28 Desember 2015

Surat dari Kekasih


Cerpen Panda MT Siallagan

Aku berada di rumah sakit untuk menjaga ibu mertuaku yang sedang dirawat inap selama beberapa hari. Sakit yang dideritanya sebetulnya tidak terlalu parah, hanya penyakit-penyakit ringan yang sudah lazim menimpa orang-orang tua.

Tapi, Attar Brozova, suamiku, bersikeras menginapkan emak yang sangat dicintainya itu di rumah sakit. Katanya, agar aku tidak terlalu repot mengurusinya mengingat pekerjaan rumah saja sudah menumpuk dan setiap saat harus selalu dibereskan. Di satu sisi, apa yang dikatakan suamiku itu memang benar, tapi di lain sisi, itu justru membuatku semakin repot karena aku harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit, antara mengurus ibu mertua dan mengurus rumah dan anak-anak.
 
Dan malam itu, setelah pada sore harinya ada telepon dari rumah sakit yang memberitahu bahwa kondisi kesehatan ibu mertuaku semakin parah, aku harus berada di rumah sakit untuk menjaganya. Suamiku kebetulan tidak bisa ikut. Ada urusan yang harus diselesaikannya berkaitan dengan pekerjaan kantor.

Ilustrasi.
Untuk menyelamatkan diri dari serbuan jengah, aku keluar dari ruangan di mana ibu mertuaku dirawat, pada saat beliau tertidur, tentu saja. Aku duduk di sebuah bangku yang khusus disediakan bagi para pembesuk. Sekilas kuamati orang-orang yang lalu-lalang dengan wajah-wajah cemas, sedih, putus asa, dan menjadi sadar: alangkah aneh rumah sakit. Di situ, keriangan hidup benar-benar terampas.

Tak jauh dari tempatku, duduk juga dua wanita cantik yang tampak sedang asyik mengobrol. Mereka agaknya terlibat dalam suatu pembicaraan menyenangkan, tapi tawa yang sesekali meledak dari mulut mereka, sungguh membuatku sedikit tidak nyaman. Apakah gerangan ihwal yang bersarang di otak mereka sehingga di rumah sakitpun masih bisa cekikikan? Apakah mereka ke rumah sakit tidak untuk membesuk keluarga atau teman yang sakit?

Aku mendadak kehilangan rasa hormat kepada dua wanita itu. Tapi, entah mengapa, aku justru merasa tergoda untuk mengamati tingkah dan pemampilan mereka, dan berusaha sebisa mungkin menguping pada apa-apa yang mereka bicarakan. Seorang dari mereka, duduk di sebelah kiri arahku memandang, memiliki rambut panjang, hidung mancung, ada kacamata bertengger di atas hidungnya dan matanya yang angkuh tampak lebih teduh di balik kacamata itu. Yang seorang lagi tampak sangat anggun dengan rambut sebahu yang dipotong dan disisir rapi, dagunya sedikit lancip, berleher jenjang.

Mereka berdua sama-sama berkulit putih, belum ada kerut-merut dikulitnya, memiliki payudara besar dan masih membusung, perut langsing dan wajah mereka berseri-seri seperti tak ada marabahaya dan kesedihan-kesedihan yang berusaha merusak wajah itu. Diam-diam aku merasa iri. Aku tidak lagi secantik mereka. Perutku sudah penuh dengan lipatan-lipatan lemak. Pada wajahku sudah mulai bermunculan bintik-bintik hitam yang menyebalkan.

Dan, orang-orang berkata bahwa mereka sudah tidak bisa lagi menemukan kecantikanku yang berdelau pada saat masih muda. Ah, aku jadi benci pada dua wanita itu. Tapi tidak. Perasaan buruk itu tidak boleh kubiarkan melilit jiwaku. Maka, sambil berusaha menata perasaan-perasaan kurang ajar, aku mencoba mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.

"Kerja di mana?" pemilik rambut panjang bertanya.

"Di bank. Kamu tahu, aku senang sekali dengan pekerjaan itu. Selain memang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kumiliki, bekerja di bank sudah menjadi impianku sejak kecil," sahut pemilik dagu lancip dengan kebanggaan yang berlebihan.

"Oh, begitu ya," kata si empunya hidung mancung takjub, lalu bertanya lagi, "Kuliah di mana dulu?"

"Di Universitas Diponegoro, di Semarang."

"Angkatan berapa?"

"Sembilan dua."

"Wow, kebetulan banget. Kamu kenal dong sama Jonggi Monakov?"

"Oh, kenal. Kenal sekali. Dia teman baikku sewaktu kuliah. Asyik tuh berteman dengan dia. Orangnya santun, ramah, cerdas dan suka ngeguyon. Dia juga tampan. Kamu kok bisa kenal sama dia?"

"Dia teman SMA-ku. Kami sangat akrab dan aku selalu yakin bahwa dialah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dia sangat penyayang sih, sangat perasa. Sesudah dia kuliah, kami masih terus bersahabat lewat surat dan email. Waktu itu aku kuliah di Medan.

"Tapi..." kata kedua wanita itu serentak, tapi segera diambil alih oleh pemilik hidung mancung, "Dia sekarang di penjara. Dia membunuh istrinya."

"Yah, aku tahu. Aku sedih sekali mendengar kabar itu."

Lalu, kedua perempuan itu terdiam. Ada kesedihan yang menguar dari wajah mereka. Dan, dengan langkah getir, aku meninggalkan mereka dan kembali ke ruangan dimana ibu mertuaku dirawat. Tapi, pada saat kusadari pikiranku sangat tersita oleh dua perempuan itu, aku tiba-tiba merasa seperti mengenal mereka, seperti pernah bertemu dengan mereka. Tapi dimana?

Ah, persetan dengan mereka. Aku justru terkenang pada Jonggi, lelaki yang baru saja mereka bicarakan. Lelaki itu adalah bekas kekasihku. Aku pernah mencintainya dengan gila. Dia pernah mencintaiku secara membabi-buta. Tapi jika ingat penyimpangannya.

Keesokan harinya, segera setelah tiba di rumah, kubuka kembali album-album lama yang menyimpan foto-foto keluarga, teman-teman, dan Jonggi. Dan benar, dua wanita yang kutemui di rumah sakit itu adalah Miralev dan Yola. Di album itu masih tersisa beberapa lembar foto mereka. Meski telah banyak yang berubah dalam hal penampilan, tapi wajah mereka tidak jauh berubah.

Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang dua perempuan ini kepadaku karena, katanya, ia ingin jujur tentang masalalunya. Ia tidak ingin aku kecewa jika kelak mengetahui bahwa ia telah memiliki banyak gadis yang dipacarinya jauh hari sebelum bertemu aku. Dan, kejujuran itulah yang membuatku percaya bahwa ia lelaki yang baik.

Sering memang aku merasa cemburu jika kuminta padanya untuk membakar saja foto-foto itu, tapi ia selalu berkata bahwa tidak baik membakar foto orang lain. Hal itu bisa membuat kita mengalami kesialan-kesialan dan sebaliknya, menjaga potret orang bahkan yang kita benci, bisa membawa suatu keberuntungan di setiap hal yang kita lakukan. Aku tidak mau berdebat.

Meskipun pendapatnya itu terasa sangat konyol, aku berusaha menerimanya, menghargainya sebagai tanda bahwa Jonggi memang baik. Tapi, aku ternyata salah. Ia justru pergi dan menikah dengan perempuan lain, perempuan yang kini telah mati di tangannya, dan kini ia harus membayarnya dengan derita panjang.

Aku sebetulnya masih merasa cinta pada Jonggi, dan aku sempat hampir pingsan ketika berita buruk yang menimpa dirinya kudengar dari berita kriminal di salah satu televisi. Dan, pertemuanku dengan dua perempuan itu, sungguh membuatku merasa rindu pada Jonggi. Haruskah aku menemuinya ke penjara?

Tapi, mengapa kedua wanita itu tidak saling mengaku bahwa mereka adalah mantan pacar Jonggi. Malukah mereka disebut pernah pacaran dengan seorang yang kini meringkuk di penjara? Benarlah apa yang dikatakan Jonggi: Miralev dan Yola bukan perempuan yang baik. Pantas saja Jonggi meninggalkan mereka dan jatuh kepelukanku sebelum akhirnya hancur setelah menikah dan membunuh istrinya.
***

AKU berada di rumah sakit untuk menjaga adik iparku yang harus di rawat inap selama beberpa hari. Ulinya, adik iparku itu, baru saja menjalani operasi pengangkatan usus buntu. Karena bosan berada di ruangan, aku keluar dan duduk-duduk di sebuah bangku yang disediakan khusus bagi para pembesuk. Aku merenung tentang perjalanan hidupku yang getir. Meski secara materi suamiku bisa menghidupiku lebih dari cukup, tapi bathinku selalu tersiksa.

Hingga kini, dalam usia pernikahan kami yang sudah berlangsung lima tahun, kami belum juga memiliki anak. Aku benar-benar menderita, kesepian dan sering mengutuk diri mengapa pada waktu muda dulu aku sering kali melakukan perbuatan-perbuatan najis. Ini mungkin kutukan, hukuman yang diberikan Tuhan atas dosa-dosaku.

Untunglah perasaan sedih itu tiba-tiba terhenti karena kehadiran seorang perempuan dan langsung duduk di sebelahku. Perempuan itu mungkin masih sebaya dengan aku. Dia sangat cantik. Kami lalu berkenalan, saling mengobrol. Dia bernama Miralev, sangat menyenangkan, suka bercerita, dan gampang tertawa. Beban yang menghimpit dadaku terasa sedikit longgar.

Setelah pembicaraan melompat-lompat dari satu hal ke lain hal, kami lalu masuk pada pembicaraan yang lebih serius. Aku bertanya dimana dia bekerja, dan pertanyaan itu menyeret kami pada suatu peristiwa kebetulan. Dia berkata bahwa dia bekerja di sebuah bank, sebuah pekerjaan yang memang sudah dicita-citakannya sejak kecil, dan itu sangat sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia tamat dari sebuah universitas di Jawa Tengah. Aku kaget.

Di universitas itulah dulu Jonggi Monakov menuntut ilmu. Ketika kutanya, dia berkata bahwa dia mengenal Jonggi dengan sangat baik. Dia bahkan memuji-muji mantan pacarku itu agak berlebihan. Dia lalu bertanya bagaimana aku bisa mengenal Jonggi. Kukatakan, Jonggi adalah teman baikku sewaktu SMA, tapi aku tidak memberitahu bahwa Jonggi adalah mantan pacarku. Aku malu jika harus mengaku pernah berpacaran dengan seorang pembunuh.

Biarlah kuakui ia sebagai teman dan itu cukup membanggakan karena pada saat itu, Jonggi masih lelaki yang gagah dan selalu menjadi idaman gadis-gadis. Kalaupun saat ini hidupnya hancur, itu barangkali karena hidup tak selalu menguntungkan dan aku tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya yang sial itu.

Tapi, pembicaraanku dengan Miralev tiba-tiba sedikit terganggu karena mataku tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di bangku lain tak jauh dari tempat kami. Perempuan itu barangkali sudah duduk sejak lama di tempat itu. Dan rasa-rasanya aku seperti pernah bertemu dengan perempuan itu, seperti mengenalnya. Dan, ya, setelah berusaha mengingat-ingat, akhirnya kutahu bahwa perempuan itu adalah Maryanka. Dia adalah mantan pacar Jonggi, sebelum aku.

Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan itu dan berkali-kali menunjukkan fotonya kepadaku. Jonggi bilang, ia sangat menghargaiku sebagai seorang kekasih. Oleh karena itu, sifatnya yang suka menunjukkan foto perempuan itu adalah sebentuk kejujuran bahwa ia pernah berpacaran dengan perempuan lain dan itulah caranya membuatku yakin bahwa akulah perempuan terakhir baginya.

Tapi, aku menaruh dendam yang dalam pada perempuan itu, sebab dengan alasan yang terlalu dibuat-buat, Jonggi selalu berusaha menolak jika aku menyuruhnya membakar foto itu. Dan benar, Jonggi memang pembohong. Dia malah menikah dengan perempuan lain. Tapi sayang, istrinya meninggal di tangannya.

Tapi, urusanku dengan Maryanka belum selesai. Maka, ketika aku berkata kepada Miralev bahwa Jonggi berada di penjara, sengaja kukeraskan volume suaraku agar perempuan itu bisa mendengar, agar dia tahu bahwa mantan kekasihnya adalah orang bejat.

***
RUMAH sakit selalu menjadi tempat yang sangat memuakkan bagiku. Aku selalu merasa mual jika berada di rumah sakit. Tapi, malam itu aku harus berada di rumah sakit untuk menjaga adik lelakiku yang sedang dirawat karena kecelakaan. Adik lelakiku itu memang sangat nakal, sering ugal-ugalan jika sedang berkendara di jalan raya, dan akibatnya, ia bertabrakan dengan sebuah truk. Untung nyawanya masih selamat. Dulu, adik lelakiku itu pernah kecanduan obat.

Dan, setelah berhasil terbebas dari bubuk setan itu melalui proses yang sangat panjang, aku dan suamiku selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya asalkan dia tidak kembali lagi mengkonsumsi narkoba. Dia minta dibelikan sepeda motor, kami memenuhinya. Tapi sejak itu, dia malah ugal-ugalan di jalan, acap melakukan balapan liar bersama teman-temannya dan terakhir kuketahui dia malah sudah mabuk-mabukan lagi dengan menenggak alkohol. Dia benar-benar membuatku pusing.

Malam itu, karena sudah tak tahan berada di ruangan dimana adik lelakiku dirawat, aku keluar untuk menghirup udara segar. Aku duduk pada sebuah bangku dan di situ telah duduk juga seorang perempuan cantik, seusiaku. Kami berkenalan. Kebetulan sekali, dari pembicaraan kami yang entah kenapa bisa berlangsung dengan sangat lancar, terungkap bahwa ada ikatan persahabatan tak langsung antara aku dan perempuan. Dia ternyata sangat akrab dengan Jonggi Monakov, pacarku sewaktu kuliah. Perempuan bernama Yola itu berkata bahwa Jonggi adalah teman baiknya sewaktu SMA. Peristiwa kebetulan itu tentu saja membuat kami semakin akrab.

Aku sebetulnya ingin sekali berkata bahwa Jonggi adalah mantan kekasihku. Tapi, karena tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang juga sedang duduk-duduk tak jauh dari tempat kami, kuurungkan niat itu. Masalahnya, aku sangat kenal pada perempuan itu. Dia bernama Maryanka. Aku pernah beberapa kali bertemu dengan dia. Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan ini kepadaku. Dia adalah mantan pacarnya. Jonggi memang begitu, selalu jujur tentang perempuan-perempuan masalalunya.

Dan, setiap kali ia selesai menceritakan perempuan-permpuannya, ia selalu mengatakan kalimat yang membuatku nyaman, "Kamu adalah perempuan terakhir bagiku." Dari sekian banyak perempuan yang pernah dipacarinya, katanya, aku merupakan perempuan terbaik. Tapi, Jonggi justru menikah dengan perempuan lain. Perempuan yang kini telah mati dibunuhnya.

Dulu, aku selalu ingin berkenalan dan berbagi cerita dengan Maryanka, tapi hal itu tidak pernah bisa terjadi. Setiap kali kami bertemu di jalan, di mal, atau di mana saja, Jonggi selalu mengajakku mengelak agar dia tidak sempat melihat kami. Kata Jonggi , ia tidak ingin membuat perempuan itu lebih terluka.

Aku sebetulnya masih mencintai Jonggi hingga saat ini. Aku seringkali berpikir untuk mengunjunginya di penjara. Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah mempunyai dua anak yang lucu-lucu dan memberiku kebahagiaan yang dasyat. Suamiku juga sangat baik. Apa yang kuterima saat ini adalah anugerah luar biasa. Suamiku tidak pernah menyakitiku meskipun sejak awal-awal pernikahan kami dia sudah tahu bahwa aku tidak gadis lagi.

***
TUAH, itulah kisah yang dituturkan tiga sahabat kepadaku. Mereka bercerita dengan penuh kesedihan, disertai isak, seolah-olah ingatan akan peristiwa itu adalah bahaya tak tertanggungkan. Dari cerita itu kamu sudah bisa mereka-reka betapa cinta ketiga sahabatku itu pada Jonggi. Cinta yang sangat pelik, sama rumitnya seperti cintaku padamu yang tak pernah bisa kupahami.

Dan, meskipun kerap dihantui rasa bersalah yang akut, aku tetap merasa bangga karena hingga kini aku masih tetap menjaga rapi rahasia itu dan tidak membeberkan kepada mereka bahwa sebetulnya Jonggi memacari mereka sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Aku juga mengenal Jonggi. Dia adalah rekan kerjaku di kantor tempatku bekerja, sekarang.

Dulu, sebelum Jonggi masuk bui, mereka bertiga pernah datang ke kantor kami dan sejak itulah aku berkenalan dan menjadi bersahabat dengan mereka. Bahkan, akulah yang dimintai tolong oleh Jonggi untuk mengatur jadwal pertemuan mereka dan mengaturnya sedemikian rupa agar tidak bertabrakan jika sesekali mereka ingin bertemu dengan Jonggi.

Sungguh, aku merasa bangga bisa menjaga dengan rapi rahasia itu. Aku tidak ingin melukai mereka, tidak ingin membuat mereka benci pada Jonggi. Kasihan Jonggi jika harus dibenci oleh kekasih-kekasihnya apalagi pada saat remuk seperti sekarang ini. Dan, tahukah kamu kenyataan pedih di balik semua itu?

Suatu hal yang mengerikan memang, Tuah. Tapi, kamu harus tahu karena kisah itulah yang menjadi sedikit jawaban mengapa aku selalu menolak menikah denganmu, dan kini malah pergi meninggalkanmu.

Ingatkah kamu setiap kali kita bercumbu, aku selalu berusaha meringkusmu, dan tanpa sadar, aku selalu mencakar punggung dan lehermu. Sungguh, pada saat kita bercinta, aku ingin kamu menamparku, menjambak rambut, bahkan bila mungkin mancambuk, menendang dan mencakari tubuhku.

Apa yang terjadi pada ketiga sahabatku itu adalah hal yang sebaliknya. Sayang sekali, memang, mereka bertiga adalah orang-orang yang tidak terlalu peduli pada moral. Selama berpacaran, ketiga sahabatku itu sudah kenyang dengan pengalaman-pengalaman seksual bersama Jonggi, dan selama itu pulalah mereka mengalami penderitaan. Sebagaimana yang mereka tuturkan, setiap kali bercinta, Jonggi selalu menampar wajah, menjambak rambut, menghantukkan kepala mereka ke dinding kamar, juga kekerasan-kekerasan lainnya.

Ketika Jonggi berkhianat, ada memang rasa senang dan lega yang menyusup ke dalam dada mereka karena terbebas dari monster jahat. Tapi, ketika perasaan cinta bersuara dan bergetar dengan lebih kencang, mereka sedih, menangis, dan ingin sekali membebaskan Jonggi dari penyakitnya itu.

Tapi syukurlah, atas anjuranku, lambat laun mereka mulai sadar akan posisi mereka dan tidak lagi pernah menemui Jonggi. Bahkan, ketika kabar tentang pembunuhan yang dilakukan Jonggi pada istrinya menyebar, tak satupun dari mereka yang panik dan tetap mencoba bersikap tenang, meski kutahu mereka sangat terluka. Tapi sejak peristiwa di rumah sakit itu, mereka bertiga kembali memikirkan Jonggi dan seringkali berpikir untuk mengunjungi Jonggi di penjara.

Tuah, aku percaya, Jonggi tidak bermaksud membunuh istrinya. Ia melakukan itu karena cinta. Penyimpangan seksual yang dideritanya itu mungkin tidak pernah dianggapnya sebagai sebuah kekerasan, tapi dilakukannya sebagai bentuk ungkapan cinta terdalam.

Sekarang, aku ingin bertanya sama kamu, mungkinkah kita menikah karena aku juga mengidap penyakit yang sama. Sekarang, aku telah memutuskan langkah apa yang harus kutempuh. Aku mungkin akan berusaha mencari suami seperti Jonggi. Kupikir, jika sadis bersatu dengan masokhis, akan ada pengertian yang melebihi cinta antara mereka dan itu tidak akan pernah bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi pada istri Jonggi.

Dan, anggaplah sekarang ini adalah saat-saat di mana aku harus pergi, melenggang dengan sangat sedih karena harus meninggalkanmu. Jangan pernah lagi bertanya pada perenungan-perenunganmu mengapa aku pergi. Pada saat terakhir seperti sekarang ini, aku hanya bisa memberimu jawaban: aku pergi meninggalkanmu karena aku terlalu mencintaimu. Salam.

***
TUAH melipat kembali sepucuk surat yang diterimanya siang tadi. Dada lelaki itu bergemuruh, sesak seperti dilanda badai gurun, tubuhnya lemas, dan ia longsor di akhir penantian yang tragis. Ketika matanya banjir, ia mengenang saat kekasihnya itu pergi meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, tanpa pesan. Kini, ia harus bersiap untuk berdamai dengan kesedihan dan kesepiannya. ***

Bagikan:

20 Desember 2015

Pacar Rembulan


Cerpen Panda MT Siallagan
Ilustrasi.
Karena setiap ingatan menyakitkan, maka panggil aku Rembulan, kataku malam ini. Angin terasa nyaman, dihangati sinar bulan. Dedaunan pohon beringin menawarkan kesejukan yang lain ke dalam hati kita.

"Mengapa?"

Ah, kau seperti belum pernah bepergian. Usia sudah sesenja ini, belum cukup memberi artikah banyak peristiwa? Ingat-ingatlah semua kepedihan, hatimu pasti sakit. Ingat-ingat juga segala kebahagiaan, hatimu juga pasti sakit. Begitulah, kekasih, hal-hal yang hilang pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, baik pedih maupun bahagia. Maka, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Aduh, kau belum paham juga. Ingatkah kau pacar pertamamu? Ketika pertama kali kaukecup bibirnya, tangannya yang lembut menampar pipimu, iya kan? Dan kau pasti bahagia ketika mengenangnya, menatap rembulan pada malam yang dingin, bermanja-manja dengan lengang. Begitulah, dengan egoisme dan kelicikan usia remaja, kau mungkin pernah merayunya dengan berkata bahwa dialah satu-satunya perempuan yang kaucintai. Dialah perempuan yang membuatmu masuk ke tahap dewasa awal, sebab berpisah dengannya membuatmu berpikir tentang kematian. "Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku akan bunuh diri jika kau meninggalkanku."

Nyatanya, ketika lengan kecil pacarmu itu merangkul pinggang lelaki lain, kau hanya mengumpat, melupakannya, lalu senyum-senyum sendiri mengenangnya, sambil memandang rembulan. Mungkin sambil merayakan kemenangan karena kau baru saja mendapatkan kekasih yang lebih cantik. Tak ada luka sebenar dalam hidup ini. Tak ada bahagia sebenar sepanjang perjalanan ini. Dan tentang cinta, kepada kita telah selalu dikisahkan: Once upon a time , hiduplah sepasang kekasih yang saling mencintai tapi harus berpisah karena perang. Tetapi, sepasang kekasih itu selalu bertemu pada bulan purnama. Yah, selalu wajah mereka saling bicara di wajah bulan....

"Itu bukan dahulu kala," kau menyela. "Kisah itu ada di depanmu, di halaman rumah kita."

Ah, lagi-lagi kau seperti belum pernah bepergian. Sejarah, sayangku, bukan peristiwa yang berjalan lurus. Ia seperti hatimu. Meskipun banyak hal kauyakini telah usai, adakalanya hati akan membawamu mengunjungi banyak peristiwa. Ketika wajah kota muram oleh gerimis, kau menemui lagi pacar keduamu di tepian sungai. Kalian duduk dengan kaki berselonjor ke dalam air. Sayangku, katamu dengan suara renyah, bagaimana kalau tiba-tiba kedua kakimu berubah jadi ekor ikan, dan kau menjelma putri duyung? Kekasihmu menyahut: ‘Aku akan bersusur di sepanjang sungai, mencari pangeran-pangeran ikan. Aku akan bercinta dengan mereka sepuas hatiku. Sebab mereka pasti lebih tampan daripada kau.' Merasa kalah, kau bangkit secara mendadak, berlari dan berteriak dengan keras: Awas, ada buaya... ada buaya. Kekasihmu ketakutan, lalu mengejarmu. Setelah itu kau tertawa. Kekasihmu jatuh ke pelukmu dengan tubuh gemetar, lemas karena sandiwara kecilmu.

Hati juga akan membawamu ke suatu masa di mana segala sesuatu masih tampak sempurna. Gubuk kecil tempat bapa dan ibu merawatmu. Kali kecil berair jernih. Sawah dan ladang hijau. Hutan-hutan yang ditumbuhi pohon-pohon tegak. Gunung dan perbukitan yang mengokohkan jiwa. Kicau burung dan kokok ayam yang membangunkanmu pada pagi hari. Jalanan berbatu yang kaulintasi setiap pulang-pergi sekolah. Juga kau kecil yang suka usil pada teman-teman perempuanmu. Pernah, kan, kau menjambak rambut gadis tercantik di kelasmu?
"Ah, kau mengigau. Aku tak pernah memiliki semua itu. Aku tumbuh dan besar di sebuah bandar," katamu.

Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan, kataku. Malam ini semakin dingin, bulan mulai lenyap disapu awan, bintang-bintang menyisih entah kemana. Tapi percakapan kita masih hangat, seperti tak akan terusir oleh apapun.

"Mengapa?"

Ah, kau membuatku gemas. Ingin kucakar hatimu yang tak juga mengerti. Tidak tahukah kau makna setiap kenangan? Aku pernah melihat bulan rebah di sepanjang pantai. Kadang ia menari-nari digoyang ombak. Agak jauh di utara, sedikit menjorok ke arah laut, kapal-kapal mengonggok. Tiang pelabuhan bercerita tentang sunyi sejarah. Peluit-peluit kapal meruncing seperti ingatan yang menusuk. Kapten dan anak buah kapal berbondong-bondong menuju restoran-restoran murah, tentu dengan harapan bisa melingkarkan tangan di pinggang pelacur-pelacur pelabuhan. Ah, bagian ini membuatku sedih. Kau mirip seperti anak buah kapal bertubuh kecil. Ya, kau mirip seperti lelaki berkulit hitam dan berbulu itu, warna kalian mirip seperti malam. Wajah kalian seperti kegelapan kota yang terbakar. Di atas pasir, dialah lelaki yang mengajariku cinta, juga kehidupan.

"Kau bersetubuh dengannya?"

Cinta dan kehidupan tidak melulu lahir dari persetubuhan. Kau tahu, lumut-lumut yang menghijau di dinding kapal dan dermaga itu tak tumbuh dari persetubuhan. Kau, ah, bukan, tapi lelaki itu. Lelaki itu menjadikanku adik. Meski tubuhku mungkin berkali-kali menyulut birahi di hatinya, tapi ia tak pernah tega mengecapnya. Dan aku salah telah mencintainya dengan membabibuta. Ketika kuutarakan debarku, ia mengelak dan pergi untuk tak kembali. Kau seperti adikku, katanya. Ada apa dengan adikmu? Aku bertanya. Tapi ia terus saja mengayun langkah. Tetapi, dari teman-temannya sesama anak buah kapal aku tahu bahwa adiknya meninggal di sebuah kerusuhan. Padahal, dia sudah berkorban menghentikan kuliahnya demi mencari biaya untuk sekolah adiknya. Pada awal-awal pertemuan kami, ia pernah bercanda dengan berkata bahwa ia seorang aktivis yang lari dari kampus. Jika aku bertahan, mereka pasti sudah menculik dan menghabisi nyawaku. Itu artinya kita tidak akan bertemu, katanya.

Lama sesudahnya, barulah aku berpikir bahwa kalimat ‘kita tidak akan bertemu' adalah ungkapan syukur dari seorang lelaki yang beruntung menemukan sosok adiknya dalam diri orang lain, bukan rasa syukur karena bertemu dengan lawan jenis yang membuatnya jatuh cinta, sebagaimana perasaanku padanya. So, once upon a time, sesuatu pernah hancur. Seperti sejarah, peristiwa-peristiwa akan berulang. Kemiskinan, bencana, kesewenang-wenangan penguasa, perang, teror, semua akan berulang. Pikiranku kacau, kekasih, sebab selalu lelaki itu kuanggap sebagai kau. Oleh sebab itu panggil aku Rembulan.

"Tapi aku cemburu cahaya hatimu masih tetap untuk lelaki itu."

Jangan munafik. Pacar ketigamu membuatmu hampir lumpuh. Ingat kau bagaimana ia selalu mengirimimu puisi-puisi. Tapi kau tak pernah belajar memahami puisi. Ia juga mengepak doa-doanya dalam surat cinta. Mestinya kau sudah lebih pandai merawat waktu. Tapi apa? Kau bahkan mengutuk pagi, menyumpahi siang, memaki malam sebab saban waktu perempuan itu mengoceh tentang puisi. Kau tidak butuh itu. Kau hanya butuh tubuhnya, kau hanya ingin bermain-main dengan gelombang birahi di tubuhnya. Apa kau kira gelombang laut yang membuncah-buncah di sepanjang pantai selalu bisa menjadi isyarat cinta dan kehidupan yang dasyat? Tidak sayangku, tidak. Mestinya kaubaca puisi-puisi itu, rekaman kehidupan itu.

Di situlah kematian saudara-saudaramu terkisahkan, ibumu yang tak sudah-sudah meminum air mata sendiri. Juga adik-adikmu yang telanjang, berlari-lari mengejar keriangan di sepanjang pantai. Coba jawab aku, mengapa kau tak belajar memahami puisi-puisi itu? Kau malah meninggalkannya, mabuk-mabukan dengan pacar keempatmu. Pacar keempatmu lalu meninggalkanmu, sebab pelacur tak butuh cinta. Dan seperti keangkuhan seorang penakluk, kau terus saja memburu perempuan. Tapi aku tahu hatimu tak pernah lepas dari perempuan itu, penyair itu, pendoa itu. Sebab sesungguhnya, perempuan seperti itulah yang bisa menyelamatkan lelaki bajingan seperti kau. Tapi, seperti kau tahu, tak ada perempuan baik seperti dia yang mau mencelakakan diri demi lelaki seperti kau. Maka, kekasihku, bersyukurlah kau atas cintaku.

"Bersyukur? Aku harus bersyukur untuk pelacur seperti kau?"

Ah, kau barangkali memang belum pernah bepergian. Kau tidak tahu lukaku. Kau tidak punya apa-apa selain kedunguan. Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Uhh... tak adakah tanya selain itu, kekasihku? Sini, kecup keningku, biar kuceritakan. Lihat, kita sedang duduk di bawah pohon beringin ini. Dan sisa gedung terbakar di sebelah sana adalah saksi betapa sudah banyak orang yang singgah dan mengomeli hidup di bawah pohon ini. Dan sekiranya pohon ini bisa bercerita, buku setebal jumlah jam usiamu tak akan mampu menampungnya. Dan ini yang terpenting: Kau lihat sinar bulan itu, kekasihku, tumpah ke bumi dalam bentuk utuh, tapi menjadi berserpih ketika terbentur pada benda-benda. Lihat, setelah membentur daun-daun beringin ini, cahaya itu berserak serupa remahan, remahan cahaya. Begitulah perjalanan. Ada yang selalu rontok, pecah, hancur dan bersisa jadi remahan-remahan peristiwa dalam ingatan. Sebab itu setiap ingatan pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, betapapun peristiwa teramat sakit.

"Lalu, mengapa aku harus memanggilmu Rembulan?"

Kau belum paham juga. Sudahlah, aku pergi.

"Ke mana?"

"Meninggalkanmu?"

"Kenapa?

"Karena kau tak paham kata-kataku."

"Pergilah!"

Lalu kosong. Kulintasi sepi yang menusuk-nusuk tubuhku malam ini. Kuayun langkah dengan airmata bercucuran di pipi. Benarkah kau menyuruhku pergi. Benar, kan, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Kau mestinya memanggilku, merengkuh tubuhku dan memintaku menjelaskan lagi kenapa kau harus memanggilku Rembulan. Kau mestinya merayuku agar aku tidak pergi. Apakah karena aku pelacur? Ah, aku bukan pelacur. Aku hanya diperlakukan seperti pelacur. Kau memang tak pernah sungguh-sungguh mencintaiku.

"Sayang, jangan pergi. Aku sungguh mencintaimu."

Kau menyusulku? Ketika aku membalikkan badan, kau langsung mendekapku. "Aku mencintaimu, Rembulan."

Kau memanggilku Rembulan?

Kau tersenyum, mengangguk.

Jika begitu, aku harus pergi.

"Kenapa?"

Karena kau sudah memanggilku Rembulan.

"Lho?"

Karena setiap ingatan pasti menyakitkan. Karena remahan-remahan cahaya bulan selalu seperti sejarah. Berserpih. Berpuing. Ayahku mati. Ibuku mati. Saudara-saudaraku mati. Kau mati. Teman-temanku mati. Tapi perang tak usai-usai. Bencana tak hendak sudah. Bom tetap saja meledak. Biarkan aku pergi. Dan tahukah kau, sayangku, setiap kali aku datang ke tempat ini menemuimu, pemuda-pemuda berndal di simpang sana selalu berbisik satu sama lain, "Lihat, perempuan gila itu datang lagi ke pokok beringin."

Padahal aku hanya ingin menatap rembulan. Ingat, kan, di tempat ini dulu kau berkata bahwa wajahku mirip bulan. Kalau kau mencintaiku, seharusnya kau datang menghajar pemuda-pemuda dan berkata kepada mereka, "Dia Rembulanku." Kau seharusnya membunuh mereka, karena pemuda-pemuda berandal seperti merekalah yang menjarah, membakar dan memperkosaku. Maka biarkan aku pergi.

"Kenapa?"

"!!!"***

Pekanbaru, Januari 2005

Bagikan: