SolupL - Rusli Marzuki Saria (RMS) menerima banyak panggilan telepon dan pesan singkat pada Senin (3/7) malam yang mengonfirmasi bahwa benarkah RMS terpilih sebagai penerima South East Asean (SEA) Write Award 2017. Di antara orang-orang yang bertanya, ada pula yang meragukan kabar bahwa RMS menjadi penerima anugrah sastra dari Kerajaan Thailand itu karena pada 1997, RMS juga dikabarkan menerima SEA Write Award, tetapi ternyata hanya masuk nominasi.
|
Papa Rusli |
RMS menceritakan hal itu kepada Haluan di rumahnya, Jalan Bangka No. 13, Wisma Warta, Ulak Karang, Padang, Selasa (4/7). Ia membenarkan bahwa ia dinyatakan sebagai penerima SEA Write Award 2017.
“Sebenarnya saya mengetahui bahwa saya ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award pada 7 Juni. Pemberitahuan itu saya terima melalui email dari Badan Bahasa. Bahkan, sehari sebelumnya, sudah ada teman yang mengabarkan informasi itu kepada saya melalui SMS. Namun, saya belum memberi tahu siapa pun karena nanti pasti akan ribut-ribut. Pada Senin (3/7), saya mengirim SMS kepada Dasril Ahmad untuk memberi tahu soal itu karena dia saya rekomendasikan sebagai narasumber yang akan diwawancarai Badan Bahasa pada 7 Juli ini,” ujar penyair yang kini berusia 81 tahun itu.
Setelah mendapatkan informasi dari RMS, Dasril Ahmad, dosen Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta (UBH), memberitahukan informasi tersebut kepada publik melalui status Facebook-nya pada Senin malam.
RMS mengatakan, dalam surel yang diterimanya, ia dinyatakan meraih SEA Write Award atas buku puisinya
One by One Line by Line (Kabarita, 2014). Ia mengirim buku itu ke Badan Bahasa tidak lama setelah diterbitkan. Namun, ia tidak mengirimkan buku itu dengan maksud dimasukkan sebagai nomine penerima SEA Write Award, tetapi hanya sebagai dokumentasi untuk Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Saya tidak menyangka mendapatkan SEA Write Award pada tahun ini. Dulu, pada tahun 1997, buku puisi saya
Sembilu Darah, masuk nominasi penerima penghargaan itu. Namun, buku puisi saya hanya nomor tiga sehingga hanya menerima penghargaan dari Pusat Bahasa. Pada tahun itu, Seno Gumira Ajidarma ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award. Dari tahun 1997 hingga 2017, berarti sudah dua puluh tahun saya menunggu penghargaan itu,” tutur pria Kamang, Kabupaten Agam, 26 Februari 1937 itu.
Sebelum berangkat ke Bankok, Thailand, pada Oktober 2017 untuk menerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand, RMS akan diwawancarai oleh tim dari Badan Bahasa pada 7 Juli ini. RMS menyebutkan, selain mewawancarai RMS, Badan Bahasa juga akan meminta komentar dari orang yang mengenal puisi-puisi RMS selama ini. RMS lalu merekomendasikan Dasril Ahmad dan Yusrizal KW kepada Badan Bahasa untuk diwawancarai.
“Saya merekomendasikan Dasril karena skripsinya tentang saya, dan Yusrizal KW karena buku
One by One Line by Line diterbitkan Kabarita, penerbit miliknya,” ucap anggota DPRD Padang periode 1985-1991 itu.
RMS menambahkan, buku
One by One Line by Line (sendiri-sendiri, sebaris-sebaris), berisi 90 puisi pilihannya sejak 1960-2010, dan 4 esai.
Anggota Staf Subbidang Penghargaan, Badan Bahasa, Luh Anik Mayani, melalui keterangan tertulisnya kepada Haluan, mengatakan, sastrawan Indonesia yang ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award adalah sastrawan yang pernah menerima Penghargaan Sastra Badan Bahasa. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang memperoleh Penghargaan Sastra Badan Bahasa secara otomatis ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award karena masih ada kriteria lain yang harus dipenuhi.
Ia membeberkan, ada beberapa kriteria seseorang ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award, antara lain, pernah menerima senghargaan sastra dari Badan Bahasa; menghasilkan karya secara konsisten dalam kurun waktu lima tahun terakhir; memiliki karya yang berdampak dan tersebar luas, baik berskala nasional maupun internasional; memiliki karya yang menonjolkan ciri khas keindonesiaan yang dapat dibanggakan di dunia internasional; dan memiliki karya yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban dan perdamaian dunia; danberperan aktif dalam pengembangan dan pembinaan sastra Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
“Pak Rusli Marzuki Saria tercatat sebagai penerima Penghargaan Sastra Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) pada tahun 1997 melalui karyanya yang berjudul
Sembilu Darah (1995). Beliau ditetapkan sebagai penerima SEA Write Award karena beliau masih berkarya secara konsisten dan masih menghasilkan karya baru dalam lima tahun terakhir,” tuturnya.
Sementara itu, sastrawan lain yang terpilih sebagai penerima penghargaan sastra dari Badan Bahasa pada tahun ini adalah A. Mustofa Bisri (kumpulan puisi), Sungging Raga (kumpulan cerpen), dan M. Ibrahim Ilyas (naskah drama). Nama terakhir yang disebutkan adalah sastrawan yang sehari-hari beraktivitas di Padang.
RMS adalah sastrawan Sumatra Barat keempat yang menerima SEA Write Award. Sastrawan Sumbar pertama yang meraih penghargaan itu adalah A. A Navis pada 1992 atas buku
Bertanya Kerbau pada Pedati, kemudian Wisran Hadi pada 2000 atas naskah drama
Cindua Mato, dan Gus TF Sakai pada 2004 atas buku kumpulan cerpen
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta.
Sementara itu, Dasril Ahmad mengatakan, ia menulis skripsi tentang puisi-puisi RMS saat kuliah pada Jurusan Sastra Indonesia di UBH pada 1986. Judul skripnya adalah "Pengaruh Kaba Minangkabau terhadap Puisi-Puisi Rusli Marzuki Saria".
Menurutnya, puisi-puisi RMS adalah puisi sederhana. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kerinduan, keresahan, napas keagamaan, dan kritik sosial. Beberapa nilai dalam puisi itu ditemukan adanya pengaruh dari kaba Minangkabau. Di samping itu, puisi-puisi RMS adalah puisi lirik-romantik-puisi yang berisi curahan perasaan.
“Puisi-puisi RMS adalah jenis puisi yang bertolak dari nilai-nilai budaya Minangkabau, yakni sastra lisan kaba. Struktur puisi-puisi RMS mempunyai persamaan dengan struktur kaba, yakni dari segi plot, latar, dan penokohan. Karena itu, puisi RMS patut dibaca dan diteliti lebih dalam sebagai upaya menggali, membina, dan mengembangkan budaya Minangkabau,” ucapnya.
Yusrizal KW, mengatakan, ia menerbitkan
One by One Line by Line karena buku itu merupakan kumpulan puisi terbaik RMS yang dipilih oleh penyairnya sendiri sepanjang karier kepenyairannya. Karena itu, orang-orang yang tidak memiliki semua buku-buku RMS, bisa melihat puisi-puisi RMS pada buku tersebut.
“Kabarita hanya menerbitkan buku-buku berkualitas. Pada 2014, salah satu buku puisi yang diterbitkan Kabarita, yakni
Odong-Odong Fort De Kock karya Deddy Arsya, meraih penghargaan buku puisi terbaik
Tempo. Menurut kami, puisi-puisi Papa Rusli juga pantas kami terbitkan karena Papa memiliki orininalitas diksi dalam puisinya. Kabarita menerbitkan buku
One by One Line by Line juga sebagai penghargaan kepada Papa dalam dunia kepenyairannya. Kami bangga Kabarita menjadi jembatan karya papa kepada pembaca,” tutur pendiri rumah baca Tanah Ombak.
Selain sebagai sastrawan, RMS merupakan wartawan di Padang. Ia menjadi wartawan
Haluan pada 1969—1999. Di
Haluan, ia mengelola rubrik Budaya, yakni Budaya Minggu Ini yang terbit tiap selasa, dan Remaja Minggu Ini yang terbit tiap Minggu. Dari tangannya di rubrik Budaya Haluan “lahir” banyak penulis yang berasal dari Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan daerah lainnya.
(holy adib/harianhaluan.com)