29 November 2015

Amsal Dangau


Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Amsal Dangau

Ricik air membingkai subuh. Maka keran yang patah di sudut lukisan itu selamanya berteriak tentang kota yang hancur, tentang rindu yang tawar di pematang sawah dan kebun. Petani berkemas, menyiang tikus dari rumpun padi, sebab tak sesiapa terwahyu mengusir mimpi dari tumpukan gabah, tak sesiapa mampu memanggil pipit jadi budak. Dalam gigil subuh, kokok ayam menggali lubang jangkrik. Bunga mekar menjemur luka.

Ilustrasi.
Mati

lewat lengang yang mengaliri kamar
derita mengirim bayangmu ke lorong tidurku
wajahmu mengapung di atas gelap
matamu merangkai lengang jadi kepingan usia
dan mimpiku saling berkejaran dengan rasa takut
sebab kealpaan jasadmu selalu membawa keranda
kita tidur diselimuti kematian

Pekanbaru, 2003

Amsal Lidah

Kapan kita bernyanyi lagi, tanyamu sembari meraut lidah. Sebab lama memang kicau burung sumbang ditiup kemarau, hilang kuasa mengayun mimpi di benak anak-anak. Aku ragu bersiul, sebab pagi sangat jauh. Sementara sulap kian tajam diasah kata, mendustai puisi. Malam getir tanpa suaramu. Aku pura-pura jadi nyamuk, berdendang tentang tungkai para lelaki penakik getah di tubuhmu. Kutahu: darahmu sudah mahir menyanyikan lenguh. Jejak ular menganga di jantungmu. Lagu-lagu padam.

Medan, April 2010

Sajak Rindu

rindu bertunas lagi
di musim sepi
luka mengelopak
memekarkan sakit
maka di hatikutaman pun berdarah
bunga-bunga tumbang
mengakhiri mimpi kumbang
akukah yang kehilangan itu?

musim sepi kian panjang
luka beranak-pinak
taman makin berdarah
di dalam hatiku
ditikami bayangmu

Pekanbaru, 2005

Belajar Sujud

butir air dari ujung daun
jatuh ke mata yang tengadah
menggambar wajahMu di antara gerimis
pohon sekeliling masjid setia
seperti Kau menantiku merampungkan resah

tapi hujan yang mengaris-garis udara
menautkan tanah dan langit dalam dingin
tak jua membentuk jalan
udara cuma sembab
butir-butir air terhisap muasal
bagaimana kutemui Kau di ruang senyap itu?

Pematangsiantar, Agustus 2007
Bagikan:

27 November 2015

Tragedi Budaya, Terbunuh Karena Jambar Adat


September tahun 2015 lalu, sebuah peristiwa heboh terjadi di Bosar Galugur, Tanah Jawa, Simalungun. Seorang bernama Jonner Sirat, tewas dibunuh gara-gara berselisih soal jambar  adat. Peristiwa terasa sangat mengerikan karena perselisihan itu terjadi dalam upacara adat pemakaman.

Ilustrasi
Sebagaimana dilansir berbagai media, berikut kisah dari sari beritanya:

Jonner Sirait tewas setelah ditikam teman sekampungnya bernama Hendri Malau. Pembunuhan terjadi karena salah paham antara keduanya ketika acara adat pemakaman seorang warga berlangsung di kampung mereka di Huta Batang Hio, 17 September 2015.

Pemakaman awalnya berjalan lancar hingga masuk pada acara pembagian jambar. Dalam acara itu, Hendri Malau bersama bersama beberapa rekannya memang berhak mendapatkan jambar pakkallung (jambar bagi warga yang bertugas mengangkat jenazah dan menggali tanah pemakaman).

Namun, ketika jambar belum saatnya dibagi oleh suhut (tuan rumah acara adat), Hendri terlebih dulu mengambil jambar tersebut. Padahal, seharusnya suhut memberikan jambar itu kepada ketua serikat (ketua perkumpulan kampung), lalu diserahkan kepada orang yang berhak menerima, termasuk kepada Hendri dan rekannya.

Pada saat pembagian jambar itu, suasana gaduh terjadi karena jambar tidak ditemukan lagi. Warga mencari-cari dimana jambar yang hilang itu. Dan ternyata, seseorang mengaku melihat bahwa Hendri mengambil jambar itu sebelum dibagi. Hal itu lalu diberitahu kepada ketua serikat.

Sontak, ketua serikat Jonner Sirait (41) marah dan menegur Hendri Malau. “Boasa dibuat ho jambar pakkallung, hape so tikkina dope dibagi? (kenapa kau ambil jambbar pakkallung, padahal belum waktunya dibagi),” ujarnya.

Saat itu Hendri mengaku merasa malu dan hanya diam. Namun, dia mengaku marah dendam karena dipermalukan di hadapan umum. Pada saat itulah timbul rencana jahat menghabisi korban. Sebelum tiba acara makkallung (mengantar dan menguburkan jenazah ke makam), diam-diam dia pergi ke rumah dan mengambil belati dan menyelipkannya di pinggang sebelah kiri.

Sementara Jonner Sirait tidak tidak ikut ke pemakaman. Dia pergi menyadap tuak untuk diantar ke warung langganannya. Dan usai penguburan, sekira pukul 17.00 WIB, di situlah pembunuhan terjadi. Hendri menunggu korban di dekat jalan masuk ke Huta Batangio, saat korban hendak pergi menyadap tuak yang memang merupakan pekerjaan sehari-harinya.

Begitu Jonner muncul, Hendri memanggilnya. Tanpa curiga, Jonner menghampiri Hendri. Begitu jarak mereka sudah dekat, Hendri langsung memeluk korban dan menikamkan belatinya berkali-kali. Mendapat serangan mendadak, Jonner roboh.

Warga sekitar yang melihat kejadian langsung mengamankan tersangka dan membawa jenazah korban ke RSU Djasamen Saragih Pematangsiantar.  Warga yang emosi melihat kejadian tersebut, sempat menghajar tersangka hingga korban lebam-lebam.

Peristiwa itu memancing reaksi luas dari masyarakat. Banyak kemudian orang bicara tentang apa dan bagaimana sesungguhnya makna folosofis jambar dalam adat-istiadat Batak.

Batakolog Manguji Nababan menilai jambar memiliki arti penting dalam Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang atau sekelompok orang. “Orang Batak memang sangat menghayati dirinya sebagai parjambar,” ujar Nababan.

Menurut Manguji Nababan, ada 3 jenis jambar, yaitu hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).

Dia menjelaskan, tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta dll) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar. “Ini yang mendasari bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar,” jelasnya.

Menurut Manguji, persoalan jambar pada hakikatnya bukan pada nilai atau besar bagian daging yang diterima tetapi lebih kepada penghargaan. Sering ditemukan ada perdebatan serius dalam sebuah pesta ketika pembagian jambar tidak sesuai. Tentunya sangat disayangkan jika memang pembagian jambar berujung pada kekerasan.

“Sangat disesalkan jika akibat pembagian jambar terjadi aksi kekerasan. Karena dalam ada Batak dilandasi konsep dalihan natolu, harusnya diutamakan konsep musyawarah mufakat. Parjambaron memang harus dijalankan tetapi harus melalui mufakat,” ujar Batakolog UHN tersebut.

Semoga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. ***

Bagikan:

24 November 2015

Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia



Pengarang: Fahrudin Nasrulloh, dkk.
Pengantar : Joni Ariadinata
Pengulas : Nenden Lilis A
Tebal : XII + 296 halaman
Ukuran : 14 x 21 cm

Sampul Buku.
Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) Edisi # 10 merupakan Edisi Khusus yang memuat sejumlah cerpenis mutakhir tanah air yang diundang secara khusus dan terbuka. Edisi khusus cerpenis muda pilihan ini diberi tema Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia.

Redaksi memilih dari ratusan karya yang masuk, dan akhirnya didapatkan 19 cerpen dari para cerpenis muda yang tersebar dari berbagai kota di tanah air. Tema-tema yang mereka usung relatif beragam, dengan bahasa ekspresi yang kuat dan menampilkan estetika terkini dari cerpen Indonesia.

Menariknya, jika selama ini muncul kekhawatiran atas minimnya perempuan penulis, maka dalam edisi ini keberadaan mereka cukup berimbang. Tak kalah menariknya pula, banyak nama yang muncul bukan nama yang dikenal secara “popular” di media mainstream, katakanlah sastra koran, namun muncul nama-nama yang selama ini memilih prosesnya sendiri.

Selain itu, ada beberapa nama yang memang sudah cukup dikenal publik sastra, sebagian lain mereka adalah orang-orang yang “jauh” dari hiruk-pikuk sastra Indonesia.

Penulis dalam edisi ini ialah Fahrudin Nasrulloh (Jombang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Kadek Sonia Piscayanti (Singaraja), Fina Sato (Bandung), Hasan Al-Banna (Medan), Nurul Hanafi (Bantul), Azizah Hefni (Malang), Yuni Kristianingsih (Ponorogo), Dyah Merta (Yogyakarta), Sandi Firly (Banjarbaru), Sunlie Thomas Alexander (Bangka), Ahmad Muchlis Amrin (Madura), Mahwi Air Tawar (Yogyakarta), Dalih Sembiring (Jakarta), Pandapotan MT Siallagan dengan cerpen berjudul KASET (Pematangsiantar), Ragdi F. Daye (Padang), Hendra Kasmi (Aceh), Jusuf AN (Wonosobo) dan Bramantio (Surabaya).

Keberagaman itu tertangkap dalam cerpen-cerpen dalam Jurnal Cerpen Indonesia edisi # 10, yang sekaligus menjadi dokumentasi regenerasi sastra Indonesia. Sebagian besar nama-nama tersebut saat ini tentu cukup sering terdengar dan tetap konsisten berkarya.

Sesuai dengan temanya, Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia. JCI # 10 ini adalah semacam potret yang menyimpan sejumlah nama dan karya. ***

Bagikan:

23 November 2015

Ujung Laut Pulau Marwah


Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini. Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya.

Sampul buku.
Demikian tulisan pada bagian atas sampul belakang buku Ujung Laut Pulau Marwah yang diambil dari Pengantar Kuratorial, Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman. Buku ini diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober 2010, setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).

Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan: Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).

Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun “sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia. Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, “Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul “Bustan’l Katibin” (1857), dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.

Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan, setelah melalui proses seleksi tentunya. Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.

Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk “Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni: “Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), “Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), “Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), “Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), “Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), “Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta), “Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), “Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), “Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), “Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten), “15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), “Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), “Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), “Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Pangkalpinang, Bangka-Belitung), “Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), “Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Bai Liang”  (Marsel Robot, Kupang, NTT), “Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), “Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), “Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), “Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung), “Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), “Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan “Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).

Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).

Lepas dari itu, Ujung Laut Pulau Marwah terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.

Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. “Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis “Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, “Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada “kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan “Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis “Yos Gamalama”. Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?

Pada bagian bawah sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk. Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan Chairil Gibran Ramadhan)

Bagikan:

22 November 2015

Upacara Terakhir


Cerpen Panda MT Siallagan

Malam menjelang Lebaran di kampung kami selalu berlangsung eksotis. Usai takbiran, hampir seluruh warga memilih terjaga sambil menunggu detik-detik suci keesokan harinya. Anak-anak biasanya bermain riang di halaman, kaula muda berkumpul di warung kopi antara ngobrol dan menonton televisi, sedangkan orang-orangtua berbincang tenang di rumah bersama sanak saudara yang pulang dari rantau. Suasana itu terasa lebih unik karena obor biasanya dinyalakan di halaman setiap rumah. Lepas tengah malam, anak-anak dan kaula muda akan kembali ke rumah. Kampung itu segera sepi.

Ilustrasi.
Dulu, aku masih bagian dari anak-anak itu. Bertahun-tahun kemudian, aku berubah jadi bagian dari kaula muda itu. Kini usiaku 35 tahun, sudah kehilangan tempat. Saat pulang tahun ini, kulihat anak-anak dan kaula muda berduyun-duyun ke tanah lapang SD di kampung itu. Konon ada tontonan menarik. Terdorong keinginan menikmati angin malam desa yang kerap memicu rindu di tanah rantau, aku ikut bersama rombongan. Di tanah lapang, anak-anak muda berkerumun, berdiri membentuk formasi lingkaran. Semua mata tertuju ke pusat lingkaran.

Pusat lingkaran itu adalah seorang lelaki yang sedang duduk bersila di tanah. Di depannya menyala dua lilin kecil sebagai penerang. Mata lelaki itu menatap tajam ke langit malam, mulutnya meracau memuntahkan kalimat-kalimat kacau. Awalnya kupikir pertunjukan sirkus. Tapi perlahan, racauan lelaki itu makin jelas.

Aku mendengar, lelaki itu berteriak, cintaku yang elok, cintaku yang indah, datanglah, datanglah. Orang-orang yang menonton mulai cekikikan. Aku semakin penasaran. Kusibak barisan anak-anak itu, mencoba menerobos ke tengah. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, lelaki itu mendongakkan kepala, meludah ke udara, lalu berteriak, “Anjingggg. Pergi kalian semua. Setaannn. Kalian nggak ngerti sakitku. Aarrrggghhh...”

Astaga! Aku kenal lelaki itu. Tapi bagaimana aku harus bercerita? Nama lelaki itu Jogal. Warga kampung kami akan selalu ingat, ia adalah hantu penebar resah. Saat berusia lima tahun, ia sudah mahir memanjat pohon-pohon tinggi. Jika pohon petai tua dekat balai desa berbuah, Jogal selalu mendapat peran memanjatnya. Dengan arit terselip di pinggang, ia tangkas menaklukkan dahan demi dahan, berpindah dari ranting ke ranting, memotong tangkai-tangkai, lalu berjatuhanlah buah-buah petai itu. Kadang orang-orang ingin menangis menahan nafas, gerun menyaksikan tubuhnya menggelantung di ranting-ranting kecil.

Di sekolah, Jogal kerap jadi sasaran kemarahan guru, sebab ia suka memanjat tiang bendera sambil menyanyikan Indonesia Raya. Berkali-kali disebat, ia bertahan melakukan hobinya itu hingga suatu hari tiang bendera bambu itu patah. Itulah sejarah berdirinya tiang bendera besi di SD itu dan hingga kini masih terpatri kokoh. Ia juga kerap memanjat dinding sekolah, menjebol asbes, naik ke loteng, lalu membawa turun anak-anak burung gereja. Di hadapan teman-teman, ia membunuh anak-anak burung gereja itu secara menyedihkan. Aku sedih dan marah setiap mengingat itu.

Keahlian memanjat itu kemudian digunakannya untuk mencuri, memetik cengkeh, mangga, jambu, rambutan, kelapa dan pinang milik warga. Ia menjual hasil bumi itu kepada tengkulak yang datang setiap akhir pekan. Tetua-tetua kampung kerap memanggil abah dan emaknya untuk dimintai pertanggungjawaban. Jika sudah begitu, alamat Jogal kena bantai. Abah akan menghantam punggungnya dengan kayu, bahkan betisnya kerap dilibas dengan rantai sepeda hingga berdarah-darah.

Aku pernah melihatnya dan gemetar setiap mengenang hal itu. Konon, setelah tanah ulayat milik leluhur mereka terjual kepada pengusaha dari kota, abahnya kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi sopir truk. Tapi profesi itu tak lama digeluti dan abahnya pulang ke desa tanpa membawa harapan. Sejak itu, ia suka berjudi, menenggak tuak, berkelahi dengan sesama pemabuk, juga kerap memukuli istrinya, terlebih ketika wanita kurus itu tak gesit mencari upahan ke kebun sawit untuk dihabiskan di meja judi. Sangat menyedihkan.

Akibat kenakalannya, Jogal harus menjalani SD selama 9 tahun. Saat lulus, teman-teman sebayanya sudah SMA dan mulai berserak ke berbagai kota. Jogal tidak melanjut ke SMP dan mendadak berubah baik, membantu emak mencari nafkah sebagai pekerja upahan.

Suatu hari, saat anak-anak sekolah liburan, Jogal menyatakan cinta kepada Mirna, putri kepala dusun, si cantik yang pintar. Kabar itu menyebar di seantero kampung dan Jogal dicela sebagai lelaki tak tahu diri. Secara bersamaan, menyebar pula kabar bahwa emak Jogal memiliki banyak utang kepada si kepala dusun. Jogal pergi dari desa itu, merantau ke Lampung, mengikuti pamannya, pedagang pengumpul karet. Lama tak ada kabar, hingga suatu hari ia pulang membawa perempuan bunting. Abah dan emak meradang murka, tapi nasi sudah jadi bubur. Jogal dinikahkan dengan perempuan itu.

Untuk menghidupi istrinya, ia bekerja sebagai buruh harian di perkebunan kelapa sawit milik swasta, dan tidak ada masalah sejauh itu. Ia tampak sayang sangat pada istrinya, rajin bekerja, dan jarang pergi ke kedai atau berjudi sebagaimana kebiasaan abah. Saat putri pertamanya lahir, warga menyaksikan, Jogal sangat telaten mencuci, mengangkut air dari pancuran, memasak, dan memandikan bayinya. Entah apa yang terjadi beberapa tahun kemudian, istrinya tewas bakar diri. Jogal agaknya hanya baik di mata khalayak, tapi di rumah ia kerap menganiaya istrinya, hingga depresi dan akhirnya bunuh diri. Tapi ada yang bilang, istrinya bukan bunuh diri, tapi sengaja dibakar Jogal.

Aku sudah kuliah waktu itu. Cerita mengerikan ini kudengar dari ibu ketika pulang liburan. Menurut ibu, tak lama setelah istrinya tewas, Jogal raib lagi dari kampung, sementara abah dan emak menutup diri, malu pada orang sekampung.

Setahun berselang, kehidupan orangtuanya kembali normal. Ayahnya kembali mengunjungi kedai. Ibunya, sambil menggendong Lumi (putri Jogal), kembali bercampur dengan ibu-ibu lain. Sejak itu pula, nama Jogal jadi bahan pembincangan, tapi dengan citra berbeda. Konon Jogal sudah sukses di Pekanbaru, berhasil jadi pengusaha di kota bertuah itu, dan sudah memiliki rumah dan mobil.

Sekedar diketahui, ada kebiasaan buruk berlaku umum di kampung kami, yaitu kebiasaan menggadang-gadang anak di rantau: sudah punya rumah, mampu beli ini-itu, meski kenyataannya taklah demikian. Orangtua sangat bangga menceritakan kepada seisi kampung bahwa anaknya mengirimi mereka uang setiap bulan, dan itu disengaja agar muncul kesan bahwa anaknya itu benar-benar sudah sukses. Perantau juga memiliki keburukan serupa, selalu mengirim uang ke kampung agar tersiar kesuksesannya, sementara di kota mereka hanya makan mi instan campur nasi. Maka cerita tentang kesuksesan Jogal tak sepenuhnya dipercaya.

Orang-orang menduga, itu sengaja dilakukan orangtuanya untuk memulihkan harga diri. Tapi ketika orangtuanya membangun rumah, orang-orang tersentak dan mulai percaya, meski tetap ada yang curiga sebab Jogal tak pernah pulang. Sebab lumrah juga perantau pulang setiap Lebaran, menyewa mobil, merayakan hari kemenangan itu dengan hura-hura.

Tapi kita tahu, sekembalinya ke kota, mereka pontang-panting bayar utang. Tapi, bagaimanapun, Jogal telah berhasil menorehkan gelar sebagai perantau sukses. Saat itu aku sudah sarjana dan bekerja sebagai supervisor di sebuah supermarket, meski latar belakang pendidikanku adalah sarjana pendidikan. Sebenarnya aku ingin mengabdi sebagai guru, tapi itu tak mungkin sebab honor sebagai guru tiada pernah cukup untuk biaya sehari-hari, sementara untuk jadi pegawai negeri sipil, abah tak punya uang membayar pelicin. Sudah berkali-kali aku ikut ujian dan mengikutinya tanpa kesulitan, nyatanya aku tak pernah lulus.

Secara fisik, Jogal termasuklah budak beruntung. Tubuhnya tinggi besar, hidung mancung, bulu dan alis menghias lebat pada mata yang bersorot kokoh dan tajam. Ia mewarisi tubuh abah, mengambil bagian-bagian elok dari emak seperti alis dan mata itu. Waktu duduk di kelas tiga SD, tubuhnya sudah sebanding dengan anak-anak SMP, sehingga ia berkuasa sebagai ‘bos’ di sekolah. Tiada seorangpun punya berani menantang dia punya kekuasaan, sebab ia bertenaga sangatlah kuat dan teramat suka ia berkelahi. Sedikit saja ia punya teman berbuat salah, ia akan memukul. Maka, ketika ia berubah sikap daripada yang jahat setamat SD itu, orang sekampung merasa lega dan lapang hati.

Tapi tiada yang tahu, di sebalik itu, aku merasa terteror. Suatu hari Jogal mencegat masa balik dari sekolah, dan memberikan sepucuk surat yang menyatakan denyut cintanya padaku. Aku tiada menanggapi surat itu, hingga di waktu lain, ia kembali memberikan lagi sepucuk surat lainnya. Isinya sama, tapi lebih berani. Ia mengatakan hendak memperistri aku, dan ihwal perubahan diri jadi elok daripada yang jahat, ia sebut sebagai wujud keseriusannya mencintaiku. Percampuran jijik dan rasa takut menjalari penuh hatiku masa itu.

Meski diam-diam aku mulai tertarik pada budak lelaki, tapi cara terang-terangan seperti Jogal punya laku itu membuatku ngeri. Amat tegas, melalui surat juga, kutolak hasrat dan inginnya. Ia tiada mengatakan apa-apa, tapi tak berapa lama, pernyataan cintanya kepada Mirna menyebar. Dari Lampung, ia berkirim surat ke sekolahku. Ia mengaku pergi dari desa karena malu atas perlakuan Mirna yang turut menghina kemiskinan abahnya. Dan, katanya, ihwal pernyataan cinta itu sengaja ia lakukan mencari perhatianku sebab ia sangat kecewa menghadapi penolakanku. Surat itu diakhiri dengan ancaman, bahwa hidupnya akan hancur jika aku tetap menolaknya. Setahun kemudian, ia pulang membawa perempuan bunting itu.

***

“Anjinggg! Kalian pikir aku gila? Setannn! Ayo bubar kalian,” Jogal terus berteriak. Orang-orang perlahan menjauh. Tiba-tiba ia meniup lilin di hadapannya.

Tanah lapang sekolah itu gulita seketika. Bersama orang-orang, aku bergegas meninggalkan tempat itu. Di kegelapan, Jogal berteriak lagi:

"Kalian dengar, ini ritual terakhir. Ini ritual terakhir. Tak akan ada lagi penderitaan. Matahari menjilat peluh, sebaik jatuh dikuras letih. Siang jadi peta neraka. Angin jiwa anak menyeru sejuk. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah bara. Seperti datuk dikepung api, meradang keringkan jiwa. Untai doa, pulangkanlah uap peluh. Tibakanlah ringai alam murka bah, hujan badai mata hati bocah. Tidur melayang dari benak anak. Dengkur luka abah dan emak menerbangkan uap tikar pandan. Keluar dia menemani dingin, bertembang bersama bulan. Alam kosong, berucap mulutmu. Bumi gersang, berkedip matamu. Jika mati kampung, berhembus nafasmu. Jika punah tanah,  mengelus tanganmu. Aku bocah menadah tangan di tanah leluhur. Tanah leluhur, jiwa kosong. Tanah ziarah, gersang ruh. Tanah leluhur, kampung mati. Tanah ziarah, tanah mati. Tanah punah. Tapi aku selalu pulang menggelombang, menjilat bibir bandar, meneguk aliran hidup di mata pelacur. Kuawankan rasa, kemendungkan mata, kuhujankan rindu. Kuingin jantung tak menyala tapi alkohol membakar jiwa. Dayu lagu tak henti menyulut kenangan jadi bara jadi abu."

Usai berteriak-teriak macam orang tak waras, sayup-sayup terdengar Jogal sesunggukan. Aku hampir tergoda untuk membujuknya, tapi kubulatkan niat meninggalkan tempat itu.

Setiba di rumah, emak bercerita, sudah hampir setahun Jogal pulang. Saat ia tiba di kampung, kisah indah tentang kesuksesannya berganti jadi cemoohan-cemoohan menyakitkan. Reputasinya sebagai perantau sukses runtuh seketika. Ia pulang sebagai lelaki sampah, dengan tubuh sangat kurus, wajah disemaki cambang, mata cekung, dan rambut acak-acakan. Ia menderita batuk akut, membuang dahak di sembarang tempat. Seperti mencari hal-hal yang hilang, ia selalu keluyuran pada malam hari di jalan-jalan kampung. Sejak ia pulang, kabar-kabari menyebar.

Ada yang bilang, ia adalah perampok kelas kakap selama merantau. Sebagian berkata, ia pengedar narkoba lintas provinsi, sekaligus pemakai, sebab itu otak dan tubuhnya hancur. Tak kalah menyakitkan, ada yang menyebut ia germo, penjual anak-anak gadis ke Malaysia dan Singapura melalui Batam. Yang terakhir ini, aku tak percaya sebab aku tahu ia tak pernah menginjakkan kaki di pulau Batam. Tiba-tiba aku merasa bersalah.

Emak melanjutkan cerita. Saat tiba di kampung, kondisi Jogal belum terlalu parah. Ia mulai suka berteriak beberapa minggu belakangan dan lari-lari telanjang di jalanan kampung. Berkali-kali dipasung, tapi selalu berhasil membebaskan diri. Adakalanya ia waras, dan menjadi sangat ramah pada setiap orang. Hari hampir subuh, emak terus bercerita, termasuk kepergian bapak-ibunya dari desa itu karena tak tahan menanggung malu.

Tiba-tiba, saat emak asyik bercerita, terdengar ketukan di pintu rumah kami. Saat kubuka, Jogal berdiri dengan pakaian rapi. Kami sangat terkejut. Secara refleks, bapak mengambil golok untuk jaga-jaga. Emak bergetar menahan rasa takut. Tapi Jogal tersenyum dan meminta kami tidak takut. Kebisuan menyergap, lalu pecah saat Jogal berkata, “Syukurlah kau pulang. Hanya kau yang kutunggu. Aku mencintaimu.”

Setelah mengucapkan itu, Jogal pergi. Bapak dan ibu tak bertanya tentang apapun. Esok harinya, Jogal ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Aku menangis dan hambur ke pelukan ibu. Lama aku tak pernah sesedih itu.

Pematangsiantar, Oktober 2008

Bagikan:

18 November 2015

Dua Perempuan Sunyi


Cerpen Panda MT Siallagan

Ketika bangun menjelang subuh,  hal yang pertama sekali dilakukannya adalah menanak nasi, mempersiapkan lauk-pauk, lalu menjerang air. Sambil menunggu air mendidih, ia memberesi kamar tidurnya, menyapu rumah, dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya ke kebun kakao. Ia lalu menyeduh teh, hanya segelas, sebab tiada lagi sesiapa di rumah tua itu selain dirinya.

Ilustrasi.
Kebun Kakao

Sambil menyeruput tehnya sedikit demi sedikit, ia biasanya membaca, sambil menunggu matahari bangkit dari peraduannya. Entah mengapa, membaca baginya lebih terasa sebagai sebuah peruntungan ketimbang ingin mengetahui sesuatu. Peruntungan yang membuat gairah hidupnya selalu bangkit. Peruntungan yang membuat ia selalu berada pada perbatasan antara sunyi dan gembira. Itulah sebabnya, dalam usia yang sudah kepala lima, ia tetap mempertahankan kebiasaan membaca sebagai pengisi waktu luang.

Lalu, setelah mentari terbit, dia segera bergegas, pergi ke kebun kakao. Seperti seorang pelajar, ia juga selalu membawa buku ke kebun, yang ditaruhnya di dalam bakul bersama goni dan termos tempat air dan makanan. Setibanya di kebun, segera ia akan berjalan menyusuri kebun kakao itu baris per baris, mengawasi buah demi buah, dan memetik jika ada buah yang menguning. 

Buah-buah yang matang itu kemudian dipecah, diambil bijinya yang berlendir, dimasukkan ke dalam goni, lalu diangkut ke rumah untuk dijemur sebelum dijual. Begitulah perempuan tua itu selalu bahagia melakukan pekerjaannya dari hari ke hari, seperti tak pernah didera lelah. Kalaupun lelah, ia akan istirahat, minum air secukupnya, lalu membaca, seperti mencari kekuatan baru dari buku yang dibacanya.

Kebun kakao itu sudah berumur puluhan tahun, tidak terlalu luas, hanya sekitar 4000 meter persegi. Ia menanam kakao itu bersama suaminya ketika putri semata wayang mereka baru lahir. Dulu, sewaktu mereka menanam kakao itu, banyak cibiran datang dari tetangga bahwa tindakan mereka kurang bijak, karena kelak kakao tidak akan laku lagi. Pada saat itu, orang-orang memang sedang demam menanam sawit. 

Tapi, orang-orang kemudian takjub manakala kebun kakao itu mampu membuat hidup mereka menjadi lebih makmur. Bahkan, pada saat putri mereka masih duduk di sekolah dasar, suaminya sudah mampu membeli sepeda motor. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suaminya meninggal karena kecelakaan. Ia diseruduk truk pada saat berkendara, sepulang dari kota belanja pestisida.

Mendadak segala sesuatu menjadi berubah sejak itu. Kemampuannya menyikapi hidup, kiat-kiatnya mengasuh anak, dan kecakapannya bersosialisasi dengan penduduk, sungguh membuat orang-orang merasa takjub dan terkesan. Pada saat suaminya meninggal, orang-orang sangat kuatir apakah ia mampu mengurus rumahtangganya. Sebab ia bukan contoh ibu yang baik. Ia sering menjadi bahan gunjingan karena tidak cakap memasak dan mencuci. 

Ia juga seringkali dipandang sebagai orang yang tak pandai bergaul, seolah-olah berbaur dengan masyarakat desa adalah sesuatu yang hina. Karena itu, ketika ada orang yang berkata bahwa suaminya mungkin diguna-gunai orang sehingga buta pandangannya ketika berkendara, ia merasa ada benarnya, tapi tidak menganggapnya sebagai kebenaran. Ia hanya berkata, "Aku percaya hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan."

Sebenarnya, ia tidak seburuk yang disangkakan orang. Hanya saja, ia belum terbiasa dengan suasana dan pola hidup desa. Ia memang berasal dari keluarga kaya. Ayahnya punya toko penyalur bahan bangunan, juga beberapa kilang penggilingan padi yang sekaligus berfungsi sebagai distributor beras ke kota-kota kecamatan. Di rumah, ia selalu dilayani dua orang pembantu yang selalu siap memanjakannya. 

Sebenarnya, orangtuanya sudah sejak awal menentang hubungannya dengan Attar Tua, almarhum suaminya itu. Tapi ia bersikeras bahwa ia tidak salah memilih lelaki itu, sebab ia adalah lelaki pemberani, cerdas, punya kemauan, dan masadepannya memancar gemilang dari setiap lakunya. Mereka saat itu sama-sama sedang kuliah di fakultas hukum, aktif berorganisasi, dan rutin menulis di berbagai media untuk menelanjangi kezaliman penguasa. 

Ia bertemu dengan Attar Tua sebagai sebuah peruntungan yang mengesankan. Mereka memiliki kesamaan yang membuat mereka selalu bersama. Membaca buku, tidak hanya buku-buku hukum, tetapi juga buku-buku lain seperti ekonomi, filsafat bahkan sastra. Mereka juga senang sekali berbicara tentang dunia hewan dan tumbuhan. Bunga, misalnya, selalu mereka maknai sebagai tanda betapa hidup memiliki banyak warna. 

Pada saat berbicara tentang hewan dan tetumbuhan itulah Attar Tua selalu bercerita tentang kampungnya yang sunyi, ayah-ibunya yang habis usianya diisap ladang karena setiap hari harus banting tulang, demi menyekolahkannya. Dan itu tidak boleh disia-siakan. Itulah sebabnya ia berusaha menjadi mahasiswa aktif, dan merasa sempurna setelah bertemu dirinya, yang juga seorang perempuan pemberani, meski agak manja. 

Pada saat mahasiswa rame-rame unjuk rasa melengserkan Soekarno, mereka terlibat aktif sebagai penggerak di kotanya. Tapi, setelah Soekarno lengser, dan Soeharto mengambil alih kekuasaan, mereka melarikan diri ke kampung Attar Tua dan segera menikah. Pelarian itu mereka pilih karena banyak rekan-rekan mereka yang lenyap dalam ‘pembersihan' ala Soeharto. 

Mereka memang tidak terlibat dalam suatu ideologi tertentu, tapi demi keselamatan, mereka memilih hidup di desa Attar Tua. Ayahnya lalu memberi sedikit uang untuk membeli tanah di desa terisolir itu, dan itulah modal yang kemudian mereka pergunakan untuk menanam kebun kakao.

Burung-burung

Rumah besar itu terdiri dari tiga bagian. Bagian depan adalah ruang praktek, bagian tengah merupakan rumah keluarga, dan bagian belakang terdiri dari gudang dan kebun kecil yang penuh dengan sayur-sayuran. Pemiliknya memang sengaja membuat desain bangunan rumah seperti itu, agar tanah berukuran 10 X 50 meter yang memanjang ke arah belakang itu penuh terisi. 

Setiap sore, orang-orang selalu ramai di ruang depan, datang untuk berobat. Dr. Hanna Bertha, istri pemilik rumah itu, akan melayani pasien-pasiennya dengan sabar, hangat dan penuh senyum. Sementara suaminya, di salah satu kamar kerja di ruangan tengah, sibuk dengan bunyi tik-tak komputer. Lelaki itu adalah seorang penulis. Dulu, ia bekerja sebagai wartawan, tapi berhenti karena sastra terlalu kuat mencengkeram hati dan pikirannya.

Di ruang belakang, puluhan sangkar burung menggantung di plafon teras gudang. Seperti suara indah dari kehidupan yang lain, kicau merdu burung-burung itu selalu menemani tuannya beraktivitas. Burung-burung dalam sangkar itu adalah sebait ingatan tentang cinta yang dipersembahkan bagi seorang perempuan tua. 

Semua berawal ketika suatu kali ia pergi ke pasar burung untuk membeli pakan bagi burung yang terdampar lemah di kebun belakang rumahnya. Burung itu mungkin disambar petir, kita harus merawatnya, kata suaminya. Dan ketika berada di pasar burung, ia tertegun mendengar kicau-kicau merdu yang menguar dari beragam burung. Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu: ketika ayahnya meninggal, malam sebelumnya ia mendengar burung-burung berkicau di sekitar rumah mereka. Mengingat hal itu, tiba-tiba kepalanya pusing, dan ia jatuh pingsan. Dan inilah yang dilihatnya:

Seorang gadis cilik hidup di rumah sederhana, di sebuah kampung sunyi. Ibunya, seorang diri, berjuang mengayomi dan memberi nafkah baginya. Wanita itu tak pernah marah, selalu ramah. Meski begitu, selalu ia merasa ada yang tidak sempurna dalam diri ibunya. Ibunya masih sering salah ketika mengerjakan banyak hal. Ketika menanak nasi, sering nasi yang ditanaknya kurang matang, atau terlalu lembek. Jika ia menyapu rumah, sering ada bagian-bagian yang tertinggal sehingga debu-debu tetap saja melekat di lantai. 

Dan jika ia mencuci, noda dan kotoran sering tertinggal di piring dan pakaian. Ia ingat, ketika ayahnya masih hidup, hal seperti itu tidak pernah terjadi. Ayahnya selalu menyertai ibu ketika mengerjakan sesuatu, sehingga tampak selalu sempurna. Tapi, itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja ibunya berubah menjadi wanita yang gesit, telaten, bersih, rapi dan sempurna mengerjakan segala hal. Dan ia tidak menyangka bahwa ibunya juga akan sanggup bekerja di kebun karena semasa hidup ayah, ibu tak pernah pergi ke kebun. 

Setiap hari wanita itu bekerja banting tulang, seperti menemukan kekuatan baru dalam setiap pekerjaannya. Dan ia makin bangga pada ibu, karena di tengah-tengah kesibukan yang padat, ibu masih sempat membaca buku-buku. Dan kebiasaan itu kemudian turun kepadanya. Pernah ia membaca novel tentang seorang istri yang menikah lagi setelah ditinggal mati suaminya pada saat anak pertama mereka baru lahir. Lalu, ia bertanya, "Ibu, mengapa Ibu tidak menikah lagi?" Dan ibunya menjawab: "Kelak, ketika kamu sudah punya anak, kamu akan tahu jawabnya."

Bertahun-tahun kemudian, ia menikah. Tapi ia tidak bahagia. Ia punya suami yang tidak pandai menyiasati hidup, tak gesit mencari uang. Oleh sebab itu, dia harus bekerja matian-matian untuk menghidupi rumah tangga. Pagi hari, ia bekerja di sebuah rumah sakit. Dan sore hari, ia membuka praktek di rumahnya. Ia tidak pernah marah pada suaminya, sebab ia paham potensi seseorang. Ia paham bahwa zaman sudah berubah, paham bahwa konsep patriarkal sudah tak berlaku lagi dalam kehidupan rumah tangga. 

Ia ingin seperti ibunya, berhasil membesarkan, mendidik dan menghantarkan dirinya ke kehidupan yang layak, meski ibu tak punya suami. Tapi ini bukan berarti bahwa ia mencuaikan suaminya. Ia tetap mencintai lelaki itu, menghormatinya, menganggapnya sebagai tuan yang harus dijunjung. Ia paham, apa yang dilakukan suaminya sedikit banyak telah pula membangun kehormatan di tengah-tengah keluarga. Anak-anaknya juga bangga punya ayah seperti suaminya, terlebih-lebih ketika teman-temannya berkata, "Ayah kamu penulis yang sering masuk koran itu, ya? Hebat dong!" 

Tapi, sesekali ia merasa lelah juga manakala suaminya hanya asyik dengan buku-buku, sampai-sampai untuk memperbaiki toilet yang sumbat, mengoreksi lampu yang rusak, harus dilakukannya sendiri. Seperti sore itu, ia pergi ke pasar burung setelah terlebih dahulu membersihkan kebun. Apakah ia jatuh pingsan karena terlalu lelah? Apakah itu terjadi karena kekaguman mengingat ibu, lalu lemas dan kecewa menerima kenyataan bahwa suaminya hanya duduk di depan komputer? Tapi, ia mencintai lelaki itu, seperti lelaki itu juga mencintainya. Ia paham, suaminya kurang tahu cara mencintai, itulah persoalannya.

Ketika siuman, ia berada di rumah sakit. Suami dan anak-anaknya berada di sampingnya dengan mata sembab. Sejak peristiwa itu, ia mulai suka mengoleksi burung, dan ditaruh di bagian belakang rumahnya.

Pertentangan

Pernah suatu hari ia pulang menjenguk ibu, tanpa ditemani suami dan anak-anaknya. "Hanya kamu seorang?" ibunya bertanya. Ia berkata bahwa ia rindu pada ibu, pada kampung, pada sesuatu yang pernah mereka jalani bersama sebelum suami dan anak-anaknya hadir. "Aku ingin menikmati hal itu bersama ibu," katanya. Mereka kemudian berjalan-jalan ke kebun kakao sambil saling bercerita. Ia berkisah dengan antusias tentang anak-anaknya yang lincah dan gemuk-gemuk., juga tentang suaminya yang tetap seperti dulu.

"Suamimu itu memang baik, tapi tingkahnya seringkali membuat orang-orang tersiksa. Masih suka diam dia?" tanya ibu.

"Masih, Bu. Sekarang malah makin pendiam, susah diajak ngobrol. Tapi ia tidak pernah menyakitiku. Ia tetap baik. Ibu sendiri bagaimana, apa Ibu masih betah hidup di sini?"

"Pasti betah. Kehidupan Ibu memang di sini. Ada apa?"

"Bagaimana kalau Ibu tinggal saja bersama kami di kota?"

Mendengar itu, ibu tertegun, lalu berkata: "Itu tidak mungkin. Kamu bisa saja membiayai Ibu tanpa kurang suatu apapun, mengurus Ibu, dan memanjakan Ibu dengan segala apa yang kamu miliki. Tapi apa kamu yakin Ibu akan betah di kota? Dengar ya, Ibu juga berasal dari kota. Jika Ibu mau, sudah sejak ayahmu meninggal Ibu pergi ke kota, bersama kakek dan nenekmu yang hingga akhir hayatnya masih tetap jadi orang kota. Tidak, Nak, di desa inilah kehidupan ibu. Desa ini telah menyelamatkan ibu dari kejaran penguasa, meski desa ini jugalah yang merenggut nyawa ayahmu. Di sinilah tersimpan sejarahmu, dan desa inilah tempatmu pulang jika kamu rindu pada sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan di kota."

"Tapi Ibu, aku ingin punya seseorang tempat bicara, menantu Ibu tidak bisa diajak bicara. Aku sepertinya salah pilih, ya, Ibu?"

"Eh, jangan bicara begitu. Dulu, sebelum kamu menikah, kamu kan sudah tahu wataknya. Jadi, kamu harus terima itu. Jangan lupa, ia penerus ayahmu yang juga suka nulis."

"Aku mohon, sudilah Ibu tinggal bersamaku di kota. Aku mungkin tidak sekuat Ibu, bisa hidup tanpa suami."

"Tidak bisa. Ibu hanya bisa berkata bahwa kamu harus lebih paham apa itu makna cinta. Jika kamu memahaminya dengan benar, kamu pasti bisa menangani segalanya dengan baik. Berjuanglah demi anak-anakmu, bukan untuk suamimu."

Percakapan mereka berhenti sampai di situ, mereka pulang dari kebun kakao dengan saling diam. Baginya, penolakan ibu terasa seperti sebuah pertentangan yang berdebam-debam di dadanya. Satu-satunya hal yang mungkin masih bisa dilakukannya adalah bersabar, belajar, berjuang seperti kata ibu, meski suaminya tak bisa seperti harapannya. Ia sebenarnya tak menuntut apa-apa dari suaminya itu kecuali sikap yang hangat. Tidak lebih.

Kenyataan

Sejarah terus berjalan, bergerak, meski tak selalu baik rupa. Adakah sesuatu yang sempurna di dunia ini? Seperti cuaca yang terkadang pecah, rontok dan lumat ditimpa waktu, hidup juga punya ledakan-ledakan tersendiri dalam perjalanannya. Tak ada kedamaian sebenar dalam hidup ini. Tak ada kehancuran sebenar dalam perjalanan ini. Dan perempuan tua itu tetap menjalani hari-hari di kampungnya yang sunyi, berdamai dengan sejarah yang mengendap di kebun kakao. Dan putrinya, Dr Hanna Bertha, bersetia pada kehidupan yang tak sepenuhnya salah tata. Dan harapan demi harapan selalu menguar dari kicau burung yang melengking-lengking dari belakang rumahnya. Dan itu membuatnya tabah bukan karena ia perempuan, tapi hanya karena cinta. ***

Pekanbaru, April 2005

Bagikan:

15 November 2015

Lelaki Kunang-kunang


Cerpen Panda MT Siallagan

Suatu dini hari. Kelam melebarkan sayapnya. Merangkul jagad. Inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan taring hening yang menggigit. Setiap tempat yang dikepung kelam adalah bentangan ketidaktahuan manusia atas sepenggal usianya yang diringkus oleh raksasa berwarna gelap.

Ilustrasi.
Pada saat seperti ini hening melingkup segala. Lindap. Tak ada suara yang kita kenal ada pada saat matahari ada. Tapi, bagi mereka yang melukis telinga kesunyian di dalam jiwanya, akan terdengar semut malam bernyanyi, melantun liris seperti desah angin yang tergesek pada daun-daun. Akan terdengar bagi mereka yang mencintai keheningan, bahwa malam lebih bernyawa mendesahkan suara-suara gaib, suara-suara yang menggema dari jantung sepi, bunyi-bunyian yang lebih merdu dan nadanya berirama seperti sajak yang berdentingan dari nafas Tuhan.

Dari langit yang jauh, pada saat kelam mengepung itu, terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah di kejauhan di bawah. Rumah-rumah itu tampak seperti serakan batu kerikil berwarna hitam di suatu tanah lapang. Adakalanya rumah-rumah itu juga tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab dari setiap rumah memancar cahaya lampu serambi yang sengaja tidak dipadamkan pada malam hari.

Tapi jika perhatian lebih seksama ditujukan pada atapnya, maka ruma-rumah itu tampak seperti pemandangan aneh menyerupai sisik kasar manusia tua yang berteriak-teriak memanggil maut, berseru-seru agar nyawanya dicabut. Manusia yang sudah bersisik kasar selalu memang merasa nyawanya tiada lagi berarti sehingga mereka sering berharap lekas-lekas mati.

Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis resah di atas sebuah peta negeri yang sekarat. Di atasnya, sesekali motor dan mobil melintas seperti tak peduli pada malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Dan, cahaya yang berhamburan dari lampu-lampu kendaraan itu melesat seperti kunang-kunang ajaib. Kunang-kunang semacam itu diutus untuk tidak pernah dilihat manusia kecuali mereka yang gemar menantang malam.

Ia selalu terbang pada malam hari, pada saat makhluk-makhluk lain tertidur pulas merangkai mimpi dari rasa lelah yang dibaringkan di atas ranjang. Dan kini, kunang-kunang itu muncul dari sebuah tempat yang gelap di ketinggian. Ia terbang menukik agak lambat menuju rumah-rumah yang terhampar di bawah. Ia terbang berkitar-kitar hendak memilih rumah mana yang akan dikunjunginya. Setelah agak lama terbang berputar-putar, kunang-kunang itu bergerak menuju sebuah rumah yang terletak di ujung sebuah jalan, lalu masuk ke dalamnya.

Di dalam rumah itu, seorang lelaki muda masih terjaga dan duduk di atas sebuah kursi yang agak reot. Ia sedang membaca sebuah buku yang terletak di atas meja yang juga sudah mulai lapuk. Lihat, sesekali lelaki itu mengerutkan kening lalu mencatatkan sesuatu setelah agak lama berfikir. Selain buku yang sedang dibacanya, masih ada buku-buku lain yang masih berserak di atas meja itu.

Sementara, lantai penuh dengan sobekan-sobekan kertas yang berserak dengan sangat amburadul. Di dalam asbak yang terbuat dari tanah liat, menumpuk abu dan puntung-puntung rokok yang barangkali lupa dibuang lelaki itu. Di dinding kamar itu terpajang beberapa lukisan cat air di atas media karton. Lukisan-lukisan itu merupakan buah karya dari tangannya sendiri, warna lukisan itu terkesan agak menguning, barangkali asap rokok telah begitu banyak menyerap ke dalam medianya.

Lihat, lelaki itu melemparkan buku ke kolong tempat tidur. Ia lalu mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kemudian ia menuliskan sesuatu di atas kertas itu dan sesekali menusuk-nusuk pena itu ke pelipisnya. Tahukah kau, orang-orang menyebut lelaki itu si ‘penyair gila'. Tapi, ada manusia-manusia gila yang justru menyebut lelaki itu sebagai ‘orang yang belajar nabi'.

Ketika aku mengunjungi lelaki itu, ia terkejut dan buru-buru bertanya untuk ihwal apa aku datang mengunjunginya.

"Aku senang kau datang meski kuakui pekerjaanku terganggu dengan kehadiranmu, tapi aku senang. Kaulah satu-satunya sahabat yang paling mengerti aku. Ada apa, kawan?" tanyanya.

"Maaf jika memang mengganggu. Aku hanya ingin tahu, apa gerangan yang kau tulis?" tanyaku.

Tapi setelah menanyakan hal itu, aku mendadak merasa bodoh dan malu pada diri sendiri. Sebab kedatanganku yang sesungguhnya bukan untuk mengetahui sedang menulis apa lelaki itu. Lagipula bagaimana mungkin aku tahu dia sedang menulis di rumahnya? Meskipun dia seroang penyair, menyimpulkan ia selalu menulis adalah dugaan yang bisa sangat salah. Tapi untunglah lelaki itu tidak begitu peduli dengan pertanyaanku yang ceroboh itu. Dia lalu berkata bahwa ia sedang menulis sebuah cerita.

"Cerita apa?" aku bertanya.

"Cerita tentang kunang-kunang ajaib. Katamu kau ingin tahu sedang menulis apa aku. Maka, jika kau ingin mendengarnya, aku akan membacakannya bagimu."

Entah mengapa, ketika berkata demikian, aku merasa bahwa lelaki itu merupakan pencerita yang hebat dan sangat terkenal sehingga aku merasa sangat perlu dan bangga sekali jika ia membacakan ceritanya padaku.

"Dengan senang hati aku akan mendengarnya. Bacakanlah!" kataku akhirnya, setengah meminta.

Maka lelaki itu menceritakan ini:

"Ada seorang lelaki muda yang tiba-tiba mengubah wujudnya menjadi kunang-kunang. Di suatu tempat. Yah, di suatu tempat dimana waktu hanya terdiri dari huruf-huruf yang mengkristal jadi sajak lelah. Lelaki itu merasa bahwa waktu ataupun sajak-sajak lelah itu selalu melingkar membungkus tubuh, mengepak nafas, meringkus gerak dan membekap jalan pikirannya. Ia mengubah dirinya jadi kunang-kunang supaya bisa lari dan keluar dari lingkaran yang menjerat serupa penjara gelap itu. Dengan menjadi kunang-kunang, tubuhnya akan menjadi suluh bagi dirinya untuk keluar dan lari dari lingkaran itu. Maka terbanglah ia menerjang seluruh arah, sudut dan permukaan segala yang berwujud. Setelah ia berada di luar lingkaran, ia merasa bebas sebab tak akan dialaminya lagi perjalanan di sisi lingkaran yang selalu menghantamnya pada titik yang sama secara berulang-ulang..."

"Maaf," kataku menyela, "Aku tak faham apa kandungan ceritamu."

"Haha..." lelaki itu tertawa, dan melanjutkan, "aku sedang bercerita soal waktu, kawan. Kau tahu, waktu adalah lingkaran. Hidup kita hanya terdiri dari perjalanan berulang-ulang di sisi lingkaran demi mengurangi waktu. Kita berangkat dari satu titik ke titik lain tapi akan tetap tiba pada titik yang sama pada akhirnya. Lihat, pada pagi hari kau bangun dan tidur pada malam hari. Dan itu akan berulang-ulang kau lakukan tanpa perlawanan. Jika kau merasa lapar, kau akan makan. Jika lapar lagi, kau akan makan lagi. Kau meninggalkan rumah pada waktu-waktu tertentu dan akan tetap kembali ke rumah sejauh apapun kau berkelana. Yah, hidup kita mengarungi waktu persis seperti ketika kita mengelilingi lingkaran. Jika suatu waktu kau tertawa, kau akan diam setelahnya. Jika suatu waktu kau menangis, kau akan diam sesudahnya."

"Cukup! Cukup, Kawan!" kataku menyela, "Sekarang aku paham apa maksudmu. Tapi apakah kau merasa mampu melepaskan diri dari ringkusan waktu?"

"Oh, tentu. Hal itulah yang menjadi bagian lanjut dari cerita yang kutulis ini. Apakah kau masih tertarik mendengarnya?"

"Yah. Ceritakanlah!"

"Lelaki kunang-kunang itu, suatu malam, seperti mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk tidak hanya keluar dari lingkaran waktu, tapi juga harus mampu menghentikan waktu. Maka ia bersemedi, memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan pikiran, lalu berpikir keras mencari tahu bagaimana caranya menghentikan waktu. Tapi di tengah persemedian yang dalam itu, segala kekuatannya tercerai berai dihantam bunyi jam dinding yang berdetak memecah keheningan pada malam itu. Diambilnya jam itu lalu dihempaskannya ke lantai. Jam itu pecah menjadi puing-puing. Saat itulah lelaki itu merasa ada gemuruh yang mendadak di kepalanya. Jawaban tentang bagaimana membunuh waktu tiba-tiba masuk ke ceruk otaknya."

"Apa itu?" tanyaku tidak sabar.

"Ia harus menghentikan seluruh aktivitasnya yang berhubungan dengan waktu. Itulah satu-satunya cara membunuh waktu."

"Menghentikan seluruh aktivitas?" tanyaku agak ngeri, "Itu tidak mungkin, kawan. Kau barangkali sedang tidak waras."

"Ya, ini memag ide gila. Tapi kita harus berani menjadi gila demi mengelak dari takdir bernama waktu yang selalu mempermainkan kita dengan sangat keparat," katanya.

"Jika begitu, teruskanlah kegilaanmu, tuntaskan cerita itu," kataku setengah jengkel dan segera bergegas meninggalkan lelaki itu.

Esok harinya, pagi-pagi benar, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Seperti ada kekuatan aneh yang mendesak aku untuk pergi ke rumahnya. Kudapati lelaki itu masih saja terjaga.

"Ini sudah pagi, tapi kau belum juga tidur, Kawan?" tanyaku.

"Aku tidak lagi ingin tidur. Kau tahu, aku juga sudah berhenti mandi, tidak lagi ganti pakaian, tidak lagi makan dan minum. Itulah caraku menghentikan waktu, dan karena waktu sudah kuberhentikan, maka rasa lapar telah hilang, rasa haus tiada lagi. Aku juga tak perlu lagi menikmati udara luar, melihat matahari atau berbaur dengan manusia-manusia dungu di luar sana."

"Aku tidak percaya," kataku.

"Kau boleh tidak percaya, tapi itulah jalan hidup yang dipilih lelaki kunang-kunang dalam cerita yang kutulis tadi malam. Aku juga sedang belajar mengadaptasi pola hidup semacam itu, juga kau. Kita semua harus melakukannya, sebab pilihan itu bersumber dari penglihatan Illahi semacam wahyu."

"Benarkah?"

Ya, katanya. Lalu ihwal ini diceritakannya:

Suatu malam, lelaki itu merasa bahwa ia berada di langit. Ia melihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah. Rumah-rumah itu tampak seperti batu-batu yang berserak di suatu tanah lapang, dan terkadang seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab rumah-rumah itu memiliki lampu serambi yang sengaja tidak dimatikan pada malam hari. Ia melihat atap rumah-rumah itu seperti pemandangan aneh, seperti sisik kasar manusia tua yang bosan mengutuk maut yang tidak juga datang mencabut nyawanya.

Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis di atas peta sebuah negeri yang sekarat. Sesekali motor dan mobil melintas seolah tak peduli pada tikaman malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Cahaya yang menghambur dari lampu-lampu kendaraan itu tampak seperti kunang-kunang...

"Cukup! Cukup, kawan! Kau sedang menyindir aku. Tapi, bagaimana kau tahu bahwa aku pernah berfantasi seperti itu?"

"Haha," lelaki itu tertawa. "Jangan bodoh, kawan. Kita adalah satu. Kau adalah aku. Kunang-kunang itu adalah kita."

Sejenak lelaki itu menghentikan pembicaraannya, mulai menangis, dan aku juga menangis, persis seperti tangisannya. Aku tahu aku tak lagi hidup. Aku tahu lelaki itu adalah aku. Aku tahu kunang-kunang itu adalah harapan-harapanku.

Pada saat itu, pintu tiba-tiba didobrak dan beberapa petugas kepolisian masuk ke rumahku.

Di luar, kudengar orang-orang sudah ramai dan kasak-kusuk membicarakan sesuatu. Salah seorang dari orang ramai itu bertanya kepada polisi tentang apa yang terjadi. Tapi polisi itu tidak menjawab, ia hanya berkata bahwa kasus bunuh diri telah terjadi.

Esok harinya, koran-koran menulis; seorang lelaki muda ditemukan tewas di dalam kamarnya. Tidak ada indikasi yang mengarah pada dugaan bunuh diri, ataupun penganiayaan. Kematian lelaki itu benar-benar terasa ganjil. Para penyidik mengatakan lelaki itu mungkin terindroktrinisasi oleh teori waktu. Dugaan ini didasarkan atas ditemukannya banyak buku tentang waktu di dalam kamarnya. Waktu adalah lingkaran, begitu tulis lelaki itu di atas secarik kertas. Formulasi ini diduga kuat telah meracuni otaknya sehingga seluruh aktivitas yang memang berlangsung seurut waktu, dihentikan lelaki itu dengan sangat berani, termasuk makan dan minum.

Dan aku, aku sendiri pergi menjauh, menyeret langkah, berjalan tanpa arah yang pasti. Aku tahu aku dirasuki sesal. Tapi sadar akan ketidakmungkinan untuk kembal ke kehidupan semula, aku tertawa. Aku terbahak-bahak menyaksikan anekdot kematian yang kuciptakan sendiri untuk diriku.

Pekanbaru, Januari 2002

Bagikan:

13 November 2015

Serangan Fajar dan Jas Pinjaman


Hal pertama yang mereka hancurkan adalah makna. Lalu dusta menjadi sesuatu yang lumrah. Entah bagaimana, pesona gagasan dan pemikiran kehilangan tempat sejak itu, menjadi retorika yang menguap jadi asosiasi buruk. Percakapan-percakapan yang baik seolah telah lama kehilangan substansinya. Dan memang, tahu apa kita soal politik dan politisi?

Ilustrasi.
Di zaman orde baru, kita ‘hanya’ diizinkan memahami politik lewat satu warna. Atau setidaknya 3 warna, tapi kita tahu sebuah manipulasi selalu terjadi di situ: formalitas keberagaman. Tapi sejak reformasi, warna itu berkibar-kibar melampaui hembusan angin, melebihi kemampuan kita menduga.

Demikianlah dua atau lebih generasi mengenang, setiap momentum pemilu adalah semarak kuning, merah dan hijau. Lalu semarak janji-janji. Warna apakah janjimu?

Dari sanalah proses penghancuran itu bermula. Jika partai X menang, jalan-jalan akan mulus, harga sembako terjangkau, pendidikan akan gratis, layanan kesehatan akan bermutu. Lalu, isu-isu penegakan hukum menjadi santapan retorika mutakhir, termasuk pemberantasan korupsi.

Praktis, pesta demokrasi menjadi produksi isu dan para politisi menjadi mahir menabur janji. Tapi, segalanya menguap tak lama setelah itu, dan si legislator yang terpilih itu selanjutnya melenggang sebagai mahluk bermartabat dan secara sosial masuk ke kelas eksklusif. Mereka seolah tak ada urusan dengan rakyat.

Mengapa rakyat? Sebab demikian memang diajarkan kepada kita, atau diteruskan dari generasi ke generasi. Bahwa demokrasi memang dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat, sebagaimana dikandung etimologinya: demos dan kratos, pemerintahan rakyat. Tapi pernahkah sistem pemerintahan kita dikendalikan rakyat?

Faktanya, rakyat hanya alat. Dan itu dipertegas aib-aib politik, terutama politik uang, yang kian merajalela. Rakyat dibeli. Maka kelak, penguasa akan merasa sah ketika ia tak perlu peduli pada rakyat. Dan memang ironis, sebagian besar masyarakat justru antusias menyambut bola dari serangan fajar itu.

Inilah puncak pesimisme itu: siapapun penguasa dan legislator, rakyat tetap cari makan sendiri. Dan memang, sejak dulu, tak ada alasan untuk percaya pada janji-janji. Visi misi partai politik dan para politisinya, betatapun disajikan dengan hebat, selalu berakhir menjadi sebuah kebohongan yang kosong. Segala sesuatu berakhir tanpa makna. Serangan fajar menyelesaikan skenarionya.

Dan entah kenapa aksi bagi-bagi uang ini dinamai serangan fajar. Kita tahu, Serangan Fajar adalah judul sebuah film dokumenter yang disutradarai Arifin C Noer. Sejak diproduksi tahun 1982, film ini pernah ditetapkan sebagai tontonan wajib.

Tapi setelah Soeharto lengser, film ini tidak lagi menjadi tontonan wajib. Sebab, film ini dinilai sarat manipulasi sejarah dan merupakan pengultusan terhadap Soeharto. Selain Serangan Fajar, film Pemberontakan G30/S PKI dan Janur Kuning, belakangan dinilai juga sebagai propaganda.

Serangan fajar, yang sesungguhnya dimaksudkan menegakkan nilai-nilai kesejarahan dan perjuangan bangsa, berakhir jadi hal-ihwal politik yang licik dan manipulatif.

Dan ya, serangan fajar adalah puncak hegemoni modal. Jauh sebelum itu, fragmen-fragmen lucu sudah terlebih dahulu berlangsung. Bayangkan caleg wanita mematut diri di depan cermin, berputar-berputar, melotot pada busana, menata rambut, mengoles bedak ke pipi, memoles lipstik ke bibir. Lalu blitz-blitz kamera menyerang.

Dan syahdan, ada seorang caleg meminjam jas untuk tujuan solek-molek seperti di atas. Bukan karena ia tidak mampu beli jas, tapi ia tak suka jas. Jas adalah moralitas borjuis, sedangkan caleg kita ini adalah bandit jalanan. Ia ingin sisa hidupnya dilalui dengan penuh martabat. Dan menjadi anggota dewan adalah solusi. Betapa rumitnya ritual hias diri itu.

Dan kita bahagia menatap foto-foto mereka tersenyum di sepanjang jalan dan gang, meski kemarin foto-foto itu diturunkan dan mungkin sebagian dibenamkan ke dalam lumpur atau sebagian lagi lebur bersama sampah domestik yang dikerubungi belatung di TPS (tempat pembuagan sampah).

Benarkah mereka setampan dan secantik foto di baliho, poster dan spanduk-spanduk itu? Uang memang memungkinkan segalanya berjalan dengan apik. Kulit keriput bisa diolah menjadi serupa pualam, hidung rata bisa ‘dipompa’ jadi mancung.

Dan bibir yang tersenyum itu, atau mata yang menatap lembut itu, sungguh gampang dikreasikan dengan aplikasi teknologi di era digital komputer sekarang. Tebalkan bedak dan lipstik, cantik urusan kecil. Apalagi massa, cukup selesaikan dengan uang! Oh, serangan fajar!

Menyedihkan memang menyaksikan tingkah para elit partai dan politisi itu dalam riuh pesta demokrasi ini. Sayangnya, yang menonjol adalah pertarungan personal semacam adu solek itu.

Inilah politik pencitraan yang sesungguhnya tak terkait dengan visi dan gagasan pembangunan. Mestinya para calon mampu mengedepankan politik padat isi dan gagasan ketimbang politik padat modal atifisial.

Jika pertarungan pemilu legislatif dikemas jadi pertarungan visi, ide dan gagasan, maka siapapun yang terpilih, itu hanya persoalan teknis politik. Itulah esensi demokrasi sesungguhnya. Tetapi, hal pertama dan terakhir yang mereka hancurkan adalah makna. Dan jangan-jangan, pemilu ini tak penting bagi rakyat, sebab keberadaan lembaga legislatif dan partai politik hampir tak bisa dirasakan masyarakat secara konkret.

Meski slogan itu dipampang besar-besar, bahwa suara rakyat akan menentukan masa depan bangsa, maka sesungguhnya rakyat tetaplah rakyat. Tapi mereka yang terpilih, sudah pasti jadi ‘pejabat’.’ Tapi baiklah, mari bersiap, sejenak bersolek di depan cermin, lalu ramai-ramai ke tempat pemungutan suara. (Panda MT Siallagan)

Bagikan:

Akhir dari Pelarian Sergio Batakov


Cerpen Panda MT Siallagan

Barangkali, inilah akhir dari pelarian Sergio Batakov, saat didengarnya pintu rumah diketuk. Dan ia tidak akan pernah tahu kapan persisnya kengerian itu bergetar di pintu rumahnya. Apakah di pagi hari ketika ia sedang mandi, di siang hari ketika ia sedang bersantap, atau pada malam hari ketika mata dan pikirannya sedang terpaku pada sebuah buku. Dan, mungkinkah ketukan itu terjadi pada dini hari ketika ia kepanasan membolak-balik badannya seperti ikan di penggorengan, demi menunggu kantuk sambil mengutuk insomnia akut?

Ilustrasi.
Ia benar-benar tidak tahu, tapi ketika ketukan itu berdebam-debam, ia merasa otaknya penuh, sesak oleh banyak ingatan. Tangan dan kakinya bergetar, dan nafasnya sumbat seolah tenggorokannya disumpal sesuatu. Lalu, seperti dihampiri maut, ia terkapar di ranjangnya dengan punggung kaku yang sulit digerakkan, hatinya disusupi semacam perasaan sedih dan menyesal yang menghancurkan. Dan ia berteriak, meraung-raung minta tolong, sebab ia yakin setan sedang mengganggunya. Tetapi, ia rasa, suaranya tercekat, tak bisa keluar dari kerongkongannya.

Kengerian yang menyayat itu terjadi pada dini hari, sekitar pukul tiga ketika kokok ayam pertama mulai bergaung merusuhi subuh yang segera tiba. Orang-orang dipaksa bangun karena tersentak mendengar teriakan dan jeritan dari rumah Sergio Batakov yang sunyi. Mula-mula mereka abai, mengira suara-suara itu berasal dari mulut setan yang memanggil-manggil dari mimpi yang jauh. Tetapi, makin lama suara itu makin jelas, bahkan semakin beragam. Kadang serupa tangisan pilu dari seorang ibu yang kehilangan anak, kadang seperti tawa sepasang kekasih yang bercinta di malam buta, kadang serupa teriakan marah dari mulut kucing yang berebut makanan dengan anjing. Orang-orang mulai gerun, lalu berkeluaran dari rumah mencari sumber suara itu sambil berteriak satu sama lain, “Ada orang kesurupan…bangun…ada orang kesurupan...”

Mereka lalu bergegas menuju rumah tempat dari mana suara-suara itu hambur, menggedor pintu berkali-kali, tetapi tak ada tanda-tanda bahwa Sergio Batakov akan membuka pintu. Dan sesaat kemudian, suara-suara itu lenyap, dan kembali senyap. Orang-orang kembali ke rumahnya masing-masing, dan aroma subuh yang diruapkan udara basah kembali mengambang, berdesakan dengan kokok ayam yang saling bersahutan dari tempat-tempat yang jauh. Dan hanya ada satu kepastian yang mengendap di hati orang-orang perihal peristiwa itu: “Penghuni rumah itu pasti sedang bermimpi diperkosa iblis.”

Tetapi, Sergio Batakov tidak sedang bermimpi. Dan ia bukan tidak peduli, tapi petaka itu membuatnya tidak bisa beranjak membuka pintu dan meminta orang-orang itu menolongnya. Kaki dan tangannya serasa diborgol. Dan, ketika ketukan itu berakhir, ia merasa jatuh, terlempar ke sebuah lembah, sebuah tempat yang begitu asing. Sebuah tempat di mana dia barangkali akan tertangkap, lalu dijebloskan ke dalam penjara.

NAMAKU SOADA RIA

Saudara-saudara, namaku Soada Ria. Umur 28 tahun. Tinggi 165 cm. Rambut panjang lurus. Kulit putih mulus. Hidung mancung. Hanya satu kata dari orang-orang untukku: CANTIK. Dan hanya satu kata dariku untuk Sergio Batakov: TAMPAN. Aku tinggal persis di samping rumah lelaki itu. Mulanya kami tidak saling mengenal. Beri maklumlah, aku seorang penyanyi bar yang setiap malam harus bekerja. Oleh sebab itu, siang hari selalu kuhabiskan dengan tidur, tak pernah saling menegur atau bertukar gosip dengan para tetangga, termasuk dengan lelaki itu.

Tapi, suatu hari, bar tempatku bekerja digerebek aparat karena diduga sebagai tempat berlangsungnya transaksi jual-beli obat, juga sarang perek. Kecelakaan itu membuatku harus berhenti bekerja untuk sementara waktu, dan itu tentu memaksa aku harus berada di rumah pada siang hari. Pada saat itulah aku kaget menyaksikan rumah Sergio Batakov tertutup rapat sejak pagi sampai sore hari. Oh, dia mungkin berangkat kerja pada subuh karena tak ingin terjebak macet. Tapi, ketika menjelang maghrib kudengar musik rock melantun dari rumahnya, aku kaget sebab tak kulihat ada seseorang yang pulang. Aku berpikir, mungkin saja sebenarnya lelaki itu tidak pergi ke mana-mana, melainkan tidur sepanjang hari.

Apakah ia juga bekerja pada malam hari seperti aku, misalnya? Tapi tidak, hingga malam hari tiba, lelaki itu tidak pergi ke mana-mana. Kusimpulkan, ia tidak bekerja pada malam hari. Menjelang tengah malam, lagi-lagi kudengar alunan musik menjalar dari rumahnya. Kali ini Beethoven, atau mungkin Mozart, sulit bagiku membedakannya. Dan barangkali, karena sudah terbiasa bekerja di malam hari, aku sangat kesulitan untuk tidur. Begitulah, kudengar musik itu terus saja mengalir dari rumah lelaki itu dan baru berhenti di pagi hari. Setelah itu, aku tidur. Juga ia, barangkali.

Beberapa hari kejadian serupa terulang, lelaki itu mungkin terusik. Ia bertamu ke rumahku suatu malam. Ia berkata bahwa ia tahu aku tak pernah tidur pada malam hari, dan meminta kesediaanku menemaninya berbincang-bincang sepanjang malam itu. Kukatakan itu tidak mungkin, karena kami baru saja berkenalan. Lagipula, penduduk di sekitar perumahan itu bisa marah, lalu menggerebek kami karena dikira berbuat mesum. Sebab kami belum menikah. Tetapi, terhipnotis oleh sesuatu yang ganjil, kubiarkan lelaki itu berada di rumahku. Sebagai solusi, kami sepakat untuk berbincang dengan cara berbisik-bisik, agar tetangga tidak mendengar.

Maklum, rumah sangat sederhana tidak sama dengan rumah megah bertembok kokoh yang bisa meredam suara. Saat itulah aku tahu bahwa berbicara dengan berbisik-bisik sangat melelahkan, membuat nafas tersengal-sengal. Itu mungkin sebabnya mengapa orang hanya berbisik untuk hal-hal yang penting, bersifat rahasia. Tetapi tidak ada rahasia malam itu. Segalanya ia ceritakan padaku.

Sebagaimana ia berkisah, kumulai dari peristiwa dua tahun lalu, ketika ia membeli rumah itu dengan uangnya sendiri. Ini tentu tidak aneh, seandainya lelaki itu memiliki pekerjaan yang mapan, atau kebetulan mempunyai orangtua yang kaya. Nyatanya tidak. Ayahnya hanya seorang kuli pelabuhan, meningggal beberapa tahun lalu karena terserang TBC. Ibunya bekerja sebagai buruh cuci di rumah orang-orang kaya. Puji dan syukur kepada Tuhan atas berkatnya, wanita malang itu bisa mengirimkan Sergio Batakov hingga ke universitas, di kota ini. Kota di mana lelaki itu terdampar sebagai pengembara yang ganjil.

Setamat dari universiti, ia tidak berusaha mencari pekerjaan, tapi memilih mencemplungkan diri ke dunia seni. Mula-mula ia aktif berteater, tapi berhenti karena kemudian ia lebih tertarik mengamen di jalanan. Ini juga tidak berlangsung lama, sebab jalan raya kehidupan yang dilintasinya membuat ia ingin berbicara, menyuarakan luka. Dan ia memilih sastra sebagai terminal terakhir. Di terminal itulah suatu malam ia terkejut menatap kertas yang ditulisinya. Bukan sebuah sajak atau cerita yang tertulis sebagaimana ia rancang, tapi halaman kertas itu penuh dengan goretan angka: 1303…1303…1303.

Saudara-saudara, namaku Soada Ria. Aku tidak pernah percaya pada apa-apa di luar realitas, sebab itu harus kulanjutkan seperti apa yang kisahkan Sergio Batakov. Keesokan harinya, limapuluh ribu rupiah ia tukar untuk nomor itu. Dan tembus. Bandar togel mampus. Sekarang, tentu tidak aneh lagi bagimu bagaimana Sergio Batakov bisa membeli rumah itu. Beri tabik padanya, seseorang yang diberkati dunia dengan cara yang berbeda, tapi dipermalukan takdir dengan kekejaman tak bertara. Sebab setelahnya, dengan menangis, inilah yang dikisahkannya:

Ia menerima kartu undangan. Akan dilangsungkan pernikahan antara Tokka Dihita dengan Tarida Ila. Tapi, saudara-saudara, namaku Soada Ria. Pada banyak hal, aku bukan perempuan yang jujur, tapi untuk melanjutkan kisah ini dengan kebohongan, aku tak punya keberanian. Sebab tangis lelaki itu makin meledak, hingga ia tak sanggup lagi bercerita. Jika saja tidak kuingatkan bahwa kami bisa saja digerebek tetangga, ia mungkin sudah meraung-raung sekeras ia mau.

KEMATIAN SEPASANG PENGANTIN

Rumah tua itu dibangun pada jaman kolonial, dan sejauh ini belum pernah direnovasi, atau dicat ulang, hingga tembok bagian luarnya sebagian telah menghijau diselimuti lumut. Di dalamnya hidup keluarga kaya, tapi buta pada sejarah. Tuan pemilik rumah, seorang lelaki yang gagah, berbahagia dengan karir yang mantap sebagai pejabat tinggi di perusahaan perminyakan ternama. Sebab itu ia tak pernah punya kendala memanjakan perempuan-perempuan simpanannya dengan limpahan materi.

Istrinya, perempuan yang diberkahi kesetiaan tanpa batas, tak pernah membiarkan hatinya dimasuki iblis dengan bercuriga. Ia rawat dua putrinya yang cantik-cantik dengan kecintaan yang mengagumkan. Ia cintai suaminya dengan kepolosan yang menjerumuskan. Dan satu-satunya hal yang tak pernah diragukan orang-orang tentang keluarga itu adalah pahamnya yang liberal.

Sinta Uli dan Tarida Ila nama kedua putri pemilik rumah itu. Sinta Uli menonjol dengan karakternya yang penyayang, bertanggung jawab, cocok untuk melindungi adiknya Tarida Ila yang introvert, mudah depresi dan selalu ragu pada diri sendiri dan kehidupan. Tapi ia tak kalah cantik dengan kakaknya. Dan kakaknya tak kalah cerdas dibanding dia. Mereka menyelesaikan studi masing-masing dengan prestasi gemilang, dari universiti yang juga pantas terbilang. Dan adalah kebingungan besar bagi orang-orang kenapa dua gadis sempurna itu berada di rumah orangtuanya tanpa bekerja. Ah, ya, ini pendapat yang tak berbobot. Bukankah ada jutaan pengganggur di negeri ini karena lapangan pekerjaan yang ada tak sangup menampung mereka?

Demikianlah, setelah hampir dua tahun mereka menganggur, gagasan untuk menikahkan Sinta Uli muncul di benak suami-istri pemilik rumah itu. Maka ditentukanlah hari dan tanggal yang terberkati. Dan pacar Sinta Uli, seorang lelaki gagah, segera tinggal di rumah mereka menunggu hari pernikahan. Tapi pernikahan itu tak pernah terjadi, sebab mendadak setelah itu Sinta Uli dipanggil untuk bekerja di sebuah bank suasta. Itu merupakan penantian yang panjang dan melelahkan setelah bertahun-tahun berjuang ke sana ke mari memburu pekerjaan.

Maka, pernikahan antara Sinta Uli dan kekasihnya ditunda, sebab perusahaan mensyaratkan tidak boleh menikah minimal selama setahun sejak mulai bekerja. Untung saja undangan belum sempat disebar, sehingga tak ada sesuatu yang perlu dirisaukan. Kelak, Sinta Uli tak henti-henti mengutuk kebijakan semacam itu sebagai amoral. Dan dari sinilah mekanisme paham liberal itu mulai bekerja dengan kejutannya yang menyakitkan.

Ya, meski pernikahan ditunda, lelaki gagah kekasih Sinta Uli itu tetap tinggal di rumah mereka. Dan ada alasan rasional untuk itu: tenaganya dibutuhkan untuk mengelola warung yang diberikan ayahnya kepada mereka selama menganggur. Lelaki itu sangat menyenangkan, penuh humor, dan tak pernah membiarkan pikirannya rumit oleh kehidupan yang menyesakkan.

Oleh sebab itu, calon ibu mertuanya sangat sayang padanya. Dan terhadap Tarida Ila , ia menyuguhkan keakraban yang anggun, hangat, dan mendamaikan. Tarida Ila bahagia mendapatkan calon ipar seperti lelaki itu, yang kepadanya ia sering berbagi kisah tentang cita-cita, harapan, juga tentang kekasihnya yang tinggal di kota lain. Kekasihnya yang aneh karena kecintaannya yang ganjil pada kesenian. Terkejut melihat keakraban mereka, Sinta Uli pernah berkata pada kekasihnya, “Kamu pacaran dengan adikku atau dengan aku?”

Mereka bertiga tertawa. Tapi keakraban itu terus berlangsung, terutama ketika Sinta Uli bekerja sementara mereka berdua larut dalam bincang yang panjang sambil menjaga. Lalu, peristiwa itu pun meledak: Tarida Ila hamil. Satu-satunya hal yang mendesak untuk dilakukan pada waktu itu adalah menjadikan pernikahan itu sebagai sesuatu yang wajar dan pantas dirayakan. Tetapi, kekasih Tarida Ila muncul pada hari pernikahan dan menikami sepasang pengantin itu dengan belati, berkali-kali. Sepasang pengantin itu tersungkur dengan darah yang muncrat ke mana-mana, hingga burung-burung yang melintas di angkasa, berhenti mencium aroma darah itu.

TANGISAN PILU SOADA RIA

Namaku Soada Ria. Hanya satu kata dari orang-orang untukku: CANTIK. Dan hanya satu kata dariku untuk Sergio Batakov: TAMPAN. Sebab kami mungkin saja bukan orang baik. Aku sesungguhnya telah mencintai Sergio sejak ia tinggal di samping rumahku, tapi aku berusaha menghormatinya dengan sikap diam. Aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik baginya, meskipun hanya beberapa malam. Dan aku tak selalu kuat mendengar kisah sedihnya. Aku benar-benar menangis ketika ia berkisah tentang harapan ibunya yang ingin melihat dia menikah, tapi itu tidak pernah terjadi sebab ibunya keburu meninggal, dua bulan sebelum ia menerima kartu undangan pernikahan dari kekasihnya. Sejak kematian ibunya itulah kekecewaannya pada Tarida Ila mulai menggelegak, sebab perempuan itu tidak datang melayat.

Sunguh, aku benar-benar makin mencintainya sejak kami berkenalan, sejak ia mulai berkisah tentang hidupnya, meskipun hanya beberapa malam. Tapi, aku selalu memendam perasaan itu karena aku menghargai cintanya pada kekasihnya. Terimakasih pada Tuhan yang telah mengantarkan ia padaku setelah membunuh, meski kutahu ia akan segera tertangkap. Terimakasih padanya untuk ciuman dan pelukan yang sempat diberikannya, meski ia tidak pernah berkata mencintaiku, bahkan mungkin sampai ia dihukum mati.

Namaku Soada Ria. Dalam banyak hal, aku bukanlah orang yang jujur, tapi seperti caranya berkisah, dengarlah jerit tangisku sebagai kisah. Sungguh, Sergio Batakov tidak tahu kapan ketukan itu bergetar di pintu rumahnya. Ia hanya tahu bahwa otaknya seolah penuh disesaki banyak peristiwa, tangan dan kakinya bergetar. Dan kengerian itu terjadi pada dini hari, sekitar pukul tiga ketika kokok ayam pertama mulai bergaung merusuhi subuh yang segera tiba.

Dan ketika ketukan itu berakhir, ia merasa jatuh, terlempar ke sebuah lembah, sebuah tempat yang begitu asing. Ia menemukan dirinya sebagai anak kecil dengan seruling bambu di tangannya. Ia meniup seruling itu dan mengalirlah lagu-lagu sedih yang mengingatkannya pada kejenakaan masa kanak-kanak. Ia tertawa. Dan ketika ia tertawa, ia melihat sebuah bus yang dipenuhi penumpang sedang parkir di sebuah persimpangan. Ia segera menghentikan tawanya yang ngakak, sebab ibunya tiba-tiba berkata, “Pergilah, supir bus itu tentu tidak mau menunggumu lebih lama. Penumpangnnya bisa marah, sebab beberapa dari mereka mungkin akan bepergian untuk urusan penting.”

Di samping ibunya, ayahnya hanya mematung. Ia tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi ketika ia sudah berada di dalam bus yang mulai merangkak, ia ingat pesan ayahnya, “Jadilah anak yang santun di tanah rantau, selesaikan sekolahmu baik-baik dan berkirim suratlah sesekali ke bona pasogit tempat abah dan emak kau merindukanmu.”

Ketika ia menangis di dalam bus, ia merasa jemari lembut seorang perempuan menggenggam jemarinya. “Tak usah bersedih,” kata perempuan itu, “Karena kau beruntung. Aku terima cintamu.”

Sejenak ia merasa sadar, bertanya-tanya apakah memang benar ia menangis ketika dulu gadis itu menerima cintanya? Ia lalu ingat, ia memang menangis. Peristiwa itu terjadi di perpustakaan kampus, pada suatu siang. Tapi ia menangis bukan karena cintanya diterima, tapi karena ia baru saja menerima kabar luka tentang kematian ayahnya. Tangisnya makin keras, dan ia lihat lagi sebuah bus baru saja berangkat dari sebuah terminal. Di dalam bus itu, seorang gadis melambai ke arahnya, dan ia ingat ucapan gadis itu, “Kurasa, satu-satunya hal yang ingin kudapatkan di kota ini adalah ijasah, juga titel sarjana. Dan itu sudah kudapatkan, sekarang aku ingin kembali ke rumah, sebab bapaku sudah berjanji membantuku mencarikan pekerjaan.”

Suatu kali ia pergi mengunjungi kekasihnya itu di kotanya, dan ia kaget menemukan seorang lelaki muda berada di rumah kekasihnya. Ketika ia bertanya siapa lelaki itu, kekasihnya berkata bahwa lelaki itu adalah pacar kakaknya. Ia bertanya mengapa pacar kakaknya tinggal di rumah mereka. Kekasihnya berkata bahwa semestinya mereka sudah menikah, tapi ditunda karena tiba-tiba kakaknya dipanggil sebuah perusahaan untuk bekerja.

Pikiran Sergio Batakov kembali berantakan, ia berusaha mengingat-ingat tapi tengkuknya terasa panas, di telinganya berdengung suara-suara bising. Dadanya berdegup, darahnya terpacu, seolah akan muncrat dari lubang hidungnya. Ia tiba-tiba teringat pada Tuhan. Ia berdoa, tapi bukan karena percaya pada nubuat nabi-nabi palsu itu, melainkan karena ia tidak ingin mati. Dan ia memang tidak mati, sebab ia masih bisa mendengar kokok ayam bersahut-sahutan dari tempat yang jauh. Ia masih bisa menangkap sekilas kenangan dari kokok ayam itu: sebuah kampung, jalanan mendaki dan berbatu, sawah yang terbentang luas, hutan yang menghampar hijau, ayahnya, ibunya, adik-adiknya. Di mana mereka sekarang, dan seperti apa? Ia tiba-tiba merasa rindu, dan kembali mampu menguasai pikirannya.

Ia ingat lelaki yang berada di rumah kekasihnya. Ia bertanya kepada lelaki itu mengapa ia tidak merantau saja ke kota lain. Lelaki itu berkata bahwa ia juga ingin, tapi Sinta Uli tidak memberi ijin karena mereka sudah melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan suami-istri. Lelaki itu mengatakan hal itu sambil tertawa. Tawa lelaki itu membuatnya murka. Ia ingat ia menikami tubuh lelaki bernama Tokka Dihita itu berkali-kali. Darah muncrat ke mana-mana, membuat burung-burung yang melintas di udara berhenti, megap mencium aromanya.

Saudara-saudara, namaku Soada Ria. Aku bukan seorang pencerita seperti Sergio Batakov. Tapi begitulah kisah yang diigaukannya padaku ketika aku menemaninya di rumah sakit jiwa. Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur, sebab aku tak tahu apakah penjara atau hukuman mati lebih menyakitkan dibanding rumah sakit jiwa. Aku hanya bisa menangis. ***

Pematangsiantar, 2006

Bagikan:

11 November 2015

Kupu-kupu Bersayap Mawar


Cerpen Panda MT Siallagan

Seorang lelaki bertubuh liat, sedang bersedih di kedainya yang lengang, duduk di kursi paling pojok. Matanya memandang sayu pada semburat matahari senja yang bersilangan dari arah barat. Di hadapannya, segelas kopi hangat mengepulkan uap sedap, berbaur dengan asap rokok yang nyaris memuntung di sela-sela jemarinya. Sesekali, ia menghisap dalam-dalam asap rokoknya, lalu menghempaskan nafasnya seperti ingin membebaskan beban dari dadanya.

Ilustrasi.
“Masih terkenang juga padanya, Bang?” Soada Ria, gadis cantik pelayan kedai menghampirinya. Ia melirik sekilas-lewat pada gadis itu, lalu kembali menatap matahari. Ia mendesah.

“Tahukah kau seberapa sakit rasa kehilangan?” katanya kepada gadis itu, tanpa menoleh. Ia melakukan hisapan terakhir pada rokoknya, dan melemparkan puntung rokoknya ke halaman, lalu menyalakan lagi batang yang baru.

Soada Ria, gadis bertubuh kecil dan berambut panjang itu, menepuk pundaknya dengan sangat lembut, seperti tahu bahwa obat menyembuhkan kesedihan adalah kasih sayang.

“Kehilangan,” katanya bergetar, “Adalah milik semua orang. Hidupku berwarna justru karena kehilangan demi kehilangan.”

Lelaki itu menatapnya, “Kupu-kupuku pernah berkata begitu,” katanya, “Kau membuatku makin sedih.”

Soada Ria, gadis bermata telaga itu tak tahan memandang mata sedih lelaki itu. “Maafkan aku, Bang,” katanya, berlalu meninggalkan lelaki itu. Dan ia tidak tahu, Soada Ria menangis di bilik kedai.

Lelaki itu kembali larut, hanyut diseret ingatan, terkenang pada saat pertama kali bertemu dan menangkap kupu-kupunya. Persis pada saat senja seperti sekarang. Waktu itu, ia sedang asyik menghitung lembaran uang kertas yang menebal di kantongnya, uang yang diperolehnya dari judi togel. Ya, empat angka yang ditebaknya tembus sebanyak sepuluh lembar. Ia lalu mengajak teman-temannya sesama kuli berpesta, mabuk, bersenang-senang, berjalan-jalan di seluruh bandar sambil berteriak, “Hidup lelaki kuli! Hidup judi! Sejarah kuli tetap pedih, hanya layak jadi pemimpi, penjudi.”

Seusai pesta yang mirip unjuk rasa itu, ia melunasi utang-utang yang menumpuk di banyak kedai, tapi uang yang tersisa masih tetap cukup banyak. Sisa uang itulah yang dihitung-hitungnya pada senja itu, ketika ia merenung hendak dikemanakan uang itu. Dan ketika ia berpikir apakah ia akan bersenang-senang dengan seorang pelacur, seekor kupu-kupu muncul menghampirinya.

“Dapat rejeki ni yeee, bagi dong,” kata kupu-kupu. Ia tersentak. Ia menyerbu sekeliling dengan matanya kalau-kalau seseorang sedang berada di dekatnya. Tapi, tidak ada sesiapa pun selain kupu-kupu itu. Ia berpikir, ini pasti halusinasi. Bagaimana mungkin kupu-kupu bisa bicara? Ia lalu sadar bahwa sudah dua hari dua malam ia tidak tidur karena asyik bersenang-senang. Maka yakinlah ia bahwa kupu-kupu yang bicara itu hanya halusinasi.

Tapi ia terkejut ketika didengarnya lagi sebuah suara, “Sombong sekali Anda, Tuan?”

Ia menoleh ke arah kupu-kupu, dan ia melihat seorang gadis cantik, tersenyum, berdiri di hadapannya.

Busyet, otakku tak beres, pikirnya.

“Yah, aku memang kupu-kupu. Lihat, sayapku sangat indah,” kata perempuan itu mengepak-ngepakkan sayapnya, seperti tahu pikiran lelaki itu. Ia melihat perempuan itu berubah jadi peri, dan sayapnya mengembang seperti mawar raksasa. Aroma mawar meruap dari kibasannya.

“Lihat, aku juga bisa terbang,” kata perempuan itu lagi sambil terbang berkitar-kitar di sekitar taman. Lalu, lelaki itu melihat mahluk di hadapannya berubah-ubah wujud mulai dari kupu-kupu, peri, perempuan cantik, lalu kembali lagi jadi kupu-kupu, peri, perempuan cantik dan seterusnya. Ia terpesona. Ia bergetar.

“Kau sangat indah. Sudikah kau menemaniku malam ini?” katanya kepada kupu-kupu.

“Bukan hanya malam ini, aku bersedia menemanimu kapan pun,” kata peri.

“Tapi aku hanya kuli.”

“Juga penjudi.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dari mana lelaki kuli bisa mendapat uang sebanyak itu jika tidak dari berjudi?”

Mereka berdua tertawa. Orang-orang memandang tak senang. Bahkan, seorang lelaki tua malah berkata, “Tak tahu adat. Tahukah kalian, tawa kalian terdengar ke seluruh kota.”

Mereka berdua tertawa. Orang-orang memandang tak senang. Bahkan, seorang lelaki tua malah berkata, “Tak tahu adat. Tahukah kalian, tawa kalian terdengar ke seluruh kota.”

Mereka tertawa lagi. “Tak tahu adat?” kata mereka berpandangan, “Tahu adatkah dia yang sudah tua bangka tapi masih keluyuran di tempat seperti ini?”

Mereka lalu bergegas dari tempat itu, berjalan menyusuri senja, bergandengan tangan di jalan yang dihimpit gedung-gedung tua, kelelawar-kelelawar berlintasan di udara yang pengap oleh asin laut, dan di bibir mereka terkulum senyum bahagia.

Dari sebuah persimpangan, mereka memasuki gang sempit becek, bocah-bocah pengemis melantunkan syair sambil memukul kaleng-kaleng bekas, lelaki-lelaki tak berduit duduk di teras mengenakan sarung yang meruapkan apak nasib, perempuan-perempuan tua menimbun kedamaian dalam khayalan.

“Petang ini usang benar,” kata lelaki itu.

Perempuan itu terkejut. “Kata-katamu seperti puisi,” katanya.

“Aku memang suka puisi.”

“Jika begitu,” kata perempuan itu setelah mereka tiba di sebuah rumah petak yang dindingnya ditumbuhi lumut, “Kita akan berpesta puisi malam ini.”

Lelaki itu takjub. Di kamar perempuan itu terdapat sebuah rak yang di dalamnya tersusun rapi banyak buku.

“Wah, kau mengingatkan aku pada masa-masa sekolah dulu,” katanya sambil mengambil sebuah buku dari rak: Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Lalu diperhatikannya buku-buku yang lain, dan ia sangat akrab dengan beberapa nama: Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang…

“Sudahlah,” kata perempuan itu mengganggu keasyikannya, “Lupakan buku-buku itu. Itu adalah sisa kenakalanku pada masa kanak-kanak. Semua buku itu kucuri dari perpustakaan sekolah. Sekarang, mari kita berpesta, berpesta puisi.” Perempuan itu melepas pakaiannya, lalu berubah wujud jadi kupu-kupu.

“Ayo, naiklah ke punggungku, kita akan terbang.”

Lelaki itu naik ke punggung kupu-kupu, memeluk tubuhnya erat agar tidak terjatuh. Mereka terbang. “Apa yang kau rasakan dari deru angin ini,” tanya perempuan itu ketika mereka mengarungi angkasa.

“Gairah hidup, surga yang kuangan-angankan ketika aku masih remaja dan jatuh cinta pada putri seorang penyair.”

“Apa yang kau rasakan ketika merasakan kepakan sayapku?”

“Aroma rumput basah.”

Tiba-tiba kuku-kupu itu menukik, “Kita sedang melintas di atas hamparan padang rumput yang luas. Kita singgah dulu,” katanya.

Mereka bergulingan di padang, pendaratan yang dilakukan kupu-kupu tidak sempurna, “Kau sih, memeluk sayapku terlalu kuat,” katanya menyalahkan lelaki itu. Dengan tubuh yang berhimpitan, mereka berdekapan, saling menggali sesuatu di dalam tubuh masing-masing. Aroma mawar dari sayap kupu-kupu itu membuat birahi lelaki itu menggelegak.

“Ayo sayang, gumamkanlah puisi untuk getar ini,” kupu-kupu merintih.

“Kukayuh jiwa menyusuri luka nasibmu. Kucecap segala derita yang melekat di tubuhmu. Di gubuk ini, kita adalah orang terbuang yang tak pernah percaya pada takdir, meski cinta selalu mengajari kita memahami maknanya,” gumam lelaki itu.

Lalu, ada yang terasa tuntas. Ada yang terasa terbebaskan. Lelaki itu menangis.

“Kenapa?”

“Aku terkenang petang rembang di kampungku. Pada waktu kanak-kanak, aku sering menikmati senja sambil bermain dengan deburan ombak. Tubuhmu mengembalikan semua ingatan. Tubuhmu menyentakkan sadarku bahwa ada petang yang hilang dari ingatanku. Terimakasih, sayang. Aku mencintaimu.”

Kupu-kupu itu mengembangkan sayapnya. “Ayo, tidurlah dalam pelukanku. Sayapku akan menghangatkan hatimu.”

Maka tidurlah sepasang kupu-kupu di padang beraroma rumput. Lelaki itu tidak tahu bahwa ia sudah menjelma jadi kupu-kupu jantan.

Tak berapa lama kemudian, sepasang kupu-kupu itu menikah. Mereka membangun kedai tempat para lelaki kuli minum kopi, main domino, juga berjudi. Mungkin, karena aroma sayap kupu-kupu betina itu selalu meruapkan mawar, lelaki-lelaki kuli berdatangan ke kedai itu. Kedai itu menjadi primadona. Dan, karena sepasang kupu-kupu itu mulai kewalahan melayani para lelaki kuli yang datang untuk minum kopi, berjudi, dan menyantap mie rebus atau goreng, mereka kemudian mempekerjakan seekor kupu-kupu indah yang lain di kedai mereka. Dan kedai itu makin ramai saja. Sepasang kupu-kupu pemiliknya makin jaya. Tapi, luka itu tiba-tiba datang. Kupu-kupu betina pergi menghadap sang khalik. Dan virus herpeslah yang merenggut nyawanya.

Tetapi, kupu-kupu jantan tidak tahu apa yang terjadi antara istrinya dengan gadis pelayan kedai. “Soa,” kata kupu-kupu betina itu kepada pelayan kedainya, “Aku melihat sinar cerah di matamu setiap kali kau memandang suamiku.”

Gadis bermata telaga itu terkejut, merasa seperti kepergok sedang bersetubuh dengan lelaki. “Tidak, itu tidak benar,” katanya. Dan majikannya menangis. “Jangan bohong. Aku tahu kau mencintai suamiku. Dan aku bersuyur untuk itu. Lelaki sebaik itu tak pantas disia-siakan. Ayolah Soa, rawatlah cintamu untuknya, sebab kelak kaulah yang akan merawatnya. Aku merasa ajalku sudah dekat. Lihatlah, aku sekarang sakit-sakitan, tubuhku selalu lemas, perutku sering mulas dan melilit, susah bernafas, sakit pinggang. Aku pasti akan mati. Kelaminku juga sudah rusak. Kau tahu, sudah setahun ia tak bersetubuh denganku. Aku tidak mau dia pergi lagi mencari kupu-kupu lain. Kaulah saat ini yang harus bisa jadi kupu-kupu baginya.”

Mereka berdua menangis. Majikan karena lukanya. Pelayan karena tak tahu harus bersyukur atau tidak. Sebab ia memang sudah sejak lama mencintai tuannya.

***

Suatu hari, berbincang-bincanglah Soada Ria dengan majikan perempuannya, “Aku kehilangan seluruh keluargaku. Dulu, ayah dan ibuku punya tanah yang luas. Tapi sejak perampok itu datang dan membangun perusahaaan raksasa di kampung kami, segalanya kemudian habis. Ayahku bukan orang bodoh yang dengan mudah mau menyerahkan tanah kami berikut kayu-kayunya kepada perampok itu. Tapi sikap ayah itu membawa maut. Ia kemudian tewas ketika berhadapan secara frontal dengan orang-orang perusahaan. Mereka memberi ganti rugi atas tanah-tanah kami, tapi ibuku menolak. Ibu membakar uang itu di hadapan mereka. Tak lama kemudian, ibuku sakit, dan meninggal. Aku dan adikku terlontang-lantung sejak itu. Dalam usia yang masih sangat belia, kami merantau ke kota. Aku di bandar ini, adikku di bandar lain. Sungguh, tak pernah terpikirkan olehku untuk memasrahkan diri jadi pelacur, tapi demi kelangsungan hidup dan pendidikan adik-adikku, aku terpaksa melakukannya. Sekarang aku bersyukur adik-adikku sudah bisa menghidupi diri dengan bekal ilmu yang mereka dapat. Tapi aku selalu sedih, sejak mereka tahu bahwa pekerjaanku adalah melacur, mereka tak sudi lagi menerimaku sebagai kakak, sebagai orang yang berjuang mati-matian membiayai mereka. Terimakasih telah menyelamatkanku dari pekerjaan nista itu, dan mempekerjakan aku di kedai ini.”

Mendengar penuturan itu, kupu-kupu betina trenyuh, airmata menetes di pipinya. Ia merasa bertemu dengan teman senasib. Ia juga tidak tahu bagaimana kilang-kilang, pompa angguk dan pipa-pipa itu tiba-tiba menjulur seperti ular, memanjang dan melilit kampung, hingga akhirnya mereka menyingkir. Ia sedih mengenang kematian ayahnya yang misterius karena selalu bertentangan dengan kepala desa yang ingin menjual tanah mereka kepada kapitalis-kapitalis jahat. Ia tidak tahan mengingat perjuangan ibunya setelah itu, hingga akhirnya meninggal didera penyakit.

Semua ingatan itu hadir seperti setan-setan seram dalam mimpi buruk. Lalu, semuanya memang begitu gampang lepas, terbang tanpa bekas, seolah-olah segala sesuatu telah berlangsung dengan sempurna. Demi pembangunan. Demi kemaslahatan orang banyak. Dan, jika di sudut-sudut hutan dan kampung ratapan-ratapan sebenarnya masih terus menggema, anggaplah itu suara-suara binatang. Dan jika orang-orang tempatan terusir dan harus menjadi pelacur, kuli dan pengemis di tanah sendiri, anggaplah itu sejarah sukses dari sebuah bangsa yang biadab. Sebab segalanya telah berlangsung dengan sempurna, igauan dan keluhan tiada guna.

Dan kupu-kupu yang terusir dari habitatnya itu terus saja meneteskan airmata. “Soa, akan bergerak ke mana sejarah ini? Nyatanya kita perempuanlah yang selalu jadi korban. Kita sering punya kemampuan, punya potensi, tapi selalu menjadi bulan-bulanan jaman. Kau lihat, di mana-mana di seluruh dunia perempuan yang paling menderita, mereka dieksploitasi, direndahkan martabatnya, dilecehkan kemanusiaannya. Untuk itu, jika nanti aku mati, jangan kembali lagi ke jalan itu, rawatlah kedai kita ini, cintai suamiku sepenuh hatimu.”

Itulah kalimat terakhir yang meluncur dari mulut kupu-kupu, ketika ia terbang untuk tak kembali. Dan Soada Ria, gadis pelayan kedai yang cantik itu terus saja mengenang majikannya, juga pesannya untuk merawat lelaki itu. Ya, aku harus merawatnya, pikirnya. Ia keluar dari bilik kedai, berjalan dengan langkah lambat, menghampiri lelaki yang sedang bersedih di kursi di pojok kedai.

“Abang harus melupakannya,” katanya menepuk pundak lelaki itu, “Lihatlah, sejak kakak pergi sebulan lalu, Abang terus-terus saja begini. Orang-orang takut melihat Abang. Lihat, kedai kita selalu sepi karena tingkah Abang.”

Lelaki itu menatapnya, “Ini kali kedua kau berkata persis seperti kupu-kupuku. Dulu ia berkata seperti itu karena aku suka mabuk. Soa, ke sinilah,” katanya merengkuh gadis itu dalam dekapannya, “Kau seperti istriku. Mulai saat ini, rawatlah kedai kita. Ini satu-satunya milik dan alat kita mempertahankan hidup dari kepedihan.”

Tiba-tiba lelaki dan gadis pelayan itu berubah jadi sepasang kupu-kupu. Dari punggung mereka terkembang sayap berbentuk mawar raksasa. Mereka terbang mengarungi angkasa dan hinggap di sebuah taman penuh mawar. Mereka bersidekap, mendesahkan luka, memaknai hidup yang masih terus akan berlangsung.***

Bagikan: