PENSIL OMPUNG
Cerpen Panda MT Siallagan
"Ibu, ceritakanlah kepadaku tentang kenyataan!" kata anakku suatu malam. Hatiku terasa retak. Kenyataan, kata sendu penuh kepasrahan ini, bagiku selalu terdengar seperti bunyi ledakan. Ledakan yang menggetarkan seisi jiwa.
“Aku bosan mendengar dongeng tentang kancil, kupu-kupu, kunang-kunang, burung-burung ajaib, bunga-bunga, matahari, bulan, dan bintang-bintang. Aku mau cerita tentang kenyataan,” berkata lagi anakku sembari aku menata hati yang menyerpih.
Ilustrasi. |
“Tentang apa?”
“Pokoknya kenyataan.”
Baiklah. Ini tentang lelaki tua. Simak baik-baik, sebab pangkal cerita agak semak. Bayangkan terlebih dahulu sebuah sekolah. Sebab lelaki tua itu selalu muncul di kompleks sekolah setiap pagi. Di hadapannya, ada meja lipat tempat pisau dan batu gosok tergeletak. Ia selalu tiba di sekolah itu pagi-pagi sekali, menunaikan tugas sebagai tukang raut pensil. Ketika anak-anak itu tersedot ke dalam ruangan mematuhi bunyi lonceng, ia menikmati kesendiriannya sambil membaca.
Lalu, pada siang hari, saat anak-anak hambur dari ruangan menikmati kebebasan yang disuarakan lonceng, lelaki tua itu juga bersiap pulang. Ia mengemasi barang-barangnya ke dalam tas: batu gosok, pisau, meja lipat, kotak kayu dan buku, lalu beranjak pelan meninggalkan kompleks sekolah, merayap di jalanan yang dibakar terik. Anak-anak itu sesekali melambai dari bus, “Oppung, duluan ya! Hati-hati ya, Oppung.” Ia balas lambaian itu, riang penuh senyum.
Ia selalu berjalan kaki, tak pernah datang dan pulang menumpang opelet. Berjalan kaki, seperti tersirat dari ayunan langkahnya, agaknya ia pilih sebagai alat menikmati irama kesepian yang merambat. Adakah sesungguhnya cercah esok yang masih diidam dan diyakininya? Sudah terlalu tua ia bercita-cita. Tapi memang, selalu ada harapan dalam setiap hal yang rapuh. Lihatlah, ada sahaja di peci yang dikenakannya, di dalam kemeja lusuhnya. Sepasang kaki kurus beralas sandal jepit masih kuat menapaki aspal, lalu tas ransel yang menggandul naik-turun di punggung yang membungkuk, seolah bicara tentang pasang surut perjalanan hidupnya.
“Ibu, aku tak mengerti. Kenapa ceritanya membingungkan?”
“Nak, tidak seperti cerita kancil dan buaya, tidak seperti hikayat Danau Toba, yang gampang dimengerti dan mudah dicerna, kenyataan memang sulit dipahami.”
“Baiklah, teruskanlah, Ibu!”
Nama lelaki tua itu Ompung Pensil. Selama kehadirannya yang mengesankan, Ompung Pensil adalah korban ketidakpedulian. Tidak seorang pun tahu dari mana ia muncul di pagi hari dan ke mana ia pergi, atau pulang, setelah meninggalkan sekolah pada siang hari. Tidak seorang pun ingin tahu siapa ia, apakah ia punya keluarga, apakah ia seseorang yang menderita atau bahagia, atau mengapa ia muncul di kompleks sekolah itu menjadi tukang raut pensil. Tapi, bagi sebagian anak-anak, ia adalah kekasih jiwa, sebagaimana ia juga menerima anak-anak itu jadi pusat kebahagiaanya. Jika ia sedih, anak-anak itulah yang bertanya mengapa matanya dikepung murung. Maka ia selalu bahagia meraut pensil anak-anak itu. Ia juga meraut jiwa. Jiwa yang tumpul ditabrak zaman. Jiwa yang ronyok dilindas waktu.
Sungguh, tidak ada yang tahu siapa nama lelaki itu. Ia mungkin memang tak penting dikenal, atau dipedulikan, sama seperti tidak pentingnya profesi yang ia pilih: tukang raut pensil. Anak-anak senang memanggilnya Ompung Pensil, sebab ia senang bicara tentang pensil. Pensil, katanya, selalu butuh penajaman, maka ia diraut. Tak perlu disesali kayu pembalut karbon yang terbuang saat diraut, sebab bagian yang berguna adalah inti, yang diraut menjadi mata pensil. Pensil adalah alat memahami rasa sakit, sebab ia selalu diraut. Maka anak-anak itu pun mulai paham, setiap orang harus pandai memahami rasa sakit, bahkan ada masanya harus habis demi catatan dan gambar-gambar. Bukankah hidup adalah buaian catatan dan sergaman gambar-gambar?
Ia sangat bangga jadi tukang raut pensil. Sesekali ia memang menggerutu, saat bicara tentang pensil rias pemalsu garis alis dan bibir, alat ketololan perempuan kini, tapi ia segera sadar dan gegas menyingkirkan topik genit itu dari pendengaran anak-anak. Ia tidak ingin anak-anak jatuh cinta pada pensil palsu. Jika sudah begini, ia mendadak jadi orang yang muluk-muluk, menginginkan anak-anak itu belajar cinta dari pensil, ingin anak-anak itu menyelamatkan masa depan dengan pensil. Maka mudah dipahami mengapa ia senang anak-anak itu memanggilnya Ompung Pensil.
Sampai di sini, aku lihat Nia Dong sudah lelap. Aku tatap matanya memejam dalam damai. Sudah sangat lama aku tak menatapnya selekat malam itu. Sepi merayap. Aku sedih. Anakku yang baik, usianya kini sebelas tahun, dan selama itu aku disaput rasa sakit mendampingi pertumbuhan dan perkembangannya. Aku lupa sejak kapan aku mulai mendongeng mengantar tidurnya. Juga, aku tak ingin mengingat sejak kapan ia mulai bertanya tentang ayahnya. Apakah ia punya ayah? Aku tahu, selamanya pertanyaan ini akan menggayut berat di pundaknya, juga di pundakku. Tapi, pada saatnya nanti, akan kukisahkan luka itu. Luka yang seperti dongeng: kekasihku hilang saat aku hamil, mungkin diculik, dan tak pernah kembali sejak kerusuhan itu. Ayahnya, calon mertuaku, kehilangan diri sejak kejadian itu. Kini, aku remuk dalam dunia tanpa siapa-siapa. Hanya Nia Dong satu-satunya milikku. Tapi, ya, tentang Mursal, calon suamiku itu, tentang ayahnya, tentang aku yang terbuang dari keluarga demi Nia Dong, suatu saat harus kukisahkan.
Untuk menghibur diri, izinkanlah kulanjutkan cerita tentang Ompung Pensil, sebagaimana aku akan mengisahkan cerita ini secara berulang kepada Nia Dong selama beberapa malam, sebab ia memintanya dengan alasan belum paham. Begitulah, tidak ada seorang pun yang tahu sejak kapan Ompung Pensil muncul di sekolah itu. Dan barangkali, kehadirannya tidak akan pernah disadari para guru, orangtua dana anak-anak lain, jika seandainya Motu, siswa kelas empat, tidak merautkan pensil kepadanya, suatu hari pada jam istirahat sekolah. Tapi...
“Siapa itu, Motu?” Bu Lidya, wali kelas, bertanya penuh curiga.
“Tukang raut pensil, Ibu.”
“Hati-hati. Banyak penculik anak berkeliaran.”
“Iya, Ibu!”
Tapi anak-anak itu tak peduli. Sebaliknya, terdorong oleh kasih yang memancar lembut dari mata dan cara tangannya meraut pensil, Ompung Pensil meraih ketenaran di sekolah itu. Begitu jam istirahat, anak-anak akan berdatangan memintanya meraut pensil. Anak-anak itu senang pensil hasil rautan Ompung Pensil, katanya indah dan cantik. Betapa tidak, lelaki tua itu meraut pensil bukan dengan alat raut buatan pabrik, tapi dengan pisau kecil berwarna putih. Pisau yang berkilat-kilat memantulkan cahaya dan tampak sangat berbahaya. Siapa pun tahu, pisau itu sangat tajam, sebab selalu diasah Ompung Pensil dengan batu gosok. Ia tidak mau meraut pensil dengan pisau majal. Maka lihatlah, rautan pada ujung pensil itu tampak seperti motif bunga matahari, rapi dan berseni, tidak menggerucut polos seperti hasil rautan buatan pabrik. Ada keajaiban kreativitas di situ.
Tentu tidak ada yang gratis. Lelaki tua itu memungut biaya seratus rupiah untuk sekali raut. Tapi, kelak akan kau tahu, sesungguhnya bukan pecahan receh itu yang diinginkan Ompung Pensil. Ia mengutip biaya itu agar anak-anak belajar menghargai kerja orang lain, sesederhana apa pun bentuknya. Demikianlah ia juga menunjukkan penghargaan terhadap kepedulian dan semangat anak-anak itu. Ia sesekali bertanya tentang PR dan nilai ulangan harian, lalu memberi rautan gratis bagi anak yang memperoleh nilai delapan ke atas. Ia dicibir gila, tapi ia makin semangat meraut pensil. Ia meraut pensil seolah-olah mencari sesuatu yang hilang, mungkin kebahagiaan.
Baiklah, sekarang kukatakan, aku tahu cerita tentang Ompung Pensil karena di sekolah itulah dulu Mursal sekolah, calon suamiku yang hilang, atau mungkin diculik atau dibunuh. Sering aku berharap menemukan jejak masa kecilnya, sehingga kerap berkunjung ke sekolah itu, menemui guru-gurunya yang sudah tua sekedar mencari tahu seperti apa ia ketika kecil. Di sanalah aku bertemu Ompung Pensil. Dan itulah alasan mengapa aku mengirimkan Nia Dong ke sekolah itu. Dan kelak, selama beberapa waktu, kisah tentang Ompung Pensil mulai merasuki hati anakku. Lamunan dan mimpi mulai mendayu sekacau sepi, menggayuti instink dan nuraninya. Selama beberapa waktu, setiap bangun pagi, Nia Dong mulai senang bercerita bahwa tidurnya berlangsung damai, sebab ia bertemu Ompung Pensil.
Suatu kali ia mengatakan bahwa Ompung Pensil berubah menjadi pendeta, tapi tidak berkotbah di gereja, melainkan mengembara dari kota ke kota, bicara tentang harapan kepada anak-anak gelandangan. Di pagi hari yang lain, ia berkata bahwa Ompung Pensil adalah pengembara suci, yang punya kelembutan tanpa batas hingga tak tega membunuh seekor nyamuk. Dan suatu pagi, hatiku terasa retak. Nia Dong menyakini mimpinya: Ompung Pensil adalah bekas tentara, lalu selamanya menderita mengenang desingan-desingan peluru dan muncratan darah. Bagaimana kebenaran itu muncul ke dalam pikiran Nia Dong? Empat puluh tiga tahun lalu, sebagaimana kutahu kemudian, Ompung Pensil lari dari tugas ketentaraan, tak tega menggorok leher “orang-orang yang terlibat”.
Demikianlah, beberapa hari sebelum meninggal, Ompung Pensil diusir dari sekolah itu. “Dahulu kala, ada seoarang anak bernama Budi, hidup di negeri yang sedang dilanda perang. Budi dilarang berteman dengan orang asing. Tapi, ia membantah nasihat. Akhirnya Budi diculik. Lehernya digorok. Krek. Tewas !” kata guru-guru mengingatkan anak-anak. Tapi, Ibu, negeri ini tidak sedang perang.
Dan para ibu menyebar penyakit: “Duh, honey, nggak takut ya diserang TBC. Si tua bangka itu batuk-batuk. Lihat, pakaiannya jorok dan bau tikus. Mama nggak mau kamu sakit, sayang. Mulai besok papa yang meraut pensilmuya, duhh…!” Tapi, Mama, ompung itu selalu wangi.
Sejak itu, anak-anak itu tidak lagi bisa menyaksikan Ompung Pensil mengasah pisau, meraut pensil dan bicara tentang pensil demi pensil. Pensil adalah...
Cerita kembali terhenti pada suatu malam yang hujan. Nia Dong menyela dan bertanya, “Bu, kapan kita menemui Ompung Pensil. Aku ingin ompung itu bicara padaku, bicara tentang pensil. Aku sekolah di sana saja!”
Aku menangis, “Nak, andai ayahmu tak hilang, kisah tentang Ompung Pensil tidak akan pernah ada. Ompung Pensil sudah meninggal. Calon kakekmu!”
Pematangsiantar, 4 Juli 2008
* Cerpen ini pertama kali dimuat di Majalah TAPIAN Edisi Desember 2009, hal. 56-58
0 komentar:
Posting Komentar