Cerpen Panda MT Siallagan
Suatu petang ketika Somba tidak
lagi menemukan pengemis tua pemetik kecapi itu di persimpangan lampu merah
dekat Taman Makam Pahlawan, hatinya mendadak kosong. Dia merasa semua lagu di
atas bumi sudah usai dinyanyikan dan di kepalanya hanya tertinggal kecamuk rasa
kehilangan yang berat.
Dan ketika dia gagal menemukan
perempuan itu di rumahnya, dia tahu hidupnya akan selamanya berlangsung dalam
saputan rasa sakit, terluka dan murung di sepanjang jalanan kota yang tercekik
macet.
|
Ilustrasi. |
Tetapi, dia tidak yakin apakah
kebahagiaan benar-benar
merecup,
bertunas, tumbuh dan berbunga di hatinya sejak bertemu perempuan tua itu. Dia
hanya ingat, sejak itu dia mulai mencintai jalanan macet setiap senja, sepulang
kerja. Dia merasa riang ketika lampu merah menahannya di perempatan, merasa
nikmat mendengar perempuan itu beryanyi sembari memetik kecapi persis di bawah
tiang besi
traffic light. Maka,
setiap kali melintas di perempatan itu, dia akan memperlambat laju
sepedamotornya, tak peduli pengemudi dan pengendara lain menyalib dan
mendahahuluinya dengan kasar.
Selama bertahun-tahun, sikap para
supir angkot selalu membuatnya stres. Dia menggigil menahan marah menghadapi
arogansi pengendara sepedamotor yang ingin menang sendiri. Tapi sejak perempuan
tua itu muncul di perempatan yang setiap senja dilintasinya ketika pulang ke
rumah kontrakannya yang sunyi di sudut kota,
dia mulai menikmati kekacauan itu. Ketika semua pengguna jalan berusaha
memanfaatkan jarak dan waktu secara efektif menghindari jeratan lampu merah,
dia justru berharap terjebak. Memang tidak di semua
traffic light, tapi hanya di perempatan dekat Taman Makam Pahlawan.
Dia bahagia mendengar lagu-lagu indah mengalir getir dari mulut perempuan itu.
Dia terlempar ke taman penuh bunga ketika senar kecapi berdenting memenuhi
udara. Lalu, sesuatu berubah: saat hanyut dibuai aliran lagu dari mulut
perempuan itu, dia benci suara klakson yang mendadak berdentam seperti serangan
tawon di kepalanya dan mengharuskannya beranjak dari perempatan. Tapi itulah
yang selalu terjadi, dan dia sangat kecewa, buru-buru melemparkan pecahan
rupiah ke bakul milik perempuan itu. Saat kaki kiri menekan gir dan tangan
kanannya memutar gas sepedamotor, dia berlalu sembari mengutuk lampu merah yang
rasanya sangat cepat berubah hijau.
Malam-malamnya juga mendadak aneh.
Menjelang tidur, pikirannya mulai dipenuhi kelebat dan renungan tentang
pengemis itu, yang duduk bersila, dengan kedua tangan menimang kecapi, wajah
tengadah dan mata terpejam, mulut membuka-menutup sesuai tuntutan artikulasi
syair lagu. Somba yakin, perempuan itu bernyanyi bukan demi receh, tapi demi
sebuah cerita. Tubuh yang ringkih berbungkus baju kumal berwarna biru dan ada
ulos menyelempang di lehernya, seperti
menyimpan rahasia yang dalam. Imajinasinya juga menempel pada kulit tangan
perempuan itu, yang berkerak seperti sisik kodok, penuh bintik-bintik hitam dan
putih, sesuatu yang membuatnya sadar bahwa dia juga akan tua dan rapuh, akan
dilupakan dan menjadi terasing dari kehidupan. Tapi postur dan profil wajahnya
memastikan, perempuan itu sangat cantik ketika muda. Itulah jejak awal semua
rasa bahagia yang kemudian melingkupi jiwanya, dan bergairah memikirkan masa
muda perempuan itu.
Somba merasa, sesuatu yang tidak
terpahami mulai merasuki hati dan pikirannya, sesuatu yang membuatnya sangat
riang saat lagu
Sinanggar Tullo
berdentam, saat lagu
Na Sonang do Hita Nadua
mengalun syahdu, lalu menggema
Piso
Surit,
Sitalasari dan terus
mengalir ke ranah Minang, Melayu, Manado, Barat, lagu-lagu pop terkini dan
Mandarin. Hari-hari berubah indah karena dia bisa mendengar lagu-lagu dari
beragam puak, dinyanyikan perempuan tua yang seolah-olah pernah dia kenal. Yah,
mendadak dia merasa pernah sangat dekat, intim, dan sejiwa dengan perempuan tua
pemetik kecapi itu, pengemis di perempatan lampu merah dekat Taman Makam
Pahlawan di kota
berhati keji. Kota
berhati keji?
Untuk pertama kali setelah
tahun-tahun berlalu tanpa ingatan, dia mulai berpikir kapan sesungguhnya dia
tinggal di kota,
berapa lama matahari dan malam silih berganti, dan seberapa dalam kepedihan
telah berhasil dikuburnya. Tapi dia tidak ingin mengenangnya. Dia tidak ingin
mengingat mengapa dia harus meninggalkan desa yang tenang dan damai, pasrah
dipermainkan kota
yang tak kunjung usai dipahami. Dia hanya ingin mengenang bahwa setiap senja,
selama tahun-tahun menyedihkan, dia pulang dari kantor yang dipahaminya sebagai
ruang hampa, tempat di mana hati dan pikirannya tersedot mengenang kekalahan
demi kekalahan. Dia bekerja di toko buku, bukan untuk mencari kemapanan, tapi
untuk menghindar dari hasrat bunuh diri. Selama beberapa waktu, pikirannya
pernah dirasuki rasa nikmat dari hasrat bunuh diri. Kenikmatan itu muncul dan
bercampur dengan perasaan tak berguna, sunyi, gagal dan terluka,
terutama sejak Soadaria meninggal. Calon
istri yang sangat dicintainya itu tewas pada suatu malam sehabis menenggak
racun, sebulan menjelang hari pernikahan yang telah ditentukan.
Ketika pertama kali menemukan
pengemis tua pemetik kecapi itu di perempatan menyanyikan lagu perjuangan asal
Tapanuli berjudul
Butet, dia
bergetar. Dia terkenang pada Soadaria, sebab
Butet kerap muncul sebagai
salah satu soal dalam teka-teki silang, yang selalu mereka utak-atik mengisi
kencan malam minggu di rumah kontrakannya yang sempit. Kini lagu itu menguar
dari mulut seorang wanita tua, meresik merdu di telinganya, mengingatkan dia
pada guru kesenian yang mengajarkan lagu itu di bangku sekolah dasar. Lagu itu
memutar ulang keindahan masa kanaknya bersama nenek, masa lalu yang murni dan
jernih. Dia rindu bebukitan yang memagari kampung, ingat jalanan tanah dan
berbatu, juga sungai berair jernih tempat dia memancing setiap sore. Lagu itu
mengalir bening, sejernih suara guru, “Anak-anak, rajin belajar, ya! Isi
kemerdekaan dengan belajar!”
Tetapi, dia tidak pernah merasa
merdeka. Jiwanya selalu tertambat pada luka. Di manakah kini pengemis tua itu?
Benarkah calon istrinya meninggal karena menenggak racun? Dia mulai berpikir,
jangan-jangan pemetik kecapi itu adalah calon istrinya, sebab bentuk
kegembiraan yang mengaduk hatinya saat jatuh cinta pada Soadaria, sama
nikmatnya ketika hatinya bergetar mendengar perempuan tua itu bernyanyi sambil
memetik kecapi. Tapi bathinnya membantah. Umurnya kini 35 tahun, Soadaria lebih
muda dua tahun. Sedangkan perempuan tua itu, meskipun mungkin terlalu cepat tua
dirongrong kesulitan hidup, pasti tak kurang dari 50 tahun. Tapi aneh, hatinya
diliputi rasa takut sekaligus hasrat misterius: ingin bercinta dengan pengemis
tua itu.
Sesungguhnya, kekacauan itulah yang
terjadi ketika suatu subuh dia terbangun. Dengan mata berat, dia meraih ponsel
dan mengirim pesan pendek pada atasannya, meminta izin tidak bekerja karena
tubuhnya remuk dilanda demam yang hebat. Untuk pertama kali, dia tidak merasa
bersalah telah berbohong. Dia lantas beranjak ke kamar mandi, membersihkan
tubuh alakadarnya, lalu bergegas keluar rumah, menembus angin dingin. Meskipun
samasekali tidak punya arah ke mana dia akan mencari, tapi dia yakin akan
menemukannya, sebab dia telah menghidu aroma baju kumal dan peluh yang merayap
dari sebuah tempat, milik perempuan tua pengemis. Tapi begitu tiba di
perempatan,
dia kecewa tidak menemukan
perempuan itu. Tapi sontak dia bertanya pada pengasong koran pagi yang berjejal
meneriakkan kebohongan-kebohongan. Dan dia lega mendapat petunjuk: di depan
Makam Pahlawan, ada Gang Rundut, susuri saja. Di ujung gang, ada simpang,
beloklah ke arah kanan, kira-kira 200 meter ke dalam, akan kau temukan rumah
bercat coklat yang dindingnya penuh gambar kecapi.
Rumah itu cukup besar untuk ukuran
miskin, terbuat dari papan tapi asri karena dicat sangat apik. Halamannya cukup
luas dan penuh dengan bunga-bunga. Dia menjadi ragu apakah benar pengemis
tinggal di rumah yang tergolong asri semacam itu. Di
sebelah kanan rumah, berjejer rak bunga
anggrek yang tumbuh mekar dalam pot yang dirancang dari ijuk enau. Keraguannya
lengkap dan dia sudah memutuskan meninggalkan rumah itu ketika tiba-tiba pintu
terkuak dan sebuah suara menyuruhnya masuk. Dia terkejut, tapi segera teratasi
karena perempuan itu menerimanya dengan hangat. Dia bahagia.
Tapi hasrat menyetubuhi perempuan
itu sirna, berubah menjadi semacam ikatan kasih sayang, intim, dan akrab. Sebab
kemudian, perempuan itu menjejalinya dengan cerita-cerita pedih, kisah-kisah
mengharukan yang kemudian membuat dia berpikir bahwa kepada perempuan tua itu
patut diberi hormat dan takzim. Dan Somba tak ingin hanya pendengar. Ada kekuatan yang memaksa
jiwanya bercerita tentang masa kanaknya yang lengang. Bahwa dia tidak memiliki
ayah, bahwa ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan, semua meluncur dari mulutnya,
seolah-olah hanya pengemis tua itu satu-satunya orang yang paham sejarahnya.
Bahwa beberapa bulan setelah peristiwa tragis yang merenggut nyawa ibunya,
seseorang yang mengaku teman ibunya, mengantarnya ke desa berkat alamat yang
ditemukan di rumah kumuh yang ditempati Tiamin, ibunya, sebelum meninggal.
Bahwa neneknya sangat menderita atas kepergian putrinya, yang hingga ujung
usianya tak percaya gadis semata wayangnya itu meninggal. Bertahun-tahun nenek
mencari ibunya di kota,
tapi tak ada jejak.
“Setiap mendengar Anda bernyanyi
dan memetik kecapi di persimpangan itu, aku selalu terkenang pada kampung,
rindu pada nenek yang juga gemar memainkan kecapi. Suara kecapi membuatku
lengang, dan sadar bahwa aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini.”
“Apakah kau tak punya istri?” tanya
pengemis itu.
Ingin dia bercerita tentang
Soadaria. Hampir dua tahun perempuan itu hidup bersamanya mengarungi waktu,
merancang kehidupan di masa depan yang jauh, berkhayal tentang anak-anak cerdas
yang kemudian lahir mengisi ruang-ruang kosong. Tetapi perempuan itu tewas
menenggak racun, membatalkan pernikahan. Dalam sepucuk surat yang ditinggalkan, Soadaria mengaku tak
sanggup memikul dosa masa remajanya, yang pernah mabuk dalam keliaran-keliaran
seksual bersama lelaki yang pergi meninggalkannya. Tak pantas mendampingi, tak
berani bersaksi, tak tega mengotori kemurnian dan ketulusan cinta, itulah
alasan Soadaria memilih jalan pintas. Ingin dia membagi kisah itu kepada
pengemis tua di hadapannya, tapi dia hanya mampu menggeleng. Matanya sembab.
Lalu, sesuatu menjangkau relung
jiwanya yang penuh derita. Tatapan tajam pengemis itu terasa seperti elusan
hangat di jantungnya. Kembali dia disentakkan semacam perasaan sayang dan saat
itulah dia bangkit dari duduknya, menuntun perempuan itu berdiri dan entah
bagaimana awalnya mereka akhirnya berpelukan. Dia menangis, tapi perempuan tua
itu tegak meneguhkan ketabahan seorang wanita. Dua insan lain usia itu
tenggelam dalam suasana aneh yang membuat rasa malu lenyap dari pikiran. Dan
sesungguhnya, saat memeluk perempuan itu, Somba sedang mendengar denting kecapi
merayap dari desa, singgah di perempatan lampu merah. Dia sedang terjebak dalam
kemacetan jalan raya. Dia tersangkut….
Tiba-tiba perempuan tua itu
melepaskan pelukannya, menyuruh Somba kembali duduk di kursi, lalu bicara lagi.
Kali ini perempuan tua itu meracau tentang keseimbangan hidup. Hidup adalah
hidup. Tapi jiwa punya banyak sahabat memaknai kepedihan. Dan baginya, kecapi
adalah pilihan itu. Orang-orang bicara tentang kecapi, tapi sering lupa pada
senar. Jikalau kau ingin bahagia, jangan merendahkan dirimu, sebab tak ada nada
jika senar terlalu kendur, juga tak ada harmoni jika senar terlalu ketat.
“Tapi ini bukan tentang kecapi,”
kata perempuan itu, “tapi tentang ayahku. Dia mewariskan kecapi itu untuk
kupanggul sebagai salib penebusan bagi dosa-dosaku. Aku melupakan semua orang
karena dosa yang tak kuinginkan. Aku diperkosa dan ditenggelamkan di ruang
gelap dan setiap malam bertarung melawan rasa sakit. Maka kau tahu, perempatan
itu adalah altar tempatku memanggil seseorang yang seharusnya kepadanya aku
belajar mencurahkan cinta. Tapi aku tak ingin dia datang dan melihat kulitku
berkerak. Ah, lupakan sajalah, kita sudah terlalu jauh bertindak bodoh. Kau
bukan siapa-siapa, aku juga bukanlah apa-apa, tapi terimakasih untuk keanehan
ini. Kita benar-benar seperti orang gila.”
Setelah jeda diam yang agak lama,
perempuan tua itu memintanya untuk segera menikah dan tak baik bertahan untuk
sesuatu yang tak mungkin kembali. “Aku pernah bangga menjadi seorang istri.
Seorang lelaki, yang kini sudah pergi menghadap langit, memilih hidup bersamaku
sebagai pengamen dan mengabdi pada kesenian. Aku bertemu dia di barak sempit
tempat para lelaki laknat datang menuntaskan hasrat serakah pada tubuh Hawa.
Selama bertahun-tahun, setiap matahari terbenam, aku memetik kecapi peninggalan
bapak, menyelimuti barak dengan nada-nada indah. Aku menjadi bahan tertawaan
bagi jalang-jalang lain yang candu pada alkohol dan berjoget menikmati dentaman
musik disko. Lelaki-lelaki busuk memandangku gila dan mereka menyebutku
berteman dengan setan. Tapi aku tak henti bernyanyi dan memetik kecapi, hingga
akhirnya lelaki itu datang, membawaku keluar dari ruang pengap berbau alkohol
dan air mani. Kecapi menyelamatkan hidupku,” katanya.
Lalu, pada pagi yang cerah itu,
mereka berjanji untuk saling mengunjungi sebab masih banyak cerita yang belum
terurai. Tapi ketika suatu petang Somba tidak lagi menemukan perempuan tua
pemetik kecapi itu di persimpangan lampu merah dekat Taman Makam Pahlawan,
hatinya mendadak kosong. Dia merasa semua lagu di atas bumi sudah usai
dinyanyikan dan di kepalanya hanya tertinggal kecamuk rasa kehilangan yang
berat. Dalam saputan rasa sakit, dia menangis menggumamkan keyakinannya, “Ibu,
kenapa kau selalu meninggalkanku?”
Pematangsiantar, Juni 2008