28 Mei 2017

Arti Batak, Tempat Awal-mula Siborudeakparujar?


SolupL - Arti, makna dan asal-usul kata Batak hingga saat ini belum tuntas dibahas dan disimpulkan para ahli dan peneliti sejarah. Kini malah berkembang spekulasi bahwa kata Batak adalah ciptaan kolonial. Dan sebagian sub-etnis Batak seperti Karo, Simalungun, Dairi, dan Mandailing bahkan mulai melakukan resistensi dengan menolak disebut Batak.

Ulos Batak.
Memang, dalam catatan beberapa sumber sejarah, Batak memiliki makna yang terkesan negatif. Ada yang menyebut bahwa Batak adalah sebutan orang-orang Melayu pesisir kepada suku pegunungan yang dikenal dengan sikap buas dan ganas. Mereka adalah bangsa pemburu yang dianggap keras dan kasar.

Sebagian mengatakan bahwa Batak adalah bangsa pagan, si penyembah berhala, atau dalam bahasa Toba disebut sipelebegu atau parbegu. Seorang intelektual Batak yang hidup di zaman kolonial, WM. Hutagalung, juga menyinggung hal ini dalam bukunya berjudul Pustaha Batak, Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak. 

Menurut Hutagalung, Batak sebagai parbegu muncul dari orang Melayu pesisir yang sudah memeluk agama Islam. Bahkan dalam perjalanannya, orang Batak yang memeluk Islam akhirnya menyebut dirinya sebagai Melayu, tidak lagi Batak.

Pada akhirnya, hingga zaman modern, stereotip bahwa Batak=parbegu tetap melekat dan terpelihara. Tapi Hutagalung membantahnya, "Ndada i hasintonganna (bukan seperti itu kebenarannya)," katanya.

Menurut Hutagalung, Batak adalah nama yang terhormat dan sama sekali tidak terkait dengan kepercayaan. Andai kata 'batak' terkait dengan kepercayaan, tentu nama Batak tidak akan disebut sebagai nama suku atau nama leluhur orang Batak, yaitu Si Raja Batak.

Selain itu, dalam tonggo-tonggo (doa-doa pujaan) para ahli supranatural Batak kepada Sang Pencipta, kata Batak sudah ada muncul, misalnya dalam doa ini: Sian Ho do mulani bisuk, sian Ho mula ni roha, sian Ho mula ni gabe, sian Ho mula mamora, mambaen hami Batak tonga-tonga on, na sinaturanmu (Engkaulah sumber kebijaksanaan, Engkaulah sumber jiwa, Engkaulah sumber kejayaan, Engkaulah sumber kekayaan, menjadikan kami Batak di benua ini, dengan segenap kuasamu)

Jadi, sudah sejak zaman kuno nama Batak itu. Itu jelas nama suku bangsa. Demikian Hutagalung.

Di buku ini juga disebutkan bahwa nama Si Raja Batak mengacu pada nama tempat pertama atau kampung pertama yang ditempati Siborudeakparujar. Siborudeakparujar adalah dewi atau mahluk langit yang diutus Mulajadi Nabolon menjadikan bumi dan segala isinya.

Tempat awal mula Siborudeakparujar ini disebut 'batakna'. Ketika proses penciptaan manusia berlangsung, dinamailah manusia pertama dengan Si Raja Batak mengacu tempat tersebut. Itulah nama bangsa Batak, nama persatuan suku bangsa.

Memang, kata Hutagalung, para leluhur orang Batak sangat ahli menunggang (mamatak) kuda. Sehingga ada sebagian berpendapat, karena keahlian mamatak itu, maka disebutlah suku itu sebagai Batak.

"Asa manang na dia i na sumintong, ndang binoto, holan on nama haputusanna: sai adong do alana umbaen i goar parsadaan ni bangso Batak dibahen nasida (kita tidak tahu mana yang benar, tapi kesimpulannya: pasti ada alasan mengapa komunitas itu diberi nama Batak)," tutup Hutagalung dalam bukunya. (Panda MT Siallagan)

Bagikan:

12 Mei 2017

Sastra adalah Ibu Kandung Indonesia


SOPO - Sastra adalah bidang penting dalam kehidupan Indonesia yang saat ini harus dikembangkan dengan baik untuk tujuan revolusi mental. Sebab sastra adalah ibu kandung yang melahirkan bangsa Indonesia.
Ilustrasi.
 Hal itu dikatakan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Hubungan Pusat dan daerah Dr. James Modouw di Aula Balai Bahasa Papua, Kamis (27/4/17), pada seminar sehari dengan tema Merawat Kebinekaan Melalui Sastra. Seminar itu diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Balai Bahasa Papua.

James Modouw mengatakan, sastra adalah ibu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena menurutnya sastra hadir sebelum negara ini terbentuk.

“Sastra ini ibarat ibu kandung dan Indonesia adalah anak kandungnya. Sastra adalah satu kekayaan budaya kita di Indonesia yang sangat baik dan penting pada era saat ini, untuk dijadikan bahan yang harus dikembangkan menjadi agenda pemerintah dalam melakukan revolusi mental,” katanya.

Mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Papua ini menambahkan, sastra sendiri selain menjadi alat untuk mengembangan literasi juga sebagai alat untuk mengembangkan karakter.

“Sastra adalah dasar kapasitas atau mutu manusia dalam kehidupan ke depan yang membentuk seseorang menjadi kreatif dan mempunyai kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Untuk itu, kegiatan ini sangat baik untuk digali dan perdalam agar menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang merasa memiliki. Selain itu potensi masyarakat yang kaya harus kita kembangkan,” ujarnya.

Terkait perkembangan sastra di Papua, Modouw menambahkan, sastra di Papua sangat kaya, namun demikian banyak pemilik kekayaan pusaka budaya merasa bahwa hal tersebut adalah barang lapuk yang tidak penting dibicarakan dan diperdebatkan.

“Saya berharap dengan seminar ini, kesadaran tersebut kita buka dan bisa dijelaskan bahwa pusaka budaya bukan barang lapuk, tetapi mengandung nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan di dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.

Kepala Balai Bahasa Papua, Toha Machsum menambahkan perkembangan sastra di Papua belum menggembirakan, untuk itu pihaknya mencoba mengembalikan orang pada kebebasan pluralisme adalah karya sastra multikulturalisme di dunia pendidikan.

“Ini yang akan didiskusikan secara singkat beberapa hal yang bisa dilakukan melalui sastra multibudaya yang diharapkan akan memperlihatkan dan menyadarkan para siswa bahwa E Pluribus Unum itu memang alamiah dan alami," katanya. (bbs/int)
Bagikan:

01 Mei 2017

Indonesia Bangsa yang Rugi karena Tak Punya Minat Baca


SolupL - Taufiq Ismail mengaku miris dengan menurunnya tingkat literasi pelajar Indonesia dewasa ini. Taufiq bercerita, saat ia masih muda, siswa SMA sederajat diwajibkan menamatkan 25 judul buku dan membuat 108 karangan selama tiga tahun masa sekolah.

Taufiq Ismail dan Arif.
Hal itu disampaikan sastrawan legendaris itu pada acara Cangkrungan Multidisipliner Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Gazebo Forum yang digelar di area gazebo perpustakaan pusat UMM, Sabtu (29/4/17).

Taufiq Ismail mengeluarkan ‘unek-uneknya’ tentang dunia literasi sastra. Menurutnya, Indonesia sudah separuh abad menderita akibat miskin membaca. “Paradigma baru yang berkembang sekarang mengarahkan pelajar lebih banyak gandrung pada media sosial. Kebijakan terbaru, siswa SD diwajibkan menamatkan 3 judul buku sastra selama masa sekolah, SMP 6 judul buku, dan SMA 15 judul buku. Tapi nyatanya, ini jauh dari tercapai, bahkan 0 buku yang dibaca siswa. Ini menyedihkan sekali,” ujarnya.

Padahal, katanya, melalui sastra manusia tak hanya menuliskan untaian kata-kata, tapi juga pengungkapan isi pikiran. Pikiran akan terbarukan dengan menulis dan membaca karya sastra, puisi misalnya. Puisi sarat akan nilai-nilai moral, intelegensi, dan estetika. Puisi masuk dalam tiap ruang kehidupan. “Definisi, sejarah, dan teori sastra itu bukan yang utama, tapi minat membaca dan nilai yang didapatnya,” tukas Taufiq.

“Bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang rugi karena mengalami penurunan yang jauh dalam hal literasi sastra. Pelajar mesti mengembalikan hal ini melalui transformasi literasi. Mulailah membaca dan menulis sastra. Melalui kebiasaan menulis buku harian, ini akan memupuk semangat menulis. Membaca, membaca, membaca. Mengarang, mengarang, mengarang,” pesan Taufiq pada para pelajar.

Narasumber lain, Dr Arif Budi Wurianto mengisahkan tentang Kartini yang dipingit pada zamannya. Kakak kandung Kartini, Sosrokartono miris melihat adiknya tak bisa mengenyam pendidikan seperti dirinya akibat terbelenggu budaya yang mengimani bahwa perempuan harus dipingit sampai menikah.

“Tubuhmu boleh dipingit, tapi yang bebas adalah pikiranmu. Bebaskan pikiranmu dengan membaca,” pesan Sosrokartono pada Kartini disampaikan Arif Budi di hadapan ratusan siswa SMA se-Malang Raya dan mahasiswa yang hadir.

Sastra di mata Arif yang juga kepala unit Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) adalah sebuah gejala kebudayaan. Berbicara budaya berarti berbicara nilai humanisme dan pengharkatan manusia. Melalui aktivitas membaca dan menulis sastra, manusia akan terhalau untuk menjadi insan bermartabat.  Menulis sastra adalah peluang mengekspresikan diri tanpa tekanan. (bbs/int)
Bagikan: