Dinamika sastra Indonesia pernah menghangat dengan munculnya beberapa istilah penamaan. Ada sastra buku, sastra majalah, sastra koran, sastra saiber, sastra komunitas, sastra facebook dan sastra-sastra lainnya. Bahkan, sempat pula muncul ‘demam’ cerpen mini di jejaring sosial twitter, yang entah kenapa tidak disebut ‘sastra twitter’.
Sebagian istilah-istilah itu sempat pula menyebabkan ‘pertikaian’ serius yang mengarah pada destruksi wacana yang tidak substansial. Misalnya, sejumlah kalangan menilai sastra komunitas tidak lebih bagus dibanding sastra koran. Sastra saiber, juga sempat teraniaya dan dituding sebagai karya gampangan. Sastra koran, oleh sejumlah pihak ia dianggap seolah ‘lebih rendah’ dari sastra buku. Kini, penerbitan buku-buku sastra sudah membludak hingga tak terpetakan, mana wacananya? Senyap.
Demikianlah warna-warna itu terekam menjadi sejarah kesusasteraan kita. Terlepas dari substansinya, kenyataan menunjukkan hingga hari ini karya sastra masih tetap diproduksi dan disebarluaskan melalui medium yang kian beragam, yang menjadikannya tidak lagi relevan untuk dinamai dan dikotak-kotakkan. Era digital telah memungkinkan siapa saja bersastra dan menyebut diri sebagai sastrawan.
Namun, satu hal yang tak terelakkan adalah: sastra koran. Koran masih tetap jadi pilihan utama para penulis untuk menyiarkan karya dan menjadikannya sebagai ‘legalisasi’ proses kebersastraan. Karya sastra yang bisa disebarluaskan secara masif melalui jejaring sosial, misalnya, belum pernah menghasilkan penobatan yang ‘sakral’ terhadap status dan identitas kepenulisan seseorang. Sebaliknya, para penulis masih ‘memburu’ koran sebagai tempat menobatkan diri, lalu memanfaatkan saiber menyebarluaskan karya-karya kreatifnya. Jika karyanya terbit di koran, tak hanya penulis muda, para penulis senior pun akan dengan bangga mempersembahkan drama ini: SHARING KARYA DI JEJARING.
Kisah lain yang juga menarik adalah munculnya penulis-penulis baru yang tak dikenal koran. Mereka lahir dari komunitas-komunitas penulis atau klub-klub baca, berkarya bersama dan menerbitkan buku bersama-sama. Komersialisasi dan distribusinya juga berjalan dengan organisasi yang baik. Bahkan, stempel-stempel bestseller kerap mereka kuasai, terutama untuk genre novel yang memang tidak lagi punya tempat di koran. Sudah sangat sulit menemukan cerita bersambung di surat kabar pada masa ini.
Dan adakalanya, sebagian buku itu merupakan bentuk ‘perlawanan’ pada sastra koran. Maka tertudinglah sastra koran sebagai sastra ‘selera redaktur’. Sebaliknya, tertuding pula karya-karya komunitas itu sebagai karya pop. Tapi kerap, para penulis yang lahir dari ruang itu, pada akhirnya berlabuh jua ke koran dan/atau meneguhkan eksistensi kekaryaannya melalui koran, baik dalam bentuk resensi atau berita-berita bedah buku.
Terlepas dari penamaan, fenomena itu kiranya cukup meneguhkan kenyataan bahwa koran atau surat kabar masih berperan penting dalam perjalanan dan pengembangan kesusasteraan kita. Atau sebaliknya, sastra menjadi ‘sosok sakral’ sebagai pemberi daulat atas martabat sebuah koran, sebagaimana dikatakan Umbu Landu Paranggi bahwa koran tanpa ruang sastra dan budaya adalah koran barbar. Dan itu menjadi sebuah keniscayaan hingga saat ini. Sebab hanya surat-surat kabar mainstreamlah yang tetap setia memberikan ruang pada sastra dan budaya. Sementara koran-koran kuning masih menjauhkan takdirnya dari ‘ruang yang tak menjual’ ini.
Demikianlah sastra dan surat kabar selalu berjalan beriring. Sejarah lahirnya kesusastraan kita juga tidak terlepas dari kemunculan pers, meskipun belum ada jawaban final atas pertanyaan ini: kapan sesungguhnya kesusasteraan Indonesia lahir?
Namun sejumlah cacatan menyebutkan, jauh sebelum kehadiran Balai Pustaka, karya-karya sastra anak negeri berupa seperti cerpen, cerbung dan puisi, telah banyak tersiar di berbagai surat kabar yang terbit di masa kolonial. Dan kenyataan itulah yang mendorong berdirinya Balai Pustaka, yang kemudian memunculkan roman-roman legendaris seperti Layar Terkembang, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Salah Pilih dan lain-lain. Sekian lama, karya-karya inilah yang terpatri secara mendalam di benak setiap generasi.
Terlepas dari sejumlah pendapat yang mengatakan bahwa Balai Pustaka dihadirkan Belanda untuk ‘membungkam’ persebaran karya sastra koran ketika itu, fakta ini menunjukkan kenyataan bahwa sejarah kesusastraan Indonesia berlangsung intim dengan kemunculan pers. Sejumlah tokoh bangsa, yang dikenal sebagai sastrawan dan budayawan, juga merupakan tokoh pers, seperti Mochtar Lubis, Muhammad Yamin, Hamka, dan Abdul Muis (sekedar menyebut beberapa nama).
Di zaman baru, perjalanan kesusateraan Indonesia terus menggeliat seiring dengan keberadaan media massa. Era tahun 1980-an, misalnya, hampir seluruh media massa memberikan rubik khusus untuk sastra, terlebih pada edisi minggu dan melahirkan sastrawan-sastrawan agung.
Suatu ketika di zaman Orde Baru, sastra bahkan menjadi pintu terakhir bagi ruang kritis, sebagaimana dimaksudkan Seno Gumira Ajidarma dalam judul bukunya yang tersohor: Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Dengan demikian, sastra sesungguhnya memiliki peranan yang sama kuatnya dengan koran. Lalu, mengapa pers bisa berdiri tegak, mengapa sastra seolah tersingkir?
Saya akhiri catatan ini sebagai sebuah kilasan refleksi. Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional setiap tahun, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketetapan itu dikuatkan dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985 yang ditandatangani Presiden ke-2 Soeharto pada 23 Januari 1985. Lalu kapan sastra punya hari nasional? Apa kabar Hari Puisi Indonesia? Apa kabar Hari Sastra Indonesia?** (Pandapotan MT Siallagan)
Sumber: Sumut Pos, 14 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar