18 Maret 2016

Kapan Hari Sastra Nasional?

Oleh Panda MT Siallagan

Dinamika sastra Indonesia pernah menghangat dengan munculnya beberapa istilah penamaan. Ada sastra buku, sastra majalah, sastra koran, sastra saiber, sastra komunitas, sastra facebook dan sastra-sastra lainnya. Bahkan, sempat pula muncul ‘demam’ cerpen mini di jejaring sosial twitter, yang entah kenapa tidak disebut ‘sastra twitter’.

Sebagian istilah-istilah itu sempat pula menyebabkan ‘pertikaian’ serius yang mengarah pada destruksi wacana yang tidak substansial. Misalnya, sejumlah kalangan menilai sastra komunitas tidak lebih bagus dibanding sastra koran. Sastra saiber, juga sempat teraniaya dan dituding sebagai karya gampangan. Sastra koran, oleh sejumlah pihak ia dianggap seolah ‘lebih rendah’ dari sastra buku. Kini, penerbitan buku-buku sastra sudah membludak hingga tak terpetakan, mana wacananya? Senyap.

Demikianlah warna-warna itu terekam menjadi sejarah kesusasteraan kita. Terlepas dari substansinya, kenyataan menunjukkan hingga hari ini karya sastra masih tetap diproduksi dan disebarluaskan melalui medium yang kian beragam, yang menjadikannya tidak lagi relevan untuk dinamai dan dikotak-kotakkan. Era digital telah memungkinkan siapa saja bersastra dan menyebut diri sebagai sastrawan.


Namun, satu hal yang tak terelakkan adalah: sastra koran. Koran masih tetap jadi pilihan utama para penulis untuk menyiarkan karya dan menjadikannya sebagai ‘legalisasi’ proses kebersastraan. Karya sastra yang bisa disebarluaskan secara masif melalui jejaring sosial, misalnya, belum pernah menghasilkan penobatan yang ‘sakral’ terhadap status dan identitas kepenulisan seseorang. Sebaliknya, para penulis masih ‘memburu’ koran sebagai tempat menobatkan diri, lalu memanfaatkan saiber menyebarluaskan karya-karya kreatifnya. Jika karyanya terbit di koran, tak hanya penulis muda, para penulis senior pun akan dengan bangga mempersembahkan drama ini: SHARING KARYA DI JEJARING.

Kisah lain yang juga menarik adalah munculnya penulis-penulis baru yang tak dikenal koran. Mereka lahir dari komunitas-komunitas penulis atau klub-klub baca, berkarya bersama dan menerbitkan buku bersama-sama. Komersialisasi dan distribusinya juga berjalan dengan organisasi yang baik. Bahkan, stempel-stempel bestseller kerap mereka kuasai, terutama untuk genre novel yang memang tidak lagi punya tempat di koran. Sudah sangat sulit menemukan cerita bersambung di surat kabar pada masa ini.

Dan adakalanya, sebagian buku itu merupakan bentuk ‘perlawanan’ pada sastra koran. Maka tertudinglah sastra koran sebagai sastra ‘selera redaktur’. Sebaliknya, tertuding pula karya-karya komunitas itu sebagai karya pop. Tapi kerap, para penulis yang lahir dari ruang itu, pada akhirnya berlabuh jua ke koran dan/atau meneguhkan eksistensi kekaryaannya melalui koran, baik dalam bentuk resensi atau berita-berita bedah buku.

Terlepas dari penamaan, fenomena itu kiranya cukup meneguhkan kenyataan bahwa koran atau surat kabar masih berperan penting dalam perjalanan dan pengembangan kesusasteraan kita. Atau sebaliknya, sastra menjadi ‘sosok sakral’ sebagai pemberi daulat atas martabat sebuah koran, sebagaimana dikatakan Umbu Landu Paranggi bahwa koran tanpa ruang sastra dan budaya adalah koran barbar. Dan itu menjadi sebuah keniscayaan hingga saat ini. Sebab hanya surat-surat kabar mainstreamlah yang tetap setia memberikan ruang pada sastra dan budaya. Sementara koran-koran kuning masih menjauhkan takdirnya dari ‘ruang yang tak menjual’ ini.

Demikianlah sastra dan surat kabar selalu berjalan beriring. Sejarah lahirnya kesusastraan kita juga tidak terlepas dari kemunculan pers, meskipun belum ada jawaban final atas pertanyaan ini: kapan sesungguhnya kesusasteraan Indonesia lahir?

Namun sejumlah cacatan menyebutkan, jauh sebelum kehadiran Balai Pustaka, karya-karya sastra anak negeri berupa seperti cerpen, cerbung dan puisi, telah banyak tersiar di berbagai surat kabar yang terbit di masa kolonial. Dan kenyataan itulah yang mendorong berdirinya Balai Pustaka, yang kemudian memunculkan roman-roman legendaris seperti Layar Terkembang, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Salah Pilih dan lain-lain. Sekian lama, karya-karya inilah yang terpatri secara mendalam di benak setiap generasi.

Terlepas dari sejumlah pendapat yang mengatakan bahwa Balai Pustaka dihadirkan Belanda untuk ‘membungkam’ persebaran karya sastra koran ketika itu, fakta ini menunjukkan kenyataan bahwa sejarah kesusastraan Indonesia berlangsung intim dengan kemunculan pers. Sejumlah tokoh bangsa, yang dikenal sebagai sastrawan dan budayawan, juga merupakan tokoh pers, seperti Mochtar Lubis, Muhammad Yamin, Hamka, dan Abdul Muis (sekedar menyebut beberapa nama).

Di zaman baru, perjalanan kesusateraan Indonesia terus menggeliat seiring dengan keberadaan media massa. Era tahun 1980-an, misalnya, hampir seluruh media massa memberikan rubik khusus untuk sastra, terlebih pada edisi minggu dan melahirkan sastrawan-sastrawan agung.

Suatu ketika di zaman Orde Baru, sastra bahkan menjadi pintu terakhir bagi ruang kritis, sebagaimana dimaksudkan Seno Gumira Ajidarma dalam judul bukunya yang tersohor: Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Dengan demikian, sastra sesungguhnya memiliki peranan yang sama kuatnya dengan koran. Lalu, mengapa pers bisa berdiri tegak, mengapa sastra seolah tersingkir?

Saya akhiri catatan ini sebagai sebuah kilasan refleksi. Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional setiap tahun, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketetapan itu dikuatkan dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985 yang ditandatangani Presiden ke-2 Soeharto pada 23 Januari 1985. Lalu kapan sastra punya hari nasional? Apa kabar Hari Puisi Indonesia? Apa kabar Hari Sastra Indonesia?** (Pandapotan MT Siallagan)

Sumber: Sumut Pos, 14 Februari 2016
Bagikan:

05 Maret 2016

Puisi Bisa Dibeli dengan Daun

Oleh Panda MT Siallagan


Syahdan, segerombolan generasi baru berhimpun menikmati malam di sebuah kafe di sudut kota. Anak-anak muda itu, dengan segala atribut kekinian, juga bicara hal-ihwal kekinian: musik, fashion, gadget-gadget mutakhir, cita-cita, cinta, hasrat dan keinginan-keinginan. Dan tentu, mereka bicara sambil sibuk dengan gadget masing-masing. Dan, ada yang ber-selfie untuk diunggah ke media sosial saat itu juga. Aneh meski tak aneh.

Demikianlah realitasnya. Kini orang kian gemar berhimpun (nongkrong), tapi sesungguhnya mereka sibuk dengan diri sendiri. Mereka berhadap-hadapan, tapi barangkali mereka saling pergi ke dunia masing-masing yang antah berantah. Dan, seolah memecah keheningan, salah seorang dari himpunan anak-anak zaman itu mungkin bercanda: kapan ya kita bisa beli pesawat? Yang lain menimpali sambil tertawa: memang bisa pakai daun?

Mari tinggalkan gerombolan itu. Tak perlu dikhawatirkan. Setelah lelah, mereka akan pulang dan tidur  memainkan mimpi masing-masing. Sekarang kita pergi ke sebuah desa. Desa yang selalu tenang dalam imajinasi: lanskap sawah, gunung, sungai, ladang atau lembah-lembah. Di sebuah gubuk, terdengar suara lembut seorang perempuan berkata pada suaminya, “Besok pergilah ke kota, beli pupuk, jagung kita perlu makan. Sudah menguning daun-daunnya.”

Sekarang mari bicara tentang puisi. Loh? Apakah kedua fragmen di atas berkaitan dengan puisi? Barangkali tidak. Akan tetapi,  kita menemukan satu kata yang sama dalam dua peristiwa itu: daun. Pada fragmen pertama, ketika muncul kata ‘daun’ dalam percakapan gerombolan anak-anak muda itu, pikiran dan imajinasi kita segera melompat pada uang. Di f ragmen kedua, ‘daun’ mengantarkan kita pada makna sebenarnya: daun jagung.

Maka, daun sesungguhnya bisa berubah makna jadi uang, tentu dalam bentuk asosiasi. Kata ‘daun’ dalam fragmen pertama tertaut jadi uang dalam pikiran, menjadi imaji. Tentang tautan pikiran ini, kita bisa mengambil contoh lain pada kata ‘selokan’ atau ‘tong sampah’. Ketika mendengar kata itu, otak langsung bekerja membayangkan atau mengimajikan benda-benda kotor, bau, busuk, sarang tikus, ulat, lalat dan lain-lain. Apakah selokan memang jorok? Sesungguhnya tidak, sebab ketika zaman masih murni, selokan adalah saluran air di tepian desa atau bendar di areal persawahan.  Dan itu bersih, ikan-ikan hidup bahagia dan beranak-pinak di situ.

Menurut saya, asosiasi atau tautan pikiran itu merupakan cikal bakal sekaligus menjadi puisi jika dikelola, baik menyimpang maupun lurus. Bukankah puisi dibangun dengan majas (kiasan) dan imaji yang kuat? Apa yang kita bayangkan, misalnya, tentang salju? Bagi yang belum pernah melihat atau mengalami langsung musim salju, mungkin imajinya melayang pada televisi, film, atau video klip lagu-lagu yang mengetengahkan salju. Tapi bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan salju, barangkali akan terbayang dinginnya, bahkan seolah-olah bisa merasakannya.

Atau, mari saksikan seseorang yang berkata kasar kepada lawan bicaranya ketika marah, kata-kata ini meluncur dari mulutnya:  anjing, monyet, kampret, binatang jalang, bangsat dan lain-lain. Sumpah serapah tak berhenti di situ. Masih sangat panjang, bahkan  ada yang menggunakan alat-alat kelamin. Dan entah kenapa, pengibaratan-pengibaratan ini muncul begitu saja dalam pemahaman manusia tanpa ada pengajaran. Dan cekalanya, banyak orang tidak lagi mengetahui bahwa arti ‘bangsat’ adalah kepinding. Bahwa kampret adalah kelelawar. Bahwa sesungguhnya, anjing dan monyet adalah hewan yang tidak bersalah. Bagi saya, perlambangan-perlambangan ini juga merupakan puisi. Maka ketika seseorang memaki dengan kata ‘bangsat’, sesungguhnya ia sedang berpuisi, sebab ia tidak sedang bicara tentang kepinding, melainkan tentang perasaan, tentang kemarahan.

Barangkali, situasi-situasi serupa inilah yang mendorong penyair Sutardij Calzoum Bachri membuat kredo puisi. Ia tak setuju kata dibebani makna. Kata-kata harus bebas. Di sini kebenaran kredo itu terungkap. Karena kebebasan itulah makna kata bisa melompat-lompat. Daun melompat maknanya jadi uang. Bangsat melompat maknanya jadi anak-anak berandal. Bajingan berubah jadi penjahat. Padahal, bajing itu cuma seekor tupai.  Andai ‘kata bajing’ bisa marah, mungkin sudah diprotesnya kita, katanya: “Hei manusia, apa salahku, kalian nama-namai aku menyebut orang jahat.” Hmm…

Simak nukilan kredo puisi Sutardji:
….Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. …

Lalu, apa sesungguhnya puisi? Apakah kata-kata? Apakah makna-makna? Anak-anak muda di awal tulisan ini berhimpun menikmati malam. Menikmati malam? Dihayatinyakah angin dan bulan yang muncul di langit itu? Ataukah dengan nongkrong dan asyik masyuk dengan gadget bisa dikatakan menikmati malam? Apakah gadget itu? Kenapa tidak pakai kata gawai? Apakah selfie itu? Jangan-jangan, kita sesungguhnya tak tahu bahwa terjemahan selfie ke dalam bahasa Indonesia adalah swafoto.  Mereka lebih gampang menerima istilah asing ketimbang mencipta istilah dalam bahasanya sendiri. Atau barangkali, kata-kata cuma alat, makna-makna tersembunyi sangat jauh. Apakah puisi itu?

Pengertian puisi menurut buku-buku sudah teramat banyak. Ahli-ahli sastra juga telah membingkai kalimat-kalimat panjang tentang defenisi puisi. Konon: puisi adalah sekumpulan kalimat yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Puisi merupakan ungkapan hati dan pikiran yang berirama. Puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat, rekaman pengalaman manusia yang berkesan.

Apakah gerombolan anak-anak muda itu masih kenal puisi? Perlukah puisi bagi masyarakat miskin di desa-desa yang jauh itu? Sederet antologi pertanyaan lainnya akan terus memanjang, berputar-putar,, melompat-lompat, sama seperti tulisan ini yang tak jelas pangkal dan ujungnya. Tapi bagi saya, puisi adalah kesenian yang selama-lamanya tetap diperlukan, sebagaimana lagu diciptakan musisi dengan alat-alat musik yang beragam. Pun seperti pelukis berkarya dengan kanvas, cat, kuas dan lain-lain. Perupa bicara dengan ukiran-ukiran dengan segala peralatannya. Seni lakon atau drama dengan segala propertinya. Penari berkarya dengan koreo dan musikalitasnya.

Dan ajaibnya, penyair cuma punya satu alat mengerjakan keseniannya, yaitu: kata-kata.  Penyair mengisi dan mengkaryakan kehidupan ini dengan ‘kata-kata’.  Maka di tangan penyair, kata-kata bisa jadi gitar. Kata-kata bisa jadi pahat. Kata-kata bisa jadi darah. Kata-kata bisa jadi apapun. Bisa jadi pisau yang terbang mengoyak langit. Bisa jadi daun.  Daun pun bisa membeli pesawat. Bukankah saudagar sirih dan tembakau kaya raya? Akhir kata, puisi memang aneh meski tak aneh. Puisi bisa jadi rumah, tempat kita berlindung dari kejahatan cuaca. ***

(Sumber: Sumut Pos, 28 Februari 2016)
Bagikan:

01 Maret 2016

Pemetik Kecapi


Cerpen Panda MT Siallagan

Suatu petang ketika Somba tidak lagi menemukan pengemis tua pemetik kecapi itu di persimpangan lampu merah dekat Taman Makam Pahlawan, hatinya mendadak kosong. Dia merasa semua lagu di atas bumi sudah usai dinyanyikan dan di kepalanya hanya tertinggal kecamuk rasa kehilangan yang berat.

Dan ketika dia gagal menemukan perempuan itu di rumahnya, dia tahu hidupnya akan selamanya berlangsung dalam saputan rasa sakit, terluka dan murung di sepanjang jalanan kota yang tercekik macet.

Ilustrasi.
Tetapi, dia tidak yakin apakah kebahagiaan benar-benar  merecup, bertunas, tumbuh dan berbunga di hatinya sejak bertemu perempuan tua itu. Dia hanya ingat, sejak itu dia mulai mencintai jalanan macet setiap senja, sepulang kerja. Dia merasa riang ketika lampu merah menahannya di perempatan, merasa nikmat mendengar perempuan itu beryanyi sembari memetik kecapi persis di bawah tiang besi traffic light. Maka, setiap kali melintas di perempatan itu, dia akan memperlambat laju sepedamotornya, tak peduli pengemudi dan pengendara lain menyalib dan mendahahuluinya dengan kasar. 

Selama bertahun-tahun, sikap para supir angkot selalu membuatnya stres. Dia menggigil menahan marah menghadapi arogansi pengendara sepedamotor yang ingin menang sendiri. Tapi sejak perempuan tua itu muncul di perempatan yang setiap senja dilintasinya ketika pulang ke rumah kontrakannya yang sunyi di sudut kota, dia mulai menikmati kekacauan itu. Ketika semua pengguna jalan berusaha memanfaatkan jarak dan waktu secara efektif menghindari jeratan lampu merah, dia justru berharap terjebak. Memang tidak di semua traffic light, tapi hanya di perempatan dekat Taman Makam Pahlawan. Dia bahagia mendengar lagu-lagu indah mengalir getir dari mulut perempuan itu. Dia terlempar ke taman penuh bunga ketika senar kecapi berdenting memenuhi udara. Lalu, sesuatu berubah: saat hanyut dibuai aliran lagu dari mulut perempuan itu, dia benci suara klakson yang mendadak berdentam seperti serangan tawon di kepalanya dan mengharuskannya beranjak dari perempatan. Tapi itulah yang selalu terjadi, dan dia sangat kecewa, buru-buru melemparkan pecahan rupiah ke bakul milik perempuan itu. Saat kaki kiri menekan gir dan tangan kanannya memutar gas sepedamotor, dia berlalu sembari mengutuk lampu merah yang rasanya sangat cepat berubah hijau.

Malam-malamnya juga mendadak aneh. Menjelang tidur, pikirannya mulai dipenuhi kelebat dan renungan tentang pengemis itu, yang duduk bersila, dengan kedua tangan menimang kecapi, wajah tengadah dan mata terpejam, mulut membuka-menutup sesuai tuntutan artikulasi syair lagu. Somba yakin, perempuan itu bernyanyi bukan demi receh, tapi demi sebuah cerita. Tubuh yang ringkih berbungkus baju kumal berwarna biru dan ada ulos menyelempang di lehernya, seperti menyimpan rahasia yang dalam. Imajinasinya juga menempel pada kulit tangan perempuan itu, yang berkerak seperti sisik kodok, penuh bintik-bintik hitam dan putih, sesuatu yang membuatnya sadar bahwa dia juga akan tua dan rapuh, akan dilupakan dan menjadi terasing dari kehidupan. Tapi postur dan profil wajahnya memastikan, perempuan itu sangat cantik ketika muda. Itulah jejak awal semua rasa bahagia yang kemudian melingkupi jiwanya, dan bergairah memikirkan masa muda perempuan itu.

Somba merasa, sesuatu yang tidak terpahami mulai merasuki hati dan pikirannya, sesuatu yang membuatnya sangat riang saat lagu Sinanggar Tullo berdentam, saat lagu Na Sonang do Hita Nadua mengalun syahdu, lalu menggema Piso Surit, Sitalasari dan terus mengalir ke ranah Minang, Melayu, Manado, Barat, lagu-lagu pop terkini dan Mandarin. Hari-hari berubah indah karena dia bisa mendengar lagu-lagu dari beragam puak, dinyanyikan perempuan tua yang seolah-olah pernah dia kenal. Yah, mendadak dia merasa pernah sangat dekat, intim, dan sejiwa dengan perempuan tua pemetik kecapi itu, pengemis di perempatan lampu merah dekat Taman Makam Pahlawan di kota berhati keji. Kota berhati keji?

Untuk pertama kali setelah tahun-tahun berlalu tanpa ingatan, dia mulai berpikir kapan sesungguhnya dia tinggal di kota, berapa lama matahari dan malam silih berganti, dan seberapa dalam kepedihan telah berhasil dikuburnya. Tapi dia tidak ingin mengenangnya. Dia tidak ingin mengingat mengapa dia harus meninggalkan desa yang tenang dan damai, pasrah dipermainkan kota yang tak kunjung usai dipahami. Dia hanya ingin mengenang bahwa setiap senja, selama tahun-tahun menyedihkan, dia pulang dari kantor yang dipahaminya sebagai ruang hampa, tempat di mana hati dan pikirannya tersedot mengenang kekalahan demi kekalahan. Dia bekerja di toko buku, bukan untuk mencari kemapanan, tapi untuk menghindar dari hasrat bunuh diri. Selama beberapa waktu, pikirannya pernah dirasuki rasa nikmat dari hasrat bunuh diri. Kenikmatan itu muncul dan bercampur dengan perasaan tak berguna, sunyi, gagal dan terluka,  terutama sejak Soadaria meninggal. Calon istri yang sangat dicintainya itu tewas pada suatu malam sehabis menenggak racun, sebulan menjelang hari pernikahan yang telah ditentukan.

Ketika pertama kali menemukan pengemis tua pemetik kecapi itu di perempatan menyanyikan lagu perjuangan asal Tapanuli berjudul Butet, dia bergetar. Dia terkenang pada Soadaria, sebab Butet  kerap muncul sebagai salah satu soal dalam teka-teki silang, yang selalu mereka utak-atik mengisi kencan malam minggu di rumah kontrakannya yang sempit. Kini lagu itu menguar dari mulut seorang wanita tua, meresik merdu di telinganya, mengingatkan dia pada guru kesenian yang mengajarkan lagu itu di bangku sekolah dasar. Lagu itu memutar ulang keindahan masa kanaknya bersama nenek, masa lalu yang murni dan jernih. Dia rindu bebukitan yang memagari kampung, ingat jalanan tanah dan berbatu, juga sungai berair jernih tempat dia memancing setiap sore. Lagu itu mengalir bening, sejernih suara guru, “Anak-anak, rajin belajar, ya! Isi kemerdekaan dengan belajar!”

Tetapi, dia tidak pernah merasa merdeka. Jiwanya selalu tertambat pada luka. Di manakah kini pengemis tua itu? Benarkah calon istrinya meninggal karena menenggak racun? Dia mulai berpikir, jangan-jangan pemetik kecapi itu adalah calon istrinya, sebab bentuk kegembiraan yang mengaduk hatinya saat jatuh cinta pada Soadaria, sama nikmatnya ketika hatinya bergetar mendengar perempuan tua itu bernyanyi sambil memetik kecapi. Tapi bathinnya membantah. Umurnya kini 35 tahun, Soadaria lebih muda dua tahun. Sedangkan perempuan tua itu, meskipun mungkin terlalu cepat tua dirongrong kesulitan hidup, pasti tak kurang dari 50 tahun. Tapi aneh, hatinya diliputi rasa takut sekaligus hasrat misterius: ingin bercinta dengan pengemis tua itu.

Sesungguhnya, kekacauan itulah yang terjadi ketika suatu subuh dia terbangun. Dengan mata berat, dia meraih ponsel dan mengirim pesan pendek pada atasannya, meminta izin tidak bekerja karena tubuhnya remuk dilanda demam yang hebat. Untuk pertama kali, dia tidak merasa bersalah telah berbohong. Dia lantas beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuh alakadarnya, lalu bergegas keluar rumah, menembus angin dingin. Meskipun samasekali tidak punya arah ke mana dia akan mencari, tapi dia yakin akan menemukannya, sebab dia telah menghidu aroma baju kumal dan peluh yang merayap dari sebuah tempat, milik perempuan tua pengemis. Tapi begitu tiba di perempatan,  dia kecewa tidak menemukan perempuan itu. Tapi sontak dia bertanya pada pengasong koran pagi yang berjejal meneriakkan kebohongan-kebohongan. Dan dia lega mendapat petunjuk: di depan Makam Pahlawan, ada Gang Rundut, susuri saja. Di ujung gang, ada simpang, beloklah ke arah kanan, kira-kira 200 meter ke dalam, akan kau temukan rumah bercat coklat yang dindingnya penuh gambar kecapi.

Rumah itu cukup besar untuk ukuran miskin, terbuat dari papan tapi asri karena dicat sangat apik. Halamannya cukup luas dan penuh dengan bunga-bunga. Dia menjadi ragu apakah benar pengemis tinggal di rumah yang tergolong asri semacam itu. Di  sebelah kanan rumah, berjejer rak bunga anggrek yang tumbuh mekar dalam pot yang dirancang dari ijuk enau. Keraguannya lengkap dan dia sudah memutuskan meninggalkan rumah itu ketika tiba-tiba pintu terkuak dan sebuah suara menyuruhnya masuk. Dia terkejut, tapi segera teratasi karena perempuan itu menerimanya dengan hangat. Dia bahagia.

Tapi hasrat menyetubuhi perempuan itu sirna, berubah menjadi semacam ikatan kasih sayang, intim, dan akrab. Sebab kemudian, perempuan itu menjejalinya dengan cerita-cerita pedih, kisah-kisah mengharukan yang kemudian membuat dia berpikir bahwa kepada perempuan tua itu patut diberi hormat dan takzim. Dan Somba tak ingin hanya pendengar. Ada kekuatan yang memaksa jiwanya bercerita tentang masa kanaknya yang lengang. Bahwa dia tidak memiliki ayah, bahwa ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan, semua meluncur dari mulutnya, seolah-olah hanya pengemis tua itu satu-satunya orang yang paham sejarahnya. Bahwa beberapa bulan setelah peristiwa tragis yang merenggut nyawa ibunya, seseorang yang mengaku teman ibunya, mengantarnya ke desa berkat alamat yang ditemukan di rumah kumuh yang ditempati Tiamin, ibunya, sebelum meninggal. Bahwa neneknya sangat menderita atas kepergian putrinya, yang hingga ujung usianya tak percaya gadis semata wayangnya itu meninggal. Bertahun-tahun nenek mencari ibunya di kota, tapi tak ada jejak.

“Setiap mendengar Anda bernyanyi dan memetik kecapi di persimpangan itu, aku selalu terkenang pada kampung, rindu pada nenek yang juga gemar memainkan kecapi. Suara kecapi membuatku lengang, dan sadar bahwa aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini.”

“Apakah kau tak punya istri?” tanya pengemis itu.

Ingin dia bercerita tentang Soadaria. Hampir dua tahun perempuan itu hidup bersamanya mengarungi waktu, merancang kehidupan di masa depan yang jauh, berkhayal tentang anak-anak cerdas yang kemudian lahir mengisi ruang-ruang kosong. Tetapi perempuan itu tewas menenggak racun, membatalkan pernikahan. Dalam sepucuk surat yang ditinggalkan, Soadaria mengaku tak sanggup memikul dosa masa remajanya, yang pernah mabuk dalam keliaran-keliaran seksual bersama lelaki yang pergi meninggalkannya. Tak pantas mendampingi, tak berani bersaksi, tak tega mengotori kemurnian dan ketulusan cinta, itulah alasan Soadaria memilih jalan pintas. Ingin dia membagi kisah itu kepada pengemis tua di hadapannya, tapi dia hanya mampu menggeleng. Matanya sembab.

Lalu, sesuatu menjangkau relung jiwanya yang penuh derita. Tatapan tajam pengemis itu terasa seperti elusan hangat di jantungnya. Kembali dia disentakkan semacam perasaan sayang dan saat itulah dia bangkit dari duduknya, menuntun perempuan itu berdiri dan entah bagaimana awalnya mereka akhirnya berpelukan. Dia menangis, tapi perempuan tua itu tegak meneguhkan ketabahan seorang wanita. Dua insan lain usia itu tenggelam dalam suasana aneh yang membuat rasa malu lenyap dari pikiran. Dan sesungguhnya, saat memeluk perempuan itu, Somba sedang mendengar denting kecapi merayap dari desa, singgah di perempatan lampu merah. Dia sedang terjebak dalam kemacetan jalan raya. Dia tersangkut….

Tiba-tiba perempuan tua itu melepaskan pelukannya, menyuruh Somba kembali duduk di kursi, lalu bicara lagi. Kali ini perempuan tua itu meracau tentang keseimbangan hidup. Hidup adalah hidup. Tapi jiwa punya banyak sahabat memaknai kepedihan. Dan baginya, kecapi adalah pilihan itu. Orang-orang bicara tentang kecapi, tapi sering lupa pada senar. Jikalau kau ingin bahagia, jangan merendahkan dirimu, sebab tak ada nada jika senar terlalu kendur, juga tak ada harmoni jika senar terlalu ketat.

“Tapi ini bukan tentang kecapi,” kata perempuan itu, “tapi tentang ayahku. Dia mewariskan kecapi itu untuk kupanggul sebagai salib penebusan bagi dosa-dosaku. Aku melupakan semua orang karena dosa yang tak kuinginkan. Aku diperkosa dan ditenggelamkan di ruang gelap dan setiap malam bertarung melawan rasa sakit. Maka kau tahu, perempatan itu adalah altar tempatku memanggil seseorang yang seharusnya kepadanya aku belajar mencurahkan cinta. Tapi aku tak ingin dia datang dan melihat kulitku berkerak. Ah, lupakan sajalah, kita sudah terlalu jauh bertindak bodoh. Kau bukan siapa-siapa, aku juga bukanlah apa-apa, tapi terimakasih untuk keanehan ini. Kita benar-benar seperti orang gila.”

Setelah jeda diam yang agak lama, perempuan tua itu memintanya untuk segera menikah dan tak baik bertahan untuk sesuatu yang tak mungkin kembali. “Aku pernah bangga menjadi seorang istri. Seorang lelaki, yang kini sudah pergi menghadap langit, memilih hidup bersamaku sebagai pengamen dan mengabdi pada kesenian. Aku bertemu dia di barak sempit tempat para lelaki laknat datang menuntaskan hasrat serakah pada tubuh Hawa. Selama bertahun-tahun, setiap matahari terbenam, aku memetik kecapi peninggalan bapak, menyelimuti barak dengan nada-nada indah. Aku menjadi bahan tertawaan bagi jalang-jalang lain yang candu pada alkohol dan berjoget menikmati dentaman musik disko. Lelaki-lelaki busuk memandangku gila dan mereka menyebutku berteman dengan setan. Tapi aku tak henti bernyanyi dan memetik kecapi, hingga akhirnya lelaki itu datang, membawaku keluar dari ruang pengap berbau alkohol dan air mani. Kecapi menyelamatkan hidupku,” katanya.

Lalu, pada pagi yang cerah itu, mereka berjanji untuk saling mengunjungi sebab masih banyak cerita yang belum terurai. Tapi ketika suatu petang Somba tidak lagi menemukan perempuan tua pemetik kecapi itu di persimpangan lampu merah dekat Taman Makam Pahlawan, hatinya mendadak kosong. Dia merasa semua lagu di atas bumi sudah usai dinyanyikan dan di kepalanya hanya tertinggal kecamuk rasa kehilangan yang berat. Dalam saputan rasa sakit, dia menangis menggumamkan keyakinannya, “Ibu, kenapa kau selalu meninggalkanku?”

Pematangsiantar, Juni 2008

Bagikan: