28 April 2017

Mampus Kau Dikoyak-koyak Sepi


Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Februari, 1943


Itulah salah sajak Chairil Anwar yang sangat legendari dan bertenaga. Kini, Chairil banyak diperbincangkan sejalan dengan rencana pengusulan namanya menjadi pahlawan nasional. Wacana itu terus bergulir dan mendapat sambutan cukup kuat dari publik.

Nukilan sajak Chairil di acara Parade Puisi Chairil.
Sepanjang Jumat (28/4/2017), ratusan pengagum Chairil Award dari kota dan kabupaten di Sumbar, Riau hingga Sumut, memadati halaman rumah gadang sang pujangga itu, di Parik Dalam, Nagari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumbar Mereka berkumpul, untuk menyukseskan Parade Puisi Chairil yang dihelat Forum Inisiator Chairil Anwar Menuju Pahlawan Nasional.

Wakil Ketua Forum Inisiator Iyut Fitra menyebut, Parade Puisi ini dimulai dengan kegiatan diskusi publik dengan tajuk "Chairil Anwar di Antara Pemuda Pergerakan Kemerdekaan". “Diskusi itu menampilkan pembicara  Yudilfan Habib dengan moderator Nasrul Azwar alias Mak Naih,” kata Iyut Fitra seperti dilansir Republika.co.id, Jumat (28/4/17).

Acara dibuka secara resmi  Bupati Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Irfendi Arbi. Kegiatan ini diawali dengan musik tradisi gugus II Taeh Baruah dengan judul "Mandapek".

Selain diisi dengan penampilan dan pembacaan puisi oleh sederet budayawan, sastrawan serta utusan komunitas sastra di Sumatera Barat, acara juga menampilkan puisi pelajar di Limapuluh Kota. "Sampai Jumat malam, ada kegiatan penampilan puisi, pemutaran film dokumenter dan sirompak Taeh," ujar Iyut Fitra.

Karya-karya puisinya selalu menggelorakan perlawanan atau pun pemberontakan dalam bentuk karya sastra. Mungkin dipengaruhi oleh suasana perjuangan ketika itu, puisi-puisi Chairil Anwar seolah menginspirasi banyak orang untuk melawan penjajah.

Dia dikenal sebagai pelopor sastra angkatan 45 dan sekaligus sastra modern. Pengetahuannya yang luas atas banyak bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman membuat karyanya tersebar luas. Karyanya pun terus dikenang dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan hingga sekarang puisi-puisinya yang khas terus diminati.

Seperti salah satu karya puisinya Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi, Chairil Anwar pun seolah benar-benar hidup sampai sekarang dan entah benar sampai seribu tahun ke depan.

Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun. Dia dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis.

Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau.

Ia masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.Sebagai anak tunggal, orangtuanya selalu memanjakannya.

Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orangtuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.

Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orangtuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahi Chairil dan ibunya.

Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.

Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. (berbagai sumber/int)

BACA JUGA: Chairil Anwar Diusulkan jadi Pahlawan Nasional
Bagikan:

25 April 2017

Cinta Ajip Rosidi-Nani Wijaya akan Hadir dalam Bentuk Karya Sastra


SolupL - Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berada di area Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, menjadi saksi bisu pernikahan tokoh penting sastra Indonesia Ajip Rosidi dan aktris senior Nani Wijaya pada Minggu (16/4/17) lalu.

Ajip menikah dengan Nani Wijaya
Kedua keluarga dan kerabat dekat mereka pun turut hadir menyaksikan pernikahan usia senja pasangan Ajip Rosidi dan Nani Wijaya. Prosesi pernikahan yang berlangsung selama satu jam ini berjalan lancar.

"Saya tidak akan memberikan batasan kepada istri saya untuk terus beraktivitas sesuai profesinya sebagai aktor. Tapi, saya tetap akan mengingatkan untuk memperhatikan keluarga," ucap Ajip Rosidi usai menjalani prosesi akad nikah.

Keduanya memutuskan menikah di Masjid Sang Cipta Rasa karena masjid tersebut memiliki sejarah penting dalam perkembangan Cirebon. Selain itu, keduanya merupakan warga asli kawasan timur Jawa Barat.

Ajip Rosidi berasal dari Kabupaten Majalengka, sedangkan Nani Wijaya dari Cirebon. Bahkan, lanjut Ajip, kisah pernikahan mereka yang berada di usia senja tersebut akan dibukukan dalam karya sastra Ajip Rosidi.

Setelah resmi menikah, keduanya saling melempar pujian. Ajip mengakui Nani Wijaya sebagai perempuan yang cantik dan istimewa. Begitu juga Nani yang menilai Ajip merupakan suami yang baik dan istimewa. "Kami berharap pernikahan kami langgeng sampai akhir hidup kami," Ajip berdoa.

Pernikahan mereka pun disaksikan langsung oleh Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadingrat. Sultan mengatakan, pernikahan Ajip Rosidi dan Nani Wijaya ini menjadi momen yang penting untuk Cirebon dan sekitarnya.

"Ini sebagai contoh saja bagi yang muda khususnya diambil kisahnya yang kakek nenek saja masih saling menyayangi ingin hidup bersama apalagi yang muda," ujar Arief.

Dari pernikahan usia senja ini, Arief mengambil hikmah jika kasih sayang, kebersamaan, rasa saling berbagi itu sepanjang waktu dan selalu ada dalam benak manusia seutuhnya.

Sebelum keduanya menikah, Arief mengatakan keluarga dari Ajip Rosidi maupun Nani Wijaya sering berkunjung ke Keraton Kasepuhan. Tanpa diketahui media, mereka sering berbincang dan diskusi soal tanah perkembangan kelahirannya di pantura ini.

"Mereka memang sudah dekat dengan kami lama sekali dan kita kaget dong kok sudah sepuh jadi menikah. Ya, karena selama ini, mereka masing-masing enggak pernah bareng," dia mengungkapkan.

Arief pun mengaku pernikahan keduanya terbilang unik. Karena sosok Nani Wijaya sibuk dengan dunia akting dan seni peran, sedangkan Ajip Rosidi sosok yang sibuk dengan menulis.

"Rumahnya Pak Ajip Rosidi saja pilihnya di tengah sawah agar bisa fokus nulis. Kami doakan semoga langgeng dan bahagia selamanya," Sultan Arief mendoakan. (berbagaisumber/int)
Bagikan:

17 April 2017

Ini Buku-buku Sastra Berbahasa Batak, Halak Hita Harus Tahu...


Dalam upaya mempertahankan kelestarian Bahasa Toba, belakangan ini sejumlah sastrawan Batak mulai menulis dalam bahasa ibu, yaitu Bahasa Batak Toba. Sejauh ini, karya-karya masih terbatas pada torsa-torsa atau cerpen. Ke depan, kita tentu berharap agar para penyair Batak juga menulis puisi dalam bahasa Batak.

Berikut antara lain buku-buku sastra berbahasa Batak yang dapat dinkmati oleh semua Bangso Batak:

1. Tumoing Manggorga Ari Sogot, karya Saut Poltak Tambunan  
Sampul buku Tumoing.
Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) dan dianggap sebagai cikal-bakal kebangkitkan sastra Batak modern. Secara tematik, buku ini mengetengahkan berbagai kearifan lokal dan nilai luhur tradisional etnis Batak Toba.

Manggorga Ari Sogot jika diterjemahkan artinya menatap masa depan, boleh ditafsirkan sebagai seruan mengajak para sastrawan terus melahirkan karya sastra Batak bermutu.

Sang pengarang, Saut Poltak Tambunan, dalam suatu kesempatan mengaku prihatin dengan perkembangan karya sastra Batak yang semakin menurun dewasa ini, bahkan dianggap kurang mampu bersaing di tataran nasional. Sebab, apresiasi terhadap bahasa Batak itu dinilai cukup rendah, sehingga salah satu cara untuk menyelamatkannya adalah menuliskan bahasa Batak dalam bentuk karya sastra.

Buku ini memuat 15 hikayat setebal 169 halaman yang merupakan kumpulan cerita rakyat tentang kehebatan atau kepahlawanan tokoh-tokohnya.

2. Mangongkal Holi, karya Saut Poltak Tambunan

Buku Mangongkal Holi diterbitkan mengetengahkan banyaknya kearifan lokal dan nilai luhur tradisional etnis Batak. Sebagaimana kita tahu, mangongkal holi merupakan tradisi membongkar kembali tulang-belulang dan menempatkannya ke suatu tempat (batu napir) atau bangunan yang lebih tinggi dan mewah dari makam sebelumnya.

"Sebagai seorang penulis, saya merasa bertanggungjawab untuk menulis karya sastra berbahasa Batak," ujar pengarangnya.


3. Mandera Na Metmet, karya Saut Poltak Tambunan.

Novel ini diterbitkan Selasar Pena Talenta tahun 2012 dengan tebal 143 halaman. Mandera na Metmet membawa kita untuk membayangkan kondisi anak-anak Batak yang ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan jiwa kekanak-kanakan mereka.


Cerita Mandera na Metmet mengambil setting perjuangan kemerdekaan sekitar agresi militer Belanda I sekitar tahu 1947–1948, yang dituturkan oleh tokoh Ompung yang begitu akrab, komunikatif dan dirindukan oleh cucu-cucunya Batara, Uli dan Hasian. dan kemungkinan besar terjadi di sekitar Onanrunggu Sipahutar, agak mirip dengan gambar yang dibuat menjadi cover dari novel ini.

Kepiawaian menyusun struktur cerita dalam buku ini, membuat kita berada pada posisi Batara, Hasian dan Uli yang selalu penasaran untuk segera tahu kelanjutan cerita tokoh Ompung. Rasa penasaran ini selalu terbentur dalam keterbatasan waktu dan disiplin yang ditetapkan oleh orangtua mereka.

Jeremia dan Jekjek kita temukan menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Anak-anak berumur sekitar 12–14 tahun, tidak bersekolah. Mereka memahami arti merdeka, penjajahan, makna keberanian, kesetiakawanan dan nilai-nilai perjuangan, bukan dari bangku sekolah, melainkan dari persoalan-persoalan kehidupan yang mereka saksikan masa itu.

4. Embas Sian Dakdanak

Buku ini merupakan kumpulan cerpen karangan berbagai penulis Batak Toba. Secara keseluruhan, karya Saut Poltak Tambunan masih tampil dominan dalam buku. Sejumlah pengarang lain yang ikut menyumbangkan karya dalam buku ini antara lain Erika Pardede, S Mida Silaban, Rose Lumbantoruan dan Seri Swanty Hutahaean.

5. Manigat Sihol, karya S. Mida Silaban

Buku ini berisi 10 cerpen berbahasa Batak Toba karya Nai Pasca (S Mida Silaban). Isi cerita antara lain memotret kehidupan seseorang yang tumbuh dan dibesarkan di alam desa tradisional, hingga berhasil di ibukota, dan mendapatkan tantangan untuk merawat dan mewariskan nilai-nilai luhur habatahon kepada generasi muda yang dikepung budaya kota yang berbeda.

Pada cerpen pembuka Maronan misalnya, terlihat bagaimana seorang gadis kecil lugu digembleng mengemban sebagian tanggung jawab ekonomi keluarga, namun tetap dapat menikmati kehangatan siraman kasih dan interaksi sosial yang bersahabat dan sportif.

Sementara ada cerpen berjudul Martandang, potret romantika pergaulan teruna zaman dulu sebelum era TV masuk desa mengkonfirmasi bahwa hatomanon dan sopan santun seorang gadis belia mampu merontok luluhkan panah asmara pemuda idola, tanpa si gadis harus perlu gintal dan bergaya ria. Kegalauan orang tua yang membesarkan anak-anak di kota metropolitan, di tengah kesibukan masing-masing, tersiasati dengan baik dalam interaksi nenek–anak–cucu.

6. Sonduk Hela, karya Tansiswo Siagian

Ini buku kumpula cerpen karya Tansiswo Siagian atau alias Palambok Pusupusu. Buku Sonduk Hela terbit 225 halaman, diterbitkan Selasar Pena.

Sampul buku Sonduk Hela.
Ada sepuluh cerita pendek di dalam Sonduk Hela, yaitu Sonduk Hela, Marguru tu Datu, Martuhan do Hami Jala Marta­ngiang, Mar-Medan, Bondar Pa­ridian, Di Tonga ni Dua Ina, Ma­sisagak, Holong Pamuhai, Mago Pusaha dan Ingonghu Sidua Marga.

Dari ke sepuluh cerpen ini, penulisnya memilih Sonduk Hela menjadi judul bukunya. Tentu saja penulis memiliki pendapat, kenapa judul buku itu harus Sonduk Hela. (Panda MT Siallagan/bbs/int)
 
Bagikan:

14 April 2017

Puisi-puisi Penyair Indonesia tentang Paskah

Gerson Poyk

Via Dolorosa


makin terasa ada kesementaraan
berbunga dalam dada
bila kematian tadi di bayang sendiri
tanah kelahiran selalu menerima kepedihan umur
sampai pun suara seru: aku pun pergi tua selalu tersua
matahari pasir

aku pun ingin kembali, wahau matahari mawar
tinggal kini seberkas cahaya di mesin desis
dalam keinginan berjaga keinginan membela
mata yang kulalui genangan rawa tepi kota yang bengis
dengan sisa iman yang terkikis oleh tangis
kuterbang dari jiwa yang mengambang di rawa kota yang jauh
sebab sayatan ratap pedih diri sendiri
dosa dan binasa pernah padanya berkecup ramah
mengajak kembali ke tanah lahir yang menerima kepediman umur

wahai udara yang berdarah pengorbanan
dalam segala ruang, detik dan ketiadaan
sampai pun terbongkar hancur satu elektron oleh pencari
engkau masih buat apa bagi yang belum puas terima

Sumber: Dari Rote ke Iowa (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2016)

Ilustrasi.

Sitor Situmorang

CHATEDRALE DE CHARTRES


Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih

Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari kiamat

Menangis ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata

Ketika malam itu sebebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
TErsedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis

Pada ibu, isteri, anak serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu

Demikianlah kisah cinta kami
yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah kisah hari Pasah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan siteri yang setia
Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
BErsatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lamabaian cinta setia dan pelukan perempuan

.....Demikianlah
.....Cerita Pasah
.....Ketika tanah basah
.....Air mata resah
.....Dan bunga-bunga merekah
.....Di bumi Perancis
.....Di bumi manis
.....Ketika Kristus disalibkan

1953


Joko Pinurbo

Celana Ibu


Maria sangat sedih
menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian
Yesus bangkit dari mati,
pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa
celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas!” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

(2004)


Chairil Anwar

ISA


          kepada nasrani sejati

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar Tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

12 November 1943

Bagikan:

13 April 2017

Begini Cara Mulajadi Nabolon Menciptakan Bumi dan Segala Isinya


SolupL - Seluruh bangsa di muka bumi mempercayai adanya Kekuasaan di luar dirinya. Kekuasaan itulah yang dipercaya sebagai Maha Pencipta, yang menjadikan langit, bumi dan segala isinya. Bangsa Batak juga termasuk puak yang percaya adanya Maha Pencipta, yang mereka sebut Debata Mulajadi Na Bolon atau Ompu Raja Mula-mula atau Ompu Raja Mulajadi atau Ompu Mulajadi.

Ilustrasi.
Kepercayaan orang Batak terhadap eksistensi Mulajadi Nabolon tersiar secara jelas melalui mitos atau silsilah. Menurut silsilah, seluruh alam raya, manusia dan mahluk penghuninya diciptakan oleh Mulajadi Nabolon, dan tampak adanya kesamaan dengan ajaran agama modern: bahwa segalanya diciptakan dengan firman. Bagaimanakah proses penciptaan menurut mitos dan silsilah? Berikut disarikan dari berbagai sumber:

1. Langit Tujuh Lapis

Hal pertama yang diciptakan Mulajadi Nabolon adalah langit. Di dalam mitos dikisahkan, langit ini terdiri dari tujuh lapis (langit sipitu lampis). Mulajadi Nabolon menciptakan tingkatan langit ini sebagai tempat roh-roh sesuai dengan status dan martabat. Dan setiap lapis ada penjaganya. (BACA: LANGIT 7 LAPIS DAN PARA PENGHUNINYA).  Menurut mitos itu, langit diciptakan berdasarkan firman. Jadilah, maka jadilah.

2. Sistem Cahaya

Setelah menciptakan langit, Mulajadi Nabolon kemudian menciptakan sistem cahaya, yaitu matahari, bulan dan bintang. Uniknya, mitos Batak menyebutkan bahwa matahari memiliki anak yang disebut dengan angkalau. Ada juga kisah bahwa matahari dan bulan tidak akur sejak diciptakan. Pernah terjadi perkelahian hebat antara keduanya. Bintang-bintang juga demikian. Disebutkan bahwa bintang-bintang itu diberi nama Ilala, Sijombut, Sigaraniapi, Sidondong, Sialapariama, Sialasungsang, Marihur, Martimus, Bianu, Borma, Sori, dan masih banyak lagi. Antara bintang-bintang ini, sering terjadi perkelahian.

3. Penghuni Benua Atas (Dewa-dewa)

Disebutkan bahwa langit adalah banua ginjang (benua atas). Setelah benua atas lengkap dengan sistem tata surya, Mulajadi Nabolon kemudian menciptakan para penghuni banua ginjang. Mahluk benua atas yang pertama kali diciptakan adalah Manuk-manuk Hulambujati. Manuk-manuk Hulambujati ini kemudian bertelur, dan dari masing-masing telur menetaslah dewa-dewa. Dari telur pertama, menetas Dewa Bataraguru dan Raja Odap-odap. Dari telur kedua menetas Dewa Debata Sori dan Tuan Dihurmajati. Dari Telur ketiga menetas Dewa Bala Bulan dan Raja Padoha.

Bataraguru, Debata Sori, dan Bala Bulan kemudian dikenal sebagai Dewata Tri Tunggal atau debata na tolu. Dari dewa-dewa inilah kemudian muncul ciptaan-ciptaan berikutnya seperti bumi yang dalam silsilah disebut banua tonga (benua tengah) dan banua toru (benua bawah).

4. Bumi/Tanah

Mitos mengisahkan, Bataraguru memiliki satu putra dan 6 putri. Putri bungsunya bernama Siborudeakparujar. Pada masanya, Siborudeakparujar dijodohkan dengan Raja Odap-odap, tapi Deakparujar menolak karena Raja Odap-odap buruk rupa. Singkat kisah, ia minggat dari langit dan meluncur ke lautan yang kosong dan hampa. Mulajadi Nabolon kemudian memberikan segumpal tanah karena Deakparujar tak sudi lagi pulang ke langit. Segumpal tanah itu kemudian bertambah luas dan jadilah daratan.

5. Mahluk Hidup

Mulajadi Nabolon kemudian menciptakan tumbuh-tumbuhan, mahluk-mahluk di bumi dan burung-burung yang bisa terbang.

6. Manusia

Setelah alam raya lengkap, pada akhirnya Deakparujar setuju menikah dengan Raja Odapodap. Lahirlah Ihatmanusia. Ihatmanusia kemudian memperanakkan Raja Miok-miok. Raja Miok-miok memperanakkan Engbanua. Eng Banua memperanakkan Raja Bonang-bonang. Raja Bonang-bonang memperanakkan Raja Tantandebata. Raja Tantandebata memperanakkan Si Raja Batak, manusia pertama di Tanah Batak. (bbs/berbagai sumber)

Bagikan:

12 April 2017

Aktris Cantik Maudy Ayunda Ketagihan Baca Puisi

 
Maudy Ayund.

SolupL - Aktris cantik Maudy Ayunda membacakan salah satu surat Kartini dalam Panggung Para Perempuan Kartini dengan penuh penghayatan pada Selasa (11/4/17) di Museum Bank Indonesia, Jakarta.

Maudy mengatakan, ia memang ketagihan membacakan puisi dan karya sastra lainnya. "Saya memang ketagihan membacakan puisi, kutipan ataupun surat karena sedikit mengingatkan saya pada dunia teater. Soalnya dulu saya suka banget main teater musikal yang sekarang sudah jarang banget," katanya.

Pelantun lagu Untuk Apa ini juga mengaku sudah beberapa kali tampil membacakan puisi dan karya sastra lain, salah satunya dengan tema Kemerdekaan pada tahun lalu yang juga digelar oleh Media Tempo.

Menurutnya, menjadi salah satu pengisi acara seperti ini termasuk caranya untuk memperingati hari Kartini.

"Kalau misalnya tidak ada undangan acara seperti ini, ya saya memperingati hari Kartini dengan membaca karya-karya atau kutipan Kartini yang banyak dan inspiratif banget," tutup lulusan Universitas Oxford ini. (bbs/int)
Bagikan:

10 April 2017

Chairil Anwar Diusulkan jadi Pahlawan Nasional


SolupL - Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional yang terdiri dari sejumlah wartawan dan budayawan, menggelar rapat di Sarikayo Kopi, Payakumbuh, Sumbar, Sabtu (8/4/17). Mereka menggagas sekaligus mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk sang pujangga Chairil Anwar.

Tembok bertulis penggalan Chairil Anwar. [Foto: Inernet)
Ketua Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional, Gus TF  Sakai,  mengatakan, Chairil Anwar sudah sangat pantas diberi gelar pahlawan nasional. Hal itu karena lewat karya-karyanya, sastra menjadi bukti sebagai alat perjuangan.

"Kemudian, Chairil punya hubungan erat dengan pejuang sekelas Sutan Syahrir, Sukarni dan Khairul Saleh," tutur Gus TF dalam rilisnya kepada media, Minggu (9/4/17).

Selain Gus TF, sastrawan dan budayawan lain yang tergabung dalam forum adalah Khairul Jasmi (peraih Press Card Number One/pemimpin redaksi Harian Singgalang), Iyut Fitra, Yulfian Azrial, Yudilfan Habib, Rayfoster WM, Muhammad Bayu Vesky dan Yusra Maiza, Fajar Rillah Vesky, Adri Sandra, Nasrul Azwar, Dr Yusril serta Ade Suhendra.

Penyair Iyut Fitra menambahkan, dalam waktu dekat, Forum ini berencana menggelar serangkaian kegiatan dalam mewujudkan gelar pahlawan nasional untuk Chairil Anwar. "Kita akan segera laporkan hasil pertemuan ini secara berjenjang. Bupati Limapuluh Kota juga ikut mensupport," ujarnya.

Selain menggandeng Pemkab Limapuluh Kota, Forum nantinya akan meneruskan hasil rekomendasi Pemkab kepada Gubernur Sumbar untuk kemudian diusulkan ke Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Sosial RI.

Adapun susunan pengurus dan anggota Forum Inisiator yakni, Ketua Gus TF Sakai, Wakil Ketua Iyut Fitra, Sekretaris Yulfian Azrial, Wakil Sekretaris Rayfoster WM dan Bendahara Yusra Maiza.

Sementara itu, wartawan senior Khairul Jasmi menyebut, wacana gelar pahlawan untuk Chairil Anwar bukanlah muluk-muluk. "Kita serius soal ini," kata KJ, sapaan akrab Khairul Jasmi.

Setali tiga uang, Yulfian Azrial menyebut, jika WR Supratman dinobatkan sebagai pahlawan nasional lewat lagu Indonesia Raya, maka Chairil Anwar juga berjuang lewat karya-karya puisinya yang monumental.

Selain itu, karya puisi Chairil Anwar, menurut Rayfoster WM, banyak menjadi bahan diskusi di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi sebagai karya sastra yang menggugah nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme.

Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun. Ia dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" yang diambil dari karyanya yang berjudul Aku. Dia seorang penyair terkemuka Indonesia dan diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh HB Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, dll. (bbs/int)

Simak video kisah hidup Chairil Anwar di bawah ini:


 
Bagikan:

08 April 2017

Sinamot, Sebuah Ujung Kisah


Oleh Panda MT Siallagan

Akhirnya, gelisah itu berujung. Pukul 06.00 WIB, kabar itu tiba. Getar ponsel seperti sengat listrik di kepala. Dadaku sesak, sekaligus lega. Dengan hati kosong, kukemas pakaian ke dalam tas. Hanya beberapa potong. Lalu berlari kecil ke kamar mandi mengambil sikat dan pasta gigi. Memungut ponsel dari atas meja. Memakai sepatu. Keluar dari rumah. Memanggil taksi. Berangkat pukul 09.00 WIB dari Bandara Hang Nadim Batam. Tiba di Polonia Medan pukul 10.00 WIB. Menyewa taksi. Pukul 13.00 WIB akan tiba di desa.

Ilustrasi.
Belum begitu lama sebenarnya. Masih empat bulan. Tapi aku tahu peristiwa itu telah menghabiskan seluruh kebahagiaan dan harapan bapak. Semua berawal dari sebuah Minggu pagi yang berhujan di bulan Maret. Aku pulang disambut hangat. Seekor ayam dipotong. Ngobrol usai makan. Dan aku disuguhi sejarah pedih perjalanan keluarga, yang harus kupedomani. Ibu, adakah sejarah orang desa menyerlah bagai cahaya. Semua menderita, bukan?

Tiba-tiba, “Sudah Maret. Juli kan rencana kalian? Bagaimana kabarnya? Harus disiapkan matang-matang. Bapak dan ibu memang tak ada uang, tapi akan berusaha untuk itu. Cari pinjaman sana sini kan masih bisa. Tak mundur lagi kan?” tanya ibu.

Ibu sepertinya tak siap mendengar kalau rencana itu gagal, seperti telah terjadi berkali-kali hanya karena ketiadaan biaya. Bapak diam, terbatuk untuk sisa sakit paru yang dideritanya sekian lama. Bapak sendiri telah bersusah payah dengan segala tenaga, tapi hasil dari kebun kakao tersedot untuk biaya perobatan yang tak sedikit selama beberapa tahun terakhir.

"Ibu, sepertinya kita harus bersabar lagi,” kataku.

“Maksudmu. Apa kau membawa kabar buruk lagi?” Bapak yang bertanya.

“Bapak, mungkin belum rezeki. Orangtuanya gagal memahami kita. Mereka minta sinamot Rp 50 Juta. Jadi untuk sementara aku berencana ke Batam. Banyak teman yang bisa membantu memberikan pekerjaan lebih layak di sana. Mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama, bisa kukumpul-kumpul biaya untuk itu. Bapak setuju?”

Bapak diam. Tertunduk. Tangannya agak gemetar meraih gelas berisi jamu di hadapannya. Di sampingnya, ibu menatapku dengan mata kosong, juga meraih gelas berisi air putih hangat, meneguknya dengan tenang. “Ya sudah, tak usah kau sedih karenanya,” berat suara ibu.

“Orang kecil itu memang susah. Dia ini yang tak tahu diri. Kau pikir gampang cari istri anak orang kaya. Coba kalau dulu kau mau dengan pariban-mu itu,” Bapak mengarahkan telunjuknya ke pelipisku.

Perdebatan malam itu berakhir. Ibu beranjak ke kamar. Sebelum tidur, ditembangkannya dua judul kidung jemaat yang sudah dihapalnya. Aku tahu dia sedih dan menangis. Bapak membaca di ruang tengah, sesekali terbatuk. Aku merenung di dapur. Meneteskan airmata. Sudah lama aku tak pernah menangis. Malam itu kesedihan benar-benar tidak tertanggung.

Tiga hari kemudian, aku berangkat. Bapak agak kaku, tapi ibu melepas kepergian itu dengan sesunggukan. Setua itu mereka harus menderita untuk ketidakpastian hidupku. Dan perempuan yang selama 7 tahun mengaku mencintaiku, selalu yakin dengan semua ukuran dan standar hidup yang ditentukannya. Dia membiarkanku pergi tanpa bertanya dan tidak berkata apa-apa tentang rencana pernikahan yang gagal karena angka. “Pergilah, semoga kau bisa,” katanya.

Tertikam duri rasa jantungku mendengar ucapan itu. Sama sakitnya ketika dia jatuh cinta pada rekan kerjanya dan bercerita betapa hebat laki-laki itu. Wajah bersih. Mobil bagus. Gaji besar. Lalu memvonis aku sebagai laki-laki bodoh dan pemalas.

Kini aku berada di dalam taksi yang meluncur cepat. Hampir menetes juga airmata. Tapi kutahan, kuraih bungkus rokok dan aku merokok setelah minta ijin dari supir taksi. Kuisap rokok sambil geleng-geleng kepala.

“Gelisah kayaknya, Bang. Apa buru-buru, biar kita tambahi kecepatan,” kata si Supir taksi.

“Oh tidak. Santai saja. Aku juga perlu menata hati. Aku sesak. Bapakku meninggal subuh tadi.”

“Oh maaf…”

“Tak apa. Semua orang akan kehilangan,” kataku.

Taksi menderu. Angin berhembus kencang dari kaca yang sedikit terbuka. Aku dan supir taksi diam hingga akhirnya aku tiba di desa. Tapi diam itu pecah ketika tangis ibu dan saudara-saudara yang lain meledak sebaik aku tiba. Jenazah ayah terbujur dengan tenang. Kuhidupkan rokok sekedar menenangkan hati yang berkecamuk.

Teringat aku pada Aida. Aku tak tahu apakah dia bersedih dengan kepergian bapak. Tapi kuputuskan tak memberitahu. Setelah pemakaman berakhir, aku cukup menemuinya dan mengatakan bahwa bapak sudah pergi dan tak ada lagi hal yang harus direncanakan secara buru-buru.

Dia mungkin akan tercekat dan memohon maaf untuk beberapa hal. Tapi kukatakan aku sudah lelah bersedih. Kutinggalkan dia dan kukatakan aku tidak akan kembali. Aku sangat sedih dan tiba-tiba tak ingat apa-apa lagi. Ketika siuman, pemakaman sudah berakhir. Kudengar orang bicara samar-samar.

“Gara-gara sinamot, tak ditunggunya lagi anaknya itu. Manalah memang dia sanggup membayar 50 juta.”

Aku diam mendengar perkataan itu. Tapi aku terkejut saat kulihat Aida ada dalam rombongan keluarga sepulang dari pemakaman. Aku makin sedih. Aku sesungguhnya mencintainya. Mungkin juga dia. ***

Pematangsiantar, 2006

Bagikan: