SolupL - Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan terbaiknya, Bokor Hutasuhut. Sastrawan angkatan 50 ini tutup usia pada Jumat dinihari 4 Agustus 2017. Kabar itu disampaikan sastrawan Suyadi San melalui Grup WA Ruang Sastra yang anggotanya terdiri dari ratusan sastrawan Indonesia.
"Innalillahi Wa Innailahi roji'un. Telah meninggal dunia sastrawan Indonesia asal Sumatera Utara Bokor Hutasuhut Jumat dinihari 4 Agustus 2017. Jenazah disemayamkan di rumah duka Gang Mandailing, Medan. Dimakamkan siang ini," demikian Suyadi San mengabarkan, Jumat (4/8/17).
Nama Bokor Hutasuhut tidak setenar Chairil Anwar atau Sitor Situmorang. Tapi ia sangat penting dalam sejarah sastra Indonesia. Ia bernama asli Buchari Hutasuhut, lahir pada 2 Juni 1934 di Balige, Tapanuli Utara (kini menjadi Toba Samosir).
Bokor menjadi salah seorang sastrawan yang turut menandatangani Manifes Kebudayaan bersama Gunawan Mohamad dan Wiratmo Sukito sebagai konseptor yang merupakan bentuk perlawanan 20 seniman Indonesia terhadap Lekra.
Suatu ketika HB. Jassin menulis surat kepada Bokor, meminta pertimbangan Bokor agar dicari jalan keluar lewat kenalan-kenalan politik suaya kaum Manifes tidak terus “dianiaya” oleh lawan-lawan “politik”nya, yakni Lekra yang berlindung di balik Pemimpin Besar Revolus waktu itu. Bokor dan Pram saling serang dalam perang wacana tentang orang revolusioner atau bukan. Bokor memang tak sekedar sastrawan sebab dia juga terlibat dalam politik ideologi.
Bokor Hutasuhut menikah dengan D. Sari Afni Siregar pada 11 Maret 1969 di Sipirok, Tapanuli Selatan. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai empat orang anak yaitu Irma Bulan Hutasuhut (perempuan), Samsul Wahidin Hutasuhut (laki-laki), Tama Alamsyah Hutasuhut (laki-laki), dan Muhammad Layan (laki-laki). Bokor Hutasuhut terlahir dari keluarga Islam, ayahnya bernama H. Abdul Manaf Mangaraja Gende Hutasuhut, seorang mubaliq, dan ibunya bernama Ompuni Arifin Siregar.
Bokor dalam bahasa Batak Toba yang dilafaskan (bokkor) artinya kobokan atau mangkuk tempat mencuci tangan di kala makan. Mangkuk ini berukuran besar. Nama ini diberikan oleh kawan-kawannya waktu sekolah dulu karena anak-anak Batak sulit mengucapkan (Buckhori). Abang-abangnya juga memanggilnya dengan nama bokor karena Bukhori kecil senang minum air dengan mangkuk yang besar dan isinya juga lebih banyak. Nama Bokor tetap dipakainya hingga akhir.
Bokor Hutasuhut menyelesaikan pendidikannya mulai HIS (Holland Inlandse School) setingkat Sekolah Rakyat di Soposurung, Balige tahun 1946. Kemudian, dia menyelesaikan SMP Excelcior di Medan tahun 1953 dan masuk SMA Setia Budi Bagian C (jurusan bahasa dan sastra) di Medan tahun 1954, tetapi tidak sampai tamat hanya kelas satu dan naik kelas dua dia pindah ke SMA Pembaruan Bagian A di Medan.
Saat kelas tiga dia tidak lulus di ujian akhir tahun 1957, karena nilai Bahasa Indonesianya tidak mencukupi standar kelulusan pada waktu itu. Padahal di tahun yang sama cerpennya yang berjudul Datang Malam yang pernah dimuat dalam majalah Kisah terbitan Jakarta No. 1 Tahun V, 1957, dijadikan pemerintah bahan mata ujian akhir Bahasa Indonesia bagi siswa SMA Bagian B-I di seluruh Indonesia.
Setelah meninggalkan bangku SMA tahun 1957, Bokor Hutasuhut bekerja sebagai PNS di Kantor Penerangan Agama Provinsi Sumatera Utara (Kapenapsu). Dengan mempunyai gaji tetap tentu saja dia tidak terlalu pusing memikirkan keuangannya untuk tinggal di Medan hingga waktunya bisa digunakan untuk menulis karya sastra. Dia juga merangkap bekerja sebagai wartawan lepas di beberapa surat kabar di Medan. Di majalah Waktu dan Pelangi, dia mengasuh dan menyelenggarakan Lembar Sastra-Budaya pada tahun 1955-1962.
Kegiatan sastra sangat menyita waktunya hingga dia minta berhenti sebagai PNS. Di tahun 1950-an ini juga Bokor dan teman-temannya mendirikan Gabungan Sastrawan Muda (GSM) di Medan dan membuka cabang di setiap kota dan kabupaten di Sumatera Utara. Dia duduk sebagai Ketua Umum. GSM giat menggelar pertunjukan teater dan kegiatan sastra lain di Sumatera Utara.
Tahun 1962 Bokor hijrah ke Jakarta. Jiwa kesastraannyalah yang mengantarkan langkahnya sampai ke tanah Betawi itu. Ia terlibat aktif dalam organisasi dan kegiatan sastra. Tahun 1962-1967 bekerja di Balai Pustaka. Bahkan, Bokor sempat menjadi sekretaris Yayasan Sastra atau Penerbit Majalah Sastra yang diketuai oleh HB. Jassin hingga majalah ini mengalami kebangkrutan.
Kesastrawanan Bokor bermula sejak dia meninggalkan kampung halaman menuju Medan pada tahun 1952 untuk melanjutkan pendidikannya. Pertama kali menulis sekitar tahun 1953 di Medan pada surat kabar Mimbar Umum Minggu dalam rubrik Syarahan berupa sajak, esei, cerpen, dan reportase budaya. Ini diperjelas dengan keterangan Jakob Sumardjo di Horison (September 2003) yang menyatakan bahwa sastrawan muda yang muncul lewat Kisah tahun 1953, yang berasal dari Batak, hanyalah Bokor.
Nama Bokor Hutasuhut muncul sebagai sastrawan angkatan baru dalam majalah Kisah dengan pengasuh HB. Jassin, Idrus, dan M.Balfas. Majalah Kisah banyak memuat karya sastra Bokor. Rekan-rekan seangkatannya yaitu Trisnoyuwono, A.A. Navis, Muhammad Diponegoro, Ajip Rosidi, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, dan lain-lain. Pada zaman ini kebanyakan sastrawan menulis karya sastra dengan latar belakang daerah asal yang sangat kental, tidak terkecuali Bokor Hutasuhut.
Bokor juga menulis pada majalah Waktu dan Pelangi. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah terbitan Jakarta seperti Konfrontasi, Indonesia, Mimbar Indonesia, Kisah, Cerpen, Siasat, dan Sastra. Di Yogyakarta karya-karya Bokor Hutasuhut terbit dalam majalah Budaya dan Minggu Pagi. Bokor Hutasuhut juga diorbitkan oleh Majalah Cerita bersamaan dengan Budi Darma, sastrawan dari Surabaya.
Karya-karya Bokor Hutasuhut banyak yang menceritakan tentang latar budaya Batak, kehidupan masyarakat Batak sehari-hari, dan pandangan hidup masyarakat Batak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari tempat tinggal dan silsilah kehidupannya yang memang asli keturunan Batak dan tinggal di wilayah Tapanuli Utara. Tapanuli Utara adalah kabupaten yang suku aslinya adalah Batak Toba dan mayoritas penduduknya beragama Kristen, jadi budaya dan adat-istiadat di sana masih terjaga sebagaimana aslinya. Sedangkan bila di daerah lain atau komunitas masyarakatnya beragama Islam tentu saja adat-istiadat Batak Toba akan disesuaikan dengan ajaran Islam.
Penakluk Ujung Dunia adalah novel karya Bokor Hutasuhut yang dirampungkan tahun 1960 dan diterbitkan pertama kali tahun 1965 dan cetakan kedua tahun 1988 diterbitkan oleh PT Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta. Dalam novel inilah terbentang pengalaman Bokor di desanya dan bagaimana masyarakatnya menjalani kehidupan. Novel ini merupakan karya sastra modern yang mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Batak Toba menurut penghayatan manusia modern, yaitu Bokor Hutasuhut sebagai pengarangnya. Novel ini banyak mendapat tanggapan dan dikaji oleh ilmuan dan penggiat sastra, di antaranya HB. Jassin, Jacob Sumardjo, Totok Amin Soefiyanto, Shafwan Hadi Umry, Taufik Abriasyah, Saksono Priyanto, Damiri Mahmud, Jonner Sianipar, Darma Lubis, dan M. Yunus Rangkuti. Bokor berterima kasih kepada ayahandanya, HAM Mangaraja Gende Hutasuhut dan Partahi H. Sirait yang turut merangsangsang daya kerja untuk menyelesaikan novelnya ini.
Sebelum Penakluk Ujung Dunia, tahun 1963 telah terbit kumpulam cerpennya yang berjudul Datang Malam yang diterbitkan oleh N.V. Nusantara. Kumpulan cerpen ini berisi tujuh cerpen yang berjudul Bebas, Bayonet, Datang Malam, Djiarah, Bonbon, dan Matahari. Tahun 1965 terbit juga novelnya yang berjudul Tanah Kesayangan. Novel ini diterbitkan PT Pembangunan, Jakarta. Sebenarnya novel ini sudah selesai ditulisnya sekitar tahun 1954. Tahun 1958 sempat disetujui PT Pembangunan untuk diterbitkan tetapi lima tahun menunggu barulah diterbitkan setelah Bokor menulis ulang novel Tanah Kesayangan ini.
Karya-karya:
– Datang Malam (1960), kumpulan cerpen
– Penakluk Ujung Dunia (1964), Novel
– Tanah Kesayangan (1965), Novel
– Pantai Barat (1988), Novel
(berbagai sumber/int)