar di Takengon
Bagikan:

24 November 2016

Apakah Pustaha Laklak akan Kembali ke Toba?


SolupL - Sebuah kabar mengejutkan datang dari Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Ia mengatakan akan mengembalikan 1.500 artefak milik Indonesia yang tersimpan di Belanda.

Ilustrasi buku laklak.
Hal itu disampaikannya dalam pertemuan bilateral antara Belanda dan Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/11/16). Dalam pertemuan itu, Mark Rutte bahkan memberikan sebuah keris kepada Presiden Joko Widodo.

Perdana Menteri Rutte mengatakan keris yang diberikan merupakan salah satu dari koleksi artefak-artefak Indonesia yang ada di Delft, salah satu kota di Belanda.

"Ada 1.500 artefak yang akan dikembalikan ke Indonesia dan keris ini sebagai simbolnya," kata dia di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/11/16).

Keris tersebut merupakan simbolisasi bahwa pemerintah Belanda akan mengembalikan 1.500 artefak ke Indonesia. Benda-benda bersejarah itu selama ini disimpan di Museum Nusantara di Kota Delft, Belanda.

"Saya rasa itu kejutan dari PM Belanda, saya kira luar biasa," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi di Istana Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/16).

Muhadjir mengatakan, belum ada pembahasan sebelumnya tentang hal ini. Dia sendiri sebelumnya sudah melakukan pertemuan dengan pihak Belanda, namun yang dibahas adalah mengenai sekolah vokasi.

"Saya tak tahu apakah sebelumnya ada pembicaraan atau belum, tapi termasuk pertemuan antar grup kami dengan pihak Belanda dan tak pernah disinggung soal itu," kata Muhadjir.

Belum ada pembicaraan teknis bagaimana ribuan benda bernilai sejarah tinggi itu akan sampai ke Tanah Air. Muhadjir akan berkunjung ke Belanda dahulu untuk membicarakan lebih lanjut tentang hal ini.

Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, Belanda memang sudah berniat mengembalikan artefak Indonsia.

"Jadi kan ada museum, Museum Nusantara di Delft yang akan ditutup. Oleh karena itu Belanda memang berniat untuk menyumbangkan berapa item, tadi disebutkan ada 1.500 item kepada pemerintah Indonesia," ujarnya di Istana Negara, Rabu (23/11/16).

Lantas, bagaimana dengan artefak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Pak-pak dan suku-suku lain di Sumatera Utara? Kita berharap pustaha laklak milik suku-suku di Sumut turut dikembalikan. Sebab konon, ratusan bahkan ribuan pustaha laklak asli tersimpan di Negeri Kincir Angin itu. (berbagai sumber/int)
Bagikan:

23 November 2016

Sekilas tentang Hadatuon, Eksotisme Batak


Leluhur orang Batak pada zaman dahulu menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan itu hingga kini masih tersisa dan dipraktekkan oleh orang-orang tertentu. Tentu saja, terkait dengan kepercayaan Batak lama itu, ada diwariskan ilmu supranatural yang disebut hadatuon.


Ilustrasi lembaran Pustaha Laklak.
Namun perlu ditegaskan, hadatuon yang dimaksud di sini bukanlah bermakna negatif sebagaimana dipahami generasi baru bangsa Batak di zaman modern ini. Hadatuon sesungguhnya mencakup keseluruhan kearifan lokal Batak baik dari aspek religius maupun sekuler.

Hadatuon adalah merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang dapat diajarkan dan dipelajari orang-orang tertentu, terutama oleh mereka yang diberi anugerah istimewa. Anugerah ini disebut sahala hadatuon. Proses penyampaian ilmu tersebut selalu bersifat tertutup: dilakukan di luar lingkungan antara seorang guru (datu) dan seorang ‘murid’.

Konon, datu hanya seorang guru bagi seorang murid, artinya ia tidak bisa sembarangan mengajarkan ilmunya kepada sembarangan orang. Proses penurunan ilmu itu selalu berlangsung dengan cara-cara yang juga sulit dipahami.

Jadi dengan kata lain, datu bukanlah guru masyarakat sebagaimana guru-guru lain, katakanlah guru silat atau bela diri. Secara umum, orang Batak memahami bahwa eksistensi datu di tengah-tengah masyarakat berfungsi sebagai ahli pengobatan, atau pemimpin dalam ritual keagamaan Batak lama. Selain itu, datu juga sering dianggap sebagai cenayang (medium) dalam memanggil atau berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, dan juga sebagai peramal atau dukun tenung.

Seperti dikatakan di atas, dengan demikian, datu dan hadatuan adalah ilmu yang dikuasai oleh seseorang dan cakupannya sangat luas dan bersifat khusus. Proses penurunan ilmu itu juga merupakan rangkaian ritual yang aneh, unik, irasional, tapi sungguh nyata dan diyakini.

Menurut orang-orang tua, ilmu hadatuon sebenarnya telah dituliskan di sebuah kitab yang disebut pustaha agong (pustaka arang). Orang Batak lebih mengenal kitab ini sebagai pustaha laklak, kitab yang terbut dari kulit kayu. Konon, di dalamnya tersaji secara lengkap ilmu hadatuon.

Menurut mitologi, pustaha laklak diwariskan Si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu. Dengan demikin, Guru Tatea Bulan dapatlah dikatakan sebagi datu pertama suku Batak yang mengajarkan ilmu itu kepada anak-anaknya.
Sebagaimana diketahui, pustaha laklak itu berisi ilmu untuk memelihara kehidupan seperti diagnosa penyakit, terapi, ramuan obat-obatan magis, ajimat, parmanisan dan sebagainya.

Sebaliknya, buku laklak juga berisi ilmu untuk membinasakan kehidupan seperti seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma, guna-guna pemikat cinta.

Kemdudian, ada juga ilmu meramal, perintah para roh dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Isi pustaha itu kemudian dipraktekkan dan dikembangkan dalam upacara-upacara magis untuk berkomunikasi dengan kekuatan supranatural, baik roh leluhur, roh penghuni alam (pangingani) maupun roh-roh jahat. (berbagaisumber/int)

BACA JUGA: Pustaha Laklak, Aksara Batak, Mistik Gubahan Datu

Bagikan:

21 November 2016

Pentas Penyair Kopi Dunia Digelar di Takengon


SolupL - Merayakan panen raya kopi tahun ini, seratus penyair nasional dan internasional akan hadir di dataran tinggi Gayo, dalam acara baca puisi di kebun kopi dan sekaligus peluncuran buku puisi bertajuk Kopi 1.550 MDPL, pada 25-27 November 2016.

November Kopi Gayo
Kegiatan tersebut merupakan rangkaian acara 'November Kopi Gayo 2016' yang diselenggarakan Komunitas Anak Kopi.

Penyair Mustafa Ismail, salah seorang kurator buku puisi tersebut, mengatakan, antologi Puisi 1.550 MDPL ditulis oleh 300 penyair yang berasal dari dalam dan luar negeri. "Kuator sudah menyelesaikan tugasnya, mengkurasi lebih dari 1500 karya puisi yang masuk ke meja kurator," kata Mustafa, Rabu (16/11/16) malam di Jakarta.

Mengiringi peluncuran buku puisi, para penyair akan hadir ke Tanah Gayo membacakan sendiri karyanya di sejumkah tempat di Aceh Tengah dan Bener Meriah. "Puisi yang dihimpun dalam buku seluruhnya bertema kopi," kata Salman Yoga, dari The Gayo Institute, yang juga kurator buku.

Penyair dari Sumatera Utara, Suyadi San dan penyair Sumbar Iyut Fitra, mengatakan akan hadir ke Tanah Gayo dalam rangka peluncuran buku puisi tersebut. Penyair Singapura Anie Dhien juga merencanakan terbang ke Gayo melalui bandara Rembele Takengon.

Lomba Lukis Kopi

Perayaan November Kopi 2016 juga akan dimarakkan dengan lomba melukis kopi tingkat sekolah menengah dan lomba memanen kopi.

Panitia November Kopi, Ditha, secara terpisah menjelaskan, pemenang lomba memanen kopi akan mendapatkan hadiah kain Gayo. "Sepanjang November ini, Tanah Gayo dimeriahkan dengan aneka atraksi seni," ujar Ditha.

Rangkaian kegiatan November Kopi Gayo sudah diawali dengan peluncuran perdana (soft launching) di Seladang Coffee, Bener Meriah dan Datu Coffee Takengon, 6 dan 7 November 2016. Soft Launching diisi dengan pertunjukan musik Rangkaian Bunga Kopi, tari, pembacaan puisi dan musik.

Plt Bupati  Bener Meriah Hasanudin Darjo dan Plt Bupati Aceh Tengah Alhudri menyampaikan apresiasi atas kegiatan tersebut. "Kami mendukung kreasi-kreasi seperti ini. Ini adalah bagian dari menegakkan kemuliaan kopi Gayo," kata Hasanuddin Darjo.

Plt Bupati Aceh Tengah Alhudri dalam pertemuan dengan panitia pelaksana di Pendopo Bupati Takengon, mengatakan, Tanah Gayo tidak boleh sepi dari kegiatan kopi. "Masyarakat Gayo itu sangat terikat dengan kopi, dan karena itu kami sangat mendukungnya," ujarnya.

November Kopi Gayo diselenggarakan Komunitas Anak Kopi Gayo dengan pertunjukan seni di pabrik kopi,  kedai kopi, kebun kopi, lomba lukis kopi, karnaval kopi, penerbitan buku puisi kopi, lomba memanen kopi, bersepeda di lintasan kebun kopi dan lain-lain, termsasuk rafting kopi di Ketambe Aceh Tenggara. (rel/grup wa ruang sastra)
Bagikan:

20 November 2016

Filosofi Cicak dan Payudara bagi Orang Batak


Orang Batak sangat dekat dengan cicak. Hewan melata ini oleh orang Batak bahkan dijadikan pedoman hidup yang diwujudkan dalam seni ornamen atau gorga. Di setiap rumah adat Batak atau Rumah Bolon, kita akan menemukan ukiran atau gorga cicak terpampang pada bagian depan rumah.

Gorga Boraspati dan Adop-adop (bagian bawah)

Dalam konteks ilmu seni rupa Batak, ornamen cicak ini disebut dengan gorga boraspati. Sebagaimana tatanan masyarakat lain, pergaulan sosial masyarakat Batak juga memiliki ragam filosofi. Dan nampaknya, leluhur Batak memilih cicak sebagai salah satu filosofi hidup berdasarkan pengamatan dan perenungan yang cerdas, cermat dan mendalam. Cicak dijadikan simbol kebijaksanaan, kehormatan, kesetiaan dan kekayaan.

Saya mencoba memahami filosofi cicak ini dengan perenungan sederhana. Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya kerap menyaksikan cicak di dinding gubuk di tengah ladang yang terbuat dari rajutan bambu. Selama periode cukup lama, saya ingat kami sekeluarga pernah hidup di ladang dan tinggal di sebuah gubuk kecil.

Bertahun-tahun kemudian, kami pindah ke sebuah rumah di tengah desa yang terbuat dari papan. Di rumah ini saya juga kerap menyaksikan cicak. Bahkan kerap menjadikannya tontotan pada malam hari, terutama ketika cicak mengintip dan menerkam nyamuk atau serangga yang terbang di sekitarnya, persis seperti lagu anak-anak yang terkenal itu: cicak-cicak di dinding...

Ketika di kemudian hari rumah orangtua saya di desa itu bisa diperbaiki menjadi gedung, cicak-cicak itu tetap ada. Bahkan, ketika kini saya tinggal di kota dan usia terus bergulir menuju uzur, cicak tetap saya temukan di rumah. Kadang berlarian di dinding bersama teman-temannya, bahkan sesekali membuat terkejut ketika saya mengambil buku dari rak, cicak tiba-tiba melompat.

Saya ingat, suatu pagi di halaman rumah, seekor cicak terperangkap di bawah ancaman induk ayam. Dengan perasaan seru, saya saksikan sang ayam berusaha mematuk si cicak. Lalu, tiba-tiba ekor cicak itu putus. Si ayam mematuk ekor yang tertinggal dan menggeliat (bergerak-gerak), tapi cicak tanpa ekor itu lari dan berhasil menghilang ke semak-semak dekat rumah. Belakangan saya tahu, cicak juga memberikan ekornya sebagai umpan untuk mengelabui kucing yang menyerangnya.


Itulah mengapa saya katakan, leluhur orang Batak sangat cerdas dan cermat ketika memilih cicak sebagai salah satu simbol filsafat dalam kehidupan mereka. Baik di gubuk, rumah papan, gedung, pedesaan dan perkotaan, cicak selalu eksis dan mampu melanjutkan hidup. Demikianlah kiranya orang Batak bisa hidup dan beradaptasi dan bertahan di setiap situasi dan kondisi.

Zaman dulu, konon orang Batak akan merasa bahagia jika cicak muncul di lahan pertanian baik ladang dan sawah, sebab hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa tanaman akan subur dan produktif. Semakin sering cicak muncul, tanaman semakin subur, dan produksi akan semakin memuaskan.

Memang, cicak adalah hewan yang kontroversial bagi suku tertentu jika dihadapkan pada pemahaman dan pemaknaan suku Batak. Orang Jawa, misalnya, konon menganggap cicak sebagai hewan pembawa sial. Dalam agama tertentu, beberapa pendapat mengatakan bahwa cicak adalah hewan yang tidak bersahabat dengan nabi.

Tapi terlepas dari perbedaan itu, secara luas dapatlah dipahami bahwa generasi penerus bangsa Batak harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi lingkungan. Orang Batak yang gemar merantau ke daerah lain tentu sangat terbantu dengan filosofi ini, sehingga mereka bisa bertahan dalam segala kondisi. Dia harus mampu bertahan seperti ciccak mencengkeram dinding, tiang, atau masuk ke celah-celah sempit.

Dalam konteks pergaulan, filosofi ini mendidik orang Batak menjadi lentur dan dapat bergaul dengan siapa saja, dan memiliki kebijaksanaan yang unggul menghadapi perbedaan di suatu lingkungan. Jadi tidak heran, meskipun stereotip orang Batak dikenal sebagai suku keras, berani dan bernyali, tapi setelah mengenal mereka, siapa saja bisa terbius dan merasakan nilai persahabatan yang istimewa.

Menariknya, gorga cicak selalu berhadapan dengan ornamen 4 payudara, yang disebut gorga adop-adop. Adop-adop berjumlah 4 memiliki makna: 1. Simbol kesucian. 2. Simbol kesetiaan. 3. Simbol kesejahteraan. 4. Simbol kesuburan wanita.

Gorga adop-adop ini diibaratkan sebagai ibu yang selalu menyusu pada anak-anaknya. Cicak bisa dimaknai sebagai orang Batak yang harus menghormati ibu kapanpun dan di manapun. Menurut orang-orang tua, ornamen ini diletak di bagian depan rumah sebagai tanda bahwa ke mana pun dan dimana pun orang Batak hidup apalagi sudah sukses, dia tidak boleh lupa pada kampung halaman.

Empat payudara itu juga melambangkan sosok ibu yang penuh dengan unsur kehidupan, kasih sayang, kesucian, dan kesuburan. Itulah sebabnya orang Batak sangat hormat dan menjunjung tinggi martabat ibunya. (Panda MT Siallagan/int)

Bagikan:

19 November 2016

Pomparan Guru Tatea Bulan Marga Pasaribu Kerasukan di Batu Hobon


Batu Hobon tampak terbelah.
SolupL - Delegasi 4 Marga Guru Tatea Bulan meninjau Batu Hobon di Dusun Arsam, Desa Sari Marrihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, Samosir, Selasa (15/11/2016).

Kunjungan itu terkait dengan heboh pemberitaan di media sosial tentang terbelahnya Batu Hobon. Delegasi rumpun marga Parsadaan Pomparan Guru Tatea Bulan (PP-GTB) yang khusus datang dari berbagai daerah meninjau lokasi itu, baik dari Medan, Tarutung, Tapteng, Siantar-Simalungun dan dari daerah lain.

Dalam kunjungan itu, rombongan menyempatkan diri melakukan doa bersama di lokasi Batu Hobon. Saat itulah terjadi sesuatu yang gaib. Usai doa bersama yang dipimpin Datu Saur Pasaribu, seorang peserta dari Sibolga bernama Sabar Barita Pasaribu mendadak kerasukan atau trans (bukan kesurupan) setelah jatuh lunglai dengan posisi dan gerakan tubuh seperti orang cacat (tuna daksa), yang mengingatkan peserta delegasi akan salah satu keturunan (putra sulung) Guru Tatea Bulan atau cucu pertama Si Raja Batak, yang lahir kembar tujuh cacat tanpa tangan dan tanpa kaki, yaitu Si Raja Uti atau Raja Si Gumeleng Geleng.

Sabar Pasaribu, yang diduga kerasukan arwah 'Raja Dolok Na Timbo' (istilah lain dari sebutan penguasa gunung Pusuk Buhit di seberang lokasi Batu Hobon), baru tampak tenang setelah dipakaikan seperangkat alas duduk tikar pandan, baju kurung putih, kain sarung, balutan kepala (gedar) tiga warna, dan tujuh batang rokok yang disulut (dinyalakan) ke mulutnya sekaligus. Tak lama kemudian, Sabar Pasaribu bicara dengan suara lain yang bukan suaranya.

"Didia hamuna angka pinomparhu? Unang pasombu disursari ugasan on.... (Di mana kalian para keturunanku, jangan biarkan dirusak benda-benda berharga ini..." kata suara 'orang lain' melalui Sabar Pasaribu.

Dia kemudian memanggil satu persatu para keturunannya, merangkul dan membisikkan sesuatu dengan gerakan khusus kepada ND Malau dan Enni Martalena Pasaribu. Suasana kerasukan itu sempat membuat Datu Saur Pasaribu tersentak sehingga sempat bersahut-sahutan dengan suara membahana.

"Gerakan orang kemasukan (kerasukan) itu persis gerakan Si Raja Uti, yang cuma bisa ber guling-guling dengan tubuhnya yang kecil dan cacat, sehingga dijuluki Raja Gumeleng Geleng. Cuma terus terang, aku agak sedih karena tidak ikut dipannggil 'ompung' itu," ujar RS Limbong sebagaimana dilansir hariansib.co, Selasa (15/11/2016).

Usai meninjau objek Batu Hobon, rombongan PP-GTB  kemudian menuju kantor Bupati Samosir dan langsung diterima Bupati Rapidin Simbolon didampingi Asisten I Mangihut Sinaga selaku pelaksana harian (Plh) Sekda Samosir, Kadis Tarukim Edison Pasaribu selaku Pimpro Renovasi Batu Hobon, dan Camat Sianjur Mulamula Darwin Sihombing.

"Saya sudah dengar sikap  pihak keturunan Guru Tatea Bulan atas kabar dan kondisi Batu Hobon yang disebut-sebut dirusak atau dibelah oleh pihak tertentu selama ini. Tapi hari ini saya bersyukur dengan kedatangan delegasi marga ini karena akan tahu langsung kondisi dan kasus sebenarnya karena saya sendiri sejak awal ketika pembangunan Tugu Saribu Raja di lokasi itu, sudah bilang agar peninggalan leluhur Batak itu dipelihara dan dilestarikan, baik sebagai situs budaya sebagaimana diatur UU No.11 Tahun 2010 dan Keppres 81 Tahun 2014. Tapi yang jelas, semua pihak di kalangan keturunan Guru Tatea Bulan ini sebaiknya kompak dan bersatulah, sehingga kita bisa meneruskan renovasi Batu Hobon itu agar tampak lebih asri dan bermanfaat bagi semua pihak, bahkan bagi masyarakat luas," ujar Bupati di hadapan para delegasi. (bbs/int)

BACA JUGA: BATU HOBON TERNYATA TERBELAH SENDIRI, GAIB DAN AJAIB

Bagikan:

Batu Hobon Ternyata Terbelah Sendiri, Gaib dan Ajaib


SolupL - Beberapa waktu lalu, beredar berita heboh di media sosial tentang terbelahnya Batu Hobon. Situs budaya peninggalan leluhur Orang Batak konon terbelah karena campur tangan manusia, sebab lokasi Batu Hobon itu memang sedang dipugar pemerintah setempat. Kini muncul lagi informasi baru yang menyebut Batu Hobon terbelah sendiri. Gaib dan Ajaib!

Batu Hobon tampak terbelah.
Hal itu terungkap ketika Delegasi 4 Marga Guru Tatea Bulan meninjau Batu Hobon di Dusun Arsam, Desa Sari Marrihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, Samosir, Selasa (15/11/2016).

"Kami tidak mengomentari pemberitaan di media-media sosial. Kami berharap semua marga yang berkepentingan dengan Batu Hobon bisa melihat langsung dan mengetahui cerita sebenarnya. Batu Hobon memang sudah terbelah, tapi terbelah karena kekuatan yang tak diduga manusia, atau katakanlah terbelah secara alami," ujar Robert Sagala di lokasi Batu Hobon.

Sagala menyampaikan hal itu kepada pers dan  delegasi rumpun marga Parsadaan Pomparan Guru Tatea Bulan (PP-GTB) yang khusus datang dari berbagai daerah meninjau lokasi itu.

Robert Sagala menunjukkan bagian fisik belahan batu yang tampak terpisah menjadi dua bagian. Pada belahan itu sama sekali tak tampak bekas potongan  mesin, gerinda atau gergaji. Belahan batu itu sama sekali tak rata (sebagaimana  gergajian), warna warna fisik belahan batu juga tampak asli atau sama dengan batu belahannya. Bila belahan batu itu didempetkan maka akan tampak Batu Hobon itu akan utuh kembali seperti semula.

Dia mengatakan, sudah ada yang menyarankan agar batu ini disatukan, tapi mereka tidak berani melakukannya. Sebab, mereka percaya, itu adalah kekuatan tersendiri melalui gerakan alami yang pasti ada tujuan atau maksud dari yang Mahakuasa.

Dalam kunjungan itu, ikut 60-an orang keturunan PP-GTB bermarga Pasaribu, Limbong, Sagala dan Malau, datang dari berbagai daerah di Sumut. Dari Medan antara lain 'Datu Partahi Sahala' Saur Pasaribu, Amir Pasaribu, RS Limbong, Robert Limbong, Walter Sagala, Poltak Sagala, ND Malau, Pardomuan Malau, Enni Martalena Pasaribu, Dermawaty Sitindaon (nyonya Pasaribu) dan lainnya.

Dari Tarutung hadir Bertho Pasaribu (tokoh adat-budaya daerah itu) dan Amri Pasaribu, Ketua Generasi Muda PP-GTB Tapteng Sabar Barita Pasaribu, Makmur Pasaribu, Nilsen Matondang dan Marihot Siregar. Dari Pakpak Bharat hadir Alfonsona Pasaribu dan Rihat Malau bersama rombongan. Selain itu ada juga beberapa utusan PP-GTB dari Siantar Simalungun. Sedang dari Samosir sendiri  puluhan warga dari 4 marga tersebut turut bergabung dalam kunjungan itu, termasuk dari kalangan aparat (Koramil dan Polsek) setempat. (berbagaisumber/int)

Baca Juga:
* Heboh! Batu Hobon Terbelah
* Bukan Terbelah, Batu Hobon Ternyata Sedang Dipugar


Bagikan:

17 November 2016

Dewan Pers Nyatakan Perang terhadap Wartawan Abal-abal


SolupL - Dewan Pers menyatakan sikap menolak kebeadaan wartawan abal-abal. Hal itu disampaikan Staf Alhi Dewan Pers H A Ronny Simon ketika menjadi nara sumber dalam acara Penyuluhan Hukum Pemkab dan Polres Tobasa yang digelar di Balai Data, Kantor Bupati Tobasa, Balige, Kamis (17/11/16)
Ilustrasi.
"Dewan Pers menyatakan perang terhadap wartawan abal-abal. Indonesia terlalu banyak media abal-abal, termasuk media online. Perusahaan pers yang berbadan hukum CV, itu tidak berlaku. Ini perlu diketahui para wartawan khususnya di Tobasa. Sudah ada surat edaran Dewan Pers No 01/SE-DP/I/2014 tentang pelaksanaan UU Pers dan standar perusahaan pers," ujar Ronny Simon dalam paparannya terkait UU RI No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik.

Dia menceritakan, dalam beberapa kasus menyangkut wartawan abal-abal, dia turut menjadi saksi dari Dewan Pers, dan seringkali wartawan jadi korban karena tidak memahami Standar Perusahaan Pers. Dia juga meminta agar dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, seorang wartawan selalu berpedoman pada kode etik jurnalistik.

"Banyak wartawan yang tidak jelas dan tidak pahami kode etik jusnalistik. Khususnya menjalankan amanah Pasal 4 kode etik jurnalistik, yakni membuat berita bohong dan fitnah," katanya.

Sementara, Kapolres Tobasa AKBP Jidin Siagian dalam paparannya terkait tindak pidana pungutan liar, suap menyuap dan gratifikasi mengingatkan agar jangan sampai ada jurnalis di Tobasa terlibat. Dalam melaksanakan jurnalistik, wartawan harus berpedoman pada undang-undang yang berlaku.

"Rekan-rekan pers bebas mengumpulkan informasi, membuat berita. Kami tidak pernah membatasi tugas dan pemberitaan. Tapi tetaplah mengacu pada undang-undang," katanya. (sumber: newtapanuli)

Bagikan:

14 November 2016

10 Tahun Perjalanan Toba, Lestarikan Budaya Batak


SolupL - Sebuah acara pameran foto dan peluncuran buku berjudul 10 Tahun Perjalanan Toba digelar di Anjungan Sumut TMII Jakarta, Jumat (11/11/16) malam kemarin. Pameran dan buku itu adalah hasil karya Hasiholan Siahaan.
Suasana diskusi budaya 10 Tahun Perjalan Toba.
Pameran itu berlangsung tiga hari hingga Minggu (13/11). Hasiholan Siahaan selaku wartawan dan fotografer senior tidak sekedar mencatat melalui gambar, tapi sekligus mengangkat eksotisme Tano Toba mulai dari Barus hingga ke Danau Toba. Foto-foto itu tampak seperti untaian renungan-renungan yang mendalam tentang Toba.

Anggota DPRD Medan dari Fraksi Partai Demokrat Hendrik Halamoan Sitompul tampak mengikuti pameran foto dan peluncuran buku tersebut. Usai pameran, ia berharap agar generasi muda etnis Batak Toba di seluruh dunia tetap mencintai serta melestarikan tradisi dan budaya para leluhurnya.

Nilai budaya Batak Toba dan keindahan alam yang selalu menjaga kearifan lokal tetap menakjubkan dunia yang patut dikenang sepanjang masa.

Hendrik Sitompul mengaku, selaku putra Batak Toba yang sukses di perantauan, ia merasa terpanggil akan peduli dengan budaya leluhurnya. “Selaku pribadi, saya ingin agar generasi muda lebih menghargai nilai budaya para leluhur dan kearifan lokal daerahnya di tengah gempuran budaya asing,” harapnya.

Dia mengatakan, apa yang direkam Hasiholan Siahaan baik sebagai wartawan dan fotografer tak semata mencatat tapi membawa audiens masuk ke relung terdalam kekayaan Tano Batak dari ragam sisi kehidupan.

Dia berharap, peluncuran buku berisi 144 foto tentang Toba kiranya dapat menanamkan pemahaman, agar generasi muda semakin mencintai budaya daerahnya masing-masing.

Foto-foto Hasiholan bercerita tentang perubahan, keindahan alam, lingkungan, budaya, prasejarah yang tersisa dari 850 ribu tahun lalu ketika gunung supervolcano Toba meletus. Foto-foto yang dipamerkan yang sangat langka dan luar biasa. Foto-foto tersebut diambil langsung melalui sebuah perjalanan yang selama 2006-2015.

Hinca IP Pandjaitan XIII juga hadir sekaligus tampil sebagai narasumber dalam diskusi bertema Toba the Forgotten Beauty itu. Sebagai pecinta budaya Batak, ia mengatakan bahwa pameran dan buku karya Hasiholan menjadi episentrum untuk mengenal dan memahami orang Batak. (bbs/int)
 
Bagikan:

12 November 2016

Luka Harus Dijahit Sebelum Cinta Lepas Jadi Dongeng


Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Ilustrasi.

Kemarau

Sejak Kau buka tingkap,
detak jantungnya meluncur
bagai embun luruh dari dedaun
pulang mengetuk pori tanah
menunggu matahari

Sejak Kau buka tingkap,
debar jantung resap ke akar
menanam aroma mawar
sedalam hening, menunggu

Maka sebelum matahari tumbuh
jadi duri, bakar daun-daun itu
agar doa-doa membubung,
menjemput hujan. Sebab luka
harus dijahit sebelum cinta
lepas jadi dongeng

Sejak Kau buka tingkap,
detak jantung meluncur
meninggalkan pagi
di hamparan daun-daun.

Lalu kau buka tingkap,
memanggil matahari.
Aku pulang, menunggu hujan

2016

Gembala

Akar meringis tentang gerimis yang terkulai di kelopak bunga: mengapa segalanya kau patahkan di rahang kerbau? Sahut gembala itu: sebab kupu-kupu tak tahu jalan menolak madu.

Dan ia bertanya mengapa seruling bambu meniup kidung dari akar yang tercerabut? Alunan jantung bocah itu menggema, alunan yang dilempar ke mulut gunung: sebab pepohonan melepas jua waktu, pada daun-daun.

Sejak itu ia tidur, katanya: nyanyianku telah merabuk demi jiwa yang retak menerka jejak. Seperti kita, ranting dan daun-daun ziarah jua, menjunjung tunas. Maka, akar menjadi mafhum luka hatinya. Kerbau mahfum sepinya.

Pematangsiantar, 2016 

Nubuat

Air menulis syair kepada sungai: kau tak bisa memaksa orang mencinta dan menciptamu sebulat bulan dan setinggi malam. Sebab bagi burung yang birahi, kesetiaan adalah sangkar pengap yang bersiap diacak badai.

Maka bulan hanyut, telanjang bagai kumbang, dan burung-burung memetik kematian dari jemarimu. Aroma lumut pergi selama-lamanya. Tabahlah, kelopak bunga sudah gugur dan warna membeku jadi bangkai.

Sejak itu, angin melemparkan sejarah busuk ke mulutmu. Itulah giliranmu menelan, melarung kutuk ke dalam perut. Selanjutnya adalah surga, aroma liar candu, yang memeluk takdir sedingin batu.

Sungai menulis sajak kepada air: diamlah, ijinkan kumakan segala ikan, merayakan orang-orang yang lupa.

2010-2015
Bagikan:

11 November 2016

Antara Hardoni Sitohang dan Tulila, Terimakasih!


Generasi muda Batak tak lagi mengetahui Tulila. Alat musik Batak kuno ini boleh dikatakan sudah nyaris punah. Tapi seorang anak muda Batak bernama Hardoni Sitohang menghidupkan roh dan 'kekuatan' alat musik ini, yang iramanya bagaikan kicau burung menyeru alam dan kemuliaan Maha Pencipta.

Hardoni Sitohang
Zaman dulu, alat musik ini sering dimainkan para leluhur untuk menyampaikan rasa syukur atau puji-pujian kepada Sang Maha Agung pencipta alam. Sejarah dan asal-usul alat musik ini tentu masih perlu kajian mendalam. Sebab menurut sumber terbatas, tulila merupakan alat musik tradisional yang ditemukan di beberapa subetnis Batak.

Di tamadun kebudayaan Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing, alat musik ini sangat dikenal pada zaman kuno. Dengan demikian, tulila bisa saja menjadi salah satu alat musik penting, tapi tidak terwariskan secara berkelanjutan kepada generasi baru, sehingga terancam mengalami kepunahan.  Bahkan konon, saat ini tak ada lagi orang Batak yang mampu memainkan alat musik itu.

"Tulila alat musik spritual suku Batak yang permainannya menyerupai seruling. Nama Tulila bahkan tertulis dalam Alkitab perjanjian lama yang seakan memberikan bukti spritualnya dulu," ujar Hardoni Sitohang pada suatu kesempatan.

Hardoni mengatakan, dia mengenal Tulila ketika masih duduk di bangku SD. Ia melihat alat musik itu tersimpan di lemari, lantas ia bertanya ke ayahnya dan belajar bagaimana memainkannya. Setelah memperlajari tulila, tahulah ia bahwa sebutan Tulila di setiap daerah berbeda.

"Mungkin masyarakat Humbang mengenalnya dengan sebutan Salohap. Orang Samosir nyebutnya Talatoi. Saya berharap alat musik ini dapat dilestarikan. Saya akan coba memainkannya," katanya.


Bulan Oktober lalu, Hardoni akhirnya berhasil merilis album rohani Kristen dengan tulila sebagai alat musiknya. Kini Hardoni Sitohang berjuang melakukan revitalisasi atas Tulila. "Melestarikan tulila bukan kewajiban, tapi tanggung jawab," katanya.

Saat ini Hardoni sedang melakukan kajian terhadap nada Tulila. "Tidak ada lagi yang memainkan. Jadi saya memulainya dengan kajian nada, dan ternyata bisa. Selanjutnya saya bawakan kedalam lagu rohani yang nadanya hanya satu oktaf. Tulila hanya bisa satu oktaf. Ke depan saya berpikir bagaimana memproduksi Tulila," ujar pria kelahiran 23 April 1978 ini.

Terkait proses kajian-kajian nada, Hardoni menyimpulkan bahwa memainkan Tulila tak sesulit seruling. "Intinya mau dilestarikan. Kajian selesai. Saya akan langsung buatkan tutorialnya supaya semua orang bisa memainkan," katanya.

Hardoni Sitohang merupakan lulusan Seni Musik Universitas Negeri Medan. Pernah menjadi dosen di Unimed, Nommensen, dan STT Pelita Kebenaran.Saat ini ia menekuni musik tradisi Batak di Jakarta dan kerab berkolaborasi dengan Vicky Sianipar. (berbagaisumber/int)

Bagikan:

10 November 2016

Sajak-sajak Panda MT Siallagan


Sunyi

Tubuh renta, merayap lamban
Dilumat hujan
Hentak kaki di pematang
Katak-katak melompat
Petani tinggalkan
senja basah

Juni 2009
 
Ilustrasi.
Lagu Petani

Gemerisik penggorengan di kuali
Perlahan padam, dan mendingin
Matahari menghapus subuh,
aroma belacan mencumbu udara
Tungku dan periuk kembali beku,
pohon dan rumput menghisap asap,
lalu hening.
Gubuk-gubuk tidur,
membebaskan ladang dan sawah
mengurai mimpi

Maka cangkul, bajak,
ciuman air pada batang padi,
pupuk dan pestisida,
jerit rumput ditepi,
riang tanaman disiangi,
menari bersama burung

Pematangsiantar, Juni 2009

Surga

Tubuh ini tiada lagi berdarah,
Tikamilah!
Suatu kali badai
menerbangkan rumah
Atau mencabik akar pepohonan,
tumbang tanpa keluh

Deru angin, atau buncah air
Tak sobek oleh tebasan pedang
Sudah lama kehampaan itu,
Sejak kau ludahkan hatimu
Tikamlah, sampai kau lelah

Bukan ihwal darah
Bukan upacara bunuh diri
Cuma secuil nyanyi hati
Terbang murni
Sepercik memecah bulan
Maka kelam kutelan
Obat dendam
Tikamlah, kubuai kau dalam doa

Pematangsiantar, Juni 2009


Hilang

Sungai dulu
kukenang jernih
Langit tersenyum
di dasar batu-batu
Kini tiada bisa lagi
bercermin kau

Pematangsiantar, 2009

Bagikan:

07 November 2016

Rumah Kami di Tepian Danau Toba, Lukisan nan Sejuk dan Nyaman


Beberapa waktu lalu, Kemnenterian Pariwisata (Menpar) Badan Ekonomi Kreatif menggelar Sayembara Arsitektur Nusantara untuk homestay. Ada 10 kategori yang diperlombakan dalam sayembara itu, salah satunya adalah kategori Destinasi Danau Toba.
Lanskap Danau Toba yang indah.
Pemenangnya sudah diumumkan dan hadiah sudah diserahkan pada Selasa (25/10) lalu di Gedung Sapta Pesona Kemenpar di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Untuk kategori Destinasi Danau Toba adalah Tim PT Realline Studio yang diketuai Deni Wahyu Setiawan. Judul karyanya: Jabu Na Ture.

Sekedar mengilas balik, lomba ini diselenggarakan untuk para arsitek atau desainer rancang bangun homestay. Homestay atau pondok wisata itu nantinya akan dibangun sesuai karya para pemenang, lalu diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat.

Menurut Menteri Pariwiasata RI Arief Yahya, itu akan menjadi daya tarik tersendiri di sepuluh destinasi wisata prioritas yang sudah ditetapkan pemerintah.

Dia menjelaskan, arsitektur nusantara dipilih karena seni dan budaya membangun rumah adat di Indonesia itu sangat beragam. Ratusan jumlah suku memiliki ratusan model arsitektur masing-masing. Tapi kini kekayaan arsitektur tradisional itu makin tergusur oleh model-model minimalis yang menyerbu semua kota di tanah air, termasuk daerah-daerah pariwisata.

Dicontohkan, rumah begonjong di Minang Kabau sudah mulai susah dicari di Bukittinggi, pun arsitektur di daerah lain seperti Rumah Adat Bolon Toba, rumah Bolon Simalungun, rumah Bolon Karo, rumah Bolon Mandailing, rumah Bolon Pakpak, rumah Bolon Angkola.


Nah, tim yang memenangkan sayembara itu akan membangun homestay (pondok wisata) berdasarkan rancang bangun rumah adat Batak Toba. Bagi Tim PT Realline Studio, itu adalah mimpi yang bakal menjadi kenyataan. Perusahaan ini merupakan tempat berkumpulnya para arsitek muda.

"Mimpi yang sebentar lagi terwujud adalah, kami membayangkan rumah kami berada tepat di pinggir Danau Toba, dengan keelokan danau, air yang tenang, seperti lukisan pemandangan yang sejuk nyaman. Itulah mimpi yang mudah-mudahan segera terwujud,” ujar Ketua Tim Realline Studio, Deni Wahyu Setiawan.

Wahyu dalam menciptakan karya itu tidak sendirian. Pria yang berdomisili di Semarang itu memiliki tim diantaranya adalah Christian Ihotasi Siregar, Hendrayawan Setyanegara, Ricky, Gabriel Hutagalung, Muhammad Najib Sholeh, dan Bayu Andika Putra. Seperti diketahui, Sayembara Desain Arsitek Nusantara 2016 merupakan gawean Badan Ekonomi Kreatif, Kementarian Pariwisata dan PT Propan Raya sebagai panitia pelaksana.

Wahyu memaparkan, Jabu Na Ture punya arti banyak bagi karifan lokal di Danau Toba. Kata dia, timnya membuat desain homestay itu memang untuk disiapkan sebagai rumah yang nyaman untuk wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara.

”Yang kami pikirkan di desain Homestay ini adalah pencahayaannya, jadi sensasi cahaya dan udara yang sejuk di Danau Toba akan terasa hingga di dalam rumah. Itulah keunggulan Jabu Na Ture dan kenikmatan si wisatawan. Sangat bagus banget kalau jaraknya hanya 500 meter dari Danau Toba,”kata Wahyu.

Wahyu bercerita, Jabu artinya rumah hunian, na artinya yang memberikan, Ture adalah yang bagus, komplit atau selaras yang memiliki makna sebagai rumah hunian yang indah selaras alam. ”Dan semua terkoneksi kembali dengan kebudayaan lokal, melalui respresentatif filosofi rumah Batak. Sekarang sudah mulai hilang, dengan Homestay yang kami bikin semoga akan bangkit lagi dan muncul lagi, tapi bedanya, desain kami akan membuat anda betah di Rumah,” ujarnya.

Ruang Tataring, imbuh Wahyu, menjadi ciri khas Homestay ini terletak pada bagian tengah atau pusat, langsung terlihat dari pintu ruangan dapur terbuka, ruang ini menjadi tempat menanak atau memasak, nasi dan minuman serta berfungsi sebagai heating atau pemanas ruangan dan dalam pengembangannya akan memiliki ruang yang dapat digunakan untuk ruang baca, maupun galery kerajinan khas tiap desa.

”Desain Homestay ini mencoba untuk mengakrabkan wisatawan dengan nuansa budaya lokal yang masih sangat alami, sehingga wisatawan dapat berinsteraksi sekaligus belajar mengenai aneka kebudayan Batak dan peradabannya.Itu pula sebabnya kenapa bentuk desain yang dikreasi mengambil analogi dan filosofi rumah Batak yang beresensi harmonis, alami, berbudaya dan wah,” bebernya.

Untuk bahan, beber Wahyu, material bambu dan batu muntahan gunung sebagai solusi. Penggunaan material bambu , material lokal yang melimpah, namun masih belum dimanfaatkan, mengedukasi bahwa bambu juga dapat dijadikan bangunan yang indah dan terjangkau dan daun ijuk dari pohon aren, tersedia melimpah.

Komposisi ruangan adalah kamar pemilik rumah, kamar tamu, dapur, ruang perapian (tataring), kamar mandi, meja cuci, tempat berjemur, Teras, Ruang Perpustakaan dan Kloset.

”Dan para-para terletak di atas dapur berfungsi sebagai tempat bersantai, ruang baca ataupun tempat meditasi. Membayangkan di bangunan itu, nyaman dan penuh inspirasi. Bangunan Panggung agar dapat menyesuaikan kontur kampung di Danau Toba yang berbeda - beda baik yang berada di bukit, di lembah, maupun di pinggir pantai, akan terlihat lebih asri dan alami. Kami sudah tidak sabar desain kami digunakan pelaku Pariwisata,” kata Wahyu.

Menpar Arief Yahya dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf sudah menyerahkan hadiah total Rp 1 M, kepada 30 pemenang Sayembara Arsitektur Nusantara untuk homestay. Desain homestay ini nanti tidak akan menjadi real estate. Karena kearifan lokal justru menjadi atraksi dan daya tarik bagi wisatawan. (ragamsumber/int)
Bagikan:

06 November 2016

Kuliner Simalungun Dayok Nabinatur Ditetapkan jadi Warisan Budaya


Simalungun memiliki beberapa jenis makanan tradisional yang khas. Salah satu yang paling populer adalah Dayok Nabinatur. Dayok berasal dari Bahasa Simalungun, artinya ayam. Sedangkan Nabinatur artinya 'yang diatur'. Dengan demikian, secara sederhana, Dayok Nabibatur berarti 'ayam yang dimasak dan disajikan secara teratur.
Dayok Nabinatur.
Teratur dalam hal ini dimulai sejak pemotongan bagian tubuh ayam, dan penghidangannya juga disusun secara teratur di piring besar atau talam, ditata seperti wujud ayam tersebut ketika masih hidup.

Dayok Nabinatur merupakan makanan adat yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Simalungun. Ia menyebutkan pada awalnya, makanan ini diberikan kepada raja, dan kini kerap diberikan kepada tokoh masyarakat dan pimpinan daerah. Dulu makanan ini umumnya diracik atau dibuat kaum lelaki, tapi saat ini sudah bisa dibuat perempuan.

Secara filosofis, orang yang menikmati atau mengonsumsi makanan ini diharapkan menerima berkat dan menemukan keteraturan dalam hidup, seperti halnya keteraturan masakan ayam yang sudah diatur. Dayok nabinatur biasanya diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang sebagai wujud terima kasih dan rasa syukur.

Saat penyerahan, pihak yang menyerahkan makanan biasanya berkata tentang harapan atau keinginan, "“Sai andohar ma songon paratur ni Dayok Nabianur on…dst.” Artinya, semoga kiranya seperti keteraturan dari ayam teratur ini….”

Di lingkup keluarga, makanan ini juga sering disajikan orangtua kepada anak yang hendak merantau. Saat menyerahkan makanan itu, orangtua menyampaikan kalimat-kalimat harapan terhadap anak yang hendak bepergian tadi, semacam petuah agar hidup bisa teratur di perantauan, santun dan tahu etika.

Dulunya dibuat oleh laki-laki, tapi saat ini sudah bisa dibuat oleh perempuan

Ayam sebagai bahan baku makanan ini biasanya ayam kampung atau ayam hutan jantan. Sebagaimana dipercaya, ayam jantan adalah simbol dari kegagahan, kekuatan, semangat, kerja keras, pantang menyerah dan wibawa. Dayok Nabinatur diolah dalam dua proses memasak, yaitu proses memanggang dan menggulai.

Orang Simalungun patut bersyukur, sebab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia telah menetapkan makanan khas Simalungun, Dayok Nabinatur, sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Sertifikat penetapan ini diberikan langsung oleh Mendikbud Muhadjir Effendy kepada Ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sumut Evi Diana Erry Nuradi pada 27 Oktober lalu. (Panda MT Siallagan)

Demikian Resep Dayok Nabinatur Khas Simalungun

Bahan-bahan:

1. Ayam Kampung 1 ekor
2. Sikkam(Kulit batang daun salam)5x30 cm
3. Kelapa parut 1 buah
4. Lengkuas 2 cm
5. Jahe 1 cm
6. Serai 5 batang
7. Bawang merah 5 siung
6. Bawang putih 2 siung
7. Daun salam secukupnya
8. Lada secukupnya
9. Cabe merah/rawit secukupny
10.Darah ayam yang di sisihkan

Cara Membuat:

A. Untuk Ayam

1. Potong ayam dan kemudian dibedah menurut versi adat simalungun.
2. Ambil daging pada bagian dada ayam (untuk dicincang halus jadi Hinasumba), lalu sisihkan.
3. Haluskan semua bumbu-bumbu (lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, lada) kecuali serai cukup dimemarkan.
4. Tumis bumbu yang telah di haluskan, batang serai dan daun salam di dalam kuali kemudian masukkan potongan daging ayam besrta bagian dalamnya yang telah di bersihkan.
5. Tunggu kurang lebih 10 menit (setengah matang), kemudian masukkan kelapa parut yang sudah disangrai terlebih dahulu. Biarkan selama  30 menit sampai ayamnya matang, lalu angkat.

B. Untuk Hinasumba/daging cincang halus

1. Memarkan Sikkam sampai bisa diperas airnya, kemudian tambahkan sedikit air supaya bisa di peras.
2. Mulailah memeras sikkam yang sudah diberi air sebelumnya, sisihkan.
3. Campur air sikkam dengan darah ayam yang dipotong.
4. Cincang halus daging (dada ayam) yang telah di rebus bersama ayam tadi.
5. Campurkan daging yang telah di cincang dengan darah yang telah di campur dengan air sikkam, dan hinasumba telah jadi.

C. Penyajian:

1. Susun ayam di sebuah piring lonjong mulai dari kepala, bagian dalam, sayap, paha dan sampai ekor ayam seperti pada gambar
2. Taburi hinasumba di sekeliling ayam yang sudah di susun, lalu hidangkan. (int) 

Bagikan:

05 November 2016

Pengantin Kelelawar

Sajak-sajak Panda MT Siallagan

Ilustrasi.

Pengantin Kelelawar

Sebagai sepasang sunyi, kami menjelma sepasang kelelawar di malam luka. Inilah musimnya bersetubuh dengan dingin. Kami bersidekap dengan uap darah, sebab bau angin yang ditikami sepi telah menggenapi hasrat sepanjang nafas. Lenguh mengalun, memekarkan bunga-bunga.

Tapi di taman puisi, matahari yang pernah terbit dari matamu kini mati menekuri cahaya yang pecah dari kerut dahi. Dan gugur bunga meremah jadi puing waktu. Sesungguhnyalah kamar pengantin sudah layu diremuk gelap yang menimbun dendam dalam kepala.

Tapi anak-anak harus tumbuh jua dari lubang luka, agar taman lain mekar dari guyuran darah. Kami memeras kata-kata dari peluh. Kami ingin melukis luka dengan sajak berwarna tangis anak-anak.

Setelahnya, mungkin tubuh-tubuh akan tersisa jadi ampas birahi. Tak usah resah, bakal hanyut segalanya dengan airmata. Dan dari setiap muara, camar akan mengirimkan endapan hati sebagai salam karang, dan membesarkan hati anak-anak dengan darah dan luka.

Pekanbaru, 2005
 

Seperti Sedang Berlari

Aku mendekapMu seperti sedang berlari menjauhiMu. Hatiku tersayat di taman yang basah diguyur peluh. Dan saat aku seperti berlari menjauhiMu ketika memerengkuhMu, kutemukan bayangku sedang bersanding dengan bunga-bunga: bocah kecil menyusu luka di dada ibunya.

Pekanbaru, 2005

Upacara Darah

Detak jam di dinding kamar menetes-nesteskan darah. Mungkin seusai upacara yang meriah, sunyiku dan sunyimu memendam marah, berkelana sepanjang arah. Lalu terjebak di mulut anjing yang menyalak. Sunyiku dan sunyimu tercabik, serupa waktu yang tertikam. Di tubuhku tubuhmu.

Pekanbaru 2005
Bagikan:

Hebat Orang Batak di Kalbar, Bikin Festival Dihadiri Ribuan Orang


Salut buat orang Batak yang hidup dan merantau di Kalimantan Barat (Kalbar). Mereka menyelenggarakan Festival Seni Budaya Batak, Jumat (4/11/16) malam. Hebatnya lagi, acara yang digelar di di Pontianak Convention Center (PCC), itu dibanjiri ribuan pengunjung.
Foto Ilustrasi. Tortor Batak.
Ketua Panitia Pergelaran Manaek Gultom SE mengatakan, penyelenggaraan kegiatan itu merupakan media untuk menyampaikan kepada generasi muda Batak agar senantiasa mengenainya. Sebab, generasi muda perlu mengetahui budaya yang diwariskan para leluhur orang Batak.

"Kegiatan ini bertujuan menyampaikan budaya Batak kepada generasi muda, selain itu juga dijadikan sebagai obat penawar rindu terhadap kampung halaman," ujar Manaek kepada wartawan.

Dalam festival itu, 5 finalis vocal group tampil memukai pengunjung, yaitu vocal grup dari SMAN 1 Pontianak, vocal grup dari sub-etnis Nias, Karo, dan dua grup vokal dari Batak Toba (Sinaga Grup dan Raja Sonang Voice).

Sebelumnya, kelima finalis ini telah menyisihkan grup vokal lain pada babak penyisihan yang digelar pada Sabtu (22/10/2016) lalu.

Selain penampilan Grand Final Festival Vocal Group, festival juga diramaikan dengan beragam hiburan budaya Batak seperti Tortor, Lompat Batu Nias, dan juga dimeriahkan penampilan lima artis ibukota, yaitu Trio Ambisi, Vanda Hutagalung dan penyanyi legendaris Rita Butar-butar.

"Kami sengaja mendatangkan artis ibukota untuk meramaikan acara budaya ini. Harapannya generasi muda lebih menghargai dan melestarikan kearifan lokal dan budaya Batak itu sendiri. Tentu saja bukan hanya etnis Batak. Kami berharap event ini disaksikan multietnis," kata Manaek.

Event budaya ini mendapat dukungan penuh dari Holcim, Yayasan Cinta Budaya Bona Pasogit, Kerukunan Masyarakat Batak (KERABAT) Kalbar, Horas Halak Hita, RRI, dan Tribun Pontianak.

Lebih jauh Manaek menjelaskan, banyak pesan dan petuah yang disampaikan para orangtua dahulu melalui lagu dan tarian dan hal itu diharapkan bisa menjadi pedoman pada generasi untuk mengetahui dan menghayati kearifan budaya.

Manaek Gultom mengatakan, kegiatan serupa pernah dilaksanakan delapan tahun silam, sehingga ini merupakan kali kedua di Kalbar. Dia berharap ke depan kegiatan serupa bisa diselenggarakan pada periode dua atau tiga tahun sekali.

Ketua Pengurus Masyarakat Batak di Kalimantan Barat, Rihad Natsir Silalahi, mengatakan, pergelaran seni budaya tersebut kiranya dapat pula meningkatkan persatuan dan persaudaraan antar sesama.

"Melalui seni budaya, mari hidup rukun dan damai, dan memupuk persaudaraan di Kalbar," ujar Silalahi. (berbagaisumber/int)
Bagikan:

03 November 2016

Suku-suku di India Ini Sangat Mirip dengan Batak


Pertunjukan tari Koireng pada perayaan Golden Jublee Celebration di Longa Koireng, India.
Hingga saat ini, belum ada kepastian tentang asal-usul leluhur Batak. Meski sudah banyak upaya riset yang dilakukan para peneliti, namun kepastian soal geanologi Batak sepertinya belum akan tuntas.

Menurut mitologi, orang Batak merupakan keturunan langsung dewa-dewi yang diturunkan Dewata (Mula Jadi Nabolon) di Pusut Buhit. Manusia pertama atau leluhur paling awal orang Batak adalah Si Raja Batak. Silsilah mengatakan, Si Raja Batak tinggal dan hidup di Sianjurmula-mula, dan dari sanalah keturunannya bertambah banyak, lalu berdiaspora ke seluruh wilayah Tanah Batak dan daerah-daerah lain.

Tentu, silsilah mitologi itu tak bisa dipertanggungkan jawabkan secara ilmiah. Maka banyak kemudian orang Batak mencari-cari asal-usul leluhur Batak melalui penelitian ilmiah. Maka berkembanglah berbagai pendapat tentang hal itu.
Salah satu toko Mizo Puan penjual garmen di Mizoram, India. Kain tenunnya mirip Ulos Batak.
Ada yang mengatakan, leluhur Bangsa Batak berasal daratan Thailand, sebab struktur fisik orang Batak mirip dengan orang Thailand. Ada yang mengatakan berasal dari Burma (Myanmar sekarang) sebab selain struktur tubuh mirip, beberapa seni budaya juga mirip, antara lain kain tenun suku minoritas di Burma.

Sejumlah hasil penelitian juga mengatakan bahwa leluhur orang Batak berasal dari Yunnan, China bagian Selatan, yang terusir oleh invasi bangsa Mongol, sehingga terdesak ke daerah pesisir. Mereka juga terdesak oleh bangsa Arya dan bangsa Hindu dan akhirnya tersebar ke seluruh wilayah Asia Tenggara, mulai dari daerah Indochina, Formosa hingga ke pulau dan kepulauan di Asia Tenggara. Mereka inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang orang batak, yang terpecah ke Sumatera dan sebagian ke Philipina.

Informasi lainnya, nenek moyang Bangso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria, Ras Mongolia. Ataukah Batak berasal dari Toraja? Sebab jika dilihat dari budaya, gaya hidup, rumah adat dan seni patung, mereka sungguh mirip dengan Orang Batak.

Salah satu acara paduan suara di gereja Mara. (Foto/Internet)
Yang paling banyak diperbincangkan adalah: Batak berasal dari India atau Hindia Belakang. Sebagian orang percaya, nenek moyang suku Batak berasal dari daerah Assam di India, atau dari daerah lain seperti di Mizoram, Manipur, Mizoram, Tripura dan lain-lain. Suku di Mizoram, suku Mara (atau Chin atau Mizo), Lai, Manipuri, sungguh mirip dengan orang Batak. Suku Naga di India Selatan juga memiliki budaya mirip dengan orang Batak, baik rumah adat dan kain tenun yang bisa dikatakan mirip dengan ulos Batak.

Yang terakhir inilah yang ingin saya ketengahkan. Berdasarkan penelusuran di internet (googling), ternyata memang benar ada kemiripan orang Batak dengan beberapa suku di India. Suku yang paling mirip adalah suku Mara, Mizo, Chin, Munsong Naga, Koireng, Lai, Zomi dan lain-lain. Sesuai hasil googling, berikut beberapa suku yang mirip orang Batak:

1. Suku Mizo

Tarian ritual suku Mizo di Mizoram, India. Motif busana mirip ulos Batak.
Suku Mizo hidup di Mizoram, salah satu negara bagian India. Mereka tergolong keturunan mongoloid. Umumnya menganut agama Kristen Protestan. Konon, Mizo diidentifikasi sebagai salah satu dari 10 suku Israel yang hilang. Pakaian tradisional mereka sangat mirip dengan pakaian etnis Batak. Kain yang disandang di bahu sangat mirip dengan Ulos, juga bahan kain dan cara mereka berpakaian. Karakter juga mirip orang Batak, juga rumah tradisionalnya.

Dalam salah satu penelusuran saya, saya temukan sebuah Toko Garmen bernama Mizo Puan, yang khusus menjual kain-kain tenun suku Mizo. Tampaknya, usaha ini berkembang bagus sebab bisa dilacak atau di-follow di Facebook dengan akun page House of Mizo Puan.

2. Suku Koireng

Suku Koireng dahulunya dikenal sebagai Kolram, tanah Timur yang diyakini sama dengan keadaan Karen di Burma Timur (kini Myanmar). Pakaian suku Koireng juga sangat mirip dengan pakaian orang Batak pada era Sisingamangaraja. Bentuk bahan dasar dan coraknya sangat mirip.

3. Suku Monsang

Suku ini tinggal di Chandel, sebuah kabupaten di India. Nama Monsang ini sekilas terasa seperti nuansa Bahasa Batak. Dalam Bahasa Batak, misalnya, dikenal kata munsung (mulut hewan) atau monsak (bela diri Batak), monang (menang) dan lain-lain. Namun, nama suku Monsang ini ternyata berasal dari nama desa mereka, yaitu desa Monsang.

Seorang perempuan tua suku Monsang sedang menenun. (Foto/Internet)
Beberapa sumber menyebut, suku Monsang juga disebut Suku Naga, atau kadang digabung: Suku Monsang Naga. Kalau diterjemahkan ke Bahasa Batak, seolah-olah memiliki arti: mulut naga atau rahang naga. Sayang sekali, populasi suku ini tinggal sedikit.

Tarian tradisional Monsang Naga. (Foto: Internet)
Konon, orang Monsang juga memiliki marga dan silsilah (tarombo) yang mirip dengan orang Batak dan sistem kekerabatan juga mirip dengan orang Batak. Beberapa kain tradisional suku Monsang juga mirip dengan Ulos. Tariannya juga ada yang mirip dengan tortor.

4. Suku Mate

Suku Mate merupakan komunitas adat di Manipur, India. Mereka menganut agama Kristen. Aliran gereja tumbuh pesat di kalangan suku Mate, dan banyak denominasi gereja seperti Katolik Roma, Kuki Gereja Kristen, Injili Congregational Church, Kuki Baptist Convention dan Fellowship of Bible Church of India (FBCI). Selain itu, suku Mate telah membentuk denominasi sendiri, yang disebut Mate Christian Fellowship Church (MCFC), dengan sekitar 15 gereja lokal saat ini.

5. Suku Mara

Salah satu bentuk tarian Suku Mara di bagian selatan-timur Burma. (Foto/INT)
Mara merupakan kelompok masyarakat adat salah satu dari suku Kuki yang berdiam di India. Suku Mara adalah suku asli di India Timur Laut, terutama di Mara Otonomi Dewan Distrik negara bagian Mizoram. Mereka membentuk kelompok mayoritas penduduk.

Orang Mara sebelumnya dikenal sebagai Lakher, sedangkan orang luar menyebut mereka sebagai Lusei. Di India sendiri suku Mara terdaftar dalam Daftar Suku Terjadwal di negara bagian Mizoram pada tahun 1978 menggantikan identitas lama mereka "Lakher". Orang Mara menyebut daerah pemukiman asli mereka sebagai Maraland (Tanah Mara).

Sebuah foto momen menunjukkan pria dari Suku Mara mengenakan busana gaya Batak.

Maraland sebagai tanah asli orang Mara, berada di antara dua negara Burma dan India. Asal usul orang Mara seperti halnya suku-suku lain di wilayah ini diselimuti misteri karena tidak ada catatan tertulis. Sejarah lisan menceritakan bahwa mereka turun dari daerah Cina Barat, mereka melakukan perjalanan ke lembah Kabaw dan akhirnya menetap di Maraland hingga saat ini.

Sebuah pameran busana orang Mara di negara bagian Chin, India. (Foto/INT)

Orang Mara mengklaim diri mereka adalah 100 persen Kristen, kebanyakan Injili dan berbagai denominasi Kristen lainnya. Kedatangan Rev & Mrs Reginald Arthur Lorrain pada tahun 1907 yang sebelumnya telah mendirikan Lakher Pioneer Misi di London pada tahun 1905, dalam satu dekade orang Mara semuanya menerima kekristenan . Meskipun misionaris dari Baptist asal, yang baru ditemukan di Gereja Maraland tidak berafiliasi dengan Gereja luar atau denominasi, dan disebut Gereja Independen Maraland . Gereja Injili saat ini memiliki dua cabang, satu di Maraland India dan lainnya di Burma, cabang-cabang ini dipisahkan setelah Pemisahan India.

 Sebuah pertunjukan tari dalam event Cut 2010 di India. (Foto/INT)
Selain kelima suku di atas, sebenarnya masih banyak yang bisa ditelusuri dari masyarakat etnis di India, baik di Mizoram, Manipur, Tripura, Assam, Meghalaya dan lain-lain) yang seluruhnya berada di wilayah India Timur Selatan, bisa dibilang banyak memiliki kemiripan dengan orang Batak. (berbagaisumber/int/pandamtsiallagan)
Bagikan: