Belakangan ini, Dolok Simarjarunjung mendadak tenar. Sebab sejumlah foto sempat viral di media sosial: tentang rumah pohon atau rumah cinta. Rumah yang dicantolkan ke batang pohon pinus, dengan lansekap Danau Toba terhampar luas sebagai latar. Alangkah indah!
Rumah Pohon Bukit Simarjarunjung |
Sebenarnya, ia tak tepat dikatakan rumah. Konsep 'rumah pohon' agaknya lahir dari inspirasi dangau berbentuk rumah panggung yang lazim ditemukan di areal persawahan desa-desa lama. Di sebagian desa, rumah semacam itu dinamai passa-passa. Gunanya: sarana berlindung bagi pemilik sawah dari cuaca ketika menjaga burung. Dari passa-passa ini lazim pula dibentang tali panjang untuk menggerakkan orang-orangan pengusir burung. Passa-passa ini kerap didesain di sebuah pohon yang berfungsi sekaligus sebagai tiang atau penyanggah.
Demikianlah 'rumah cinta' di Bukit Simarjarunjung itu. Kreatif. Bersandar pada sumber daya yang disediakan alam, yang selama ini belum tersentuh. Saat menaiki 'rumah cinta' ini, saya terkenang pada Ruma Bolon, rumah adat Batak. Ada tangga pada bagian depan untuk naik, dan kepala harus disurukkan untuk naik ke lantai. Hmm...!
Pada sore Sabtu 1 Juli 2017 itu, lokasi wisata yang diberi nama Bukit Indah Simarjarunjung (BIS), ini ramai disesaki pengunjung. Mereka datang dari berbagai daerah di Sumatera Utara, sehingga untuk naik dan berfoto ke rumah pohon itu harus antre berjam-jam. Duduk di bawah pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, angin mendesis kencang dari hamparan danau yang tenang, dingin tapi sejuk. Syahdu.
Iseng-iseng saya memesan segelas kopi yang disiapkan pengelola. Jujur: citarasa kopinya sedap. Saya jadi mahfum, sepanjang jalan menuju Tigaras, ladang-ladang kopi terbentang di sisi kiri-kanan jalan. Nikmat segelas kopi itu menguap jadi rasa syukur, sebab alangkah mengecewakan andai tersuguh kopi tak bercita-rasa di daerah penghasil kopi semacam itu. Harga juga sedap, cuma Rp5.000 per gelas.
Untuk naik dan berfoto di rumah pohon juga tergolong murah, Rp5.000 per orang. Biaya foto Rp10.000 untuk 5 kali jepret, atau Rp20.000 untuk 10 jepret. Fotografernya sudah tersedia, inilah agaknya salah satu cara pengelola untuk menghasilkan uang dari objek wisata itu.
Selain 'pohon cinta', sarana lain yang bisa dinikmati adalah ayunan yang juga dicantolkan ke pohon pinus. Pengunjung bisa sepuasnya berayun-ayun dengan menghadap langsung ke lembah terjal dan hamparan danau. Tak semua orang bernyali menikmati ayunan ini.
Lesehan untuk bersantai juga tersedia, semacam joglo-joglo dengan aneka makanan yang masih terbatas. Dalam hal ini, perlu kiranya pengelola menyediakan menu-menu khas, atau kuliner tradisional untuk meneguhkan kekayaan budaya di daerah itu. Atau mungkin, perlu panggung atau ruang khusus untuk menggelar pertunjukan budaya. Sehingga sarana hiburan lebih variatif, tidak sebatas berfoto ria lalu pulang.
"Ini prospeknya bagus, tapi harus dikelola secara profesional. Harus ditata sesuai standar pariwisata modern tanpa meninggalkan kearifan lokal," kata Hanna Panjaitan, istri saya, yang tampak kedinginan diterpa angin danau.
Rumah Pohon Simarjarunjung |
Inilah persoalaannya. Standar keamanan lokasi itu masih jauh dari harapan. Sarana pembatas sepanjang tepi bukit ke lembah curam masih terbuat dari pagar kayu alakadarnya. Rasa was-was akan menghantui terlebih ketika anak-anak balita bermain bebas dan berlari-lari.
Bukit Indah Simarjarunjung, Kecamatan Dolok Pardamean, Simalungun, betapapun telah menyajikan kesejukan sederhana. Dengan jarak tak lebih 40 kilometer dari Kota Pematangsiantar, lokasi itu bisa ditempuh dengan dua jalur: via Sidamanik, kota perkebunan yang murung. Atau via Simpang Raya, melewati desa-desa tua seperti Sipoldas, Simantin Tolu, Sibuntuon dan berujung di Sipintu Angin.
Demikianlah, di Dolok Simarjarunjung yang dingin, pohon-pohon pinus menjulang tinggi, angin mendesis menyibak kulit, dan kopi menawarkan kehangatan yang tepat. Jauh di lembah sana, Pantai Tigaras menawarkan godaan air danau. Danau Toba yang terberkati. (Panda MT Siallagan)
0 komentar:
Posting Komentar