Cerpen Panda MT Siallagan
Suatu pagi di awal Oktober, saat menyapu halaman, istriku terkejut menemukan sepotong bambu terpancang dekat pohon jambu. Di lubang bagian atas, terselip potongan lilin sisa pembakaran. Sisa cairan lemak parafin yang kembali membeku, melekat serupa gumpalan-gumpalan salju di sekeliling permukaan batang bambu, sungguh indah!
Ilustrasi. |
Tapi saat istriku bertanya, dan aku berkata tidak tahu apa-apa soal lilin itu, ia bergidik. Ia sepertinya ngeri membayangkan sebuah pelita bersinar di halaman rumah, sementara kami tertidur pulas. “Ini pasti ulah korban pembuangan itu,” kata istriku.
Korban pembuangan itu? Yah, seorang lelaki tua, sudah berbilang berada di kota kami. Ia muncul suatu petang yang berhujan di bulan Juli. Saat cuaca meruap buruk dan awan hitam berarak rambang di angkasa, ia hadir bersama hujan. Kaki kurusnya berayun pelan menyagang tubuh kuyup. Punggungnya tampak berat ditimpa tas ransel kusut berbahan parasut. Rambutnya memutih, agak panjang, rebah dilindas hujan, menutupi telinga dan tengkuknya. Orang-orang mahfum: ia korban pembuangan.
Seperti korban-korban sebelumnya, tak ada hal istimewa dalam diri lelaki itu. Jika kemudian ia menjadi buah bibir, itu karena sepanjang senja ia mondar-mandir di jalanan kota, membiarkan telapak kakinya beradu dengan genangan air, seolah sedang mencari mimpi. Ketika petir menggelegar menjelang malam dan listrik mendadak padam, ia singgah di sebuah kedai kopi seolah takut pada petir, tapi sesungguhnya tidak. Sebab tidak ada lagi ledakan apapun yang mampu membuatnya gentar. Ia duduk di salah satu kursi dan memesan kopi. Seorang pelayan gegas meladeninya, sementara pelayan lain tampak menyalakan lampu teplok yang kaca bagian atasnya menghitam. Pastilah lampu itu sering dinyalakan dengan sumbu terlalu panjang.
“Apakah listrik sering padam?” tiba-tiba, kepada pelayan yang mengantar kopi, lelaki itu bertanya.
“Cukup sering, terutama pada musim hujan,” jawab si pelayan.
“Jika begitu, coba lihat ini.”
Pelayan itu mengernyitkan dahi, lalu melempar urusan itu kepada sang majikan. Seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, beranjak malas menghampiri lelaki kita. “Apa itu? Oh, kau jualan?” tanyanya.
“Aku menjual lilin,” kata lelaki itu sembari membuka tas. Pemilik kedai membeli lilinnya beberapa bungkus. Setelah menerima uang, lelaki itu kembali diam sambil menyeruput kopinya sedikit demi sedikit. Ia pandangi hujan yang berpercikan di badan jalan. Ia tak peduli sebagian pengunjung berbisik-bisik tentangnya. Ia larut dalam dingin, seolah mencari keriangan dalam suara hujan. Menurut pengunjung kedai bermulut usil, mata lelaki itu tak berkedip selama memandangi malam, seolah di kejauhan ia sedang menatap seorang perempuan telanjang di bawah hujan.
Setelah kopi tandas dari gelasnya, lelaki itu pergi, tapi mulut-mulut usil tak berhenti mendulang gosip, dosa dan dusta. Di ujung sebuah gang, cerita lain muncul ketika si tua itu berhenti di depan sebuah rumah gulita karena mendengar suara orang sedang bercakap. Ia mendekat dan mengetuk pintu dengan siku jari tengah yang mengeras. Ketika seorang lelaki tambun penuh cambang membuka pintu, ia berkata, “Belilah lilinku, mengusir kegelapan.”
Pemilik rumah menyambut ramah dan berkata bahwa ia dan istrinya terpaksa bicara dalam gelap karena tak ada lampu teplok, satu sama lain menolak pergi menerobos hujan untuk membeli lilin. Lelaki pemilik rumah memberi uang lebih sebab ia telah menyelamatkan keluarga itu dari kegelapan sebuah negara.
“Terima kasih, wahai, pengusir kegelapan,” kata lelaki brewok.
“Terima kasih, wahai, pendamba cahaya,” sahut tokoh kita.
***
Tuhan gemar melakukan hal-hal aneh, kata seorang pengunjung kedai berhati bijak. Begitulah kekuasaan disebar, agar setiap hamba mengingat nabi setengah gila atau tokoh yang dianggap gila tapi berhati nabi. Lelaki tua penjual lilin itu (akhirnya diketahui bernama Somba), tersebab keanehannya, menjadi populer di kota kami, bahkan ada yang menyebutnya nabi. Kenapa? Sebab dengan arogansi model kaum borjuis kota, suatu hari, putra pemilik pabrik penggilingan padi kesetanan mengendarai sepedamotor dan terhempas di aspal, tubuhnya terseret sejauh 20 meter hingga kepalanya pecah. Darah berceceran dan ia mati ditimpa harta dengan leher gosong dibakar knalpot. Banyak warga berduyun-duyun ke lokasi, tapi hanya Somba yang berani mengangkat tubuh korban dari jepitan sepeda motor, memperbaiki letak kaki dan tangan yang patah, lalu membujurkan jenazah di halaman rumah seorang warga. Ia lalu menatap orang-orang dengan mata marah, berkata, “Tugas kita bukan menyelamatkan dia, sebab Tuhan telah memanggilnya. Tapi kita tak bisa membiarkan jasadnya terkapar seperti babi busuk. Maaf kalau aku lancang, sekarang kita tunggu polisi mengurusnya.”
Orang-orang tercengang. Maka dusta tentang Somba beredar sejak itu. Pemilik kedai mengaku, setelah lilin dinyalakan, ketenangan mengalir di kedainya. Dua lelaki yang bertengkar soal utang piutang, mendadak tersenyum dan bicara baik-baik. Seorang perwira polisi, si pengutang ulung, datang melunasi utang seraya minta maaf telah menghambat aliran modal pemilik kedai. Para penganggur mulai bicara soal jenis usaha yang memungkinkan digarap. Tukang becak bersiul merdu karena pemerintah setempat meninjau ulang peraturan tentang retribusi yang dinilai memberatkan. Suara-suara itu bergaung di kedai. Lelaki itu datang seperti malaikat.
Di tempat berbeda, lelaki brewok bercerita kepada tetangga. Malam itu rumahnya tampak sangat terang dan hangat, padahal ia hanya menyalakan dua batang lilin. Tak hanya itu, dia dan istrinya yang biasa bertengkar, malam itu merasa seperti sedang pacaran dan saling memeluk, bercumbu dan berakhir di ranjang. Tapi orang-orang tolol kemudian menganggap lilin Somba adalah lilin pembawa berkah. Maka berbondong-bondonglah warga membeli lilin. Tapi tak ada cerita indah seperti dikabarkan pemilik kedai dan lelaki brewok. Sesungguhnya, yang terjadi adalah, pemilik kedai menangis malam itu, terharu menyaksikan perjuangan lelaki itu. Cahaya muncul menerangi hati dan pikirannya, sehingga ia menjadi ramah kepada pengunjung kedai, menagih piutang dengan suara lembut, tidak lagi bicara kasar seperti sediakala. Sementara lelaki brewok, sesungguhnya, juga trenyuh memikirkan lelaki itu. Dia berkata pada istrinya bahwa kehidupan mereka sesungguhnya sangat indah, anak-anak sudah sukses dan setiap bulan mengirimi mereka uang, sementara Somba harus menggigil menahan dingin menjajakan lilin. Mereka menyadari bahwa tak ada yang perlu dipertengkarkan. Maka siapapun tahu, ketika hati dibungkus damai, hubungan suami istri yang beku akan cair seperti hati sepasang remaja yang mabuk dilanda cinta.
Sesungguhnya, benarkah Somba korban pembuangan?
“Aku tak yakin,” kata pemilik kedai.
“Dia sangat bersahaja,” ujar lelaki brewok.
“Aku juga merasa aneh. Malam itu tidak ada suara truk. Selama bertahun-tahun, setiap truk muncul, aku selalu tahu. Sebelum truk memasuki kota, aku selalu bermimpi mendengar deru badai, seolah-olah truk itu muncul dari kepalaku,” kata Mangumbang, lelaki tua bekas tentara yang hidup sendiri di sebuah gubuk tak jauh dari pasar ikan.
Warga kota kami memang sudah terbiasa dengan kejadian serupa. Selama beberapa dekade, pada malam-malam tertentu, sebuah truk muncul membawa orang-orang dan menurunkannya di tanah lapang dekat pasar ikan. Dari tanah lapang itulah penumpang truk menyebar lalu berkeliaran ke sudut-sudut kota. Orang-orang itulah yang kemudian menjadi bahan olok-olokan bagi anak-anak nakal bahkan tak jarang dilempari batu seperti hukuman yang diberikan kepada perempuan sundal di abad-abad jauh. Begitulah, pertanyaan mengapa banyak orang gila berkeliaran di kota itu, akhirnya terjawab, ketika seorang pemabuk terkapar di tanah lapang itu sepulang dari lapo. Suatu dini hari, ia mengaku menyaksikan sebuah truk muncul dan menurunkan beberapa orang gila. Sejak itu, bergantian warga melakukan pengintaian dan keterangan si tukang mabuk ternyata benar.
Warga kota kami tentu marah. Kami menduga, pembuangan itu dilakukan dinas sosial kota atau rumah sakit jiwa yang over kapasitas. Maka rencana penawanan terhadap truk dan supir dirancang. Tapi sesuatu yang gaib terjadi pada malam ketika supir truk hendak ditawan. Semua orang yang ikut dalam rencana itu, ciut nyalinya dan tidak berani mendekati truk. Bahkan ketika beberapa orang gila diturunkan, mereka menyingkir dan bersembunyi di balik kios-kios pasar. Dari balik dinding kios, mereka hanya mengintip dan menyaksikan orang-orang gila itu berjalan dan menyebar dengan cara-cara aneh ke pusat kota, sementara truk beranjak pelan meninggalkan kota tanpa hambatan. Orang-orang mendengar deru mesin truk seperti auman binatang aneh. Kejadian serupa terjadi beberapa kali, hingga warga memutuskan tak lagi peduli. Kota kami lalu berubah jadi sasaran jurnalis dan berita-berita bermunculan: Di Parit Kota Namora Tuah, Mrs X Ditemukan Membusuk; Tulang-belulang Ditemukan di Namora Tuah; Lagi, Dua Mayat Membusuk di Halaman Kantor Pamong Praja Namora Tuah, dll.
Ihwal truk dan mayat-mayat itu, seorang nenek tua berumur 80-an tahun berkata, “Masa lalu seperti terulang, saat truk mengangkut suami-suami dan anak-anak muda terpelajar. Mereka tak pernah kembali, tapi mayat-mayat dikirimi ke kota ini. Mampuslah! Kita harus usir kegelapan ini.”
***
Aku dan istriku memutuskan melaporkan kejadian yang kami alami kepada pihak berwajib. Fakta bahwa saudagar lilin itu telah membawa keanehan di seluruh kota, juga temuan sepotong bambu dan lilin di halaman rumah kami, pertanda situasi mulai tak kondusif. Jika hal itu dibiarkan berlangsung, sesama warga akan saling mencurigai dan isu santet bisa saja berhembus. Kami berencana mengusulkan agar lelaki itu diusir. Saat asyik mendiskusikan itu, terdengar ketukan di pintu. Istriku beranjak dan...lelaki tua itu! Lelaki tua itu tersenyum menawarkan lilin.
“Untuk apa?” tanyaku dingin.
“Mengusir kegelapan,” jawabnya.
“Di situ,” katanya menunjuk titik di mana potongan bambu terpancang, “Di situlah ibuku dulu menancapkan obor setiap malam setelah ayah dibawa. Di situ tubuh ayah diikat, diangkat, lalu dilemparkan ke dalam truk. Di tanah itu ibuku meraung-raung dan bergulingan saat ayah dibawa. Di situ berdiam kegelapan!”
Pematangsiantar, 2013-2017