06 Desember 2017

Na Niarsik


Cerpen Panda MT Siallagan

Untuk pertama kali, aku pergi ke pasar untuk belanja. Benar-benar untuk belanja. Aku ingin membeli sekilo ikan mas, juga bumbu-bumbu seperti cabe, bawang, jahe, kunyit, lengkuas, asam glugur, andaliman, kemiri dan lain-lain. Apakah ini aneh karena aku seorang lelaki yang tergolong muda dan masih lajang?

Mungkin dalam masyarakat tertentu, ada pandangan yang menganggap tindakan seperti ini sangat memalukan jika dilakukan seorang lelaki. Untunglah aku tinggal di kota, sehingga hal ini tidak menjadi perhatian benar bagi orang-orang. Entah kenapa memang, aku tiba-tiba ingin sekali menikmati na niarsik, masakan tradisional yang kukenal sejak masa kanak-kanak.

Screenshoot sampul buku.
Dulu, ibuku seringkali membuat masakan itu pada hari-hari tertentu. Jika aku mendapat ranking di kelas, ibu akan memasaknya sebagai hadiah atas prestasiku. Pada masa itu, di tengah kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit, makanan semacam ini tergolong mewah. Meski begitu, paling tidak dalam momen-momen tertentu, ibuku tak pernah absen menghidangkan masakan itu bagi kami sekeluarga. Ketika ibu meramu bumbu, aku seringkali mengamati, sebab itu aku hapal benar komposisi bumbu dan cara memasaknya.

Ketika pagi ini aku terbangun, dan teringat masakan itu, aku langsung bergegas ke pasar. Sambil belanja, air liurku sudah mulai mendesak ingin keluar, terbayang kenikmatannya yang luar biasa.

Tak kuhiraukan orang-orang yang melayangkan pandangan aneh terhadapku. Aku terus saja berbelanja, berbaur dengan ibu-ibu dan gadis-gadis yang juga berbelanja. Setelah semua bahan yang kubutuhkan lengkap, aku pergi ke kios penggilingan untuk menggiling bumbu-bumbu itu dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Aku tak perlu lagi repot menggilingnya. Cukup membersihkan ikan mas dan memotong-motongnya dengan ukuran yang kuinginkan.

Ketika aku hendak pulang dan keluar dari gerbang pasar, aku bertemu Maulina, perempuan sedesaku. Aku sangat kaget, dan merasa malu. Apa jadinya jika kelak ia bercerita pada orang kampung bahwa aku belanja seperti ibu-ibu. Hal ini bisa menghancurkan integritasku. Sayang sekali, aku tak sempat mengelak karena ia buru-buru menyapa.

"Hei, apa kabar? Lama tidak ketemu," katanya sambil menyalamiku.

"Baik," kataku, "Kau sendiri bagaimana?"

"Yah, seperti kau lihat, aku sehat-sehat saja, meski mungkin agak kurus. Benar kan?"

Saat itulah aku sadar bahwa Maulina agak kurus, wajahnya sedikit pucat, kusam, tidak lagi secantik dulu. Secara bersamaan, pikiranku berangsur-angsur pulih, tidak lagi panik, sehingga aku sudah bisa bertanya.

"Kenapa ada di kota ini. Mana suamimu?"

Mendengar pertanyaanku, eskpresi wajahnya tiba-tiba berubah, sedih. Lama dia tidak menjawab pertanyaanku sampai kemudian airmata mengalir di pipinya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak apa-apa. Oh ya, kau belanja? Belanja apa?"

Aku kembali kikuk, tapi berusaha bersikap wajar. "Aku tiba-tiba ingin sekali menikmati na niarsik. Aku terpaksa belanja dan ingin memasaknya untuk diriku sendiri."

"Istrimu mana?"

"Aku belum menikah."

"Oya? Kalau kau tidak keberatan, biarlah aku memasaknya untukmu. Aku juga baru saja selesai belanja. Kali ini kau ikut ke rumahku. Kau makan siang dan makan malam di sana saja. Aku sudah tinggal di kota ini. Sekalian kangen-kangenan, aku ingin bercerita banyak kepadamu. Lagi pula, sudah sangat lama kita tidak bertemu."

"Apa suamimu tidak akan marah?"

"Gampang, bisa diatur."

***

Setelah berbincang sekitar satu jam, aku pamit dari rumahnya.

"Begini saja," kataku, "Ada sedikit pekerjaaan yang harus kurampungkan hari ini. Jadi, aku pulang dulu. Nanti pada waktu makan siang, aku datang kemari. Bagaimana?"

"Baiklah kalau begitu. Lagi pula, kalau kita ngobrol terus, kapan waktuku memasak," katanya sambil tertawa.

Keluar dari rumahnya, aku berpikir kenapa aku menuruti tawarannya. Mestinya aku menolak ketika dia menawarkan diri untuk memasak na niarsik itu untukku. Kupikir, ada rahasia dari ingatan yang tiba-tiba berderap ketika tadi aku bertemu dia dan itu membuat otakku tidak bisa berpikir.

Dulu, ketika aku dan Maulina masih kecil, pernah sesuatu yang mengerikan terjadi pada keluarga kami. Waktu itu, adik Maulina paling bungsu terserang malaria. Untuk membawanya berobat ke puskesmas, dibutuhkan uang tak sedikit. Simpanan mereka tidak mencukupi. Ibu Maulina datang meminjam uang kepada ayah dan ibuku. Ayah dan ibu mengabulkannya. Adik Maulina dibawa berobat dan akhirnya sembuh.

Selang beberapa bulan, ibu pergi menagih utang itu dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Ayah Maulina, entah mabuk atau kerasukan setan, tiba-tiba menghardik ibuku.

"Hei, apa kau tak punya perasaan? Apa kau tak berperikemanusiaan? Anak-anak kami sudah nyaris tak makan, tapi kau masih tega menagih utang ke kami."

"Bukan begitu, Pak Uli. Kami juga susah. Kami butuh uang itu untuk beli pupuk. Kalau tidak, tanaman jagung kami bisa kerdil dan..."

"Diam! Sekarang pergi kau dari rumahku, atau kuhabisi nyawamu?"

Ayah Maulina setengah berlari pergi ke arah dapur. Ketika kembali, tangannya sudah mengacung-acungkan golok. Ia berteriak-teriak lantang memaki ibuku. Ibu Maulina berusaha menenangkan suaminya tapi tak digubris.

Menyadari situasi yang penuh kegilaan itu, ibuku melarikan diri dari rumah mereka. Sesampainya di rumah, Ibu menceritakan peristiwa itu kepada ayahku dengan terisak-isak. Kontan saja ayahku naik pitam.

"Mungkin harus di tangankulah ajal bedebah itu," kata ayahku sambil mengambil parang.

"Mau kau apakan parang itu," tanya ibu.

"Akan kucincang tubuh anjing itu."

"Jangan," kata ibuku, masih terisak. "Jangan kau lakukan itu. Lebih baik aku bunuh diri kalau kau melakukan itu. Ayo, langkahi mayatku," ibuku merampas parang itu dan meletakkannya di lehernya.

"Kalau kau masih degil, biar kupotong leherku ini."

Setelah ketegangan itu agak reda, ibu berkata, "Kekerasan tak membuat kita jadi lebih kuat. Tahankanlah setiap luka yang ditorehkan orang-orang dalam hidupmu, di situlah letak martabatmu. Kalian laki-laki, apa yang tak bisa kalian lakukan dengan kekuatan kalian? Kita hidup bukan untuk mempertontonkan kekerasan. Aku tahu perbuatannya itu menyakitkan, memalukan bagi kau sebagai suamiku. Tapi cukuplah, mulai saat ini, anggaplah keluarga itu tidak ada lagi dalam kehidupan kita."

Kepada kami, anak-anaknya, ibu berkata, "Kalian jangan sekalipun berteman dengan anak-anaknya. Cari teman yang lain. Ibu tahu ini salah, tapi kalian juga harus tahu betapa sakit perlakuan ayahnya."

Karena di sekolah dasar aku sekelas dengan Maulina, nasehat ibu tak bisa kuturuti. Aku tetap bersahabat dengannya, juga adik-adiknya. Aku bersyukur ibuku tidak pernah menyinggung persahabatan itu apalagi melarangnya. Sejak itulah aku merasa kagum pada ibu. Aku kemudian menyadari, di balik sikapnya yang cerewet, di hati ibu tersimpan kebijaksanaan dan kasih sayang yang melimpah.

Selepas SD, aku dan Maulina masuk ke SLTP yang sama. Juga duduk di kelas yang sama. Ada satu hal yang rasanya sangat indah untuk diingat mengenai persahabatanku dengan Maulina. Mungkin, karena perselisihan yang terjadi antara orangtua, aku dan dia selalu berusaha untuk tidak saling melukai. Bahkan ada keinginan pada masing-masing kami untuk saling membantu. Ketika aku misalnya lalai atau tidak sanggup mengerjakan PR, Maulina selalu bersedia membantuku. Sebaliknya, jika ia bertemu soal-soal rumit yang kebetulan aku mengerti, dengan senang hati aku membantunya. Pola persahabatan seperti itu akhirnya mengantarkan kami pada siswa yang selalu juara di kelas. Sesekali, kami juga makan bersama di kantin.

Ingatan paling mendebarkan dari semua itu, ketika suatu hari aku berkelahi dengan anak nakal di kelas kami. Dengan telak, aku menghajar anak itu hingga babak belur. Sepulang sekolah, anak itu, bersama teman-temannya, memukuliku beramai-ramai hingga darah mengucur dari mulut dan pelipisku pecah. Melihat peristiwa itu, Maulina histeris, menangis dan membopongku ke P3K sekolah setelah terlebih dahulu melap selekeh darah di wajahku dengan sapu tangannya. Aku merasakan betapa lembut usapan tangannya. Sejak itulah aku merasakan sesuatu yang lain pada Maulina. Kupikir, aku telah jatuh hati padanya. Waktu itu, kami sudah duduk di bangku kelas 3 SLTP.

Ketika SMU, kami berpisah. Dia melanjutkan studinya di kota yang sangat jauh. Kami masih tetap berhubungan melalui surat. Melalui surat jugalah kuungkapkan perasaanku. Dan aku sangat bahagia ketika dia mengatakan hal yang sama. Suatu hari, kami sepakat menceritakan hubungan kami kepada orangtua masing-masing dengan harapan mereka bisa berdamai, dan memberi restu kepada kami. Tapi harapan kami pecah. Orangtua kami bersikeras melarang hubungan itu.

Tak lama, aku mendengar kabar, Maulina dipaksa menikah dengan seorang nahkoda kapal, putra kenalan ayahnya. Dia tidak menamatkan SMU-nya. Dia langsung diboyong suaminya ke Batam. Sejak itu, kami kami tidak pernah lagi saling berkirim kabar. Alangkah aneh perjalanan hidup. Bertemu dengannya hari ini, sungguh pengalaman yang amat ganjil sekaligus menggetarkan.

***

Ketika siang itu aku tiba di rumahnya, makanan sudah terhidang. Kami makan bersama-sama. Kukatakan, masakannya enak, kurang lebih sama seperti apa yang selalu dibuat ibuku ketika aku masih kecil. Dia tersenyum. Setelah selesai makan, aku bertanya tentang suaminya. Dia tidak menjawab, bahkan tiba-tiba ia menangis. Aduh, airmata itu adalah airmata yang sama, ketika ia menangis dan mengusap wajahku yang berselekeh darah dengan sapu tangan.

"Kenapa, berceritalah padaku!" kataku.

Setelah agak lama membisu, ia akhirnya mampu bercerita. "Suamiku pergi meninggalkanku. Aku tak bahagia bersamanya. Kau tahu, sebagai nahkoda, ia jarang berada di rumah. Kadang dalam tiga bulan, ia pulang hanya sekali. Itupun kalau kapalnya kebetulan singgah di Batam. Pada awal pernikahan kami, aku masih bisa maklum. Waktu itu, ia masih perhatian. Ia masih berusaha menelepon aku saat kapalnya singgah di pelabuhan tertentu. Aku sampai hapal kalimat-kalimatnya: 'halo sayang, aku di Malaysia', 'apa kabar, manis? Aku lagi di Philipina', 'cantikku, aku di Singapura'. Kau tentu bisa membayangkan betapa indahnya hal itu. Tapi itu tak berlangsung lama," katanya sembari menghela nafas, lalu melanjutkan ceritanya.

"Setelah setahun usia pernikahan kami, ia tak pernah lagi memberiku kabar dalam setiap pelayaran. Pertengkaran-pertengkaran menyakitkan mulai terjadi. Terakhir, ia pulang bersama seorang perempuan. Di hadapan perempuan itu juga aku minta cerai dan itulah yang diinginkannya. Setelah urusan perceraian itu selesai melalui proses pengadilan, aku mendapat pembagian harta, lalu pindah ke kota ini. Aku tidak lagi memiliki harapan apa-apa. Aku memilih kota ini karena kutahu kau tinggal di sini. Ini kedengarannya berlebihan, tapi sudahlah. Aku sudah bahagia bisa bertemu kau. Sekarang giliranmu, ceritalah padaku. Kenapa kau belum menikah?"

Sungguh, aku tidak bisa bicara. Aku sedih sekali. Entah bagaimana awalnya, kami tiba-tiba sudah berpelukan.

"Aku mencintaimu," kataku.

Kurasakan tubuhnya sangat bergetar. Kehangatan menjalar hingga ke ubun-ubun. Ingin kukatakan, sejak ia pergi, aku tak pernah mampu mencintai wanita lain. Tapi hal itu tak terlontar dari bibirku, aku justru bertanya, "Patutkah kita menyalahkan masalalu orangtua dalam hal ini?"

"Tidak," katanya, "Orangtua kita tak bersalah dalam hal ini. Aku yakin mereka sudah cukup menderita dengan derita kita. Meski ini menyakitkan, setidaknya kita tahu bahwa amarah, dendam, dan kesalahan, adalah ancaman terhadap semua masa depan."

Pekanbaru, Desember 2004

Cerpen ini pertama kali dimuat di harian Analisa dan dibukukan dalam rangka ulang tahun ke-34 surat kabar itu, Medan 2005.


Bagikan: