31 Oktober 2016

Bukan Terbelah, Batu Hobon Ternyata Sedang Dipugar


Heboh informasi di media sosial yang menyebut bahwa situs budaya Batu Hobon terbelah, diklarifikasi oleh Dinas Tata Ruang Pemkab Samosir. Dikatakan, saat ini tengah dilakukan pemugaran dan tidak ada bagian batu yang terbelah atau pecah.

Batu Hobon sedang dipugar. (Foto/newtapanuli.com)

Dikatakan, pemugaran areal situs Batu Hobon ini tertampung dalam tahun APBD Kabupaten Samosit tahun 2016 yang dikerjakan oleh CV Sianjur Mula-mula. Salah seorang staf bermarga Pasaribu mengatakan bahwa pihaknya berusaha mengerjakan pemugaran area Batu Hobon dengan baik dan sama sekali tidak merusak bentuk aslinya.

"Ada beberapa hal yang kami kerjakan yang tidak bertentangan dengan adat istiadat, sesuai dengan gambar dari pemerintah. Ini adalah situs budaya. Kami tidak mungkin mengerjakan tanpa memandang nilai-nilai budaya yang kita tahu selama ini,” jelasnya.

Terkait hebohnya berita terbelahnya Batu Hobon, dia menjelaskan bahwa hal tersebut hanya isu.

"Kita bisa lihat kondisinya saat ini. Batu Hobon tidak pecah. Selama ini ada bagian yang tertutup tanah dan sudah kita bersihkan. Mungkin karena bentuk batu yang berlapis tujuh dan ada batasan setiap batu dengan kondisi yang sudah dibersihkan dari tanah, orang beranggapan bahwa batu tersebut pecah,” katanya.

Menurut tradisi Batak, Batu Hobon yang terletak di Desa Arsam, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, terdiri dari batu 7 lapis sebagai tempat penyimpanan harta pusaka.

Kondisi Batu Hobon yang menyerupai garis keliling sebagai tanda pemisah batu yang satu dengan yang di dalam, masih dalam satu kesatuan dan tidak pecah ataupun terbelah. (sumber: newtapanuli.com)

BACA JUGA: Heboh! Batu Hobon Terbelah


Bagikan:

Sigale-gale, Kisah Si Raja Deang yang Sunyi


Patung Sigale-gale yang terknenal dari tanah Toba itu merupakan hasil kreativitas seniman Batak pada zaman dahulu. Dari sisi capaian artistik, patung Sigale-gale bolehlah dikatakan sebagai karya seni bernilai tinggi dalam perjalanan seni rupa Batak. Dan si pematung, dengan demikian, bisa dikatakan sebagai perupa ulung.

Patung Sigale-gale.
Patung Sigale-gale merupakan tiruan manusia, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Keduanya dibentuk dari batang kayu dengan kekuatan seni ukir dan seni pahat. Keahlian si seniman dan teknik pembentukan patung tampak jelas dari wujudnya yang mistis, menggerunkan dan bisa menari seperti manusia. Tarian inilah yang kemudian dikenal Tortor Sigale-gale.

Menurut cerita turun-temurun, permulaan Sigale-gale bermula dari kisah hidup Datu Niantan dan Datu Manggeleng, dua abang-beradik dari sebuah keluarga pada zaman Batak lama. Kedua abang beradik ini sangat terkenal dan tersohor karena ilmu supranatural (hadatuon) yang mereka miliki.

Suatu ketika setelah cukup umur, sang abang Datu Niantan menikah dan berkeluarga. Ini kondisi ideal dalam tatanan sosial masyarakat Batak yang patriarkal: bahwa setiap lelaki harus menikah agar kehidupannya dianggap sempurna dan memiliki generasi penerus marga. Dan hal itu pulalah yang menjadi keresahan dalam keluarga itu, sebab si adik, Datu Menggeleng, tidak kunjung menikah.

Seluruh keluarga berharap dan menyarankan agar dia segera menikah, tapi Datu Manggeleng sepertinya lebih memilih hidup sendiri. Bersama pelayannya, dia kemudian pergi ke daerah lain yang masih berwujud hutan. Di sana, ia menebang kayu, lalu mengukirnya. Setiap hari ia hanya mengukir dan tidak lagi berbaur dengan masyarakat. Dan entah dapat ide dari mana, ia berkeinginan membuat ukiran dan patung menyerupai manusia.

Pada awalnya, Datu Manggeleng membentuk bagian-bagian patung itu secara terpisah. Kepala, tangan, tubuh, kaki dan lain-lain, dibentuk secara bertahap. Setelah itu, bagian-bagian patung itu disatukan atau dibuhul dengan tali, hinga akhirnya menyatu seperti wujud manusia.

Setelah patung hasil ciptaannya rampung dan menjadi baik adanya, Datu Manggeleng kembali memikirkan bagaimana caranya agar patung manusia itu bisa bergerak. Ia kemudian merancang ruas-ruas patung, dan akhirnya, dengan bantuan tali, patung bisa bergerak jika ditarik. Dan selanjutnya, patung itu tak hanya sekedar bergerak, tapi juga bisa menari.

Hasil karya Datu Manggeleng itu kemudian tersebar luas dan menjadi tersohor. Datu Manggeleng memberi nama patung ciptaannya itu Si Raja Deang. Dan begitulah, Si Raja Deang menjadi sakral bagi ketika itu.

Hingga akhir hayatnya, Datu Manggeleng hidup sendiri dan ketika ia meninggal, ia tidak meninggalkan keturunan. Dalam tradisi Batak, seseorang yang meninggal tanpa punya keturunan disebut dengan mate pupur. Demikianlah Datu Manggeleng meninggalkan dunia ini dengan status mate pupur.

Belakangan hari, setelah Datu Manggeleng tiada, orang-orang mengubah nama Si Raja Deang menjadi Sigale-gale. Konon, nama Sigale-gale merujuk pada nama Raja Manggeleng. Tapi sebagian menyebut, Sigale-gale merujuk pada gerakan patung yang gale (lemah gemulai) ketika menari.

Dan demikianlah, sesuai kisah hidup Datu Manggeleng sang seniman itu, orang-orang Batak kemudian mempertontonkan Tortor Sigale-gale jika ada orang mate pupur. (Panda MT Siallagan)

* Catatan: Kisah ini merupakan versi yang disadur dari buku Jambar Hata karangan TM Sihombong, Penerbit Tulus Jaya (1989). 
Bagikan:

Heboh! Batu Hobon Terbelah


Sebuah kabar mengejutkan menghebohkan jejaring sosial: Batu Hobon Terbelah. Batu Hobon merupakan situs sakral yang diagungkan oleh bangsa Batak sejak zaman lampau dan dianggap sebagai sebuah keajaiban. Batu ini terletak di Sianjurmula-mula, Pulau Samosir.

Batu Hobon.
Kabar menggegerkan ini pertaa kali diunggah di dinding (wall) akun Facebook Enni Martalena Pasaribu. Mengetahui informasi itu, tokoh Batak bernama Monang Naipospos mengaku terkejut. Namun Monang mengaku belum tahu apakah kabar itu benar atau tidak. Jika kabar itu benar, Monang meminta masyarakat Batak bersatu.

"Saya belum tahu. Saya meminta kepada kita semua untuk menonjolkan spirit Batak dan hal-hal yang melestarikan budaya Batak. Tak hanya batu saja," ujar Monang seperti dikutip salah satu media, Sabtu (29/10).

Jika benar dilakukan pemugaran Batu Hobon, Monang menyesalkan hal itu. Menurutnya, untuk menjaga kealamian, Batu Hobon seharusnya tak dipugar. "Bingung, kenapa mendapat sorotan berlebihan. Kan ada sisi-sisi yang harus terbuka luas ke langit. Kedua, masih banyak spirit Batak yang bisa ditonjolkan selain Batu Hobon. Tapi malah ditinggal," katanya.

Enni Pasaribu, sang pengunggah perdana foto terbelahnya Batu Hobon menulis di dinding akun Facebook-nya:

Renovasi atau pemugaran? Situs bersejarah Batu Hobon di sianjur mula-mula kab. Samosir milik keturunan Op Guru Tatea Bulan yg berusia ribuan tahun . Seperti terlihat digambar batu sudah terbelah dalam mengerjakan proyek ini apakah sudah ada musyawarah ? Siapa yg bertanggungjawab atas ini ? Seharusnya dijaga keasliannya. Sedih melihatnya.

Saat dihubungi, Enni mengatakan bahwa foto diperoleh dari keluarganya di Samosir. Ia menjelaskan, hancurnya Batu Hobon terjadi karena proses renovasi yang tak terencana dengan baik. Ia mengatakan bahwa proses renovasi tak pernah meminta izin dengan keturunan Guru Tatea Bulan.

"Tidak ada musyawarah kepada keturunan Guru Tatea Bulan. Saya sudah berdiskusi dengan ketua Guru Tatea Bulan ND Malau, dan Ketua Pomparan Sariburaja S Pasaribu. Kami meminta ini dihentikan," kata Enni.

Tak hanya itu, ia juga meminta pihak yang melakukan renovasi agar bertanggungjawab. "Kami tidak Terima, saya juga selaku Boru Sariburaja tidak terima. Keasliannya sudah dihilangkan," sambungnya.

Disinggung mengenai pelaku renovasi, Enni tak mengetahui pasti. Namun ia menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Samosir mengetahui hal ini.
"Tidak tahu pasti, tapi saya yakin Pemkab Samosir tahu. Siapapun kami minta sekali lagi hentikan proses ini," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Batu Hobon merupakan warisan budaya bagi masyarakat Suku Batak. Batu Hobon diriwayatkan sebagai tempat bermukimnya Raja Batak. Konon, para tetua adat dan orangtua Suku Batak pula bahwa Batu Hobon konon merupakan karya cipta Raja Uti, cucu Si Raja Batak dari anak pertamanya, Guru Tatea Bulan.

Berbagai sumber menyatakan, Batu Hobon (Peti Batu) tempat penyimpanan barang-barang pusaka Batak seperti gondang saparangguan (seperangkat gendang Batak), Pagar (ramuan penangkal penyakit), hujur sumba baho (tombak bertuah), piso solom Debata (pedang bertuah),  pungga Haomasan (Batu Gosok Emas),  tintin Sipajadi-jadi (Cincin Ajaib), tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk) dll.

Menurut sumber lain, sudah tiga kali orang berusaha membuka Batu Hobon ini namun semuanya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia.

Foto Batu Hobon terbelah yang beredar di medsos.
Dikisahkan, pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.

Kemudian, pada masa pemberotakan PRRI, tersebutlah seorang tentara berusaha membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.

Demikianlah antara lain kisah tentang Batu Hobon. Konon, setelah Saribu Raja menyimpan harta Pusaka ke dalam Batu Hobon, maka berangkatlah dia bersama si Boru Pareme mengembara ke hutan rimba raya hingga mereka sampai di Ulu Darat dan disanalah si Boru Pareme tinggal, hingga lahir anaknya yang diberi nama Raja Lontung. (berbagaisumber/int)
 
Bagikan:

30 Oktober 2016

Saat Mengenangmu dengan Mantera-mantera


Puisi-puisi Panda MT Siallagan


Ilustrasi.
Menjenguk Godot

Tiga ikan lele, dinamai seperti ini: tanah, udara dan langit
Tanah untuk darah, udara untuk luka. Dan langit untuk roh.

Pagi itu, pembunuhan seolah terjadi untuk pertama kali
Maka ritual dimulai dengan tangis. Mulut pisau merintih:
“Maafkan, kelak kita pasti bersua. Aku akan menjengukmu.”

Ikan lele pertama menggelepar. Serupa gempa. Tapi sunyi:
jikalau tanah retak, saat itulah dosa ditanggalkan,
bumbu-bumbu menunggu dengan tenang. Tak perlu isak itu
Si bermula tanah tak mesti kembali ke tanah

Darah di bibir pisau mengasah rasa lapar
Berapa lamakah tragedi ini akan rampung?
Jemari di gagang pisau mengerang:
“Maafkan aku, kita berpisah. Kelak kita pasti bersua.”

Ikan lele kedua meradang. Serupa petir. Sebait wahyu berkelebat:
jikalau si pembunuh tak dihukum, saat itulah nyawa bersandar
pada lidah api, seperti kuali menanti sesaji dari jiwa koki. Usah sepi
Yang bernafas tak mesti abadi pada udara

Pemilik pisau gemetar, tegun dipermainankan takdir,
airmatanya meringis: “Maafkan aku, Tuhan menyayangimu.”

Ikan lele ketiga berteriak, “Kau membunuhku dengan lembut,
seperti dapur menyumbat takdir para babu.”

Seseorang menangis pagi itu, kehilangan dirinya,
seolah pembunuhan baru pertama kali terjadi
“Aku bukan pemuja api, dan tak ingin terbakar,” katanya.

Lalu seseorang itu pergi, mencari sosoknya yang hilang,
entah pada api atau kuali, bertanya mengapa pada pagi itu
kesedihan teramat menggigit. Tiga ekor lele menyambut
seharum tanah, sehangat udara, sebening langit,
tapi yang termasuki hanya roh-roh sepi

Ikan lele pertama diam di antara bumbu, merayakan ajal:
yang bermula dari tanah sesekali remuk jua di rongga
yang tiada mengenal lumpur.  Ikan lele kedua kelu
di dinding kuali, merayakan makam: biarlah,
adakala yang bernafas terkubur di lindap perut
Ikan lele ketiga bisu, menghayati kematian di ujung api

Pemilik kuali meraung dipermainankan takdir:
“Wahai, aku sudah datang,  Tuhan menyayangi kita.”

Pematangsiantar, 2016


Isyarat

Saat mengenangmu dengan mantera, kubiarkan burung hantu
memundak syair ke gedung tua dan gua-gua, sebab ke lubang batu
kita kelak terdampar, seperti kitab kayu merawat mitos-mitos purba
Aku ingin burung hantu memahat puisi di dinding gedung tua
dan gua-gua, agar tak sepi nanti leangleangmandi datang
membawa segumpal tanah untuk kuburan jiwa, kubiarkan burung
hantu berkuak meringkus mimpi. Mimpi yang selesai
di tanah-tanah terjanji, tanah kita berlelah merebut api,
sebab ladang-ladang sudah terkutuk di mulut padoha,
raja yang gagal jadi menantu dewa. Sungguh dengan mantera
aku mengenangmu, sebab leangleangmandi tak lebih sakti
dari merpati: budak waktu yang terkutuk di sayap puisi
dan kita bunuh diri di ujung kepak itu.  Burung hantu menari
di gedung tua dan gua-gua, dan kita memanjat puisi
yang melumut di dinding-dinding gulita, saat itulah mimpi
terdengar bagai kuak burung hantu di atas kota-kota
dan orang-orang tergelincir mengemas doa. Tapi aku
tak melihatmu dan kau tak menemukanku dalam keriuhan itu,
tapi saling dengar di antara bunyi yang mengutuk raga
jadi burung hantu meski tak sua kita dengan leangleangmandi,
tapi dalam mantera kita bersekutu lagi

Pematangsiantar, 2016
Bagikan:

Syair-syair Panda MT Siallagan



Ilustrasi.

Melayat Puisi

Sebuah kabar dibisikkan, menyusup lembut ke telinga,
menusuk perih ke liang jantung: tentang ari-ari di tepi dangau,
sudah usai, Tuan!

Sebilah pisau atau sembilu, meliuk-liuk di ulu hatinya, seperti ia kenang,
racun menggeletarkan tubuh tikus di tepi ladang dan pematang sawah.
Tak ada kesedihan, ia ulurkan ruhnya terbuang,  menyertai bangkai itu
ke pemakaman yang tak pernah ada.

Sejak itu, ia mencintai kematian, meski padi dan palawija
tumbuh menjunjung mimpi, menanam doa bapa-ibu di tubuh anak
yang legam dibalut cuaca. Dialah perantau yang kelak mengiris waktu,
agar mantera datu-datu tak membiusnya di jalan pulang

Lama ia bahagia menjelma bangkai tikus yang memupus
aroma belacan di lorong-lorong rantau, meninggalkan kebahagiaannya
di simpang-simpang tanpa arah, mengelana ke ceruk-ceruk firman
dan bunuh diri dalam syair-syair

Sebuah kabar dibisikkan:  telah meninggal dunia dengan tenang...!
Ia bangkit seperti ia kenang anjing jantan dipenggal ekornya,
terkaing-kaing menyeruduk segala arah, hingga tiba di pangkuan ibu
rindu pada bapak, pada Tuhan. Di hadapan pembisik itu,
ia melepas seluruh ingatan dan pergi mengikuti tangisnya

Lama, sangat lama ia meliuk, mencari-cari makam, memanggil-manggil
Cinta yang pernah ia titipkan pada bangkai tikus.  Akhirnya,
pada malam yang terburai, ia mengenal lagi sawah dan ladang-ladang
Di sisi dangau, ia temukan makam puisi masih basah. Ia menulis namanya
pada nisan yang masih kosong.

Pematangsiantar, 2016


Memoar
Kisah sedih antara monyet dan kebun
Berpisah di tepian dusun, kukitabkan

1/
Batuk burung hantu memanah bulan
Cahaya pecah, merampas aroma taman eden
Dan dari mulut ular yang terbedung lampin
Tangis pertama menggoda malam di atas dipan

2/
Ia terbit dari rahim datu putri
dari mata sembilu, diutus menyayat matahari
diutus jadi darah, menajamkan rahang singa
pemburu musang,  monyet dan para babi
yang tak kenal luka dan airmata

3/
Begini, Tuan dan Puan-puan,
singa tak butuh buah di taman itu, ia memilih mati
mengejar panglima perang di hutan penuh jampi
ketika hewan menggali jejak untuk makam musim
darahnya menyala membakar dangau

4/
Pada musim panen, ia menghardik juru mantera
dengan mata silau sembilu, mata pembelah bulan,
ia hunus monyet-monyet yang menghina ladang,
dan amarahnya menjatuhkan burung-burung dari pohon
ia sembelih jadi sesaji, diutus memuja tungku
Oh, Takdir, ia cuma kemerdekaan semut di tepi dangau
merayakan musang yang punah dikerkah panah

5/
Sejak itu, nasibnya terapung di mulut seruling
dan tanduk kerbau, meninggalkan ladang,
sebab ia gagal mengenal ibu dan harimau.
Mantera-mantera berderap: tuhan membekukan angin,
mencairkan batu-batu, membakar segala air.
Dan ia berfirman: jikalau pantun mengerang
di mulutmu, mengayuh puisi kita di rahang rantau

6/
Dan terdengarlah nyanyian nyaring,
merongrong sangkakala, mengurai kisah
perpecahan antara binatang dan kebun
di tepian dusun yang dikitabkan
dan ia bercita-cita mati jadi kecapi
menyembunyikan kabut dalam nada
di mulut para penggali makam

Pematangsiantar, 2016


Catt: Puisi dimuat dalam buku bertajuk “Matahari Cinta, Samudra Kata”, antologi puisi tertebal di Indonesia, yang diluncurkan pada Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 12 Oktober 2016 oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Antologi puisi ini disusun Rida K Liamsi dengan tebal 2016 halaman dan memuat karya dari 216 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Panda MT Siallagan salah satu penyair Batak yang menyumbangkan karya dalam buku tersebut.
Bagikan:

28 Oktober 2016

Doa-doa Kepada Mulajadi Na Bolon


Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Jampi

Sekali ingin kembali
pada takdir semula jadi
Bangun amat pagi, merapal jampi
pada Mulajadi. Di lembah semedi,
merasai lagi warna-warna bumi,
menunggang burung, meliuki gunung,
jadi mata burung, meretas jurang-jurang,
menyapa para binatang, oh...Mulajadi.
Indah kembali, pada takdir semula jadi,
siang terhayati, beringin menaungi,
menyulur khayali, akar-akar sungai,
mengintip matahari mandi-mandi,
di dasar batu, mengayuh raga sendiri,
tak berbaju bagai datu, manusia lampau,
padu pada bumi, oh… Mulajadi.
Kembangkanlah gerbang kembali
pada bius mula jadi, asali leluhur kami,
sungguh kami ingin kembali, runduk
memundak buruan ke mulut gubuk,
menyalakan tungku menunggu
malam jatuh, menyedot keluh
demi nyala kunang-kunang, dan burung
hantu mengerang, mengiring perjamuan
melahap berkah hutan di bawah rembulan,
tapi oh… Mulajadi, kami tak bisa kembali
pada sunyi lagi, di rantau jiwa kami tergari,
kota demi kota sudah sakti
mengusir jampi-jampi

Pematangsiantar, 2016

Aubade Penenun

Di lembah mimpi yang baka,
ia dengar gemuruh pesta, seperti dengkur raja,
mencabik bumi gorga. Ia terjaga
dan bersaksi tentang subuh
yang jatuh diterjang gondang bertulah.
Berapa banyak kematian hari ini?

Ia bangkit dan menenun kicauan burung,
sebab mantera tak mengijinkan ulos dibentang
terkembang di pintu rumah panggung, betatapun
tortor menuai perang di ujung zaman

Seperti itu waktu berdetak di lembah mimpinya,
ia berpesta dan mabuk menenggak sirih,
menyusuri gemerisik benang. Benang yang
menyulurkan sepi di dinding tugu-tugu
Oh, Mulajadi Na Bolon, sepanjang usia
kusulam darah, kujahit umpasa-umpasa,
mengubur waktu pada wangsit-wangsitmu,
kini mengapa aku tersalib?

Dihadang ogung dan seruling, ia terus menenun,
menenun rambut leluhur yang menari-nari
membakar upacara, memuja wahyu
pada bibir datu-datu, pada selendang di bahu,
selendang yang melayang-layang
menghembuskan akhir zaman di lembah tidurnya

Ketika riuh pesta usai, ia berhenti di makamnya,
turun ke  lembah, menenun jasadnya ke dinding batu

Pematangsiantar, 2016

Titah Tubuh

Jadi begini kata hatinya pada Tuan di langit, peniup awan jadi embun, yang menghembus embun jadi hujan, peneduh seluruh pagi yang terbakar:

Tiada terjauhkan rumpun bambu suatu waktu dari lagu-lagu gembala, maka madahkanlah padaku, ale Tuan di langit,  tuan mula penaja tanah, raja segala belukar, lantunkanlah seruling pada sepiku agar mambang tercerabut dari tubuh ini. Sebab telah tersungkur aku dihasut hantu api di pagi yang terbakar itu, hukum raja yang tak pernah tua sudah menghanguskan rambutku, mengoyak wajahku, melemparkan kulitku jadi hamparan bukit tandus.

Sebab begini kata hatinya pada Raja di langit, peruntuh segala cahaya, yang menghamparkan cahaya jadi lagu, penghalau  api dari warna-warna tulah:

Jangan kau biarkan aku telentang, ale Raja di langit, terkapar di lembah gersang serupa naga yang mati ditembak penjudi, penjudi yang datang dari lapo-lapo angit, pemadat-pemadat adat yang berpantun tentang ubat-ubat, tapi kucurkanlah terang jadi ubat kudus, ale Raja di langit, sebab aku tak ingin jadi titah angker tentang utusan yang tak berwajah, tak bertangan dan tiada berkaki, ale Raja di langit, titahkanlah kesuburan pada ladang-ladang itu sebelum petang membawaku raib ditelan bulan.

Maka begini kata hatinya pada Guru di langit pada petang itu saat gembala menggiring kerbau dan lagu-lagu menuju rumah di tubuh yang mengabu:

Sudah lama, ale Guru di langit, aku menyeru, jika kiranya benua-benua harus terhapus dari tubuhku, bertuahlah rumpun-rumpun bambu penangkal angin, bertuahlah bambu jadi seruling, lagukanlah gulma dan rumput-rumput jadi aku, tebusan wajah dan tubuh seperti sesungguhnya bisa kau batukan aku sejak mula jadi, sejak kau takdirkan manusia berperas-peluh, mesti berletih sebagai tanda diberi nafas, ale Guru di langit, titahkanlah tubuh ini seputih jiwamu.

Pematangsiantar, 2016

Catt: Puisi-puisi termaktub dalam Buku bertajuk Matahari Cinta, Samudra Kata, buku puisi tertebal di Indonesia, yang diluncurkan pada Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 12 Oktober 2016 oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Antologi puisi ini disusun Rida K Liamsi dengan tebal 2016 halaman dan memuat karya dari 216 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Panda MT Siallagan salah satu penyair Batak yang menyumbangkan karya dalam buku tersebut.

Bagikan:

27 Oktober 2016

Mengenal Karakter Sejati Orang Batak


Salah satu etnis paling eksotis di Indonesia mungkin adalah Batak. Banyak 'cap' dilekatkan pada orang Batak. Ada yang bilang kasar. Ada juga yang bilang, orang Batak hanya kedengaran kasar ketika bicara, tapi sesungguhnya hatinya lembut, bahkan melankolik. Banyak citra negatif dilekatkan menjadi semacam stigma buruk terhadap orang Batak.

Ilustrasi.
Tentu, banyak juga cap positif yang inspiratif tentang orang Batak, antara lain pekerja keras, pantang menyerah dan siap mengerjakan apapun demi memperjuangkan hidup. Dan yang tak kalah menarik, orang Batak umumnya sangat menghargai pendidikan. Hampir semua orang Batak berlomba-lomba menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi.

Dalam bidang kebudayaan, Batak juga sangat kaya akan kesenian, adat istiadat, kekerabatan, bahasa, kepercayaan, sastra dan ragam mitologi. Jika begitu, sesungguhnya, bangsa seperti apakah Batak itu? Ada baiknya, kita mengenal karakter dan prinsip-prinsip orang Batak. Berikut ini beberapa contoh kehebatan orang Batak yang perlu diketahui:

# Filosofi Dalihan Natolu

Dalam kehidupan sosial, orang Batak memiliki filosofi yang sangat mengakar, yaitu dalihan na tolu (tiga tungku), bunyinya: Somba marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu. Secara bebas, dapat diterjemahkan seperti ini: Hormat kepada keluarga pihak istri, bersikap mengayomi kepada saudara perempuan, dan bersikap hati-hati kepada kerabat semarga.

Sejak zaman dulu hingga sekarang, filosofi ini masih berlaku dan nilainya dianggap sakral oleh orang Batak. Ini pedoman mutlak bagi orang Batak menjalankan keluarga dan insitusi sosial. Dalihan Na Tolu ini menjadi perekat sehingga kekerabatan orang Batak sangat erat.

Pondasi nilai dalihan na tolu ini juga sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa. Hula-hula bisa dimaknai sebagai raja atau pemerintah, boru bisa dimakna sebagai lingkungan, dan dongan tubu bisa dimaknai sebagai masyarakat atau warga sekitar.

# Biar Miskin, tetapi Kaya dalam Adat

Sejumlah generasi baru (muda) orang Batak, kini mulai sering mengeluh, kata mereka: "Habis-habis ke adat uang. Dasarlah Batak ini." Tapi meski begitu, mereka tetap menjalankannya. Sebab dalam kehidupan adatlah kehormatan seseorang senantiasa ditegakkan.

Orang yang secara ekonomi dikategorikan miskin, dalam praktek adat Batak, bisa justru sangat kayak. Misalkan saja raja-raja adat, ia sangat terhormat posisinya dalam masyarakat, meskipun mungkin secara ekonomi ia tidak memiliki apa-apa. Terlebih ketika ada acara adat, maka eksistensi orang itu akan sangat dibutuhkan bahkan bisa dibilang sangat vital.

# Anak adalah Kekayaan


Di masyakarat Batak, sudah lazim orangtua mengenakan pakaian buruk atau sama sekali tidak pernah beli baju baru, yang penting anaknya bisa sekolah atau menempuh pendidikan yang kelak bisa membawa jalan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Inilah yang dipahami orang Batak sebagai kekayaan. Anak adalah kekayaan, yang dalam bahasa Batak disebut anakkonhi do hamoraon di au. Istilah anakhonhi do hamoraoon di au sangat populer di kalangan orang Batak, bahkan dijadikan lagu.

Makna lain dari istilah itu tentu terkait dengan konsep patriarkal dalam tatanan kehidupan orang Batak. Oleh karena itu, memiliki anak adalah kekayaan yang tidak ternilai bagi suku Batak. Terlebih jika anak itu adalah laki-laki dan anak sulung, ini ibarat sebuah berkat yang sangat besar bagi keluarga.

Namun demikian, bukan berarti anak perempuan bukan kekayaan. Sama halnya dengan anak laki-laki, anak perempuan juga sama harga dan derajatnya bagi orang Batak, sebab ada konsep gabe (berhasil) dalam kehidupan orang Batak. Orangtua harus memiliki anak laki-laki dan perempuan supaya bisa mendapatkan status gabe. Dalam adat, status gabe memiliki tempat yang sangat terhormat.

# Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon

Secara sederhana, hagabeon, hasangapon, hamoraon dapat diartikan sebagai keberhasilan, kehormatan, kekayaan. Ini juga merupakan prinsip orang Batak dalam menjalankan kehidupannya.

Namun, seperti sudah disinggung di atas, hagabeon (keberhasilan) dalam filosofi ini tidak terkait dengan materi. Keberhasilan yang dimaksud di sini adalah keberhasilan memiliki keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan. Harus lengkap.

Setelah hagabeon terwujud, status kehormatan orang Batak dalam kehidupan sosial kemudian dilihat lagi dari hasangapon. Hasangapon ini adalah status sosial seseorang, karir, pangkat, dan lain-lain yang terkait dengan eksitensi dan aktualisasi diri, tentu tingkat pendidikan.

Sedangkan hamoraon adalah kekayaan materi yang diperoleh seseorang dalam perjuangan hidupnya. Inilah uniknya orang Batak, kadang walaupun hartanya melimpah, jika ia tidak gabe, ia dianggap tidak sempurna.

Dalam hal kekayaan ini, orang Batak juga kerap memaknainya sebagai ukuran moral. Orang kaya yang tidak mau membantu orang susah, meski berpangkat dan kaya raya, bagi orang Batak akan dipandang sebelah mata, terutama oleh keluarga.

# Marga Penting dalam Perjuangan

Sebagaimana kita ketahui, marga adalah identitas utama bagi orang Batak. Marga ini sering menjadi 'penyelamat' bagi seseorang di perantauan. Tidak akan ada orang Batak yang membiarkan orang semarganya terlantar atau mengalami kesulitan. Mereka akan saling membantu atau saling memberikan jalan.

Jadi, seperti sebuah harga mati, setiap orang Batak bertemu, pertanyaan pertama dan utama adalah 'marga apa?". Setelah itu, barulah mereka mencari silsilah. Meskipun marganya berbeda, akan selalu ada pertalian melalui filsafat dalihan na tolu itu. (Panda MT Siallagan). ***
Bagikan:

26 Oktober 2016

Solup Sama dengan Paradaton


Sebagaimana telah diceritakan pada tulisan sebelumnya (BACA: Arti dan Makna Solup dalam Kehidupan Orang Batak) bahwa solup adalah perkakas kehidupan tradisional orang Batak pada zaman dahulu. Secara umum, solup dikenal sebagai alat takar (tumba) beras. Alat minum (semacam cangkir) juga disebut dengan solup.
Ilustrasi Solup.
Alat takar atau cangkir itu terbuat dari bambu. Untuk tumba, biasanya terbuat dari bambu besar. Bambu itu dipotong dan dikikir secara kreatif sehingga wujudnya sama seperti tumba, atau literan beras. Bagian buku bambu menjadi dasar atau alas. Hal serupa terjadi pada solup alat minum.

Oleh karena ia terbuat dari bambu secara alami, dan ukuran bambu yang digunakan si pengguna tidak mungkin sama, maka volume atau isi literan solup ini tentu tidak sama. Maka dalam konteks inilah orang Batak zaman dulu menggunakan solup ini sebagai salah satu perangkat adat (ukuran paradaton). Jadi disepakatilah bahwa solup yang berlaku adalah solup dimana transaksi atau aktivitas menakar berlangsung.

Contoh, seseorang ingin menukar ayam jantan miliknya dengan beras (barter). Jika diseakati harga ayam itu sebesar 3 solup beras, maka solup yang berlaku adalah solup pemilik beras, meski mungkin si penjual ayam juga memiliki solup sendiri. Artinya, si pemilik ayam tidak bisa membawa solupnya sendiri ke desa atau kampung lain. Solup yang berlaku adalah solup di tempat tujuan.

Contoh lain, jika seseorang meminjam beras dari satu desa, maka solup di desa itulah yang berlaku. Ini senyawa dengan pepatah Malayu: di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung.

Dalam konteks paradaton, hal ini juga sudah menjadi kesepatakan alami bahkan bisa dikatakan sebagai alat untuk menghargai antara satu puak dengan puak lain. Itulah kenapa acara-acara adat selalu mengikuti atau menyesuaikan adat setempat. Sebutlah misalnya ada acara pesta di Huta (desa) A. Maka tamu dan undangan yang datang dari huta B atau atau C dst, harus mengikuti atau merujuk tatacara adat di Huta A. Huta B, C dan seterusnya tidak bisa memaksakan adat yang berlaku di daerahnya. Solup di Huta A sepenuhnya harus dihormati oleh Huta B.

Dalam salah satu umpasa (pantun) Batak, hal ini juga sangat tegas dinyatakan: disi tano diinganhon disi solup niparsuhathon (dimana tanah dipijak, di situ solup jadi ukuran), atau dalam pribahasa disebut sidapot solup do na ro (tunduk pada solup yang dituju).

Dengan demikian, solup bisa dikatakan sebagai paradaton. Maka masyarakat adat Batak yang tinggal di satu daerah, solup atau adat isiadatnya juga sama. Itulah sebabnya dalam acara adat, masyarakat setempat (dongan sahuta), selalu dimintai pendapat oleh pihak yang ingin melakukan pesta, sehingga acara bisa berlangsung sesuai dengan adat (solup) di daerah itu, atau dalam bahasa Batak disebut adat na somal hu ulahon di huta i.

Namun demikian, meskipun makna terkandung dalam umpasa sidapot solup do na ro sudah menjadi hukum tradisional, bukan berarti hal itu dipahami secara kaku atau harga mati. Dalam adat Batak, berlaku juga istilah mangelek (memohon pengertian) dari salah satu pihak kepada pihak lain, tentu alasan atau argumen harus sesuai kewajaran dan tidak menyimpang terlalu jauh dari paradaton/solup di daerah tersebut.

Demikianlah makna solup secara lebih rinci. Semoga bermanfaat dan perlu kiranya nilai-nilai kearifan lokal ini dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan di zaman modern ini. Masih sangat kontekstual. Horas...! (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

23 Oktober 2016

Jenis-jenis Tarian dari Simalungun


Simalungun merupakan salah satu etnis besar di Sumatera Utara yang juga memiliki khasanah kebudayaan yang kaya. Ssalah satu warisan kebudayaan Simalungun yang dapat dinikmati adalah tarian tradisional yang juga disebut tortor. Berikut beberapa tortor Simalungun: 

Tari toping-toping

* Tari Toping-toping

Tortor Toping-toping merupakan sebuah tarian unik yang biasanya dipertunjukkan untuk menghibur keluarga kerajaan yang sedang berduka. Sesuai sejarahnya, tarian ini hanya hiburan untuk kalangan keluarga kerajaan. Tapi sesuai perkembangan zaman, tarian ini sudah menjadi sarana hiburan masyarakat, bukan hanya di Simalungun tapi sudah menjadi tarian milik Sumatera Utara.

Secara singkat, toping-toping ditarikan beberapa orang mengenakan kostum menyerupai topeng dan diiringi alat-alat musik tradisional yang disebut gonrang sidua-dua. Alat musik ini terdiri sarunei bolon, mongmongan dan ogung.

Topeng pada tarian terdiri dari 3 jenis yaitu topeng dalahi (topeng menyerupai wajah pria, dipakai penari pria), topeng daboru (topeng menyerupai wajah wanita, dipakai penari wanita), lalu topeng huda-huda (menyerupai paruh burung enggang, dibentuk dari jalinan kain).

# Tari Manduda

Tari Manduda dipertunjukkan sebagai ungkapan rasa syukur atas panen raya. Tarian menggambarkan kehidupan petani turun ke sawah dengan suasana gembira, mulai menanam padi hingga sampai kepada suasana panen. Gerak memotong padi, mengirik dan menampis padi tergambar lewat gerakan-gerakan tarian ini, yang dilakukan secara gemulai dan lincah.

# Tari Haroan Bolon

Tarian Haroan Bolon merupakan lagu iringan tari tradisional berjudul Haroan Bolon, salah satu tarian tradisional Simalungun ciptaan Tuan Taralamsyah Saragih pada tahun 1959.

Haroan Bolon merupakan tarian klosal atau sendratari yang berkisah tentang rangkaian proses kerja disawah mulai dari, pembibitan, menanam benih, perawatan, panen, hingga pada proses menumbuk padi menjadi beras.

Komposer dan penata tari itu adalah Tuan Taralamsyah Saragih, lahir di Pematang Raya, Simalungun, pada 18 Agustus 1918 dari keluarga keturunan Raja Simalungun. Sejak kecil Taralamsyah Saragih telah menunjukkan bakat seni terutama di bidang seni musik dan senitari. Dia sangat mencintai seni musik dan tari.

# Tortor Sombah

Tortor Sombah.

Tarian ini boleh dikata tarian yang sangat populer pada masa ini. Tarian ini lazim dilakukan untuk menyambut kepala daerah atau pejabat suatu instansi pada suatu acara sebagai bentuk penghormatan. Memang, tortor sombah adalah tarian yang dilakukan untuk menghormati Tuhan Maha Kuasa, raja dan undangan suatu hajatan. (bbs/int)
Bagikan:

Jong Bataks Arts Festival 3 Menampilkan Kolaborasi Seni Topeng Batak


Dalam rangka menyambut momentum Hari Sumpah Pemuda, Rumah Karya Indonesia akan menyelenggarakan Jong Batak Arts Festival #3 2016. Setelah sukses pada tahun 2014 dan 2015, festival ini kembali dilaksanakan pada 25-28 Oktober 2016 di Taman Budaya Sumatera Utara dengan menampilkan kolaborasi Seni Topeng dari Toba, Karo, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pakpak.

Salah satu pertunjukan Jong Batak Arts Fetival.
“Jong Bataks Arst Festival merupakan kegiatan yang bertujuan membangun mental berkarakter pancasila, menumbuhkan semangat nasionalisme, serta mengangkat kembali keragaman seni tradisional di Sumatera Utara, ungkap Ojak Manalu, selaku Direktur Rumah Karya Indonesia.

Kegiatan ini menjadi wadah untuk mengembangkan spirit nasionalisme di kalangan generasi muda, Rumah Karya Indonesia bertekad memaknai, merawat dan menghidupkan tradisi melalui kreatifitas karya seni.

Festival ini khusus mengusung konsep Ritual Topeng Batak sebagai Kekayaan Nasionalisme Bangsa. Topeng merupakan salah satu di anta¬ra aspek seni yang tertua di dunia dan dipercayai oleh masyarakat untuk mendatangkan roh nenek moyang. Persoalannya, Seni Topeng Batak nyaris dilupakan. Maka dari itu, Rumah Karya Indonesia melalui seni pertunjukan bermaksud menggugah kembali semangat pemuda dalam mengenal akar kebudayaannya.

“Penggalian kembali Ritual Topeng Batak sebagai Kekayaan Budaya Bangsa dalam  seni pertunjukan menjadi ikon Jong Bataks Arts Festival 2016 untuk menarik simpati para pemuda,” pungkas Ojax lagi.

Gundala-Gundala dari Karo, Sirugut dari Angkola, Sigale-gale dari Toba, Huda-Huda dari Simalungun dan Mangkuda-kuda dari Pak-pak akan hadir sebagai seni pertunjukan. Selain konsep ritual Topeng, Jong Bataks Arts Festival #3 menggelar pertunjukan seni berbasis Multi Etnis (Batak, Melayu, Jawa, Minang). Karnaval Budaya berlangsung tepat di Hari Sumpah Pemuda (28 oktober 2016)  mengelilingi pusat Kota Medan dengan rute Taman Budaya-Lapangan Merdeka-Taman Budaya.

Tak hanya itu, di hari pertama festival ini akan dibuka Pameran Seni Rupa yang berkaitan dengan seluruh kebudayaan Batak. Lalu, akan ada Pameran Kerajinan Tangan dan Lomba Seni untuk tingkat pelajar. Bahkan, puluhan siswa yang berasal dari beberapa sekolah di Sumatera Utara juga berkontribusi dalam menyukseskan acara ini. Diantaranya: SMP Bethany, Yayasan perguruan HKBP Sidorame, SMA Nusantara Lubuk Pakam, dan sekolah-sekolah lainnya. (rel/int)
Bagikan:

22 Oktober 2016

Malam Menggali Kuburan di Dadaku

Puisi-puisi Panda MT Siallagan
 
Ilustrasi.

Jangan Tanya

Jangan tanya mengapa pohon-pohon selalu menghijau di hatiku, padahal akar yang merammbat dari rambutmu sudah membusuk direndam airmata.

Jangan tanya mengapa taman kian menawan di dadaku, padahal bunga-bunga yang mekar di matamu telah hangus dibakar peperangan.

Datanglah sesekali mengunjungi jiwa-jiwa yang hilang, di sini telah tumbuh luka-luka jadi kehidupan.

Pekanbaru, 2004

Kalau Aku Mati

Seandainya ada yang harus kucatat di dinding hatimu, mungkin hanya desah doa yang mampu kugariskan. Seandainya ada yang mesti kualirkan di rongga darahmu, mungkin hanya sisa ingatan yang bisa kukirimkan.

Rawatlah segalanya saat aku berlayar menuju keabadian. Sebab setiap kita pasti bersua lagi di dalam mimpi yang merapat di dermaga baka.

Pekanbaru 2004

Malam Menggali Kuburan di Dadaku

Setiap kali kulihat gerimis runtuh dari mataMu, lalu  selalu tumbuh di dadaku. Dan ombak-ombak menggelombangkan risau, membangun malam dari deru nafasMu. Dan bayangmu berhembus mengabuti para pelayar.

Dan setiap gerimis runtuh lagi dari mataMu, serpih-serpihnya selalu beterbangan jadi api, membakar perahu-perahu. Pantai, dermaga, dan semenanjung melayang jadi abu, seperti melukis malam kematian di rongga paruku. Maka, setiap kali kuhayati gerimis yang runtuh dari mataMu, malam seperti menggali kuburan di dadaku.

Pekanbaru, 2004

Rumah

Sudah selapuk rindumu rumah itu. Dingin dan lembab yang mengalir dari matamu, melukiskan sunyi pada dindingnya.

Ketika kau berkunjung membawa rindu, lantainya sudah berlubang-lubang digali luka. Nafasmu tersentak. Kau berlari ke halaman, tapi pekarangan sudah usang.

Tak ada lagi taman, juga bunga-bunga untuk dipetik sebagai kenangan dan sejarah. Sejauh apa kita telah mengembara?

Pekanbaru, 2004

* Puisi-puisi ini pernah terbit di Harian Riau Mandiri, 27 Februari 2005


Bagikan:

21 Oktober 2016

Menyetubuhi Sunyi, Pada Suatu Hujan

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Ilustrasi.
Menyetubuhi Sunyi

Sunyi yang mengepung usia, ia susuri. Ia datang padamu mengendarai lelah sambil terus memeta: sejauh apa nafasnya berlayar, seluas apa peluhnya menggenang jadi laut.

Juga mimpi-mimpinya, sejauh apa mengapung di laut resah. Lalu rambut putihnya mengibaskan angin, mengerkah perahu dalam gelombang yang tak pernah reda. Hingga pada saatnya, ia berhendi di dermaga yang kau tukangi di hatimu. Ia tatap senyummu, berkecipak di atas airmatanya, mengepak serupa sayap burung, bercericit seperti pipit.

Lalu ia seperti terlempar ke sejarahnya, memeluk bukit, membaca siul dedaunan. Ia menulis puisi di wajah sungai. Lalu desah batu-batu mengigau tentang percintaan ikan. Ia menjadi lupa lukanya.

Riak-riak kecil melompat-lompat di matanya, bermain-main dengan angin. Dau kau lihat masa kecilmu berlari-lari di bawah hujan. Tubuhmu telanjang, basah menggoda langit. Kaukah itu yang menari di jiwanya?

Maka ia pun bersiap menuntaskan perjalanan sunyinya, tidur dibuai nafasmu.

Pekanbaru, 2004

Haiku, Merdeka

Kupancangkan tubuhku
jadi tiang. Kurajut
rambutku jadi bendera
dan berkibar-kibar
dihembus nafasku

Pekanbaru, 17-08-04


Pada Suatu Hujan


Pada suatu hujan, bocah-bocah telanjang berlarian ke halaman, mengerumuni kenangan yang berhamburan dari sunyi hatiku. Maka senja itu menggeletar ditikami bayang-bayang.

Ada yang bangkit dari genangan air parit. Aroma resahmu yang malu pada takdirkah? Sebab tawa bocah-bocah itu segera berlari, bersembunyi dari hujan yang tiba-tiba mengalirkan darah dari mataku.

Kau keci berlari, melintasi tangis dengan hati yang terkoyak. Dan cintamu terusir dari bandar, tempat bapa dan ibu menukangi nafasmu dari asin laut. Peluh kuli-kuli pelabuhan, juga hijau lumut, mengabadikan luka di tiang kapal-kapal.

Lalu pernah seikat surat bertuliskan airmata terkirim padaku dengan aroma abu, seolah anak-anak desa bersajak di jantung kampung dan hutan-hutan yang terbakar.

Lalu, sejauh apa rantaumu dikepung kemalangan? Dan pada suatu hujan, bocah-bocah telanjang kocar-kacir di halaman, menghindari kenangan yang memuntahkan darah dari kepalaku. Aku dan sejarah merindu dalam luka.

Pekanbaru, 2005
Bagikan:

20 Oktober 2016

Puisi-puisi Panda MT Siallagan




Penyair dan Hujan

Karena aku penyair,
bahasa adalah tanah
Seperti hujan,
kuhempaskan tubuhku tanpa ragu
di wajah bahasa.
Karena aku tahu,
tanah sangat rapi menyimpan air
menyulingnya hingga murni
seperti mutiara

2003

Sebab Kau Telah Tidur di Awan

Aku melukis sajadah di mataMu, tapi tak selesai. Sebab warna-warni dari jemariku gagal membaca arus yang menderas dari situ. Desah doaku melebam di hantam batu-batu di setiap dasar sungai.

Bagaimanakah luka ini bisa memelukMu yang tidur dia awan?

Kanvas yang kurakit dari luka usia, robek diiris-iris pisau rambutMu. Kujelma dalam detik-detik, jadi kuas dari airmata.

Maka rinduku gugur, Kau tak menyahut. Tahulah aku, Kau sudah tidur di awan, mengabuti mata jiwaku.

2003

Sajak Sunyi

Surat-suratMu beterbangan dari ombak-ombak kecil, menggariskan lengking seruling gembala pada malam yang mengapung di atas danau.

Parapat 20-04-04

Sajak Peluh

Kau masih setia menugali tanah, menemani keringatmu. Jika hujan luput mengirimkan kesejukan langit, air surga selalu mengucur dari keningmu, menghalau haus dari ladang tandus.

Lalu kau tanami semangatmu. Kau siangi segala cemas dari tanaman wortel, tomat, cabe, kacang panjang, dan batang-batang jagung yang terus memburu usiamu.

Hingga saatnya kau panen doa-doamu, gulma tak lagi menggali luka di hati anak-anakmu. Tangis mereka telah menguap jadi tawa, membubung seperti asap dari dapur gubukmu, menemui Tuhan, menyampaikan syukur.

Kebahagiaan yang kau pungut dari ladang membubung juga ke angkasa, menemui pelangi. Lalu bercerita tentang kasih hujan yang tak sudah-sudah dari mata dan pori-porimu. Maka peluh itu, lelah itu, adalah hidup itu.

2004
Bagikan:

18 Oktober 2016

Jenis, Ragam dan Kegunaan Ulos

Orang Batak seharusnya bangga, sebab Pemerintah Indonesia telah menetapkan ulos sebagai warisan tak benda Indonesia pada 17 Oktober 2014 lalu. Dan hari penetapan itu sekaligus dirayakan sebagai Hari Ulos.

Ulos Bintang Maratur
Perayaan Hari Ulos sudah dilakukan untuk pertama kali pada 17 Oktober 2015 lalu. Dan Senin 17 Oktober 2016 merupakan Perayaan Hari Ulos kedua. Untuk merayakan Hari Ulos, ada baiknya diketengahkan lagi ragam jenis ulos dan kegunaannya.

Sebagaimana diketahui, Ulos Batak adalah jati diri orang Batak dan konteks budaya dan adat. Ulos dipercaya memiliki nilai-nilai sesuai dengan makna dan fungsi berdasarkan ragam dan jenisnya. Dan ulos merupakan karya seni estetis dan merupakan hakekat eksistensi masyarakat Batak.

Untuk mengenal ulos lebih jauh, berikut disajikan jenis-jenis ulos dan fungsinya:

Ulos Mangiring

Ulos mangiring dipakai sebagai selendang, tali-tali, dan diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama, sebagai Simbol atas keinginan terhadap si anak agar kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya. Ulos ini juga dapat digunakan sebagai selendang gendong.

Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Kegunaannya antara lain:
- Untuk keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam   acara adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-Raja Adat.
- Dipakai oleh rakyat biasa selama memenuhi beberapa pedoman, misalnya pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).

Ulos Antak-antak

Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan di pakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan) .

Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini di fungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.

Ulos Suri-suri Ganjang

Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hula-hula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe (berkat).

Ulos Simarinjam

Ulos ini berfungsi sebagai kain dan juga di lengkapi dengan Ulos Pinunca yang di sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.

Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan

Zaman dulu dipakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya,  dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di saput (di selimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya yang di sebut Ragi Pakko  karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

Ulos Tumtuman

Dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan di pakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).

Ulos Tutur-tutur

Ulos ini dipakai sebagai tali-tali (ikat kepala) dan sebagai Hande-hande (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).

Ulos Bintang Maratur

Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat. Bisa diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru. Dan bisa juga diberikan pada acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang  selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.

Ulos Bolean

Ulos ini biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.

Ulos Ragi Hotang

Ulos ini diberikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang disebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orangtua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya dipersunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah disebut sebagai “Hela” (menantu).

Pemberian ulos ini selalu disertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua.

Ulos Ragi Huting

Ulos ini sekarang sudah Jarang di pakai, konon pada jaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hoba-hoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.

Ulos Sibolang Rasta Pamontari

Dipakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang, Ulos Sibolang bisa dikatakan sebagai simbol duka cita, yang dipakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu) dan di pakai juga sebagai Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya. (berbagaisumber/int)
Bagikan:

16 Oktober 2016

Aku Masuk ke Hatimu yang Bersalju


Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Ilustrasi.

Tanah Kami Tak Mungkin Kembali

Kami ikhlaskan juga tanah itu dibelah-belah, sebab kami lelah memeta di mana marwah kami tercecer.

Ulat-ulat lahir beribu, mengerat dedaun dari pohon yang kami tegakkan dari amanah leluhur.

Ranting-ranting patah dan sungai menyeeretnya, berjelajah membaca seluruh tanah.

Maka, susuri sajalah tanah ini hingga di surga. Sebab tanah ini telah seneraka perang

2003

Bunga di Serambi I

Mentari selalu tumbuh di halamanku
setiap pagi. Di dahannya yang hangat,
bergelantungan angin yang mekar
didekap akar-akarnya.

Maka bernyanyilah batang-batangnya:
ini otot kami, pancangkanlah
jadi mantera di dadamu

Dan aku menuang bunga itu
ke dalam ubun-ubun setiap orang
kutanam buahnya di mata semua
kurawat nafasnya di dada segala

Maka rumahku jadi cerita
Cahaya tumbuh jadi serambi
Bersanding dengan pintu yang kudus


2003

Bunga di Serambi II

Angin dari hasrat iblis,
datang membabat bunga-bunga
yang tumbuh di halamanku.
Dari patahan akarnya,
mengalir airmata kesunyian kami
yang sekarat di lorong
sejarah yang bernanah

Bunga-bunga di serambi berguguran
menguntai mimpi buruk di tanah
yang bau darah

2003

Aku Masuk ke Hatimu yang Bersalju

Di dalam matamu yang salju, aku menanam benih cinta. Cinta yang berkecambah dari bola mataku. Karena kutahu, tak akan meleleh jiwa di rahang angin yang beku.

Dan aku tumbuh memamah cinta di dalam matamu yang beku. Tapi gairahku terbit menjelma matahari di kelopak harimu, melelehkan sendiri jiwaku. Yang nyaris mekar di alam matamu yang salju.

2003

* Puisi-puisi pertama kali terbit di harian Riau Pos, 14 Desember 2003


Bagikan:

15 Oktober 2016

Musisi Legendaris Bob Bylan Raih Hadiah Nobel Sastra


Mengejutkan. Penyanyi dan penulis lagu legendaris asal Amerika Serikat, Bob Dylan, menerima Hadiah Nobel Kesusasteraan tahun 2016. Ini merupakan pertama kali hadiah nobel sastra diberikan kepada musisi.

Bob Dylan
Penghargaan ini akan diberikan bersamaan dengan lima penerima Hadiah Nobel lainnya pada tanggal 10 Desember mendatang, berbarengan dengan peringatan hari meninggalnya Alfred Nobel pada 1896.

The Royal Swedish Academy of Sciences memutuskan memberikan Hadiah Nobel Sastra 2016 kepada musisi Bob Dylan yang dinilai "menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu Amerika."

Sara Danius, sekretaris tetap Yayasan Nobel, menyatakan, Dylan terpilih karena ia merupakan "seorang penyair dalam tradisi masyarakat berbahasa Inggris". Nama Dylan telah cukup lama beredar sebagai salah satu calon penerima, tetapi sedikit saja ahli yang memperhitungan Swedish Academy memberikannya pada jenis lagu populer atau folk seperti ini.

Bob Dylan bernama asli Robert Allen Zimmerman di tahun 1941 dan memulai karier musiknya pada tahun 1954 dengan bermain musik di banyak rumah kopi di Minnesota. Kebanyakan karyanya yang terkenal dibuat pada era 1960-an dan bisa dikatakan ia menjadi "pencatat sejarah informal" mengenai masalah yang sedang dihadapi Amerika.

Lagu seperti Blowin' in the Wind dan The Times They are A-Changin' menjadi lagu wajib para pegiat pergerakan anti perang dan hak-hak sipil masa itu. Sejak dekade 1980-an, ia secara konsisten menjalani tur yang dinamainya sebagai "Never-Ending Tour".

Bob Dylan lahir pada 24 Mei 1941 di Duluth, Minnesota. Musisi yang tumbuh dalam keluarga kelas menengah Yahudi itu semasa remaja bermain dalam beragam band dan punya ketertarikan khusus pada musik folk Amerika dan blues, menurut catatan Biobibliografi di laman resmi Nobel.

Dylan, yang antara lain mengidolakan penyanyi folk Woody Guthrie, pindah ke New York tahun 1961 dan mulai tampil di klub-klub dan kafe di Greenwich Village. Setahun kemudian, ia bertemu produser rekaman John Hammond dan menandatangani kontrak album perdana Bob Dylan (1962).

Tahun-tahun selanjutnya dia merekam sejumlah album dan membawa pengaruh besar pada musik populer dengan album seperti "Bringing It All Back Home and Highway 61 Revisited" tahun 1965, "Blonde On Blonde" tahun 1966 dan "Blood On The Tracks" tahun 1975. Produktivitasnya berlanjut hingga puluhan tahun kemudian, menghasilkan mahakarya seperti "Oh Mercy" (1989), "Time Out Of Mind" (1997) dan "Modern Times" (2006).

Dylan menggelar tur tahun 1965 dan mendapat banyak perhatian tahun 1966. Selama satu periode dia ditemani pembuat film D. A. Pennebaker, yang mendokumentasikan hidupnya di panggung yang kemudian menjadi film "Don't Look Back" (1967).

Dylan telah merekam banyak album dengan tema seputar kondisi sosial, agama, politik dan cinta. Liriknya masih terus diterbitkan dalam edisi-edisi baru berjudul "Lyrics". Sebagai seorang artis, kemultitalentaannya menonjol. Dia aktif sebagai pelukis, aktor dan penulis naskah.

Selain menghasilkan banyak album, Dylan menerbitkan karya eksperimental seperti "Tarantula" (1971) dan koleksi "Writings and Drawings" (1973).

BACA JUGA: Allen, Medsos, Moloch

Dia menulis otobiografi Chronicles (2004), yang menggambarkan memori dari tahun-tahun awal di New York dan memberikan kilasan hidupnya di tengah budaya populer. Sejak akhir 1980an, Bob Dylan terus melakukan tur, yang kemudian disebut "Never-Ending Tour" (Tur Tanpa Akhir). Dylan mendapat status ikon. Pengaruhnya pada musik kontemporer mendalam, dan dia adalah objek dari aliran literatur sekunder. (bbs/int)

Bagikan:

08 Oktober 2016

Di Depan Pintu Kematian

Sajak-sajak Panda MT Siallagan


Neraka
Katamu:
"Aku telah melemparkan kulitku jadi tanah. Kutanam mataku setelah kutugal dengan tulang-belulang. Tubuhmu tumbuh jadi kembang neraka di situ."

Maka cahaya berlarian di sepanjang dadaku. Hujan kocar-kacir di sekeliling mataku. Cuaca mabuk di labirin paruku.

Katamu:
"Kembang neraka tumbuh di tubuhku berakar cahaya, berbatang hujan dan berdaun cuaca. Dada, mata dan parumu bergelantungan menjelma buah."

Maka aku melihat nafas kita terbakar di semak-semak persetubuhan yang gersang dipanggang birahi.

2003

Di Depan Pintu Kematian
(dari seorang bocah di Aceh)

Angin masih berlari, Ayah. Tapi aku telah terpaku pada kepungan angin berbau mayat. Darah dan airmata mengering, membuat lorong-lorong luka kian pekat dan memanjang di dadaku. Angin berputar-putar menerkam pepohon, dan selalu kutatap keping-keping nyawamu gugur, membusuk di bumi bersama daun-daun.

Tarikan-tarikan nafasmu, Ayah, memanjang dan kian membesar menggali gua kematian. Sementara jalan, batu-batu, juga gunung-gunung kini bercerita tentang sembahyang yang robek. Demikianlah aku, mengirim airmata kepada rohmu yang longsor dihujani amarah para raja dalam jelmaan peluru.

Ayah, kukirim jerit ini bersama airmata ibu yang kemarin sore telah mati dihajar kesedihan. Tubuhnya telah hangus bersama gedung sekolahku yang terbakar. Bongkah-bongkah batu yang longsor dari mulut penguasa jatuh memecah kepalanya.

Di dalam matamu yang remuk, Ayah, juga kubaca dendam yang menyala di setiap kening kaum kita. Kupadamkan dengan airmata, tapi tanah telah berabad kering dibakar kebencian. Airmata jadi abu, menghitam bersama tulang-tulangmu yang terlempar ke mulut surga.

Angin masih berlari, Ayah, tapi aku telah berhenti di pintu kematian yang tertutup setelah nafasmu bersarang di situ merebut surga. Kuasailah, usir manusia-manusia bedebah dari situ.

2003


Maka...

Maka kuderet-deretkan matahari di sepanjang nadiku, agar aroma ketiakmu hangus dibakar darah.

Maka kupancangi pisau-pisau di ceruk telingaku, agar desahmu terburai di dubur nada

Maka kuolesi racun di rahim otakku, agar bayangmu pecah jadi tengkorak di neraka rindu.

2003

* Sajak-sajak ini pernah terbit di Riau Pos, 14 Desember 2003
Bagikan:

06 Oktober 2016

200-an Judul Buku Perebutkan Anugerah Hari Puisi 2016

Jakarta - Jumlah buku puisi yang dikirimkan para penyair untuk mengikuti Sayembara Buku Puisi Hari Puisi Indonesia 2016 melonjak tajam. Terakhir, sebanyak 245 judul buku masuk ke panitia. Sementara pada tahun lalu, 2015, jumlah buku yang masuk hanya 111 judul buku.


“Itu menandakan iklim perpusian Indonesia terus tumbuh subur,” kata Ketua Panitia Hari Puisi Indonesia Asrizal Nur di Jakarta.

Namun, menurut Asrizal, suburnya kebun sastra Indonesia belum tentu berkorelasi dengan kualitasnya. Di sinilah pentingnya kurasi dan lomba. “Kurator dan juri lomba yang berkompeten akan mampu metakan kualitas karya demi menemukan potensi-potensi baru yang belum muncul di permukaan,” ujar Asrizal. Salah satu tujuan lomba ini adalah menemukan mutiara-mutiara dari seluruh pelosok Indonesia.

Dari jumlah buku yang masuk, ada sejumlah buku yang tidak memenuhi syarat. “Ada penyair yang mengirimkan cuma satu buku, ada buku yang ditulis berdua, ada pula buku yang naskahnya pernah menjadi pemenang sayembara lain,” ujar Kordinator Sayembara Buku Puisi HPI Nel Sukini. Bahkan ada buku yang masih berbentuk naskah fotokopian, belum dicetak menjadi buku.

Ada  pula buku yang tidak melampirkan bukti ISBN. Buku-buku yang tak memenuhi syarat, sedianya sudah dikabarkan kepada penulisnya untuk melengkapi. Namun, ada sejumlah penulis yang tidak melengkapi hingga batas akhir. “Sehingga buku itu terpaksa didiskualifikasi,” tutur Nel. Begitu pula buku yang sebagian atau seluruh isinya pernah memenangkan lomba, juga tidak bisa diteruskan hingga tahap penjurian.

Juri sayembara buku ini adalah Sutardji Calzoum Bahri, Abdul Hadi WM dan Maman S Mahayana. Mereka akan memilih satu buku pemenang utama dan lima buku pilihan untuk memperebutkan hadiah total Rp 100 juta. “Kami akan bersidang dalam pekan ini untuk menentukan pemenang,” kata Maman S Mahayana, salah seorang juri.

Puncak Hari Puisi Indonesia 2016 diadakan pada 11-12 Oktober 2016. Acara diwarnai dengan panggung apresiasi, parade puisi, pidato kebudayaan, peluncuran buku puisi dan pengumuman pemenang serta penyerahan anugerah HPI 2016.  Untuk panggung apresiasi diadakan pada 11 Oktober 2016 pukul 14.00-24.00.

“Lebih dari 100 penyair telah mendaftarkan diri sebagai pembaca puisi, termasuk kelompok musikalisasi dan dramatisasi puisi,” ujar Sekretaris Panitia HPI 2016 Mustafa Ismail.

Parade Puisi yang tampil tokoh masyarakat, menteri, duta besar, pengusaha, politisi, pimpinan daerah dan beberapa penyair pemenang HPI tahun sebelumnya plus deklarator hari puisi. Adapun pada Malam Anugerah Hari Puisi direncanakan akan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Sekaligus membaca puisi dalam acara tersebut,” kata Ariany Isnamurti, Bendahara Panitia HPI 2016. Ariany mengatakan panitia terus berkomunikasi dengan pihak sekretariat Wapres.

Selain itu, salah satu yang paling monumental dalam pergelaran Hari Puisi Indonesia 2016 adalah penerbitan buku puisi tertebal di Indonesia berjudul Matahari Cinta Samudera Kata.  Buku yang disusun sekaligus disponsori oleh penyair Rida K Liamsi itu tebalnya 2016 halaman, belum termasuk halaman romawi.

"Penyair tertua yang puisinya ikut di antaologi ini 80 tahun sementara yang termuda 14 tahun,” kata Rida K Liamsi yang juga insiator sekaligus salah seorang deklarator Hari Puisi Indonesia.

Menurut Rida, tebal buku 2016 halaman itu menandakan HPI tahun 2016. Selain buku itu, panitia juga menerbitkan puisi-puisi yang muncul di rubrik puisi Harian Indopos, yang digawangi penyair Sutardji Calzoum Bahri. Seperti diketahui, Indopos adalah sponsor utama kegiatan ini.  Seperti diketahui, Indopos adalah sponsor utama kegiatan Hari Puisi Indonesia ini. (**/rel)
Bagikan:

05 Oktober 2016

Syair-syair Panda MT Siallagan

 
Doa yang Patah

Aku melukis sajadah di matamu, tapi tak selesai. Warna-warna doaku gagal gagal membaca arus yang menderas dari situ. Sembahyangku pecah, terantuk pada batu ragu. Di sungai kasihmu.

Pekanbaru, 2004 
Ilustrasi.

Elegi Sebuah Kamar

Matamu menumpahkan sunyi di lantai. Alirannya memantulkan kenangan ke setiap dinding. Detak jam membacanya dengan lantang, hingga aku terpelanting digempur rindu.

2004
Tersesat di Puisi

Setelah lelah berkelana daei sunyi ke sunyi, kau menyusuri tangis menuju puisi. Tapi jalan yang kau tapaki di atas sungai, selalu menyeret doa-doamu ke lautan lengang.

Dan kau tersesat dalam kerumuman ombak yang bertempiaran dari kata-kata. Kau tak tahu lagi arah pulang.

2004

Sungai Birahi

Karena sungai membingkai wajahmu pada batu-batu, ikan-ikan birahi, mencium aroma senyummu. Dan air memercikkan nafasmu ke mulut lumut, menyulut cumbu maut.

Dan tebing-tebing menggelinjang, pohon-pohon bergetar, daun-daun gugur, hanyut menuju laut. Laut yang menggelombang dalam firman-firmanMu.

2004

Menyetubuhi Sunyi

Sunyi yang mengepung usia, ia susuri. Datang ke hatimu mengendarai lelah sambil terus memeta sejauh apa nafasnya berlayar, seluas apa peluhnya menggenang jadi laut, sesunyi apa mimpinya mengapung.

Dan uban-uban di rambutnya selalu mengibaskan angin, menuntun perahu meski gelombang tak pernah reda di antara tangisan dan dentuman doa-doanya.

Hingga saatnya pun tiba, ia berhenti di dermaga yang mericuh di hatinya. Ia tatap tawamu berkecipak di atas airmatanya, mengepak serupa sayap burung, bercericit serupa pipit di bukit-bukit.

Ia seperti terlempar lagi ke sejarahnya, mendengar siul daun sambil menulis puisi di wajah sungai. Lalu desah batu-batu mengingau tentang percintaan ikan. Dan riak-riak kecil melompat-lompat di matanya, bermain-main dengan angin.

Karena ia ketuk dadamu, kau lihat masa kecilmu berlari-lari di bawah hujan. Tubuhmu telanjang, basah menggoda langit. Sedang menarikah ia dalam jiwamu?

Maka kalian bersiap, menuntaskan perjalanan resah sambil terbuai menyetubuhi sunyi.

2004

* Syair-syair ini pertama kali terbit di Riau Pos, 24 April 2005
Bagikan:

01 Oktober 2016

Dalihan Na Tolu Mulai Luntur, yang Dihormati Orang Kaya

Nilai kekerabatan dan kasih sayang yang terkandung secara kuat dalam budaya Batak, kini berubah ke arah materi. Dalam struktur adat, hula-hula yang seharusnya sangat dihormati pada Dalihan Natolu kini sudah luntur. Yang dihormati justru orang kaya, yang sering memberikan uang.

Hal itu disampaikan Guru Besar Ekologi Manusia Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Prof R Hamdani pada diskusi bertajuk Ekosistem Danau Toba Berdasarkan Tinjauan Ekologi Manusia di Sekretariat AAI Sumut Jalan Dwikora, Kompleks Setia Budi Townhouse Nomor 9 Medan, Sabtu (1/10/2016).

Menurut Hamdani, kondisi itu bisa menghilangkan kehilangan identitas yang ada. Sebab ekologi manusia di kawasan Danau Toba kini bergerak ke ekologi politik dan ekonomi.

"Cerita Danau Toba bukan hal yang baru. Ini telah menjadi cerita yang panjang, dengan berbagai sudut pandang. Banyak sekali orang yang terlibat. Tapi kenapa permasalahan Danau Toba tidak pernah selesai? Nilai kekerabatan dan kasih sayang berubah ke arah materi. Struktur adat, hula-hula yang seharusnya sangat dihormati pada Dalihan Natolu kini sudah luntur. Kini, yang dihormati adalah orang kaya, yang sering memberikan uang. Ini bisa menghilangkan kehilangan identitas yang ada," ujar Hamdani.

Diskusi itu sendiri digelar Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Sumatera Utara (Sumut). Hamdani tampil sebagai pemateri dalam diskusi tersebut.

Namun demikian, Hamdani mengakui tidak ada yang dapat menolak perubahan. Hanya saja, perubahan harus dapat dikontrol ke arah positif.

"Kita tidak bisa menolak perubahan. Bahkan antara kepercayaan dan agama tidak berjalan berdampingan. Pertanyaanya, siapa yang merusak Danau Toba. Jawabannya semua, tak perlu saya bilang satu per satu. Tapi ini fakta, elit politik dan para pengusaha juga ikut merusak Danau Toba. Untuk itu kita harus saling menghargai dan membuka mata untuk perubahan positif," ujarnya.

Menurutnya, masa depan Danau Toba tak bisa dilihat dari satu sisi saja. Ada berbagai sisi yang harus dipersatukan dan dibangun berdasarkan kesepakatan para elit.

"Konflik antar elit harus diminimalisir. Pertarungan gengsi etnisitas yang ada di kawasan Danau Toba sebaiknya tak harus terjadi. Masing-masing individu dan golongan harus saling menghargai. Contohnya, narasi batak saat ini lebih dominan ke Batak Toba, padahal ada Simalungun, Karo, dan lainnya. Nah kita harus menyatukan ini, jangan ada etnis dominan dan etnis tersingkirkan," katanya. (berbagaisumber/int)
Bagikan: