23 November 2017

Pengusir Kegelapan


Cerpen Panda MT Siallagan

Suatu pagi di awal Oktober, saat menyapu halaman, istriku terkejut menemukan sepotong bambu terpancang dekat pohon jambu. Di lubang bagian atas, terselip potongan lilin sisa pembakaran. Sisa cairan lemak parafin yang kembali membeku, melekat serupa gumpalan-gumpalan salju di sekeliling permukaan batang bambu, sungguh indah!

Ilustrasi.
Tapi saat istriku bertanya, dan aku berkata tidak tahu apa-apa soal lilin itu, ia bergidik. Ia sepertinya ngeri membayangkan sebuah pelita bersinar di halaman rumah, sementara kami tertidur pulas. “Ini pasti ulah korban pembuangan itu,” kata istriku.

Korban pembuangan itu? Yah, seorang lelaki tua, sudah berbilang berada di kota kami. Ia muncul suatu petang yang berhujan di bulan Juli. Saat cuaca meruap buruk dan awan hitam berarak rambang di angkasa, ia hadir bersama hujan. Kaki kurusnya berayun pelan menyagang tubuh kuyup. Punggungnya tampak berat ditimpa tas ransel kusut berbahan parasut. Rambutnya memutih, agak panjang, rebah dilindas hujan, menutupi telinga dan tengkuknya. Orang-orang mahfum: ia korban pembuangan.

Seperti korban-korban sebelumnya, tak ada hal istimewa dalam diri lelaki itu. Jika kemudian ia menjadi buah bibir, itu karena sepanjang senja ia mondar-mandir di jalanan kota, membiarkan telapak kakinya beradu dengan genangan air, seolah sedang mencari mimpi. Ketika petir menggelegar menjelang malam dan listrik mendadak padam, ia singgah di sebuah kedai kopi seolah takut pada petir, tapi sesungguhnya tidak. Sebab tidak ada lagi ledakan apapun yang mampu membuatnya gentar. Ia duduk di salah satu kursi dan memesan kopi. Seorang pelayan gegas meladeninya, sementara pelayan lain tampak menyalakan lampu teplok yang kaca bagian atasnya menghitam. Pastilah lampu itu sering dinyalakan dengan sumbu terlalu panjang.

“Apakah listrik sering padam?” tiba-tiba, kepada pelayan yang mengantar kopi, lelaki itu bertanya.

“Cukup sering, terutama pada musim hujan,” jawab si pelayan.

“Jika begitu, coba lihat ini.”

Pelayan itu mengernyitkan dahi, lalu melempar urusan itu kepada sang majikan. Seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, beranjak malas menghampiri lelaki kita. “Apa itu? Oh, kau jualan?” tanyanya.

“Aku menjual lilin,” kata lelaki itu sembari membuka tas. Pemilik kedai membeli lilinnya beberapa bungkus. Setelah menerima uang, lelaki itu kembali diam sambil menyeruput kopinya sedikit demi sedikit. Ia pandangi hujan yang berpercikan di badan jalan. Ia tak peduli sebagian pengunjung berbisik-bisik tentangnya. Ia larut dalam dingin, seolah mencari keriangan dalam suara hujan. Menurut pengunjung kedai bermulut usil, mata lelaki itu tak berkedip selama memandangi malam, seolah di kejauhan ia sedang menatap seorang perempuan telanjang di bawah hujan.

Setelah kopi tandas dari gelasnya, lelaki itu pergi, tapi mulut-mulut usil tak berhenti mendulang gosip, dosa dan dusta. Di ujung sebuah gang, cerita lain muncul ketika si tua itu berhenti di depan sebuah rumah gulita karena mendengar suara orang sedang bercakap. Ia mendekat dan mengetuk pintu dengan siku jari tengah yang mengeras. Ketika seorang lelaki tambun penuh cambang membuka pintu, ia berkata, “Belilah lilinku, mengusir kegelapan.”

Pemilik rumah menyambut ramah dan berkata bahwa ia dan istrinya terpaksa bicara dalam gelap karena tak ada lampu teplok, satu sama lain menolak pergi menerobos hujan untuk membeli lilin. Lelaki pemilik rumah memberi uang lebih sebab ia telah menyelamatkan keluarga itu dari kegelapan sebuah negara.

“Terima kasih, wahai, pengusir kegelapan,” kata lelaki brewok.

“Terima kasih, wahai, pendamba cahaya,” sahut tokoh kita.

***

Tuhan gemar melakukan hal-hal aneh, kata seorang pengunjung kedai berhati bijak. Begitulah kekuasaan disebar, agar setiap hamba mengingat nabi setengah gila atau tokoh yang dianggap gila tapi berhati nabi. Lelaki tua penjual lilin itu (akhirnya diketahui bernama Somba), tersebab keanehannya, menjadi populer di kota kami, bahkan ada yang menyebutnya nabi. Kenapa? Sebab dengan arogansi model kaum borjuis kota, suatu hari, putra pemilik pabrik penggilingan padi kesetanan mengendarai sepedamotor dan terhempas di aspal, tubuhnya terseret sejauh 20 meter hingga kepalanya pecah. Darah berceceran dan ia mati ditimpa harta dengan leher gosong dibakar knalpot. Banyak warga berduyun-duyun ke lokasi, tapi hanya Somba yang berani mengangkat tubuh korban dari jepitan sepeda motor, memperbaiki letak kaki dan tangan yang patah, lalu membujurkan jenazah di halaman rumah seorang warga. Ia lalu menatap orang-orang dengan mata marah, berkata, “Tugas kita bukan menyelamatkan dia, sebab Tuhan telah memanggilnya. Tapi kita tak bisa membiarkan jasadnya terkapar seperti babi busuk. Maaf kalau aku lancang, sekarang kita tunggu polisi mengurusnya.”

Orang-orang tercengang. Maka dusta tentang Somba beredar sejak itu. Pemilik kedai mengaku, setelah lilin dinyalakan, ketenangan mengalir di kedainya. Dua lelaki yang bertengkar soal utang piutang, mendadak tersenyum dan bicara baik-baik. Seorang perwira polisi, si pengutang ulung, datang melunasi utang seraya minta maaf telah menghambat aliran modal pemilik kedai. Para penganggur mulai bicara soal jenis usaha yang memungkinkan digarap. Tukang becak bersiul merdu karena pemerintah setempat meninjau ulang peraturan tentang retribusi yang dinilai memberatkan. Suara-suara itu bergaung di kedai. Lelaki itu datang seperti malaikat.

Di tempat berbeda, lelaki brewok bercerita kepada tetangga. Malam itu rumahnya tampak sangat terang dan hangat, padahal ia hanya menyalakan dua batang lilin. Tak hanya itu, dia dan istrinya yang biasa bertengkar, malam itu merasa seperti sedang pacaran dan saling memeluk, bercumbu dan berakhir di ranjang. Tapi orang-orang tolol kemudian menganggap lilin Somba adalah lilin pembawa berkah. Maka berbondong-bondonglah warga membeli lilin. Tapi tak ada cerita indah seperti dikabarkan pemilik kedai dan lelaki brewok. Sesungguhnya, yang terjadi adalah, pemilik kedai menangis malam itu, terharu menyaksikan perjuangan lelaki itu. Cahaya muncul menerangi hati dan pikirannya, sehingga ia menjadi ramah kepada pengunjung kedai, menagih piutang dengan suara lembut, tidak lagi bicara kasar seperti sediakala. Sementara lelaki brewok, sesungguhnya, juga trenyuh memikirkan lelaki itu. Dia berkata pada istrinya bahwa kehidupan mereka sesungguhnya sangat indah, anak-anak sudah sukses dan setiap bulan mengirimi mereka uang, sementara Somba harus menggigil menahan dingin menjajakan lilin. Mereka menyadari bahwa tak ada yang perlu dipertengkarkan. Maka siapapun tahu, ketika hati dibungkus damai, hubungan suami istri yang beku akan cair seperti hati sepasang remaja yang mabuk dilanda cinta.
Sesungguhnya, benarkah Somba korban pembuangan?

“Aku tak yakin,” kata pemilik kedai.

“Dia sangat bersahaja,” ujar lelaki brewok.

“Aku juga merasa aneh. Malam itu tidak ada suara truk. Selama bertahun-tahun, setiap truk muncul, aku selalu tahu. Sebelum truk memasuki kota, aku selalu bermimpi mendengar deru badai, seolah-olah truk itu muncul dari kepalaku,” kata Mangumbang, lelaki tua bekas tentara yang hidup sendiri di sebuah gubuk tak jauh dari pasar ikan.

Warga kota kami memang sudah terbiasa dengan kejadian serupa. Selama beberapa dekade, pada malam-malam tertentu, sebuah truk muncul membawa orang-orang dan menurunkannya di tanah lapang dekat pasar ikan. Dari tanah lapang itulah penumpang truk menyebar lalu berkeliaran ke sudut-sudut kota. Orang-orang itulah yang kemudian menjadi bahan olok-olokan bagi anak-anak nakal bahkan tak jarang dilempari batu seperti hukuman yang diberikan kepada perempuan sundal di abad-abad jauh. Begitulah, pertanyaan mengapa banyak orang gila berkeliaran di kota itu, akhirnya terjawab, ketika seorang pemabuk terkapar di tanah lapang itu sepulang dari lapo. Suatu dini hari, ia mengaku menyaksikan sebuah truk muncul dan menurunkan beberapa orang gila.  Sejak itu, bergantian warga melakukan pengintaian dan keterangan si tukang mabuk ternyata benar.

Warga kota kami tentu marah. Kami menduga, pembuangan itu dilakukan dinas sosial kota atau rumah sakit jiwa yang over kapasitas. Maka rencana penawanan terhadap truk dan supir dirancang. Tapi sesuatu yang gaib terjadi pada malam ketika supir truk hendak ditawan. Semua orang yang ikut dalam rencana itu, ciut nyalinya dan tidak berani mendekati truk. Bahkan ketika beberapa orang gila diturunkan, mereka menyingkir dan bersembunyi di balik kios-kios pasar. Dari balik dinding kios, mereka hanya mengintip dan menyaksikan orang-orang gila itu berjalan dan menyebar dengan cara-cara aneh ke pusat kota, sementara truk beranjak pelan meninggalkan kota tanpa hambatan. Orang-orang mendengar deru mesin truk seperti auman binatang aneh. Kejadian serupa terjadi beberapa kali, hingga warga memutuskan tak lagi peduli. Kota kami lalu berubah jadi sasaran jurnalis dan berita-berita bermunculan: Di Parit Kota Namora Tuah, Mrs X Ditemukan Membusuk; Tulang-belulang Ditemukan di Namora Tuah; Lagi, Dua Mayat Membusuk di Halaman Kantor Pamong Praja Namora Tuah, dll.

Ihwal truk dan mayat-mayat itu, seorang nenek tua berumur 80-an tahun berkata, “Masa lalu seperti terulang, saat truk mengangkut suami-suami dan anak-anak muda terpelajar. Mereka tak pernah kembali, tapi mayat-mayat dikirimi ke kota ini. Mampuslah! Kita harus usir kegelapan ini.”

***

Aku dan istriku memutuskan melaporkan kejadian yang kami alami kepada pihak berwajib. Fakta bahwa saudagar lilin itu telah membawa keanehan di seluruh kota, juga temuan sepotong bambu dan lilin di halaman rumah kami, pertanda situasi mulai tak kondusif. Jika hal itu dibiarkan berlangsung, sesama warga akan saling mencurigai dan isu santet bisa saja berhembus. Kami berencana mengusulkan agar lelaki itu diusir. Saat asyik mendiskusikan itu, terdengar ketukan di pintu. Istriku beranjak dan...lelaki tua itu! Lelaki tua itu tersenyum menawarkan lilin.

“Untuk apa?” tanyaku dingin.

“Mengusir kegelapan,” jawabnya.

“Di situ,” katanya menunjuk titik di mana potongan bambu terpancang, “Di situlah ibuku dulu menancapkan obor setiap malam setelah ayah dibawa. Di situ tubuh ayah diikat, diangkat, lalu dilemparkan ke dalam truk. Di tanah itu ibuku meraung-raung dan bergulingan saat ayah dibawa. Di situ berdiam kegelapan!”

Pematangsiantar, 2013-2017

Bagikan:

06 November 2017

Lirik Lagu 'HOLAN HO' dan Artinya...


HOLAN HO

Cipt. Tagor Tampubolon
Voc. Frans Sirait
Ilustrasi

Nang pe gaor galumbang i
Ro nang haba-haba i
sai hulugahon do solukki
manjalahi ho

(Walaupun gelombang berkecamuk
Dan hujan petir membadai
Sampan  terus kukayuh
Demi mengejarmu)

Nang gaor hata-hata i
Ro tu sipareonhi
Sai hupasiding
Sai hupasiding
humongkop ho

(Meskipun gosip menerpa
Sampai ke telingaku
Selalu kusingkirkan
Selalu kusingkirkan
Demi memperjuangkanmu)

Ai holan ho di rohakki
Ai holan ho di nipikki
Dang muba dang mose
Dang muba dang mose
Sai hot do ho di rohakki

(Hanya kau di hatiku
Hanya kau di mimpiku
Tak akan berubah takkan ingkar
Tak akan berubah takkan ingkar)

Nang gaor hata-hata i
Nang pe ro tu sipareonki
Sai hupasiding
Sai hupasiding
Humongkop ho

(Meskipun gosip menerpa
Sampai ke telingaku
Selalu kusingkirkan
Selalu kusingkirkan
Demi memperjuangkanmu)

Ai holan ho di rohakki
Ai holan ho di nipikki
Ai holan ho di rohakki
Ai holan ho di nipikki

(Hanya kau di hatiku
Hanya kau di mimpiku
Hanya kau di hatiku
Hanya kau di mimpiku)

Dang muba dang mose
Dang muba dang mose
Sai hot do ho di rohakki

(Tak akan berubah takkan ingkar
Tak akan berubah takkan ingkar
Kau tetap teguh di jiwaku)

Ai holan ho di rohakki
Ai holan ho di nipikki
Dang muba dang mose
Dang muba dan mose
Sai hot do ho di rohakki

(Hanya kau di hatiku
Hanya kau di mimpiku
Tak akan berubah takkan ingkar
Tak akan berubah takkan ingkar
Kau tetap teguh di jiwaku)

***

Bagikan:

Lirik Lagu 'Goyang Manula' dan Artinya...


GOYANG MANULA

Cipt. Robert Marbun
Voc. Putri Ayu Silaen
Back Voc. Robert Marbun

Mensano in corporesano
Dalam tubuh yang sehat
terdapat tubuh yang kuat
Oppung among inong...

Manortor ma di son marembas ma di son
Hei...ee... na matua dohot na satonga tua
Goyang manula songon na marsenam
Sonang pikkiran sehat pamatang
Pangkilalaan pe lumbang

(Menarilah di sini bergoyang di sini
Hei...ee...yang tua dan setengah tua
Goyang manula seperti senam
Pikiran senang tubuh pun sehat
Perasaan pun ringan)

Unang sai kumat asam urat
Unang lam parah gula darah
Denggan ma dirawat diallang ma ubat
Asa unang sangat peak o...o...
Sotung laos tungkap singgalak

(Agar asam urat tidak kumat
Agar gula darah tak kian parah
Dirawatlah baik-baik dikonsumsilah obat
Agar tidak sempat terkapar o...o...
Jangan sempat jatuh tak berkutik)

Molo sai bukbak ma tarottok
Molo sai sukkot utok-utok
Denggan ma dikontrol dicek ma kolesterol
Asa unang sanga tol-tol o..o...
Sotung so marhosa songgot

(Kalau jantung selalu berdegup
Kalau otak selalu sumpek
Dikontrollah baik-baik dicek kolesterol
Jangan sempat tegang
Mendadak tak bernafas)

Manortor ma di son marembas ma dison
Hei...ee... na matua dohot na satonga tua
Goyang manula songon na marsenam
Sonang pikkiran sehat pamatang
Pangkilalaan pe lumbang

(Menarilah di sini bergoyang di sini
Hei...ee...yang tua dan setengah tua
Goyang manula seperti senam
Pikiran senang tubuh pun sehat
Perasaan pun ringan)

Unang sai ngendul dugul-dugul
Unang sai ngilut hau tanggurung
Jot-jot ma diurut dohot miak kusuk
Asa unang sanga stroke
Sotung gabe lumpu toppu

(Agar lutut tidak beku
Agar tulang punggung tak kaku
Seringlah diurut dengan minyak kusuk
Agar tidak sampai stroke
Agar tidak lumpuh secara mendadak)

Molo magurbak simanjojak
Molo humalon pardompakan
Parose ma ginjal parose ma mudar
Asa unang gagal total o...o...
Sotung sude badan bal-bal

(Jika telapak kaki gemetar
Jiwa wajah selalu kaku
Periksa ginjal periksa darah
Agar jangan gagal total o...o...
Agar tidak seluruh badan hancur)

Manortor ma di son marembas ma dison
Hei...ee... na matua dohot na satonga tua
Goyang manula songon na marsenam
Sonang pikkiran sehat pamatang
Pangkilalaan pe lumbang

(Menarilah di sini bergoyang di sini
Hei...ee...yang tua dan setengah tua
Goyang manula seperti senam
Pikiran senang tubuh pun sehat
Perasaan juga jadi ringan)

Mensano in corporesano
Dalam tubuh yang sehat
terdapat tubuh yang kuat
Oppung among inong...

Bagikan:

04 November 2017

Pensil Ompung

PENSIL OMPUNG
Cerpen Panda MT Siallagan

"Ibu, ceritakanlah kepadaku tentang kenyataan!" kata anakku suatu malam. Hatiku terasa retak. Kenyataan, kata sendu penuh kepasrahan ini, bagiku selalu terdengar seperti bunyi ledakan. Ledakan yang menggetarkan seisi jiwa.

“Aku bosan mendengar dongeng tentang kancil, kupu-kupu, kunang-kunang, burung-burung ajaib, bunga-bunga, matahari, bulan, dan bintang-bintang. Aku mau cerita tentang kenyataan,” berkata lagi anakku sembari aku menata hati yang menyerpih.

Ilustrasi.
“Kenyataan?” sebuah tanya mengulur waktu. Aku butuh berpikir, kenyataan seperti apakah yang diinginkan Nia Dong kukisahkan padanya? Aku belum siap jika kenyataan yang ia inginkan adalah cerita tentang ayahnya. Aku belum mampu menjadi ibu yang jujur jika ia bertanya mengapa tak punya ayah, seperti kerap ia tanyakan belakangan.

“Tentang apa?”

“Pokoknya kenyataan.”

Baiklah. Ini tentang lelaki tua. Simak baik-baik, sebab pangkal cerita agak semak. Bayangkan terlebih dahulu sebuah sekolah. Sebab lelaki tua itu selalu muncul di kompleks sekolah setiap pagi. Di hadapannya, ada meja lipat tempat pisau dan batu gosok tergeletak. Ia selalu tiba di sekolah itu pagi-pagi sekali, menunaikan tugas sebagai tukang raut pensil. Ketika anak-anak itu tersedot ke dalam ruangan mematuhi bunyi lonceng, ia menikmati kesendiriannya sambil membaca.

Lalu, pada siang hari, saat anak-anak hambur dari ruangan menikmati kebebasan yang disuarakan lonceng, lelaki tua itu juga bersiap pulang. Ia mengemasi barang-barangnya ke dalam tas: batu gosok, pisau, meja lipat, kotak kayu dan buku, lalu beranjak pelan meninggalkan kompleks sekolah, merayap di jalanan yang dibakar terik.  Anak-anak itu sesekali melambai dari bus, “Oppung, duluan ya! Hati-hati ya, Oppung.” Ia balas lambaian itu, riang penuh senyum.

Ia selalu berjalan kaki, tak pernah datang dan pulang menumpang opelet. Berjalan kaki, seperti tersirat dari ayunan langkahnya, agaknya ia pilih sebagai alat menikmati irama kesepian yang merambat. Adakah sesungguhnya cercah esok yang masih diidam dan diyakininya? Sudah terlalu tua ia bercita-cita. Tapi memang, selalu ada harapan dalam setiap hal yang rapuh. Lihatlah, ada sahaja di peci yang dikenakannya, di dalam kemeja lusuhnya. Sepasang kaki kurus beralas sandal jepit masih kuat menapaki aspal, lalu tas ransel yang menggandul naik-turun di punggung yang membungkuk, seolah bicara tentang pasang surut perjalanan hidupnya.

“Ibu, aku tak mengerti. Kenapa ceritanya membingungkan?”

“Nak, tidak seperti cerita kancil dan buaya, tidak seperti hikayat Danau Toba, yang gampang dimengerti dan mudah dicerna, kenyataan memang sulit dipahami.”

“Baiklah, teruskanlah, Ibu!”

Nama lelaki tua itu Ompung Pensil. Selama kehadirannya yang mengesankan, Ompung Pensil adalah korban ketidakpedulian. Tidak seorang pun tahu dari mana ia muncul di pagi hari dan ke mana ia pergi, atau pulang, setelah meninggalkan sekolah pada siang hari. Tidak seorang pun ingin tahu siapa ia, apakah ia punya keluarga, apakah ia seseorang yang menderita atau bahagia, atau mengapa ia muncul di kompleks sekolah itu menjadi tukang raut pensil. Tapi, bagi sebagian anak-anak, ia adalah kekasih jiwa, sebagaimana ia juga menerima anak-anak itu jadi pusat kebahagiaanya. Jika ia sedih, anak-anak itulah yang bertanya mengapa matanya dikepung murung. Maka ia selalu bahagia meraut pensil anak-anak itu. Ia juga meraut jiwa. Jiwa yang tumpul ditabrak zaman. Jiwa yang ronyok dilindas waktu.

Sungguh, tidak ada yang tahu siapa nama lelaki itu. Ia mungkin memang tak penting dikenal, atau dipedulikan, sama seperti tidak pentingnya profesi yang ia pilih: tukang raut pensil. Anak-anak senang memanggilnya Ompung Pensil, sebab ia senang bicara tentang pensil. Pensil, katanya, selalu butuh penajaman, maka ia diraut. Tak perlu disesali kayu pembalut karbon yang terbuang saat diraut, sebab bagian yang berguna adalah inti, yang diraut menjadi mata pensil. Pensil adalah alat memahami rasa sakit, sebab ia selalu diraut. Maka anak-anak itu pun mulai paham, setiap orang harus pandai memahami rasa sakit, bahkan ada masanya harus habis demi catatan dan gambar-gambar. Bukankah hidup adalah buaian catatan dan sergaman gambar-gambar?

Ia sangat bangga jadi tukang raut pensil. Sesekali ia memang menggerutu, saat bicara tentang pensil rias pemalsu garis alis dan bibir, alat ketololan perempuan kini, tapi ia segera sadar dan gegas menyingkirkan topik genit itu dari pendengaran anak-anak. Ia tidak ingin anak-anak jatuh cinta pada pensil palsu. Jika sudah begini, ia mendadak jadi orang yang muluk-muluk, menginginkan anak-anak itu belajar cinta dari pensil, ingin anak-anak itu menyelamatkan masa depan dengan pensil. Maka mudah dipahami mengapa ia senang anak-anak itu memanggilnya Ompung Pensil.

Sampai di sini, aku lihat Nia Dong sudah lelap. Aku tatap matanya memejam dalam damai. Sudah sangat lama aku tak menatapnya selekat malam itu. Sepi merayap. Aku sedih. Anakku yang baik, usianya kini sebelas tahun, dan selama itu aku disaput rasa sakit mendampingi pertumbuhan dan perkembangannya. Aku lupa sejak kapan aku mulai mendongeng mengantar tidurnya. Juga, aku tak ingin mengingat sejak kapan ia mulai bertanya tentang ayahnya. Apakah ia punya ayah? Aku tahu, selamanya pertanyaan ini akan menggayut berat di pundaknya, juga di pundakku. Tapi, pada saatnya nanti, akan kukisahkan luka itu. Luka yang seperti dongeng: kekasihku hilang saat aku hamil, mungkin diculik, dan tak pernah kembali sejak kerusuhan itu. Ayahnya, calon mertuaku, kehilangan diri sejak kejadian itu. Kini, aku remuk dalam dunia tanpa siapa-siapa. Hanya Nia Dong satu-satunya milikku. Tapi, ya, tentang Mursal, calon suamiku itu, tentang ayahnya, tentang aku yang terbuang dari keluarga demi Nia Dong, suatu saat harus kukisahkan.

Untuk menghibur diri, izinkanlah kulanjutkan cerita tentang Ompung Pensil, sebagaimana aku akan mengisahkan cerita ini secara berulang kepada Nia Dong selama beberapa malam, sebab ia memintanya dengan alasan  belum paham. Begitulah, tidak ada seorang pun yang tahu sejak kapan Ompung Pensil muncul di sekolah itu. Dan barangkali, kehadirannya tidak akan pernah disadari para guru, orangtua dana anak-anak lain, jika seandainya Motu, siswa kelas empat, tidak merautkan pensil kepadanya, suatu hari pada jam istirahat sekolah. Tapi...

“Siapa itu, Motu?” Bu Lidya, wali kelas, bertanya penuh curiga.

“Tukang raut pensil, Ibu.”

“Hati-hati. Banyak penculik anak berkeliaran.”

“Iya, Ibu!”

Tapi anak-anak itu tak peduli. Sebaliknya, terdorong oleh kasih yang memancar lembut dari mata dan cara tangannya meraut pensil, Ompung Pensil meraih ketenaran di sekolah itu.  Begitu jam istirahat, anak-anak akan berdatangan memintanya meraut pensil. Anak-anak itu senang pensil hasil rautan Ompung Pensil, katanya indah dan cantik. Betapa tidak, lelaki tua itu meraut pensil bukan dengan alat raut buatan pabrik, tapi  dengan pisau kecil berwarna putih. Pisau yang berkilat-kilat memantulkan cahaya dan tampak sangat berbahaya. Siapa pun tahu, pisau itu sangat tajam, sebab selalu diasah Ompung Pensil dengan batu gosok. Ia tidak mau meraut pensil dengan pisau majal. Maka lihatlah, rautan pada ujung pensil itu tampak seperti motif bunga matahari, rapi dan berseni, tidak menggerucut polos seperti hasil rautan buatan pabrik. Ada keajaiban kreativitas di situ.

Tentu tidak ada yang gratis. Lelaki tua itu memungut biaya seratus rupiah untuk sekali raut. Tapi, kelak akan kau tahu, sesungguhnya bukan pecahan receh itu yang diinginkan Ompung Pensil. Ia mengutip biaya itu agar anak-anak belajar menghargai kerja orang lain, sesederhana apa pun bentuknya. Demikianlah ia juga menunjukkan penghargaan terhadap kepedulian dan semangat anak-anak itu. Ia sesekali bertanya tentang PR dan nilai ulangan harian, lalu memberi rautan gratis bagi anak yang memperoleh nilai delapan ke atas. Ia dicibir gila, tapi ia makin semangat meraut pensil. Ia meraut pensil seolah-olah mencari sesuatu yang hilang, mungkin kebahagiaan.

Baiklah, sekarang kukatakan, aku tahu cerita tentang Ompung Pensil karena di sekolah itulah dulu Mursal sekolah, calon suamiku yang hilang, atau mungkin diculik atau dibunuh. Sering aku berharap menemukan jejak masa kecilnya, sehingga kerap berkunjung ke sekolah itu, menemui guru-gurunya yang sudah tua sekedar mencari tahu seperti apa ia ketika kecil. Di sanalah aku bertemu Ompung Pensil. Dan itulah alasan mengapa aku mengirimkan Nia Dong ke sekolah itu. Dan kelak, selama beberapa waktu, kisah tentang Ompung Pensil mulai merasuki hati anakku. Lamunan dan mimpi mulai mendayu sekacau sepi, menggayuti instink dan nuraninya. Selama beberapa waktu, setiap bangun pagi, Nia Dong mulai senang bercerita bahwa tidurnya berlangsung damai, sebab ia bertemu Ompung Pensil.

Suatu kali ia mengatakan bahwa Ompung Pensil berubah menjadi pendeta, tapi tidak berkotbah di gereja, melainkan mengembara dari kota ke kota, bicara tentang harapan kepada anak-anak gelandangan. Di pagi hari yang lain, ia berkata bahwa Ompung Pensil adalah pengembara suci, yang punya kelembutan tanpa batas hingga tak tega membunuh seekor nyamuk. Dan suatu pagi, hatiku terasa retak. Nia Dong menyakini mimpinya: Ompung Pensil adalah bekas tentara, lalu selamanya menderita mengenang desingan-desingan peluru dan muncratan darah. Bagaimana kebenaran itu muncul ke dalam pikiran Nia Dong? Empat puluh tiga tahun lalu, sebagaimana kutahu kemudian, Ompung Pensil lari dari tugas ketentaraan, tak tega menggorok leher “orang-orang yang terlibat”.

Demikianlah, beberapa hari sebelum meninggal, Ompung Pensil diusir dari sekolah itu. “Dahulu kala, ada seoarang anak bernama Budi, hidup di negeri yang sedang dilanda perang. Budi dilarang berteman dengan orang asing. Tapi, ia membantah nasihat. Akhirnya Budi diculik. Lehernya digorok. Krek. Tewas !” kata guru-guru mengingatkan anak-anak. Tapi, Ibu, negeri ini tidak sedang perang.

Dan para ibu menyebar penyakit: “Duh, honey, nggak takut ya diserang TBC. Si tua bangka itu batuk-batuk. Lihat, pakaiannya jorok dan bau tikus. Mama nggak mau kamu sakit, sayang. Mulai besok papa yang meraut pensilmuya, duhh…!” Tapi, Mama, ompung itu selalu wangi.

Sejak itu, anak-anak itu tidak lagi bisa menyaksikan Ompung Pensil mengasah pisau, meraut pensil dan bicara tentang pensil demi pensil. Pensil adalah...

Cerita kembali terhenti pada suatu malam yang hujan. Nia Dong menyela dan bertanya, “Bu, kapan kita menemui Ompung Pensil. Aku ingin ompung itu bicara padaku, bicara tentang pensil. Aku sekolah di sana saja!”

Aku menangis, “Nak, andai ayahmu tak hilang, kisah tentang Ompung Pensil tidak akan pernah ada. Ompung Pensil sudah meninggal. Calon kakekmu!”

Pematangsiantar, 4 Juli 2008

* Cerpen ini pertama kali dimuat di Majalah TAPIAN Edisi Desember 2009, hal. 56-58

Bagikan:

02 November 2017

RIP! Raja Sulim Batak Poster Sihotang, Kini Telah Tiada


SolupL - Musisi Batak Poster Sihotang, yang sangat dikenal dengan albumnya seruling maut, telah meninggal dunia pada Kamis (2/11/17). Kepergian si Raja Seruling Batak ini diinformasikan ratusan netizen di facebook. Dari informasi ini, diketahui almarhum sempat dirawat di RS Tugu Tanjungpriok.
Poster Sihotang.
Akun Facebook Willy Wahyu Sihotang menuliskan:

Berita Dukacita.... 
Telah berpulang ke rumah Bapa di surga,, Abang kami,, saudara kami terkasih , salah satu komposer besar lagu2 Batak.,, Si Raja Seruling.. Abang POSTER SIHOTANG ,,,,
Kepergianmu begitu menyesakkan hati kami abangku,, semua serba tiba2,,, kita masih sering bertemu diacara Arisan Sihotang Jakarta Utara dan Acara2 Sihotang SEJABODETABEK,, sehat dan bugar.. rasanya tdk percaya dengan kepergianmu ini.... 
Tapi Tuhan lebih berhak.. Dia lebih menginginkan Abang kami Poster Sihotang kembali kepangkuanNya.. kami hanya bisa meratap abang.. semua harus kami ikhlaskan.. semoga Kakak dan semua anak2 dirmg kuat dan sabar menerima kenyataan ini...
Selamat jalan Abangku.. berbahagialah Engkau di sisi Bapa Sang Pencipta.. 
#sekedar informasi.. Jenazah sementara ini masih di RS BPP TUGU PELABUHAN, Jakarta Utara.

Sementara Waren Sihotang menulis: Toppunai bapa par monding mon.POSTHER SIHOTANG (Trio Relasi)?????????? nga di tinggal hon ho be hami...tu keluarga nang akka dongan..on ma boa2 ku tuhamu ate..dangadong tikki manelepon.


Vica Sihotang Coit menulis:  Telah dipanggil Bapa disurga musisi sang RAJA SERULING batak,.. Bpk. POSTER SIHOTANG , saat ini masih di RS tugu Tanjung Priok... Untuk teman2 boleh diberitahukan kepada teman2 lainnya... Saya baru dapat kabar dari keluarga beliau. Mauliate.''

Poster Sitohang juga menjadi personel Trio Relasi, piawai meniup seruling dan memainkan senar kecapi. Album instrumentalia suling dan kecapinya sangat membekas di hati pencinta musik Batak. (berbagai sumber/int)


Bagikan: