27 Mei 2016

Ragam Seni dalam Masyarakat Toba

Batak Toba merupakan salah satu sub etnis Batak yang mendiami kawasan Danau Toba. Sub etnik ini tersebar mulai dari Girsang Sipangan Bolon (Simalungun), Pulau Samosir, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara hingga Tapian Nauli (Sibolga dan Tapanuli Tengah). Itu tentu saja pemetaan geografis. Tapi dalam konteks kehidupan berbangsa, hampir di seluruh daerah kini orang Batak Toba sudah ada dan hidup berdampingan dengan etnis-etnis lain.

Gorga, seni rupa Batak
Contoh gorga
Sebagaimana etnik lain, Batak Toba memiliki beragam ekspresi kejiwaan yang luhur melalui beragam seni, adat istiadat dan kebudayaan. Tapi kali ini, kita khusus membahas jenis-jenis kesenian yang terdapat dalama masyarakat Batak Toba. Meski artikel ini hanya membahasnya sekilas-lewat, tapi kiranya dapat mengingatkan generasi baru tentang keberadaan dan kekayaan seni yang dimilikinya.

Ingatan akan keberadaan eksistensi kesenian itu, kiranya dapat pula merangsang anak-anak muda untuk berinisiatif mengetengahkan seni dalam rangka pengembangan kawasan Danau Toba yang kini gencar digaungkan pemerintah dengan konsep otoritanya.

Sama halnya dengan kesenian modern, jenis-jenis kesenian tradisional Batak Toba juga mencakup seni musik, tari, sastra, teater, kerajinan, seni rupa dan lain-lain. Ragam kesenian itu sudah menyatu dan mendarah daging dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak Toba sejak zaman dahulu kala dan sebagian masih lestari hingga saat ini. Tapi sayangnya, sebagian perlahan-lahan mengalami kepunahan karena tidak lagi dipertunjukkan atau digeluti. Seni Batak Toba yang populer hingga era digital ini antara lain sastra dan tari, yaitu umpasa dan tortor yang selalu menyertai kegiatan atau ritual adat istiadat dalam Batak Toba. Berikut jenis-jenis kesenian Batak Toba:

Seni Sastra

Dalam khasanah kebudayaan Batak, kita mengenal beragam karya sastra yaitu umpama, umpasa, torsa-torsa (turi-turian), andung-andung, jagar-jagar ni hata, dan hata pangganti. Tentu, dalam kebudayaan sub-sub Batak lain seperti Karo, Simalungun, Mandailing dan Pakpak, juga terdapat bentuk-bentuk kesusasteraan, yang pada genre tertentu sering memiliki pertalian atau persamaan.

Seni Tari

Seni tari dalam budaya Batak Toba yang paling populer adalah tortor. Tortor setiap saat masih bisa disaksikan dalam acara pesta masrayakat Batak Toba, baik acara suka maupun duka, misalnya pada acara pernikahan dan pemakaman orang meninggal. Secara filosofis, tortor merupakan bentuk ucapan syukur kepada Pencipta (Mulajadi Nabolon) dan bentuk ekpresi rasa hormat antara pihak-pihak yang melakukan acara adat. Namun dalam konteks zaman modern, tortor itu sering kali hanya ditampilkan sebagai acara sermonial belaka. Generasi baru semakin banyak yang tidak lagi mehamami maknanya. Ragam tortor dalam Batak Toba sesungguhnya sangat banyak, baik yang mistis maupun yang biasa. Namun hal ini akan kita bahas dalam artikel yang berbeda.

Seni Tenun

Seni kerajinan Batak Toba yang paling terkenal adalah bertenun (martonun). Keterampilan ini biasanya dikuasai kaum perempuan. Mereka disebut partonun (tukang tenun). Hasil tenunan mereka inilah yang disebut ulos, atau kain tradisional Batak. Dulu, perempuan Batak menenun dengan kemampuan illahi, artinya tidak sembarang perempuan bisa menenun, tapi harus memiliki talenta khusus, sangat terkait dengan religi. Peralatannya juga sangat tradisional, namanya Sorha, terbuat dari kayu ataupun bambu, papan dan besi. Hingga saat ini partonun masih bisa ditemui di pedalaman Tanah Batak. Namun demikian, partonun juga sudah banyak ditemukan di kota-kota dan terorganisasi sektor ekonomi home industry (industri rumah tangga) dan dilakukan dengan peralatan modern yang bisa memproduksi banyak ulos dalam waktu relatif singkat.

Seni Musik

Dalam tradisi Batak Toba, terdapat sejumlah alat musik yang lazim digunakan dalam pelaksanaan upacara ritual dan adat. Alat musik yang paling khas adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi (uning-uningan). Di dalam kedua alat musik ensambel ini sebenarnya sudah termaktub sarunei (seruling), ogung, hesek dan taganing. Dalam perkembangannya, taganing sering dipadu dengan alat musik modern seperti kibord atau organ. Ini terutama ditemukan pada acara-acara adat di perkotaan yang mengedepankan kepraktisan.

Seni Rupa

Seni rupa Batak Toba mencakup seni pahat dan seni patung. Mereka juga memiliki keterampilan membuat sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung besar), dan  boneka sigale-gale (boneka mistis dari kayu yang bisa menari) dan parpagaran (alat untuk memanggil kekuatan gaib). Tentu, seni rupa Batak Toba paling luas dikenal adalah gorga, ukiran ukiran estestis pada ornamen-ornamen rumah adat. (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

25 Mei 2016

Saut Sitompul, Penyair Jalanan asal Siantar

Puisi

tak usah terlalu dipusingkan
bagaimana cara menulis puisi
cukup dengan pena di tangan
berjongkok di taman
ada daun jatuh
tulis
ada rumput menghijau
tulis
ada tanah terbakar
tulis
ada anak pipit terjatuh dari sarangnya
tulis
ada bau mesiu
tulis
tulis
tulis
tulis
ada hujan
tulis
ada titik-titik terang
tulis
lalu aduk dengan kelepak
ladam telapak kuda sedikit
cukup cukup cukup
nah ini ada puisi
dalam puisi ini ada bunyi
bunyi kecapi atau cemeti
itu tak penting
dalam puisi ini juga ada bau
bau ubi bakar atau babi panggang
itu juga tak penting
tapi ini puisi berbunyi
tang!

1978

Itu salah satu puisinya. Namanya tak dikenal dalam peta dan kanon kesusasteraan Indonesia. Tapi barangkali, sejumlah penyair Indonesia pernah mengenalnya dengan baik. Barulah setelah ia meninggal banyak orang membicarakannya, terlebih setelah bukunya berjudul Tulis! diterbitkan Penerbit Paseban, Jakarta (2006). Dialah Saut Sitompul, penyair jalanan asal Pematangsiantar, yang tewas secara tragis ditabrak taksi pada dini hari 9 Januari 2004.

Salah seorang penyair Batak terkemuka yang memiliki nama sama, Saut Situmorang, menulis haiku atas tragedi itu. Demikian puisi Saut Situmorang atas tragedi itu:

saut sitompul, haiku

antara aspal dan malam
mabukmu tersisa
jadi Jakarta!

(Jogja,10/02/04)

Sebagai penyair jalanan, Saut Sitompul tentu tak pernah memublikasikan karya-karyanya, baik di suratkabar atau majalah-majalah sastra. Dalam bentuk buku, konon Kongres Kodok pernah terbit, tapi jumlahnya sangat terbatas dan distribusinya tak meluas. Dan memang, jumlah puisi Saut Sitompul tergolong sedikit, hanya ada 75 buah tercantum di buku Tulis! Jumlah itu mengingatkan kita pada maestro sastra Indonesia Chairil Anwar, yang juga hanya memiliki puisi sekitar 70-an judul.


Tentu, tak layak membandingkan puisi-puisi Chairil Anwar dengan puisi Saut Sitompul, bukan karena aspek kualitas, tapi karena memang ciri dan alirannya sangat berbeda. Keduanya eksis di zaman yang sangat berbeda. Namun keduanya bisa bertaut dalam keresahan yang sama atas situasi sosial dan kehidupan pada masing-masing zamannya.

Sebagian orang mungkin menolak menyebut Saut Sitompul sebagai penyair dan lebih sepakat menyebutnya seniman jalanan atau pengamen jalanan. Sekali-dua ia pernah bermain sinetron dan membuat ilustrasi musik untuk film. Selebihnya, ia mengamen di jalanan Jakarta, dari satu bus ke bus lain, dari satu trayek ke trayek lain. Tapi ia mengamen dengan cara berbeda. Ia membacakan puisi-puisinya. Ia juga kerap membacakan puisi di hadapan teman-teman, dan sesekali tampil dalam pembacaan puisi pada acara-acara kesenian atau kegiatan seremonial. Bahkan, dalam acara kebaktian di gereja pun, ia pernah membaca puisi.

Dengan mengamen baca puisi itulah ia menghidupi keluarganya. Sejumlah besar penyair Indonesia mungkin tak pernah benar-benar menghidupi keluarga dengan puisi, tapi Saut telah melakukannya. Pun, ketika sejumlah penyair Indonesia hanya bisa ngomel merutuki rendahnya tingkat kepembacaan masyarakat atas puisi, Saut telah menjemput sendiri audiensnya, membacakan puisi di tempat umum, mengenalkan puisi secara nyata kepada khalayak. Seperti kita duga, hal itu tak membuat kondisi ekonomi keluarganya membaik.

"Stres juga ya. Gimana sih hidupnya seperti ini. Menghidupi keluarga dari teman-temannya, itu tadi, baca puisi itu," ujar istrinya, Lili Girsang, sebagaimana terurai dalam sekelumit tentang Saut Sitompul, di buku Tulis! itu.

Begitupun, Saut tak menyerah. Ia terus menjalani hidup sebagai musisi jalanan. Seperti kita baca, puisi-puisi Saut banyak bicara tentang situasi sosial, kemiskinan, religiusitas, dan juga pergumulan hidupnya sehari-hari sebagai seniman bohemian. Bahasanya lugas. Ia tidak menulis puisi berbentuk kata atau kalimat-kalimat estetis. Ia  sepertinya lebih mementingkan bunyi atau efek musikal, dan sepertinya itu mengalir dari alam bawah sadar untuk mendukung 'pementasannya' sehari-hari. Dan bagi Saut, puisi bukanlah sesuatu yang rumit, seperti tergambar dalam puisi berjudul Tulis di atas. Tapi bukan berarti ia tak bisa menulis puisi indah nan estetik. Simak puisi Saut berikut: 

Perpisahan

tetes angin
namaMU
kutinggalkan dulu
sejak pupus di mimpi purba
s'milir mengendap-endap di pangkuan langit
namaMu
tak kuingat
terkubur di puncak awan
di pucuk nafas yang mengikatku
jarak
berdesir-desir desau nafasku
kuhirup-lupakan
halleluya

Saut Sitompul lahir di Pematangsiantar 9 Februari 1955, dan menghabiskan masa kecil dan masa remajanya di kota berhawa sejuk itu. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis pada dini hari 9 Januari 20104, tertabrak taksi di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Ia meninggalkan seorang istri Lili Boru Girsang dan dua putri, Suri Sitompul dan Tio Sitompul, yang masih duduk di kelas IV dan II SD ketika ia pergi untuk selamanya. Bagaimanapun, Saut Sitompul telah mempersembahkan puisi bernilai bagi sastra Indonesia. Dan untuk alasan itulah saya menuliskan ulang secuil kisahnya. (Panda MT Siallagan)***
Bagikan:

Mekar dalam Mimpi

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Kota Mekar dalam Mimpi Kami

Setiap kali mimpi kami mengembara pada malam-malam lengang dan jejak-jejak kami berpecahan jadi bintang-bintang, kami selalu membangun kota ini jadi kebun dan ladang-ladang semarak. Daun-daun menyalakan warna hijau, melambai memulihkan letih kami, menari mengiringi mimpi yang kerlap-kerlip seperti gemerlap lampu dan cahaya melukis harapan kami jadi bunga-bunga yang bermekaran, menyalakan taman di sepanjang jalan-jalan yang kami ibadahi.

Maka wewangianpun berhamburan dari pucuk-pucuk rumput, menguapkan aroma sejuk dari peluh dan airmata kami. Dan karena ketabahan kami, embun-embun berkilatan, berpantulan jadi gelombang yang menggemuruhi nafas kami. Geloranya memahat-mahat kedamaian jadi rangkaian bukit-bukit.

Dari kota ini kami manatapnya seperti sedang berkunjung dan membawa doa-doa ke dalam hati kami. Kami temui keheningan dan menjadi takjub: alangkah indah kota kami, tertata rapi dalam mimpi, terawat indah dalam doa-doa.

Dan kami makin bergairah menyulam rakaat-rakaat jadi bentangan alam, jadi hamparan sajadah. Kami lalu membangun istana-istana peristirahatan di sepanjang jiwa kami dan terus membesarkan kota ini dengan mimpi yang menggelora karena doa-doa. Taman-taman kami tanami dengan senyuman. Setiap sudut kami pagari dengan pelangi yang dijemput hati kami dari langit tak berkabut. Asap dan api yang merimbun menyesatkan usia kami ke dalam lindap resah, telah kami halau dengan hujan airmata dan hutan-hutan itu telah kembali menjadi kokoh memagari rumah kami.

Dan di langit biru, keriangan kami bersilangan, mengepak-ngepak jadi burung dan mencericitkan tembang-tembang sorga di atas atap-atap rumah kami. Angin berhembus saban waktu. Merangkai nyala mentari dan senyum rembulan jadi jembatan. Kami melintasinya sambil bersiul menemani kupu-kupu dan capung-capung yang membingkai sukacita kami jadi ombak-ombak kecil di sepanjang sungai yang mengalir tenang di rongga darah kami.

Seperti seruling gembala di padang-padang hijau, kebahagiaan kami melengking, mengirimkan nyanyian ikan-ikan dari dasar sungai yang mengekalkan batu-batu jadi keheningan di jiwa kami, dari dasar laut yang mengokohkan karang-karang jadi ketabahan di hati kami. Tapi, setiap kali kami terjaga, kota dan tanah kami selalu pecah. Taman, kebun dan ladang-ladang memuing, terbang jadi debu, harapan dan mimpi-mimpi kami tersesat. Tapi kami selalu menguntai doa-doa dan berdamai dengan resah yang mendera di hati kami, agar rumah kami bisa membesar jadi sarang damai.

Pekanbaru, 2003




Rumah

Sudah selapuk rindumu
rumah itu. Dingin dan lembab
yang mengalir dari matamu,
melukiskan sunyi di dindingnya

Ketika kau berkunjung
membawa rindu, lantai
sudah berlubang-lubang
digali luka. Nafasmu tersentak
Kau berlari ke halaman
tapi pekarangan sudah usang

Tak ada lagi taman,
juga bunga-bunga
untuk kau petik jadi
kenangan, sejarah kepergian
Sejauh apa
kita telah mengembara?

Pekanbaru, 2003


Suara Penyair

Aku telah membakar tubuhku dengan api kata, tapi kau sebut di jemariku masih tumbuh mawar. Telah melepuh mataku oleh bara kalimat, tapi selalu kaulihat sungai jernih memantulkan bulan di situ. Aku telah memanggang jiwaku dengan sajak-sajak, tapi kaubilang di dalamnya masih terbentang hutan hijau. Telah menjadi arang jantungku oleh syair-syair tapi selalu kaudengar denyut kesucian di situ. Kapan kau paham makna kepedihan?

Pekanbaru, 2003
Bagikan:

Meruncing Diraut Airmata

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Setelah Bambu Meruncing Lagi Diraut Airmata

a/
setelah bambu-bambu itu meruncing lagi diraut airmata, kami menugal tanah-tanah yang telah terbakar di dalam jantung kami. kami tanami harapan-harapan, dan membesar jadi pohon-pohon di sepanjang usia kami. lalu hutan-hutan membentang lagi di dalam mimpi-mimpi kami. tapi, setiap kali kami terjaga dihentak doa-doa, kami selalu menemukan bambu dan pohon-pohon itu meranggas lagi. ranting dan daun-daun beterbangan jadi asap, menyesaki nafas kami. tapi kami perintahkan anak-anak kami mengibarkan bendera pada bambu dan pohon-pohon itu, agar kami bisa lagi membaca angin, dan bernyanyi:
indonesia raya...merdeka...merdeka...

b/
setelah pada bambu dan pohon-pohon yang terbakar itu kami kibarkan bendera, kampung kami memancarkan warna merah dan putih. kami takjub, dan berpawai merayakan kemenangan itu. tapi kami tiba-tiba tersentak. kami ternyata sedang berjalan di atas genangan darah, tulang-tulang saudara kami berserakan di halaman. kami ternyata tidak sedang mengibarkan bendera untuk memugar hutan, tapi melukis tanah dengan darah. dan menyusun serakan tulang-tulang jadi jalan raya.

c/
lalu kami berjalan di atasnya, mencoba membunuh ketakutan dengan ketajaman doa-doa. kami jelajahi jalan-jalan menuju kebebasan. tapi kami tersesat. jalan dan gang-gang tak cukup panjang menampung dosa-dosa kami. kami tersesat di tubir tebing, gagap menemukan peluh kami telah menjelma jadi lautan gelap. mimpi-mimpi kami mengapung, mengintai sejarah perjalanan kami, lalu menerkam kami di jurang yang mencuram digali luka kami.

d/
akhirnya kami putuskan untuk rehat, lelap memeluk duka sendiri, tidur di kamar yang kami tukangi dengan airmata kami sendiri. dan di dalam mimpi kami, anak-anak bernyanyi:
indonesia raya...merdeka..merdeka...

e/
kami menghayati nadanya dengan jiwa yang berdarah, dan menjadi kian tak paham memaknai kemerdekaan

Pekanbaru, 11-08-04




Ibadah

Kau meruncingkan rindu selembut pucuk rebung. Begitulah kau memanggul doa ke puncak gunung dan bukit-bukit, meski pintu makam cuma sepanjang tubuh. Siapkan saja kuali untuk airmata, agar gubuk pulang pada muasal rumpun. Seteguh akar bambu itu, kita pasti sampai meski entah di lidah api atau di mulut bunga.

Pematangsiantar, 2010


Sembahyang

Daun daun pandan menjulur, menyusur licin lidahmu. Daun-daun pandan bergelung, menjahit kuluman doa di mulutmu. Daun-daun pandan menganyam mimpi, melumuri lantai dengan asam tuak dari mulut dan hatimu. Daun-daun pandan menarikmu duduk, melepas bibirmu menghardik bulan dan bintang-bintang. Tapi di atas tikar pandan lapuk penjaga sejarah gubuk, tidurku membatu. Malam dan burung hantu beku. Mampus kau!

2012
Bagikan:

22 Mei 2016

Kenapa Puisi, Mengapa Penyair?

Oleh Panda MT Siallagan

Sebagaimana galibnya, anak berusia 8 tahun itu bertanya, apakah syair sama dengan puisi dan sajak atau sanjak? Tanpa memperhitungkan resiko, sang ibu menjawab: sama.


Lalu rasa panik mulai melilit ketika bocah bermata puisi itu menggulirkan lagi pertanyaan sebagaimana galibnya curiosity anak-anak, yang lincah dan imajinatif. Punca masalahnya adalah pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, kata guru: puisi adalah kata-kata yang indah. Puisi sama dengan sajak. Dan penulis puisi atau sajak disebut penyair.

"Kenapa?" tanya si anak. Sebab pelajar tugas dan pekerjaannya belajar. Pedagang berdagang. Tukang becak menarik becak. Pencuri mencuri. Pembuat kursi, meskipun tidak pengursi, tapi masih berkerabat secara diksi, yaitu tukang kursi. Dan si anak menggugat:

Kenapa penulis puisi dan sajak disebut penyair? Saya berpura-pura menyibukkan diri, pura-pura serius mengerjakan tugas genting, agar pertanyaan itu tidak dilemparkan kepada saya. Tapi diam-diam, saya memikirkannya. Kenapa tidak pemuisi? Kenapa tidak penyajak? Sebaliknya, kenapa disebut penyair, sementara hasil gubahan mereka disebut puisi atau sajak? Kenapa tidak syair saja agar 'malapetaka' ini tidak muncul?

Lamat-lamat, saya dengar si ibu berkata, "Kelak, di sekolah yang lebih tinggi, engkau akan memperlajarinya." Si anak sepertinya berterima. Saya lega. Untuk sementara selamat dari 'marabahaya'. Tapi dalam hati, saya bergumul: di sekolah manakah hal itu kelak akan dipelajarinya?

Para penyair, yang sehari-hari berkutat dengan bahasa dan kata-kata, bahkan mungkin membangun 'kerajaan' dan 'politik kekuasaan' dengan bahasa dan kata-kata, sepertinya juga tak pernah peduli dengan situasi itu. Mereka menulis puisi dan sajak, lalu disebut dan menyebut diri sebagai penyair. Dan saya kembali pada nostalgia zaman dulu, alangkah baiknya disebut pengarang saja. Persoalan selesai. Apapun genre karangannya, ia pengarang.

Pada suatu masa, segelintir penyair Indonesia pernah menyebut diri sebagai perajin puisi. Seingat saya, Binhad Nurrohmat dan Satmoko Budi Santoso pada masa produktifnya pernah sekali-duakali menyebut diri sebagai perajin puisi bahkan peternak huruf. Tentu, itu dicantumkan dalam biografi singkatnya di surat kabar.

Barangkali, untuk menghindari resiko semacam inilah hal itu dulu mereka lakukan. Segelintir penyair muda ada juga melakukan hal yang sama, meski istilahnya berbeda-beda. Tapi fenomena itu kemudian redup. Barangkali, gengsi dan martabat kata 'penyair' sudah terlanjur kokoh dan orang-orang berebut mendapat gelar itu.

Mari kita bayangkan lelucon ini: Pemuisi Afrizal Malna, Penyajak Joko Pinurbo, Pesanjak Goenawan Mohamad, atau sekaligus kita tahbiskan: Pemantera Sutardji Calzoum Bachri, Peliris Jamal D. Rahman, sebagaimana kita jamak menyebut Cerpenis Danarto, Novelis Ayu Utami atau Kritikus Faruk HT dan Eseis Maman S Mahayana. Salahkah?

Kamus Bahasa Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga tidak bisa jadi alat yang memadai menjawab pertanyaan itu. Untuk lema puisi, memang disebutkan bahwa salah satu arti puisi adalah sajak, bahkan lengkap dengan jenis-jenisnya dan saling mendukung satu sama lain. Puisi bebas, misalnya, disebut artinya: puisi yang tidak terikat rima, matra, jumlah larik dan jumlah kata. Mengacu pada pengertian ini, maka puisi-puisi Indonesia mutakhir dapatlah disebut puisi bebas. Dan anehnya, puisi mbeling disebutkan artinya: sajak ringan atau sajak main-main, kenapa tidak puisi ringan atau puisi main-main?

Sementara, lema syair diartikan sebagai puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri terdiri atas empat larik yang berakhir dengan bunyi yang sama. Jika mengacu pada arti ini, maka para penyair Indonesia mutakhir  tak layak disebut penyair, sebab mereka tidak menulis syair, melainkan menulis puisi atau sajak. Tapi rupanya KBBI menyelamatkan para penyair. Arti kedua lema syair adalah: sajak; puisi.

Selanjutnya, arti lain lema sajak dijelaskan begini: gubahan sastra yang berbentuk puisi. Pengertian ini bias, seolah-olah sajak bukan puisi, tapi gubahan sastra berbentuk puisi. Artinya, prosa yang dibentuk-bentuk menyerupai puisi, bisa disebut sajak. Hal ini didukung pengertian kedua: bentuk karya sastra yang penyajiannya dilakukan dalam baris-baris teratur dan terikat. Jika mengacu pada pengertian ini, maka puisi-puisi Joko Pinurbo atau Afrizal Malna, terkesan kiranya sebagai sajak, tepatnya prosa sajak, yang memang puitis.

Demikianlah, catatan ini tidak bermaksud menyoal baik dan buruknya dunia perpuisian atau persajakan kita, sebab ia telah tegak dengan babak-babak sejarahnya, meski dunia persyairan sangat jarang disebut. Tetapi, siapakah yang bertanggungjawab menjelaskan pertanyaan bocah itu? Apakah kita harus menjelaskannya sebagaimana tertulis dalam KBBI itu?

Dan dari seluruh lema itu, hanya pada lema syair ada kata benda 'profesi', yaitu penyair (pengarang syair), sementara dalam lema puisi dan sajak, tidak ada pemuisi atau penyajak, tapi kita menyebut karya penyair sebagai PUISI dan SAJAK. Imajinasi anak-anak kadang terlalu murni, dan kita bisa pandir menghadapinya. Maukah Afrizal Malna menyebut diri sebagai penyajak? Atau bersediakah Sapardi dan Jokpin dan yang lain-lain disebut pemuisi? Entahlah...! ***
Bagikan:

15 Mei 2016

Bicara pada Tong Sampah

Oleh: Panda MT Siallagan

Suatu ketika, seorang lelaki bertubuh ceking dan berkulit legam, duduk bersila di trotoar sebuah kota. Di hadapannya, terletak sebuah tong sampah yang kosong, sebab petugas baru saja membersihkannya dan mengangkut sampah dari tong itu.


Dan ternyata, di sanalah letak persoalannya. Pria ceking tanpa baju itu sedang mengomel kepada tong sampah,  katanya: "Tidak kau tunggu aku. Aku kan sudah janji datang. Mereka sudah kaya, tapi kau berikan juga semua pada mereka."

Orang-orang, warga kota yang beradab itu, yang menonton drama ajaib itu, hampir memiliki komentar seragam: dasar orang gila. Dan saya sepakat: takdir telah menelantarkan pria itu sebagai manusia bebas, tapi terkungkung dililit penyakitnya, yang oleh kita disebut sakit jiwa.

Tapi saya punya nurani yang lain. Kepada pemilik toko saya coba bertanya. Dan inilah kisahnya: hampir setiap hari pria itu datang ke depan tokonya, mengais-ngais tong sampah itu, lalu menelan seluruh sisa-sisa makanan yang ditemukannya. Rasa hormat patut kita sampaikan kepada pemilik toko, sebab ia sesekali memasukkan makanan bersih ke dalam tong itu, terutama pada jam-jam menjelang pria itu biasa datang. Tapi hari itu, entah bagaimana, pria itu terlambat dan petugas mendahuluinya.

Saat ia tiba, tong sampah sudah bersih. Pria itu menjerit. Menangis keras. Mengundang perhatian orang banyak yang segera berkerumun menontonnya. Tak lama kemudian, ia duduk bersila, persis menghadap tong sampah itu dan mengajaknya bicara. Benar-benar bicara. Bicara pada tong sampah. Dan ajaibnya, kewarasanmu sebagaimana manusia tak akan berarti dihadapkan padanya. Sebab, seperti dikisahkan pemilik toko, pria ini justru tidak mau makan kalau diberi. Ia hanya makan dari tong sampah itu. Dan hanya tong sampah itu. Tong sampah yang lain juga tidak disambanginya. Bagaimana kita harus menjelaskan ini?

Ketika saya mulai tergila-gila pada puisi dan mulai mencoba-coba menulis puisi, kebingungan yang sama juga mengepung kesadaran saya. Bagaimana bunga bisa tumbuh di atas batu? Dan bunga yang tumbuh di atas batu itu musnah terbakar, yang membakar bukan api, tapi sepi. (Bunga, Sajak Sitor Situmorang) Waktu itu, saya hanya menggumam dalam hati, "Gila kau, Sitor!"

Bahwa tong sampah menjelma sosok manusia yang diajak bicara, bahwa sepi bisa membakar bunga di atas batu, sungguh kegilaan yang sama, lahir dari imajinasi yang tidak normal, demikian renungan saya di kemudian hari setelah sungguh-sungguh belajar menulis puisi dan menjadikannya 'ibadah' yang lain. Saya katakan ibadah, sebab sesungguhnya doa juga tak akan pernah tuntas saya pahami, mengapa kita bicara dan meminta kepada sosok agung tak berwujud itu? Itulah kesepian saya paling mendasar.

Seringkali, dalam kehidupan ini, kita mengenal batu, kayu, besi, logam, dan bahkan kita hidup dalam penyertaan dan lindungannya: menjadi dinding rumah, menjadi pintu, menjadi jerejak jendela, menjadi kursi, menjadi kerangka ranjang, tapi kenapa kita tidak pernah sungguh-sungguh menganggap mereka ada. Yang peka pada benda-benda, suatu kali mungkin akan mengusap-usap dinding rumahnya, mengelus-elus sandaran kursinya dan berkata: terimakasih perabot-perabotku, terimakasih panciku, terimakasih pintuku, terimakasih dindingku. Maka, kita yang mendengar ucapan itu mungkin akan berkata: sudah gila kawan itu.

Tapi ketika ramai-ramai orang memburu batu akik, mengelus-elusnya, membangga-banggakannya, memuji-mujinya bahkan merawatnya, membeli minyak zaitun tempatnya berendam agar katanya hidup, mengapa kita tidak merasa gila? Mengapa kita tidak menyebut mereka gila karena seluruh cinta dan perhatiannya beralih ke batu akik? Sungguh, bagi saya, itu suatu masa yang menakjubkan tentang bagaimana orang secara massal terjebak dalam berhala, dan saya sebagai penonton, merasa bahagia dengan berhala saya, yaitu puisi-puisi yang berseliweran karenanya.

Saya tak menyukai teori-teori tentang puisi. Juga tak tertarik memikirkan apa guna puisi  bagi kehidupan, terlebih ketika puisi dipaksa-paksa mengurusi politik dan urusan-urusan Negara yang mumet itu. Mungkin selama-lamanya, saya tak menyukainya. Tapi saya gemar dan bahagia hidup bersama puisi. Membayangkan batu pecah, lalu dari dalamnya muncul merpati. Merpati pertapa. Mungkin dialah burung hulambujati itu.

Saya suka membayangkan air jadi api. Dengan demikian, fungsi air tidak lagi menghanyutkan, tapi membakar. Siapa bisa membantah, banjir yang melumat sebuah kota adalah api abadi di hati para korbannya? Saya gemar membayangkan air danau sebagai ular-ular siluman yang berhimpun dalam kutukan lembah. Dan bagaimana semua itu bisa terwujud? Saya ternyata bersalah juga, turut jua menzolimi puisi. Menggunakan puisi sebagai alat membahasakan kegilaan-kegilaan itu.

Seringkali memang, kita menjauh dari benda-benda yang sesungguhnya sangat akrab dengan kita. Saya menduga, pria gila itu telah mengadakan perjanjian dengan tong sampah agar saling setia satu sama lain, maka itu ia tidak mau berpaling. Pengkhianatan mungkin paling memungkinkan hadir tersebab hilangnya kepekaan dan ketidakpedulian, karena bebalnya perasaan kita terhadap benda-benda, yang padanya kita menumpangkan hidup, hasrat dan mimpi-mimpi.

Belakangan ini, sebuah pergolakan bathin sangat intens menggoda saya: bahwa kebohongan bisa saja menjulangkan engkau sejaya matahari, tapi ketahuilah, buah-buah busuk akan berjatuhan menguburmu, dan dengan demikian, engkaulah kebusukan itu, sementara matahari sesungguhnya tak pernah engkau kenal. Apakah itu puisi? Entahlah.

Tapi nyatanya, saya semakin kesulitan menemukan puisi, baik untuk saya tulis maupun untuk saya baca. Kadang-kadang, puisi-puisi yang berhamburan setiap hari itu hanya terasa sebagai teks-teks hampa, seperti es batu yang dingin, tapi kemudian berlalu mengkhianati dua hal: air dan suhu. Kepada keduanya, kita adalah prajurit durhaka di ruang global warming ini.

Barangkali, kita perlu belajar berbicara lagi dengan benda-benda, dengan cuaca, dengan jampi-jampi, dengan alam raya, dengan junjungan buih segalanya itu: jiwa. ***

Sumber: Sumut Pos, 15 Mei 2015
Bagikan: