Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Tarian Sunyi
selalu kami mengukir gemuruh doa-doa jadi lorong sunyi di rongga darah. sembahyang kami menajam, melesat melayari samudera di sepanjang luka dada. kami ibadahi gerak lancang yang melukis gemulai ombak di dinding gelisah. maka, gurindam yang dibungkus tahajud menyeru jiwa kami dengan merdu cahaya. tapi mengapa kami selalu terkulai di pantai lengang berwarna kelam yang pedih?
Tarian Sunyi
selalu kami mengukir gemuruh doa-doa jadi lorong sunyi di rongga darah. sembahyang kami menajam, melesat melayari samudera di sepanjang luka dada. kami ibadahi gerak lancang yang melukis gemulai ombak di dinding gelisah. maka, gurindam yang dibungkus tahajud menyeru jiwa kami dengan merdu cahaya. tapi mengapa kami selalu terkulai di pantai lengang berwarna kelam yang pedih?
kami ingin menari. menggugurkan letih dari sukma pucat kami, tapi rintihan gelombang terlalu hebat meledakkan denyut nafas kami.
kami lalu pasrah. kami hanyutkan pahatan-pahatan pedih di atas airmata. tapi sungai yang menyeringai itu tetap saja mengingau tentang luka angin, yang resah menerbangkan rindu laut ke pebukitan sujud kami, yang gelisah mengirimkan aroma pantai ke hutan-hutan rakaat kami. maka tangisan memahat dan mewarnai jiwa kami jadi sejarah sunyi, bergerak di sepanjang nafas leluhur yang mengendarai geliat sepi dalam kedatangan abad-abad ke dalam dada kami.
bagaimanakah kami harus menari di jantung sunyi, sementara angin tak lagi merekan petitih putih dari abad lampau?
tapi lihatlah. di antara kibasan selendang abad masih tercatat gema pantun. masih menderu suaranya seperti ombak yang menjadikan laut bernafas nyaring, serupa gendang, sewujud rebana. memantulkan biru ke angkasa hati kami yang gemetar mewarnai luka.
maka camar mengepak, terbang melukisi langit dengan warna-warna doa kami. dari lukisan itu, gurindam yang kami sahut curah dalam wujud hujan, membasahi jiwa kami yang selalu bernyanyi dalam gerak sunyi, dalam tarian-tarian sunyi.
Pekanbaru, 07-12-03
Nubuat
Air menulis syair kepada sungai: kau tak bisa memaksa orang mencinta dan menciptamu sebulat bulan dan setinggi malam. Sebab bagi burung yang birahi, kesetiaan adalah sangkar pengap yang bersiap diacak badai.
Maka bulan hanyut, telanjang bagai kumbang, dan burung-burung memetik kematian dari jemarimu. Aroma lumut pergi untuk selama-lamanya. Tabahlah, kelopak bunga-bunga sudah gugur dan warna membeku jadi bangkai.
Sejak itu, angin melemparkan sejarah busuk ke mulutmu. Itulah giliranmu menelan, melarung kutuk ke dalam perut. Selanjutnya adalah surga, aroma liar candu, yang memeluk takdir sedingin batu.
Sungai menulis sajak kepada air: diamlah, ijinkan kumakan segala ikan, merayakan orang-orang yang lupa.
2010-2015
Tungku
Pada uap nasi di piring
Panas tungku tak ingin hilang
Sebab jejak bara di dinding batu
bukan belenggu api di ujung kayu
Kau tahu, sesuatu telah pasrah jadi abu
Agar kau cecap madu dalam empedu
Sejauh itu kuturuni lembah kesetiaan
Sebab bersama segumpal nasi di piring
Lumpur, jerami dan sekam juga kau telan
Seolah membuka lumbung rahasia petang
Lihatlah, api yang membara di tungku
Seperti angin menyusur kelokan pematang
Tapi kau tersesat di lorong sunyi itu
Mengerang di jalan-jalan yang hilang
Kau tahu, sesuatu telah pasrah jadi abu
Aku birahi meragukan kesetiaan
Siantar, Februari 2008
Kembara
Duri ikan mas di piring kaleng, tumpukan belulang anjing di meja kayu, menjerit tentang daging yang hilang. Maka kita tahu kedai itu sudah lenyap dihisap malam. Pesta hanya ampas bual, sisa kecut sendawa para pemabuk. Bau tuak mencekik udara, mengirim dingin dan murka batu ke lubang nafas kita. Mimpi betapa pahit, tidur senantiasa kecut.
Tapi terdengar dengkur pemabuk itu menggetar, merampas siul katak dan lagu jangkrik di parit lubuk. Maka sampailah kita di lorong mimpi penyair melolong kasur lapuk. Entah berguru pada dosa siapa, ia menggulung ulos dan bernyanyi menyeret-nyeret bulan, "Saatnya menenun sajak, saatnya menjahit sajak, sebab lama kematian minta ditunggang."
Lalu sunyi saling menggonggong dengan anjing, mengirim kutuk gondang dari jurang-jurang jauh. Petani tua merinding dan menepi di mulut kedai, mengelak ludah dan tulah bibir datu-datu. Duri dan tulang belulang di meja kayu memerangkap mata dan jantung lelaki itu ke dalam tuak. Ia menyeret liur menjalari sepi kampung, merengkuh sedih paling rampung.
ke mana para pemabuk itu, Tuan? Ia merangkak, mencari surga di sepanjang dengkur mulutnya, merenangi lumpur di liang busuk parit desa. Ia menenun sajak di lorong tidur dan menjadi tahu: tak hanya daging hilang, lengang telah lama jua membunuh jantung.
Kisaran, Desember 2009