16 Februari 2016

Kaset


Cerpen Panda MT Siallagan

Ilustrasi.
Akhirnya, bibi meninggal. Syukurlah, sudah terlalu lama dia menderita. Memang, tak banyak hal kuketahui tentang bibi. Saat aku kecil, pernah beberapa kali dia berkunjung ke Pekanbaru, tapi ingatanku hanya mampu mengenang sekilas-lewat: tubuhnya pendek, kulit legam, rambut ikal, hidung pesek, telinga lebar dan tubuhnya sedikit bungkuk. Dan hal paling kuingat: bibi gampang marah. Aku terakhir kali bertemu bibi di rumah sakit jiwa di Medan, akhir 1994.

Ketika ibu meneleponku dengan suara bergetar dan sesunggukan mengabarkan kepergian bibi, aku tercekat, dan hanya kehampaan yang terasa menjalar. Kuputuskan pulang, hari itu juga terbang dari Bandara Hang Nadim, Batam. Agar lekas tiba di Silobosar, kusewa taksi dari Polonia. Selama perjalanan, sebagaimana gairah seorang pengembara, mestinya banyak hal bisa kuamati. Tapi aku memilih tidur. Aku mungkin sangat lelah. Bagaimanapun, meski bibi hanya kukenal sekilas-lewat, aku sering sedih memikirkannya.

Pertengahan tahun 1990, dia menamatkan SMA dari sebuah sekolah swasta di Kota Pematangsiantar, lalu datang ke Pekanbaru, bermaksud mencari kerja. Setengah tahun menjatuhkan lamaran di beberapa perusahaan, tak satu pun berhasil.  “Apa karena aku jelek? Apa karena aku cuma tamat SMA? Percumakah aku selalu juara sejak SD,” begitu rutuknya selalu kudengar.

Bapak, abangnya, berusaha menghiburnya agar sabar. Lagi pula, dia tetap bisa bekerja membantu ibu berdagang di pasar pagi, atau sekalian belajar menjahit, membantu usaha bapak yang belakangan semakin banyak pelanggan. Tapi bibi tak menghiraukan bapak. Dia memutuskan pulang, mencoba peruntungan di Medan, dan akhirnya bekerja di pabrik udang di Kawasan Industri Medan. Setelah itu, hanya sesekali kabar bibi terdengar, hingga akhirnya pulang ke Silobosar, kampung kakek yang sunyi, sekira 50 kilometer di selatan Pematangsiantar. Membayangkan perjalanan hidup bibi, aku selalu sedih.

Tapi aku tak ingin bercerita tentang kesedihan. Sudah terlalu banyak kesedihan di luar sana, dan tak akan pernah habis dikisahkan. Sesampainya di desa, aku hanya sejenak duduk di samping jenazah, mamandangi wajah bibi yang damai. Sebelum airmata tumpah, gegas aku beranjak dan pergi menemui orang-orang desa. Pikiran usilku bekerja - tepatnya naluri jurnalistik, sebab di Batam aku bekerja sebagai wartawan - ingin bertanya-tanya kepada warga desa, seperti apa sesungguhnya bibi menjalani hidupnya selama di desa? Tak banyak informasi yang kuperoleh, dan aku sedih memikirkan bibi sangat asing bagi orang-orang desa. Konon, hari-harinya habis mengajar secara sukarela di SD Inpres di desa itu, dan hanya sesekali berbaur dengan masyarakat. Untungnya aku bertemu Rahel, bidan desa setempat, sahabat karib bibi. Terima kasih kepada perempuan ini, ceritanya bagai lakon drama.

Baiklah, lupakan saja jenazah bibi. Biarkan mereka menangisi bibi dan mengurusi pemakamannya, aku lebih baik melaporkan penuturan Rahel. Pertama-tama Rahel bercerita tentang latar, yaitu kamar bibi. Tersebab rumah peninggalan kakek terbuat dari kayu, tentu bibi tidur di kamar berdinding kayu. Ada jam menempel di salah satu sisi dinding. Di salah satu sudut, berdiri meja buruk, juga terbuat dari kayu. Di atas meja itu tergeletak tape recorder butut berwarna hitam, di sampingnya terletak cangkir kaleng bergagang, dan beberapa buku tersusun saling menindih. Ada juga sebuah ceret aluminium dan gelas. Lalu di sudut lain, teronggok sebuah lemari kecil tanpa cermin. Di daun pintu selalu tercantol pakaian kotor. Tergantung di plafon, sebuah lampu pijar lima watt bersinar redup, seolah malas menerangi kamar. Di bawahnya ranjang kayu teronggok, merapat ke salah satu sisi dinding. Itulah ranjang bibi.

Begitulah, kata Rahel, suasana kamar bibi perlu dikisahkan karena dari sanalah cerita kematiannya bermula. Malam sebelum meninggal, bibi bermimpi sedang membaca sebuah buku di kamar itu. Saat membaca itu, tiba-tiba bibi mendengar bunyi lonceng berdentang dari jauh, lalu disusul kemunculan seorang gadis belia berambut pendek. Bibi menyebut gadis itu ‘tamu’. Begini mimpi bibi seperti diceritakan Rahel:

“Selamat siang, Kawan! Boleh aku duduk?” sapa tamu itu.

Bibi terkejut. Meletakkan buku di atas meja. Sambil memandang bingung.

Kepada tamu, bibi menjawab,” Silahkan! Tapi siapakah kau? Ada keperluan apa?”

“Aku rindu, Kawan! Rindu pada kau, “ sahut tamu itu.

“Kau memanggilku ‘kawan’ dan ‘kau’. Apa tak kau lihat aku sudah tua? Kaub bilang pula kau rindu. Aku tak mengenalmu.”

“Tapi aku mengenalmu sejak kau lahir.”

“Heh, kau ini orang gila agaknya. Kau masih belia, mana mungkin kau kenal aku sejak lahir? Siapa namamu? Dari mana asalmu?”

“Seperti itu kau ternyata, gampang melupakan orang. Ah, malangnya nasibku, aku datang untuk bernostalgia dan mengenang masa-masa indah kita. Tapi begitu kau ternyata, gampang melupakan teman. Atau kau sudah pikun? Kau benar-benar tak ingat aku? Mana kaset rekaman itu?” kata tamu itu.

Saat tamu itu bicara tentang kaset rekaman, Bibi terkejut dan terbangun, lalu merenung di tepi ranjang. Nafasnya tersengal. Rambutnya yang penuh uban tampak awut-awutan. Tubuhnya bertumpu pada kedua tangan memegang lutut. Setelah agak lama, dia berhasil menata pernafasan. Ia lirik jam dinding, pukul 02.30 WIB. Ia bangkit, menyeret langkah, agak terseok dan terbatuk-batuk. Tangan kirinya memegang cangkir, sementara tangan kanan memegang gagang ceret, mengarahkan paruhnya ke mulut cangkir, menuang teh. Dia menenggak habis segelas. Kembali duduk di tepi ranjang. Terdengar bunyi lonceng entah dari mana. Bibi bergetar.

Bagaimana kau tahu? Tanyaku menyela Rahel. Rahel mengatakan, beberapa jam sebelum bibi meninggal, dia berada di rumah bibi. Bibi menceritakan mimpi itu, juga detail reaksinya setelah itu. Lalu, mereka sama-sama mendengar kaset rekaman. Ya, kaset rekaman itu benar-benar ada. Dulu, sepulang dari rumah sakit jiwa, bibi kerap bermain-main dengan tape recorder dan gemar merekam suaranya. Bibi menemukan kaset itu setelah mencarinya di antara tumpukan barang-barang lama di dalam lemari.

Apa isi kaset itu? Hal ini akan diceritakan belakangan sebab menurut  Rahel, jauh lebih baik membayangkan lakon bibi setelah terbangun dari mimpi itu. Setelah kesadarannya pulih, dini hari itu bibi bergumam sendiri di kamarnya, “Apa aku baru mimpi, ya? Iya, aku bermimpi. Siapa gadis muda itu? Kenapa dia begitu lancang? Apa begitu anak-anak muda sekarang, sembarangan ngomong sama orangtua? Sudah kurang adabnya? Benar-benar zaman edan. Tak hanya dalam hidup nyata, dalam mimpi pun anak-anak muda sudah edan. Tapi aneh juga, sudah sangat lama aku tak pernah bermimpi. Apa artinya, ya? Kaset rekaman? Kaset rekaman apa? Oh iya, aku ingat. Jadi gadis itu adalah aku? Oh Tuhan, betapa ajaibnya kau. Kau pertemukan aku-muda dengan aku-tua. Tapi di mana kaset itu?

Aku menghela nafas mendengar Rahel bercerita, kubayangkan bagaimana ekspresi bibi ketika menceritakan itu kepada Rahel. Lalu Rahel melanjutkan. Keesokan harinya, bibi segera mencari kaset itu. Dan ketemu. Dia ciumi kaset itu. Dia berterima kasih kepada kaset itu. Lalu bicara sendiri, “Tak ada yang benar-benar terkubur. Waktu bergerak ke hadapan kita, bagai tirai hitam. Seperti ingin menutup pikiran, agar kita kehilangan kenangan. He…he…he! Sesuatu yang baru, kuketahui kini. Jika malam adalah lawan siang, maka demikianlah seluruh hal. Cantik dan jelek bagai musuh abadi. Tuhan dan iblis, huh, entah siapa yang benar dan siapa yang salah. Air dan api, cinta dan benci, suka-duka, jantan-betina, bapak-ibu. Musuh sekaligus jodoh. Tapi waktu, apakah lawannya, adakah jodohnya? He…he…he! Sekarang aku tahu, waktu bermusuh dan berjodoh dengan mimpi. Itu tadi, tirai waktu nyaris menutup ingatan. Memutus usia muda dan tua. Tapi mimpi sangat mungkin mempertemukan mereka. Aku-sekarang bertengkar dengan aku-dulu. Aku-dulu mengingatkan aku-sekarang tentang kaset ini. Mimpi mempertemukan, bukan? Waktu kalah, rasakan resiko kepongahanmu. Tapi apa yang bisa kulakukan dengan kaset itu? Hanya mendengar suaraku? Oh, hidup bagai mimpi. Mimpi bagai hidup. Ini tak masuk akal. Mengapa aku sedih? Apakah hidupku salah? Ah, hidupku salah. Apakah kebenaran itu?”

Pada saat kalut inilah bibi menelepon Rahel, memintanya segera datang ke rumah. Kepada Rahel, seperti kerasukan setan, bibi bercerita tentang asal-usul kaset itu. Saking cepatnya bibi bercerita, di kepala Rahel melintas gambar-gambar, sangat cepat bagai potongan-potongan film dokumenter. Demikian kisah bibi, diceritakan Rahel bagai film:

Medan, 14-15 April 1994. Unjuk rasa buruh. Terjepit di antara ribuan demonstran, sorot kamera fokus pada bibi, sedang berteriak-teriak mengacungkan tangan terkepal. Riuh teriakan. Naikkan upah. Bayar THR. Massa bergerak meninggalkan kantor Gubernur Sumatera Utara. Kamera tetap fokus menyorot bibi. Massa melempari toko-toko. Tampak bibi ikut melempar. Terjadi pengrusakan gedung. Gambar bergerak ke kawasan industri Medan. Massa menghadang sebuah mobil. Bibi terlibat. Pemilik toko tewas dibantai. Aparat merangsek. Suara sangat gaduh, teriakan dan jeritan. Terdengar suara tembakan. Pentungan aparat menghantam kepala bibi. Dia tersungkur, tapi segera diseret dan diselamatkan rekan-rekannya. Bibi dirawat di rumah sakit. Lalu tertawa-tawa di rumah sakit jiwa. Cerita berakhir di sebuah kamar. Bibi berceloteh di depan tape recorder. Kadang serius, kadang tertawa. Ia merekam suaranya.

Lalu, bibi mengajak Rahel mendengar kaset itu. Lalu bayangkanlah sebuah tape recorder butut terletak di atas meja di ruang tamu. Bibi mengambil tape itu dari kamarnya. Menghidupkan dan mendengar. Sebelum Rahel memencet tombol play di bagian atas tape, mereka berpandangan sejenak. Bibi mengangguk pertanda siap dan setuju tape recorder dihidupkan. Rahel memencet tombol play . terdengar suara angin, berisik, dan lalu suara serupa kertapan pintu. Mereka mengira kaset itu sudah rusak, tapi akhirnya terdengar suara, seperti orang membaca puisi. Dan ternyata, Rahel telah mencatat ulang isi kaset itu, takut kalau-kalau kaset itu rusak. Kepada kita, Rahel membacanya:

“Tahukan kalian, saat kudengar tembakan, aku merasa usiaku terbang. Aku melihat jantungku pecah jadi kawanan burung. Tak ada hal kuingat lagi selain ingin bebas. Saat itulah kutahu bahwa rasa takut adalah kesunyian terdalam. Bagai jurang. Jurang dalam. Jika senjata dan bom memiliki watak penghancur, jurang adalah pisau tajam. Pemisah tebing satu dengan tebing lain.

“Sekarang aku di sini, terpisah dari teman-teman. Mereka di sana. Di sana? Di mana? Di penjara, atau pulang ke desa merutuki kekejaman uang. Ah, uang. Uang membuat orang terasing. Kami bekerja mencari uang, bukan mencapai tujuan. Kami saling mencurigai karena uang. Karena uang, mata majikan rusak sehingga memandang kami sebagai binatang. Dasar binatang…!

“Tapi apa salahnya binatang? Saat aku salah mengerjakan tugas, si bos bilang aku anjing. Jangankan mengerjakan sesuatu yang salah, bekerja saja anjing tak bisa. Aduh, kenapa aku ngawur ya. Lebih baik aku berkhayal jadi presiden. Saudara-saudara, pertumbuhan ekonomi akan digenjot melalui sektor informal. Pedagang-pedagang kaki lima akan diberdayakan.

“Tak ada ketenangan. Tahu kalian apa obat gila? Puisi, bersuara, mendengar suara. Sekarang dengarkan aku, tak usah cari-cari maknanya. Di manakah surga itu, kau ketuk-ketuk ombak. Tak ada jawab, pekik camar hanya melempar rintih karang dilanggar hiu. Ke laut kau mencari, sebab bulan meraung di balik bukit, mengentalkan asap pembakaran jerami dan tungku-tungku batu. Kau gali juga pasir, sedalam apa langit mengubur cahaya kekal di sepanjang pantai? Kau temukan jawab, kedamaian itu seluas samudra. Kau menangis tidak lahir jadi burung, seolah samudra surga hanya berjodoh dengan sayap. Kau dekap lagi ombak. Ah, batu-batu desa dan tanah-tanah tandus ingin kau basuh dengan tangismu. Di mana surga itu? Lubang tikus memanjang dalam kepalamu, kasihan desa sebab pestisida terbang ke langit. Oh, surga itu mungkin racun. Baiklah, ayo kita pulang. Masih ada ruang tenang di hatiku, masih tersimpan tangis bayi, pohon rambutan dan seruling bambu. Rebung santan, tidakkah kau ingat nikmatnya. Surga itu ada di mulutmu, meniup seruling di punggung kerbau. Ya, ya, kau murung karena burung-burung gagak itu selalu datang mematuki doamu pada malam hari. Dan di pantai, camar-camar menjerumuskan senyummu.

“Aku. Karya Chairil Anwar. Aku ini binatang jalang….! Jika sampai waktuku, kumau….! Aku percaya Tuhan, tapi tak percaya Dia bisa bicara. Hidupku berakhir sekarang, Tuhan bicara barusan. Mendengar ini, usiaku akan copot, Kawan…”

Sampai di situ, Rahel berhenti. Dia mengatakan, saat itu tiba-tiba ponsel di dalam tasnya berdering. Buru-buru ia mengambil ponsel itu, tak peduli lagi pada kaset rekaman. Ia menempel ponsel ke telinganya. Ternyata dia harus pulang. Ada pasien DBD datang ke Puskesmas.

Tapi tak lama kemudian, Rahel kembali ke rumah bibi. Dia ingin mengambil kaset rekaman itu, ingin mendengar ulang, mencatat ulang dan mempelajari ujaran-ujaran kacau di dalamnya. Saat tiba, pintu rumah terbuka seperti ketika ditinggalkannya. Darahnya tiba-tiba berdesir. Rahel masuk ke rumah. Memanggil-manggil bibi, tapi tak ada sahutan. Dia berjalan ke ruang tengah, lalu tercekat, dan menjerit minta tolong. Orang-orang berdatangan dan menurunkan jasa bibi dari tali gantungan.

“Dia sudah pergi,” kata Rahel mengakhiri ceritanya, “Pergi mengikuti lonceng mimpinya. Buruh yang baik hati itu, kawan, mari kita doakan!”

Aku dan Rahel menangis.

Pematangsiantar,  Desember 2008

Bagikan:

08 Februari 2016

Puisi-puisi Panda MT Siallagan


Tragedi

Sambal atau cabe giling mencatat luka batu di rongga mulut, lidah, tenggorokan dan usus. Maka senantiasa lambung meradang, ganjil meminang dengus bibir. Uhfs.

Tak hanya lorong pedas, tapi juga kisah perut yang mulas. Ini pasal luka batu pipih digilas batu bulat. Sepasang lengan menekan, rempah-rempah pecah, lumat bersama pasir halus, hanyut menyongsong rahasia usia: perut. Inilah mula jejak digaris jemari lentik, memisah tampuk dan buah.

Cabe terbaring bugil di atas batu pipih. Maaf, jerit batu bulat, pasrah ditunggang telapak tangan penggiling. Bawang mengerang untuk siung kering yang dibuang ke tong. Pasrah, sebab berlapis-lapis waktu usang serupa sampah. Meluncur jahe, lengkuas dan kunyit: terperas membasahi lumatan cabe dan lendir bawang.

Batu bulat dan batu pipih tak henti bercumbu, pasir terus gugur cuil demi cuil. Tak terlacak jejaknya, sebab merica, ketumbar, lada dan pala ikut melumpur.

“Meracik apa, Puan,” tanya aroma pada babu.

“Membungkam mulut majikan. Meneguhkan takdir para babu pemulia dapur.”

Tapi segalanya tetap tergantung pada lidah, perut cuma pengendali tangan peracik.
Bagaimanapun tomat dan asam gelugur tidak mengeluh disayat-sayat.
Batu giling terus gemetar: kapan ini berakhir?


Agustus 2009


Senandung

Mari bersulang, selepas memintal ajal

Lalat dan belatung mengombak di meja makan. Seperti sudah berabad jiwa ini koyak, busuk sejak dari ujung tombak, milik pemburu entah dari mana, entah panah tajam dari lembah mana

Aku dirajam beku, darah dan luka itu dulu kau balut. “Kita berhenti berburu, ya!” katamu

Tapi madu lebah hutan yang mewariskan sungai di darahku, habis jua dihisap laut. Dari pucuk tanjung, kulepas kau berburu lagi. Menghunjam tubuhku. Dan mati. Membusuk. Ayo, santap belatung dan lalat ini.

Di kerongkonganmu, kunikmati pelayaran, bersabung dengan badai. Tapi di lambung perahu, tiada dapat kubujuk kau, sebab takdirku jauh dari pasir. Jantungmu, betapa gemuruh. Minumlah, derita memang pahit.

Kisaran, Oktober 2009

Ladang Kekal
: buat RDK

Seperti menanam senandung, kubuka senja untuk menatap taman dan hamparan ladang-ladang. Dan segala perbatasan seperti terhapus di ujung daratan itu. Terhidang rasa bersama, seperti kisah-kisah bunga surga. Sebab lama tanah-tanah tandus dibuai peluh dan geliat doa. Maka matahari tak terbenam pada nafasmu yang sarat musim. Pada malam yang mengombak, sebuah jiwa berhembus, mengelus dinding-dinding kota. Dan mimpi itu membubung, sayap zaman yang wangi mengepak dari jemarimu.

Pada manis putaran musim, bunga-bunga bergetar, menari tentang detik dan abad yang nyaring dinyanyikan. Engkau nada dari jauh, dari bandar muasal saudagar, dari tahun-tahun yang dikekalkan rahang laut. Suatu waktu amat kau takuti sepi, tapi cinta penuh merajut hidup, menderu merdu sepanjang mimpi dan keriangan anak-anak. Dan pada gelombang, harapan dilayarkan antara sepi dan pulau-pulau yang dirindu. Semoga kita selalu tiba pada pulau-pulau penuh panen.

Seperti ziarah, engkau dinanti di ladang jiwa. Selagi matahari masih meninggi untuk kemuliaan sejarah, anak-anak dan bapanya senantiasa berkemas. Menuai pada musim, menanam pada janji, mencatat mimpi pada lembar-lembar yang dibingkai pada semua rentang usia. Antara fajar dan langkahmu, antara senja dan cintamu, angin adalah jalan pulang yang tersibak di ladang-ladang kekal.

Pematangsiantar, 2013

Sejauh Arus

Sejauh arus,
sungai tak lupa
memeluk batu. Setabah itu kita merayu muara, memeta sejarah ombak dan lengang bandar, melayari waktu yang berdarah.
Seperti itu
kita mengembarai laut bersama desis pinus di hutan-hutan jauh, meminang tuah lumut di dinding gubuk. Seperti lambaian nyiur menyeret dermaga, tiang kapal dan rumah-rumah panggung. Maka kita mengaduk doa, mengentalkan aroma pantun, tapi terbentur jua puisi di dinding karang.

Dan kita
cuma bisa terbang
menunggang asap dari hutan
yang terbakar.

Oktober 2009
Bagikan: