Oleh Panda MT Siallagan
Syahdan, segerombolan generasi baru berhimpun menikmati malam di sebuah kafe di sudut kota. Anak-anak muda itu, dengan segala atribut kekinian, juga bicara hal-ihwal kekinian: musik, fashion, gadget-gadget mutakhir, cita-cita, cinta, hasrat dan keinginan-keinginan. Dan tentu, mereka bicara sambil sibuk dengan gadget masing-masing. Dan, ada yang ber-selfie untuk diunggah ke media sosial saat itu juga. Aneh meski tak aneh.
Demikianlah realitasnya. Kini orang kian gemar berhimpun (nongkrong), tapi sesungguhnya mereka sibuk dengan diri sendiri. Mereka berhadap-hadapan, tapi barangkali mereka saling pergi ke dunia masing-masing yang antah berantah. Dan, seolah memecah keheningan, salah seorang dari himpunan anak-anak zaman itu mungkin bercanda: kapan ya kita bisa beli pesawat? Yang lain menimpali sambil tertawa: memang bisa pakai daun?
Mari tinggalkan gerombolan itu. Tak perlu dikhawatirkan. Setelah lelah, mereka akan pulang dan tidur memainkan mimpi masing-masing. Sekarang kita pergi ke sebuah desa. Desa yang selalu tenang dalam imajinasi: lanskap sawah, gunung, sungai, ladang atau lembah-lembah. Di sebuah gubuk, terdengar suara lembut seorang perempuan berkata pada suaminya, “Besok pergilah ke kota, beli pupuk, jagung kita perlu makan. Sudah menguning daun-daunnya.”
Sekarang mari bicara tentang puisi. Loh? Apakah kedua fragmen di atas berkaitan dengan puisi? Barangkali tidak. Akan tetapi, kita menemukan satu kata yang sama dalam dua peristiwa itu: daun. Pada fragmen pertama, ketika muncul kata ‘daun’ dalam percakapan gerombolan anak-anak muda itu, pikiran dan imajinasi kita segera melompat pada uang. Di f ragmen kedua, ‘daun’ mengantarkan kita pada makna sebenarnya: daun jagung.
Maka, daun sesungguhnya bisa berubah makna jadi uang, tentu dalam bentuk asosiasi. Kata ‘daun’ dalam fragmen pertama tertaut jadi uang dalam pikiran, menjadi imaji. Tentang tautan pikiran ini, kita bisa mengambil contoh lain pada kata ‘selokan’ atau ‘tong sampah’. Ketika mendengar kata itu, otak langsung bekerja membayangkan atau mengimajikan benda-benda kotor, bau, busuk, sarang tikus, ulat, lalat dan lain-lain. Apakah selokan memang jorok? Sesungguhnya tidak, sebab ketika zaman masih murni, selokan adalah saluran air di tepian desa atau bendar di areal persawahan. Dan itu bersih, ikan-ikan hidup bahagia dan beranak-pinak di situ.
Menurut saya, asosiasi atau tautan pikiran itu merupakan cikal bakal sekaligus menjadi puisi jika dikelola, baik menyimpang maupun lurus. Bukankah puisi dibangun dengan majas (kiasan) dan imaji yang kuat? Apa yang kita bayangkan, misalnya, tentang salju? Bagi yang belum pernah melihat atau mengalami langsung musim salju, mungkin imajinya melayang pada televisi, film, atau video klip lagu-lagu yang mengetengahkan salju. Tapi bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan salju, barangkali akan terbayang dinginnya, bahkan seolah-olah bisa merasakannya.
Atau, mari saksikan seseorang yang berkata kasar kepada lawan bicaranya ketika marah, kata-kata ini meluncur dari mulutnya: anjing, monyet, kampret, binatang jalang, bangsat dan lain-lain. Sumpah serapah tak berhenti di situ. Masih sangat panjang, bahkan ada yang menggunakan alat-alat kelamin. Dan entah kenapa, pengibaratan-pengibaratan ini muncul begitu saja dalam pemahaman manusia tanpa ada pengajaran. Dan cekalanya, banyak orang tidak lagi mengetahui bahwa arti ‘bangsat’ adalah kepinding. Bahwa kampret adalah kelelawar. Bahwa sesungguhnya, anjing dan monyet adalah hewan yang tidak bersalah. Bagi saya, perlambangan-perlambangan ini juga merupakan puisi. Maka ketika seseorang memaki dengan kata ‘bangsat’, sesungguhnya ia sedang berpuisi, sebab ia tidak sedang bicara tentang kepinding, melainkan tentang perasaan, tentang kemarahan.
Barangkali, situasi-situasi serupa inilah yang mendorong penyair Sutardij Calzoum Bachri membuat kredo puisi. Ia tak setuju kata dibebani makna. Kata-kata harus bebas. Di sini kebenaran kredo itu terungkap. Karena kebebasan itulah makna kata bisa melompat-lompat. Daun melompat maknanya jadi uang. Bangsat melompat maknanya jadi anak-anak berandal. Bajingan berubah jadi penjahat. Padahal, bajing itu cuma seekor tupai. Andai ‘kata bajing’ bisa marah, mungkin sudah diprotesnya kita, katanya: “Hei manusia, apa salahku, kalian nama-namai aku menyebut orang jahat.” Hmm…
Simak nukilan kredo puisi Sutardji:
….Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. …
Lalu, apa sesungguhnya puisi? Apakah kata-kata? Apakah makna-makna? Anak-anak muda di awal tulisan ini berhimpun menikmati malam. Menikmati malam? Dihayatinyakah angin dan bulan yang muncul di langit itu? Ataukah dengan nongkrong dan asyik masyuk dengan gadget bisa dikatakan menikmati malam? Apakah gadget itu? Kenapa tidak pakai kata gawai? Apakah selfie itu? Jangan-jangan, kita sesungguhnya tak tahu bahwa terjemahan selfie ke dalam bahasa Indonesia adalah swafoto. Mereka lebih gampang menerima istilah asing ketimbang mencipta istilah dalam bahasanya sendiri. Atau barangkali, kata-kata cuma alat, makna-makna tersembunyi sangat jauh. Apakah puisi itu?
Pengertian puisi menurut buku-buku sudah teramat banyak. Ahli-ahli sastra juga telah membingkai kalimat-kalimat panjang tentang defenisi puisi. Konon: puisi adalah sekumpulan kalimat yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Puisi merupakan ungkapan hati dan pikiran yang berirama. Puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat, rekaman pengalaman manusia yang berkesan.
Apakah gerombolan anak-anak muda itu masih kenal puisi? Perlukah puisi bagi masyarakat miskin di desa-desa yang jauh itu? Sederet antologi pertanyaan lainnya akan terus memanjang, berputar-putar,, melompat-lompat, sama seperti tulisan ini yang tak jelas pangkal dan ujungnya. Tapi bagi saya, puisi adalah kesenian yang selama-lamanya tetap diperlukan, sebagaimana lagu diciptakan musisi dengan alat-alat musik yang beragam. Pun seperti pelukis berkarya dengan kanvas, cat, kuas dan lain-lain. Perupa bicara dengan ukiran-ukiran dengan segala peralatannya. Seni lakon atau drama dengan segala propertinya. Penari berkarya dengan koreo dan musikalitasnya.
Dan ajaibnya, penyair cuma punya satu alat mengerjakan keseniannya, yaitu: kata-kata. Penyair mengisi dan mengkaryakan kehidupan ini dengan ‘kata-kata’. Maka di tangan penyair, kata-kata bisa jadi gitar. Kata-kata bisa jadi pahat. Kata-kata bisa jadi darah. Kata-kata bisa jadi apapun. Bisa jadi pisau yang terbang mengoyak langit. Bisa jadi daun. Daun pun bisa membeli pesawat. Bukankah saudagar sirih dan tembakau kaya raya? Akhir kata, puisi memang aneh meski tak aneh. Puisi bisa jadi rumah, tempat kita berlindung dari kejahatan cuaca. ***
(Sumber: Sumut Pos, 28 Februari 2016)
Syahdan, segerombolan generasi baru berhimpun menikmati malam di sebuah kafe di sudut kota. Anak-anak muda itu, dengan segala atribut kekinian, juga bicara hal-ihwal kekinian: musik, fashion, gadget-gadget mutakhir, cita-cita, cinta, hasrat dan keinginan-keinginan. Dan tentu, mereka bicara sambil sibuk dengan gadget masing-masing. Dan, ada yang ber-selfie untuk diunggah ke media sosial saat itu juga. Aneh meski tak aneh.
Demikianlah realitasnya. Kini orang kian gemar berhimpun (nongkrong), tapi sesungguhnya mereka sibuk dengan diri sendiri. Mereka berhadap-hadapan, tapi barangkali mereka saling pergi ke dunia masing-masing yang antah berantah. Dan, seolah memecah keheningan, salah seorang dari himpunan anak-anak zaman itu mungkin bercanda: kapan ya kita bisa beli pesawat? Yang lain menimpali sambil tertawa: memang bisa pakai daun?
Mari tinggalkan gerombolan itu. Tak perlu dikhawatirkan. Setelah lelah, mereka akan pulang dan tidur memainkan mimpi masing-masing. Sekarang kita pergi ke sebuah desa. Desa yang selalu tenang dalam imajinasi: lanskap sawah, gunung, sungai, ladang atau lembah-lembah. Di sebuah gubuk, terdengar suara lembut seorang perempuan berkata pada suaminya, “Besok pergilah ke kota, beli pupuk, jagung kita perlu makan. Sudah menguning daun-daunnya.”
Sekarang mari bicara tentang puisi. Loh? Apakah kedua fragmen di atas berkaitan dengan puisi? Barangkali tidak. Akan tetapi, kita menemukan satu kata yang sama dalam dua peristiwa itu: daun. Pada fragmen pertama, ketika muncul kata ‘daun’ dalam percakapan gerombolan anak-anak muda itu, pikiran dan imajinasi kita segera melompat pada uang. Di f ragmen kedua, ‘daun’ mengantarkan kita pada makna sebenarnya: daun jagung.
Maka, daun sesungguhnya bisa berubah makna jadi uang, tentu dalam bentuk asosiasi. Kata ‘daun’ dalam fragmen pertama tertaut jadi uang dalam pikiran, menjadi imaji. Tentang tautan pikiran ini, kita bisa mengambil contoh lain pada kata ‘selokan’ atau ‘tong sampah’. Ketika mendengar kata itu, otak langsung bekerja membayangkan atau mengimajikan benda-benda kotor, bau, busuk, sarang tikus, ulat, lalat dan lain-lain. Apakah selokan memang jorok? Sesungguhnya tidak, sebab ketika zaman masih murni, selokan adalah saluran air di tepian desa atau bendar di areal persawahan. Dan itu bersih, ikan-ikan hidup bahagia dan beranak-pinak di situ.
Menurut saya, asosiasi atau tautan pikiran itu merupakan cikal bakal sekaligus menjadi puisi jika dikelola, baik menyimpang maupun lurus. Bukankah puisi dibangun dengan majas (kiasan) dan imaji yang kuat? Apa yang kita bayangkan, misalnya, tentang salju? Bagi yang belum pernah melihat atau mengalami langsung musim salju, mungkin imajinya melayang pada televisi, film, atau video klip lagu-lagu yang mengetengahkan salju. Tapi bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan salju, barangkali akan terbayang dinginnya, bahkan seolah-olah bisa merasakannya.
Atau, mari saksikan seseorang yang berkata kasar kepada lawan bicaranya ketika marah, kata-kata ini meluncur dari mulutnya: anjing, monyet, kampret, binatang jalang, bangsat dan lain-lain. Sumpah serapah tak berhenti di situ. Masih sangat panjang, bahkan ada yang menggunakan alat-alat kelamin. Dan entah kenapa, pengibaratan-pengibaratan ini muncul begitu saja dalam pemahaman manusia tanpa ada pengajaran. Dan cekalanya, banyak orang tidak lagi mengetahui bahwa arti ‘bangsat’ adalah kepinding. Bahwa kampret adalah kelelawar. Bahwa sesungguhnya, anjing dan monyet adalah hewan yang tidak bersalah. Bagi saya, perlambangan-perlambangan ini juga merupakan puisi. Maka ketika seseorang memaki dengan kata ‘bangsat’, sesungguhnya ia sedang berpuisi, sebab ia tidak sedang bicara tentang kepinding, melainkan tentang perasaan, tentang kemarahan.
Barangkali, situasi-situasi serupa inilah yang mendorong penyair Sutardij Calzoum Bachri membuat kredo puisi. Ia tak setuju kata dibebani makna. Kata-kata harus bebas. Di sini kebenaran kredo itu terungkap. Karena kebebasan itulah makna kata bisa melompat-lompat. Daun melompat maknanya jadi uang. Bangsat melompat maknanya jadi anak-anak berandal. Bajingan berubah jadi penjahat. Padahal, bajing itu cuma seekor tupai. Andai ‘kata bajing’ bisa marah, mungkin sudah diprotesnya kita, katanya: “Hei manusia, apa salahku, kalian nama-namai aku menyebut orang jahat.” Hmm…
Simak nukilan kredo puisi Sutardji:
….Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. …
Lalu, apa sesungguhnya puisi? Apakah kata-kata? Apakah makna-makna? Anak-anak muda di awal tulisan ini berhimpun menikmati malam. Menikmati malam? Dihayatinyakah angin dan bulan yang muncul di langit itu? Ataukah dengan nongkrong dan asyik masyuk dengan gadget bisa dikatakan menikmati malam? Apakah gadget itu? Kenapa tidak pakai kata gawai? Apakah selfie itu? Jangan-jangan, kita sesungguhnya tak tahu bahwa terjemahan selfie ke dalam bahasa Indonesia adalah swafoto. Mereka lebih gampang menerima istilah asing ketimbang mencipta istilah dalam bahasanya sendiri. Atau barangkali, kata-kata cuma alat, makna-makna tersembunyi sangat jauh. Apakah puisi itu?
Pengertian puisi menurut buku-buku sudah teramat banyak. Ahli-ahli sastra juga telah membingkai kalimat-kalimat panjang tentang defenisi puisi. Konon: puisi adalah sekumpulan kalimat yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Puisi merupakan ungkapan hati dan pikiran yang berirama. Puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat, rekaman pengalaman manusia yang berkesan.
Apakah gerombolan anak-anak muda itu masih kenal puisi? Perlukah puisi bagi masyarakat miskin di desa-desa yang jauh itu? Sederet antologi pertanyaan lainnya akan terus memanjang, berputar-putar,, melompat-lompat, sama seperti tulisan ini yang tak jelas pangkal dan ujungnya. Tapi bagi saya, puisi adalah kesenian yang selama-lamanya tetap diperlukan, sebagaimana lagu diciptakan musisi dengan alat-alat musik yang beragam. Pun seperti pelukis berkarya dengan kanvas, cat, kuas dan lain-lain. Perupa bicara dengan ukiran-ukiran dengan segala peralatannya. Seni lakon atau drama dengan segala propertinya. Penari berkarya dengan koreo dan musikalitasnya.
Dan ajaibnya, penyair cuma punya satu alat mengerjakan keseniannya, yaitu: kata-kata. Penyair mengisi dan mengkaryakan kehidupan ini dengan ‘kata-kata’. Maka di tangan penyair, kata-kata bisa jadi gitar. Kata-kata bisa jadi pahat. Kata-kata bisa jadi darah. Kata-kata bisa jadi apapun. Bisa jadi pisau yang terbang mengoyak langit. Bisa jadi daun. Daun pun bisa membeli pesawat. Bukankah saudagar sirih dan tembakau kaya raya? Akhir kata, puisi memang aneh meski tak aneh. Puisi bisa jadi rumah, tempat kita berlindung dari kejahatan cuaca. ***
(Sumber: Sumut Pos, 28 Februari 2016)
0 komentar:
Posting Komentar