27 Januari 2016

Hujan dan Pertemuan


Hujan dan Pertemuan
Cerpen Panda MT Siallagan

ILUSTRASI

Kalau tak hujan jatuh di Parapat
Takkan Melayu di dada menyengat


Maka berhentilah marah, saban kubantah keyakinanmu. Bukan guyuran hujan di Kota Parapat itu yang mempersatukan kita dalam dekapan dingin. Aku yakin kau pun pasti benci pada cuaca dan angin yang membuat gigi gemeretak pada senja penghujung bulan September itu. Untung wajah danau lembut ditindih kabut, sehingga kita masih bisa berbahagia melayarkan pandang, meski tak ada kapal yang beranjak dari dermaga.

Tapi berkeras kau sedingin kulit yang membeku dengan bibir kelu. “Kita bertemu karena hujan," katamu, "Kita bertemu karena hujan jatuh, bukan karena aku pelacur.”

Sigap kutangkap jemarimu saat kau berlari sebaik kalimat yang kubenci itu meluncur dari bibirmu.

“Aida, dengarkan aku dulu!”

“Tidak!”

Kau berlari seperti anak panah menusuk jantung. Aku kecewa, sebab telah bersetia aku mengibadahi senyum dan ranum bibirmu, bahkan kurangkai jadi doa tulus sehalus hati segala ibu. Aku belum pernah berkhianat pada nilainya, tapi sekeras dendam kautepis tanganku dan berlari.

Kini kuingat semuanya: ujung gaunmu menyentuh tanah, kau berlari dengan kaki-kaki kecil, seperti peri suci yang datang menyelamatkan anak-anak luka dari ancaman bahaya. Tapi kau bukan peri. Larimu yang cepat, kutangkap seperti gambar luka yang bergerak seirama bahumu yang berguncang menahan tangis. Aku tak menyusulmu. Bukankah luka selalu membuatmu seperti kuda yang dilecut pangeran berjubah, melesat menerobos arah tanpa ujung? Kemarahan memburu dan ketakutan berlari, mungkin memang tak selalu punya arah.

Lalu senja ini, sesuatu membuatku berkunjung lagi. Sesuatu yang serupa tangis balita kehilangan ibu, sesuatu yang seperti tangis anak-anak kehilangan boneka kesayangan. Gadis pelayan kedai yang kau cemburui itu--sebab dulu aku selalu datang ke kedai itu--sudah tak ada lagi. Kedai juga sudah berganti tuan. Kini dindingnya tak lagi terbuat dari papan buruk, sudah direnovasi lebih artistik. Dindingnya terbuat dari batang-batang bambu yang dirajut dan dicat berwarna coklat dengan motif gorga¹. Mengopi kini lebih nyaman di sini, sekaligus menikmati pedih merindumu. Tapi sebuah gambar bermotif itik pulang petang² yang terpampang di salah satu sisi dinding, memunculkan Lancang Kuning di kepalaku.

Aida, raja-raja berlayar. Berlayar di permukaan Danau Toba yang tampak seperti hamparan kabut yang diam. Tapi ini masih senja. Aku tak ingin berlayar di laut anganku hingga malam. Selepas ini aku mungkin akan pergi ke Tomok, tidur dan beristirahat di hotel itu, tempat yang akhirnya kausebut ujung peziarahan birahi.

Di sana aku akan berlayar seperti raja, berlayar di atas semua ingatan yang melaut karena airmata. Sebab Lancang Kuning adalah perahu yang hanya boleh dinaiki raja-raja atau sultan, panglima dan serdadu, tidak bagi rakyat jelata seperti aku-kau. Tapi kau katakan kau sudah pernah menaiki Lancang Kuning. Aku tentu kaget. Tapi membantah aku tak sempat, bibirmu langsung menyuarakan pemaknaan kini. "Mobil-mobil mewah plat merah bernomor 1 itu dapat dimaknai serupa Lancang Kuning. Para Walikota, Bupati dan Gubernur adalah raja-raja itu. Jangankan menaiki Lancang Kuning, eh mobil, raja-raja itu bahkan kerap menaikiku. Ha..ha...! Pelacur berkelas!" katamu.

Senja mulai habis. Tapi gerimis masih jatuh. Kulempar pandang ke jalan berliku dan mendaki ke arah Kota Pematangsiantar. Di jalan basah, iring-iringan truk merangkak lambat, serupa gerbong kereta yang tak saling peduli. Jika sempat, gerbong yang satu mendahului gerbong lain, menyalib celah dan sempat yang serba sempit. Aneh, gerbong yang saling mendahului. Maka, di depan maut menanti dan menguntit marabahaya di belakang.

Aida, sungguh nyawa tak sesederhana tangismu, tak juga seberat deru mesin truk-truk itu. Sebab tebing curam sepanjang jalan itu bisa saja runtuh, atau bola stir pecah, lalu truk tergelincir, terbalik-balik di lereng pebukitan dan terjun bebas ke Danau Toba. Lalu kau tahu dari koran bahwa supirnya adalah lelaki yang paling kau cintai! Dia tewas mengenaskan. Ikan asin yang dibawa dari Sibolga, tumpah dan berserak dan mengapung di Danau Toba. Ikan-ikan dari Laut Pantai Barat Sumatera jadi makanan bagi ikan-ikan di Danau Toba. Pertemuan yang menegangkan dan menyenangkan, bukan?

Ah, perjumpaan kita itu. Persis seperti senja ini. Segelas kopi terhidang di meja, mengepulkan uap hangat dan aroma sedap. Kuseruput sedikit demi sedikit sambil menyedot berbatang-batang rokok. Aku singgah di kedai ini sungguh bukan karena hujan. Sebab sejumlah daerah terpencil di Riau dan di Simalungun telah kujelajahi tanpa pernah takut dan takluk pada hujan. Aku masih tetap seperti anak-anak Sakai yang suka telanjang, bermain-main dalam hujan, jadi lelaki penangkap hujan, lelaki yang menangkap hujan dan memain-mainkan hujan di tanah becek, seperti mengaduk aib nasib.

Aku benar-benar lelah senja itu, sepulang menyusuri pantai Parapat, mengambil foto-foto yang kubutuhkan untuk sebuah tulisan features yang kupersiapkan. Parapat sungguh sudah luka. Air danau sangat kotor dan penuh dengan sampah-sampah plastik. Limbah domestik dialirkan tanpa hati dari rumahtangga dan hotel-hotel ke danau, padahal sudah ada instalasi pengolah yang siap menyedot limbah-limbah itu. Pantai pasir dikapling, ditembok dengan batu-batu cadas, lalu ditimbun. Di atasnya berdiri kafe-kafe kumuh tempat para pemabuk dan pelacur menari-nari setiap malam. Dentuman musik dan teriakan-teriakan maksiat menguar dari kafe-kafe buruk itu setiap malam. Sementara air danau beriak tenang, bersejiwa dengan malam yang lebih pedih dan sunyi.  Ah, danau yang dilupakan. Tak kunjung aku bertemu dengan roh Parapat sebagai sebuah negeri yang diberkati, seperti kini aku kehilangan jejak teduh yang pernah ditoreh matamu. Semua telah dirusak kerakusan, seperti pengusaha tak hanya mengambil rotan dan madu lebah, tapi juga menggunduli bantaran sungai dan hutan adat Sakai.

"Kenapa harus Sakai?" tanyamu.

"Kenapa kau harus bertanya kenapa harus Sakai?"

"Pleaseee...!"

Maka singkat kukisahkan: aku tumbuh di Silobosar, satu dusun terpencil di Simalungun, hanya beberapa kilometer dari sempadan kawasan hutan register 18. Aku besar di tepi hutan itu, di antara anak sungai yang dahulu ikannya masih banyak. Kami seperti pengembara yang tertutup dari pintu dan lalu-lintas kehidupan. Aku kecil jauh dari hiruk peradaban, seperti anak-anak Sakai, Akit, atau Rawas di Hulu Sungai Siak, Bukit Batu, Bengkalis. Riau telah...

"Jangan teruskan. Ayo pergi. Kita harus bicara!" katamu. Suaramu bergetar. Aku lihat kau kau sedih dan hampir menangis.

"Ada apa?"

Kau tarik tanganku. Gegas kita tinggalkan kedai itu, meski hujan belum sepenuhnya reda. Berkendara ke arah Kota Pematangsiantar, berhenti di penginapan Batu Gajah. Kita, dua sejoli yang belum saling kenal, berbagi kisah, luka, airmata dan birahi di dalam kamar. Sudah berapa lamakah itu?

Aida, kini malam benar-benar luruh. Hujan masih jatuh. Tapi aku malas beranjak. Tomok mungkin tak lagi sekuat dulu menggoda hasrat, pikiran, dan mampu memanggilku. Sejak kau berlari dari hotel itu. Sejak semua berakhir tanpa ada yang harus disesali.

Kuseruput kopi. Lagi kunyalakan sebatang rokok. Iring-iringan truk di jalanan sudah mulai menyalakan lampu. Jika kau sedang di langit, tataplah pawai kunang-kunang itu. Aku masih tak mengerti kenapa kita harus bertengkar karena hujan dan pertemuan. Katamu kita bertemu karena hujan. Kataku bukan. Lalu amarahmu meledak.

Aida, kini aku merasakanmu. Aku mendengarkanmu.

Aku ingat senja baru saja berganti ketika kita gegas memasuki penginapan. Airmatamu terus tumpah seperti menyumpah malam, tapi aku tak bisa menduga apa yang membuatmu harus menyanderaku saat itu. Saat kau awali dengan berkata, “maaf, aku hanya bisa mengabarkan luka”, sesungguhnya aku sudah bersiap dirajam perih untuk sebuah cerita. Sebab airmata kadang jadi obat juga. Tapi busyet, kau hanya berkata bahwa kau sesungguhnya pelacur. Selebihnya pesta tubuh. Merasa tertipukah aku?

Tidak. Bukankah kau menjelma jadi jalan rinduku menuju semua yang galau? Sebab kemudian, “Tentang Sakai itu, alasan kusandera kau malam itu. Aku tumbuh dan besar di bumi Riau, tanah kekasih sekaligus kubenci,” katamu, ketika hatimu hatiku tak lagi berjarak.

Lalu cerita berlintasan jadi gambar. Ada penjual nenas di jalan raya Pekanbaru-Bangkinang, debu pekat beterbangan sepanjang jalan Pangkalan Kerinci-Sorek-Ukui-Rengat. Memasuki hutan di perbatasan Riau-Jambi, jalan bisa seperti warna kematian, apalagi hujan sedang jatuh. Sangat dingin, beku, dan di badan jalan merayap kabut. Menegangkan ketika berkendara. Lalu sesekali ke Taluk Kuantan, meluncur ke Bengkalis. “Abang, itu tak sekedar cerita perjalanan. Itu latar film berjudul Aida ini.”

Kita berdua di jalanan sunyi Kota Pematangsiantar, suatu malam Lebaran yang berhujan. Tak hendak kugenggam jemarimu, sebab segala hormat masih diletak di hati orang-orang yang bertakbir di sekeliling kota, merayakan kemenangan.

Lalu kau mulai dari suara beduk itu. Setelah diangkut Negara dari berbagai tempat di Pulau Jawa, desa yang kami diami di Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, mulai tumbuh dan berkembang menjadi desa transmigran mencengangkan. Itu semua berkat kegigihan orang-orang bertahan hidup. Kelak, orang-orang mulai enak menikmati hasil sawit yang melimpah. Tak sulit bagi warga setempat untuk membeli sebuah mobil yang bagi orang kota mungkin harus dicari dengan sulit, atau mudah dengan cara Orde Baru.

Tapi bapakmu mati. Sebelumnya ratusan orang datang memburu rumahmu. Suatu malam. Membawa obor sembari memukul-mukul kentongan seirama takbir.  Bapakmu mencoba menghadang orang-orang itu dan bertanya apa gerangan yang terjadi. Tapi orang-orang itu menuduh bapak memelihara sundal. Ibumu disebut sundal. Bapakmu melawan. Dan mati di tangan orang-orang itu. Kelak, kau tahu bahwa mandor perkebunan pernah menyusup ke rumahmu. Memperkosa ibumu. Tapi warga menuduh ibumu sudah kerap bersetubuh dengan mandor-mandor di kebun itu. Beda hari beda orang. Warga bilang, bapakmu membiarkan hal itu terjadi karena dia memungut uang dari mandor-mandor. Setelah itu, Air Molek menghantar sejarah perjalananmu. Dari sana mengembara ke Medan, lalu memilih jadi pelacur di Kota Parapat. Kau pertama kali bersetubuh dengan peneliti, kaum pintar yang mengajakmu mengunjungi kampung-kampung sakai. Setelah itu, kau dijual kepada pejabat-pejabat yang mencintai tubuhmu. Kini aku mencintai sepenuhmu. Aida, kau di mana?

1.    Gorga:  Ornamen Batak Toba
2.    Itik Pulang Petang: Salah satu motif yang konon tertera di Lancang Kuning


Pematangsiantar, Juli 2007

Bagikan:

19 Januari 2016

Karya Sastra Indonesia Berbahasa Inggris Masih Minim

SOLUP - Jumlah karya sastra Indonesia yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris masih sangat sedikit. Indonesia perlu mencetak karya sastra berbahasa Inggris lebih banyak untuk bisa mengorbit ke dunia internasional. Saat menjadi “Guest of Owner Frankfurt Book Fair 2015”, Indonesia sempat kesulitan mempersiapkan buku-buku berbahasa Inggris yang berpeluang dibaca oleh masyarakat internasional.


“Dalam hal ini Indonesia bisa memenuhi target, tapi dengan upaya luar biasa. Ada yang dikarbit, diterjemahkan namun kurang baik, segala macam,” kata Senior Editor Kepustakaan Populer Gramedia Christina M Udiani di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Christine, Frankfurt Book Fair merupakan langkah pertama untuk membawa nama Indonesia ke dunia internasional, sehingga buku-buku karangan anak bangsa bisa mengambil bagian di dunia.

Rupanya, karya sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris menjadi jembatan agar buku-buku tersebut bisa dinikmati secara global. Christine mengisyaratkan bahwa meskipun ditulis dalam bahasa asing, hal tersebut tidak akan menghilangkan orisinalitas atau makna dari buku itu sendiri.

Ia menambahkan bahwa di Indonesia sendiri, sudah banyak pembaca yang membeli buku-buku yang ditulis dalam bahasa Inggris, mulai dari buku untuk segmentasi anak-anak hingga orang dewasa. KPG baru saja menerbitkan antologi cerpen berbahasa Inggris karya Rain Chudori berjudul “Monsoon Tiger and Other Stories”. Karya ini mengisahkan pengalaman cinta perempuan dalam berbagai sisi.

(sumber: int/newtapanuli)
Bagikan:

11 Januari 2016

Tarian Sunyi

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Tarian Sunyi

selalu kami mengukir gemuruh doa-doa jadi lorong sunyi di rongga darah. sembahyang kami menajam, melesat melayari samudera di sepanjang luka dada. kami ibadahi gerak lancang yang melukis gemulai ombak di dinding gelisah. maka, gurindam yang dibungkus tahajud menyeru jiwa kami dengan merdu cahaya. tapi mengapa kami selalu terkulai di pantai lengang berwarna kelam yang pedih?

kami ingin menari. menggugurkan letih dari sukma pucat kami, tapi rintihan gelombang terlalu hebat meledakkan denyut nafas kami.

kami lalu pasrah. kami hanyutkan pahatan-pahatan pedih di atas airmata. tapi sungai yang menyeringai itu tetap saja mengingau tentang luka angin, yang resah menerbangkan rindu laut ke pebukitan sujud kami, yang gelisah mengirimkan aroma pantai ke hutan-hutan rakaat kami. maka tangisan memahat dan mewarnai jiwa kami jadi sejarah sunyi, bergerak di sepanjang nafas leluhur yang mengendarai geliat sepi dalam kedatangan abad-abad ke dalam dada kami.

bagaimanakah kami harus menari di jantung sunyi, sementara angin tak lagi merekan petitih putih dari abad lampau?

tapi lihatlah. di antara kibasan selendang abad masih tercatat gema pantun. masih menderu suaranya seperti ombak yang menjadikan laut bernafas nyaring, serupa gendang, sewujud rebana. memantulkan biru ke angkasa hati kami yang gemetar mewarnai luka.

maka camar mengepak, terbang melukisi langit dengan warna-warna doa kami. dari lukisan itu, gurindam yang kami sahut curah dalam wujud hujan, membasahi jiwa kami yang selalu bernyanyi dalam gerak sunyi, dalam tarian-tarian sunyi.

Pekanbaru, 07-12-03



Nubuat

Air menulis syair kepada sungai: kau tak bisa memaksa orang mencinta dan menciptamu sebulat bulan dan setinggi malam. Sebab bagi burung yang birahi, kesetiaan adalah sangkar pengap yang bersiap diacak badai.

Maka bulan hanyut, telanjang bagai kumbang, dan burung-burung memetik kematian dari jemarimu. Aroma lumut pergi untuk selama-lamanya. Tabahlah, kelopak bunga-bunga sudah gugur dan warna membeku jadi bangkai.

Sejak itu, angin melemparkan sejarah busuk ke mulutmu. Itulah giliranmu menelan, melarung kutuk ke dalam perut. Selanjutnya adalah surga, aroma liar candu, yang memeluk takdir sedingin batu.

Sungai menulis sajak kepada air: diamlah, ijinkan kumakan segala ikan, merayakan orang-orang yang lupa.

2010-2015 

Tungku

Pada uap nasi di piring
Panas tungku tak ingin hilang
Sebab jejak bara di dinding batu
bukan belenggu api di ujung kayu
Kau tahu, sesuatu telah pasrah jadi abu
Agar kau cecap madu dalam empedu

Sejauh itu kuturuni lembah kesetiaan
Sebab bersama segumpal nasi di piring
Lumpur, jerami dan sekam juga kau telan
Seolah membuka lumbung rahasia petang

Lihatlah, api yang membara di tungku
Seperti angin menyusur kelokan pematang
Tapi kau tersesat di lorong sunyi itu
Mengerang di jalan-jalan yang hilang

Kau tahu, sesuatu telah pasrah jadi abu
Aku birahi meragukan kesetiaan


Siantar, Februari 2008


Kembara

Duri ikan mas di piring kaleng, tumpukan belulang anjing di meja kayu, menjerit tentang daging yang hilang. Maka kita tahu kedai itu sudah lenyap dihisap malam. Pesta hanya ampas bual, sisa kecut sendawa para pemabuk. Bau tuak mencekik udara, mengirim dingin dan murka batu ke lubang nafas kita. Mimpi betapa pahit, tidur senantiasa kecut.

Tapi terdengar dengkur pemabuk itu menggetar, merampas siul katak dan lagu jangkrik di parit lubuk. Maka sampailah kita di lorong mimpi penyair melolong kasur lapuk. Entah berguru pada dosa siapa, ia menggulung ulos dan bernyanyi menyeret-nyeret bulan, "Saatnya menenun sajak, saatnya menjahit sajak, sebab lama kematian minta ditunggang."

Lalu sunyi saling menggonggong dengan anjing, mengirim kutuk gondang dari jurang-jurang jauh. Petani tua merinding dan menepi di mulut kedai, mengelak ludah dan tulah bibir datu-datu. Duri dan tulang belulang di meja kayu memerangkap mata dan jantung lelaki itu ke dalam tuak. Ia menyeret liur menjalari sepi kampung, merengkuh sedih paling rampung.

ke mana para pemabuk itu, Tuan? Ia merangkak, mencari surga di sepanjang dengkur mulutnya, merenangi lumpur di liang busuk parit desa. Ia menenun sajak di lorong tidur dan menjadi tahu: tak hanya daging hilang, lengang telah lama jua membunuh jantung. 

Kisaran, Desember 2009
Bagikan:

10 Januari 2016

Berkat Orang Batak Ini, Bahasa Indonesia Digunakan pada Pelantikan Walikota di Amerika

BENNY YP SIAHAAN (KANAN) ) (Foto: Int)
Bahasa Indonesia untuk pertama kalinya digunakan pada pengambilan sumpah jabatan Wali Kota Somersworth, New Hampshire, Dana S Hilliard, di City Hall Somersworth, New York, Amerika Serikat, Kamis (7/1/2016) lalu.

Ceritanya, Konsul Pensosbud KJRI New York Benny YP Siahaan bertindak mewakili KJRI New York sebagai tamu undangan khusus di acara itu. Benny mengatakan, bahwa Indonesia merupakan satu-satunya perwakilan negara asing yang hadir pada acara tersebut.

“Begitu dekatnya hubungannya dengan Indonesia, Wali Kota sampai meminta agar pembacaan ikrar setia (pledge of allegiance) juga dalam bahasa Indonesia, selain dalam bahasa Inggris dan Perancis,” ujar Benny, Sabtu (9/1/2016), seperti dikutip Antara London.

Adapun pembacaan janji setia berbahasa Indonesia itu dilakukan oleh seorang pelajar kelas menengah Somersworth.

Saat itu, KJRI New York memberikan cendera mata berupa kemeja batik sebagai ucapan selamat atas pelantikan Hilliard. Benny menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Hilliard atas perhatian dan dukungannya kepada masyarakat Indonesia di Somersworth yang berjumlah sekitar 500 orang.

Hilliard pun berterima kasih atas pemberian batik itu. Ia berjanji akan memakai batik yang diberikan pada acara pesta masyarakat pada Februari 2016. ***

(sumber:pojoksatu)
Bagikan:

06 Januari 2016

Rumah Adat Batak Berusia Ratusan Tahun Terbakar

Rumah adat Batak terbakar. Int.
SOLUP - Rumah adat Jangga Dolok berusia ratusan tahun ludes terbakar di Huta Lumban Binanga, Desa Jangga Dolok, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Jumat, 1 Januari 2016 malam.

Hingga kini pihak kepolisian dan Pemkab Tobasamosir masih mencari tahu penyebab terbakarnya 4 rumah wisata adat tradisional, dan satu unit rumah pembuatan tenun ulos di dusun Lumban Binanga desa Jangga Dolok, kecamatan Lumbanjulu tersebut, pada malam pertama di tahun 2016.

Meskipun tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, namun kerugian material menyangkut berkurangnya nilai wisata dan sejarah adat istiadat masyarakat setempat, membawa duka mendalam bagi keluarga yang juga pengelola rumah wisata adat dan masyarakat sekitar.

Rumah wisata adat ini merupakan icon kabupaten Tobasamosir, dan konon kabarnya usia rumah kayu alam beratap ijuk berdinding kayu ini sudah berusia seratusan tahun.

Bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, rumah asli tradisional ini lebih dikenal dengan nama Rumah Jangga. Lokasinya berkisar 25 kilometer dari pusat wisata Danau Toba di Prapat.

Ressi Dwiana, pengurus Sumatera Wonder Trips menilai terbakarnya rumah adat wisata tradisonal Jangga Dolok ini, membawa kerugian besar terhadap berkurangnya nilai history budaya Batak.

Sehingga ke depan harapannya terjadi revitalisasi oleh pemerintah, dengan membantu perehaban rumah wisata adat yang baru, dengan tidak menghilangkan nilai budaya yang ada.

“Ini merupakan kerugian yang besar bagi sosial masyarakat, karena kehilangan history tidak dapat tergantikan, kami berharap kiranya pihak pemerintah dapat melakukan revitalisasi daerah tersebut. Karena banyak wisatawan melakukan perjalanan wisata melihat rumah adat Batak,” ujar Ressi Dwiana. ***
Bagikan: