11 Januari 2016

Tarian Sunyi

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Tarian Sunyi

selalu kami mengukir gemuruh doa-doa jadi lorong sunyi di rongga darah. sembahyang kami menajam, melesat melayari samudera di sepanjang luka dada. kami ibadahi gerak lancang yang melukis gemulai ombak di dinding gelisah. maka, gurindam yang dibungkus tahajud menyeru jiwa kami dengan merdu cahaya. tapi mengapa kami selalu terkulai di pantai lengang berwarna kelam yang pedih?

kami ingin menari. menggugurkan letih dari sukma pucat kami, tapi rintihan gelombang terlalu hebat meledakkan denyut nafas kami.

kami lalu pasrah. kami hanyutkan pahatan-pahatan pedih di atas airmata. tapi sungai yang menyeringai itu tetap saja mengingau tentang luka angin, yang resah menerbangkan rindu laut ke pebukitan sujud kami, yang gelisah mengirimkan aroma pantai ke hutan-hutan rakaat kami. maka tangisan memahat dan mewarnai jiwa kami jadi sejarah sunyi, bergerak di sepanjang nafas leluhur yang mengendarai geliat sepi dalam kedatangan abad-abad ke dalam dada kami.

bagaimanakah kami harus menari di jantung sunyi, sementara angin tak lagi merekan petitih putih dari abad lampau?

tapi lihatlah. di antara kibasan selendang abad masih tercatat gema pantun. masih menderu suaranya seperti ombak yang menjadikan laut bernafas nyaring, serupa gendang, sewujud rebana. memantulkan biru ke angkasa hati kami yang gemetar mewarnai luka.

maka camar mengepak, terbang melukisi langit dengan warna-warna doa kami. dari lukisan itu, gurindam yang kami sahut curah dalam wujud hujan, membasahi jiwa kami yang selalu bernyanyi dalam gerak sunyi, dalam tarian-tarian sunyi.

Pekanbaru, 07-12-03



Nubuat
Air menulis syair kepada sungai: kau tak bisa memaksa orang mencinta dan menciptamu sebulat bulan dan setinggi malam. Sebab bagi burung yang birahi, kesetiaan adalah sangkar pengap yang bersiap diacak badai.

Maka bulan hanyut, telanjang bagai kumbang, dan burung-burung memetik kematian dari jemarimu. Aroma lumut pergi untuk selama-lamanya. Tabahlah, kelopak bunga-bunga sudah gugur dan warna membeku jadi bangkai.

Sejak itu, angin melemparkan sejarah busuk ke mulutmu. Itulah giliranmu menelan, melarung kutuk ke dalam perut. Selanjutnya adalah surga, aroma liar candu, yang memeluk takdir sedingin batu.

Sungai menulis sajak kepada air: diamlah, ijinkan kumakan segala ikan, merayakan orang-orang yang lupa.

2010-2015 

Tungku

Pada uap nasi di piring
Panas tungku tak ingin hilang
Sebab jejak bara di dinding batu
bukan belenggu api di ujung kayu
Kau tahu, sesuatu telah pasrah jadi abu
Agar kau cecap madu dalam empedu

Sejauh itu kuturuni lembah kesetiaan
Sebab bersama segumpal nasi di piring
Lumpur, jerami dan sekam juga kau telan
Seolah membuka lumbung rahasia petang

Lihatlah, api yang membara di tungku
Seperti angin menyusur kelokan pematang
Tapi kau tersesat di lorong sunyi itu
Mengerang di jalan-jalan yang hilang

Kau tahu, sesuatu telah pasrah jadi abu
Aku birahi meragukan kesetiaan


Siantar, Februari 2008


Kembara

Duri ikan mas di piring kaleng, tumpukan belulang anjing di meja kayu, menjerit tentang daging yang hilang. Maka kita tahu kedai itu sudah lenyap dihisap malam. Pesta hanya ampas bual, sisa kecut sendawa para pemabuk. Bau tuak mencekik udara, mengirim dingin dan murka batu ke lubang nafas kita. Mimpi betapa pahit, tidur senantiasa kecut.

Tapi terdengar dengkur pemabuk itu menggetar, merampas siul katak dan lagu jangkrik di parit lubuk. Maka sampailah kita di lorong mimpi penyair melolong kasur lapuk. Entah berguru pada dosa siapa, ia menggulung ulos dan bernyanyi menyeret-nyeret bulan, "Saatnya menenun sajak, saatnya menjahit sajak, sebab lama kematian minta ditunggang."

Lalu sunyi saling menggonggong dengan anjing, mengirim kutuk gondang dari jurang-jurang jauh. Petani tua merinding dan menepi di mulut kedai, mengelak ludah dan tulah bibir datu-datu. Duri dan tulang belulang di meja kayu memerangkap mata dan jantung lelaki itu ke dalam tuak. Ia menyeret liur menjalari sepi kampung, merengkuh sedih paling rampung.

ke mana para pemabuk itu, Tuan? Ia merangkak, mencari surga di sepanjang dengkur mulutnya, merenangi lumpur di liang busuk parit desa. Ia menenun sajak di lorong tidur dan menjadi tahu: tak hanya daging hilang, lengang telah lama jua membunuh jantung. 

Kisaran, Desember 2009
Bagikan:

Baca Juga:

  • Doa-doa Kepada Mulajadi Na Bolon
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan Jampi Sekali ingin kembali pada takdir semula jadi Bangun amat pagi, merapal jampi pada Mulajadi. Di lembah semedi…
  • Malam Menggali Kuburan di Dadaku
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan   Ilustrasi. Jangan TanyaJangan tanya mengapa pohon-pohon selalu menghijau di hatiku, padahal akar yang merammb…
  • Syair-syair Panda MT Siallagan
    Ilustrasi. Melayat Puisi Sebuah kabar dibisikkan, menyusup lembut ke telinga, menusuk perih ke liang jantung: tentang ari-ari di tepi dangau, su…
  • Aku Masuk ke Hatimu yang Bersalju
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan Ilustrasi. Tanah Kami Tak Mungkin Kembali Kami ikhlaskan juga tanah itu dibelah-belah, sebab kami lelah memeta…
  • Puisi-puisi Panda MT Siallagan
    Penyair dan HujanKarena aku penyair,bahasa adalah tanahSeperti hujan,kuhempaskan tubuhku tanpa ragudi wajah bahasa.Karena aku tahu, tanah sangat …
  • Syair-syair Panda MT Siallagan
      Doa yang PatahAku melukis sajadah di matamu, tapi tak selesai. Warna-warna doaku gagal gagal membaca arus yang menderas dari situ. Sembahyangku…
  • Menyetubuhi Sunyi, Pada Suatu Hujan
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan Ilustrasi. Menyetubuhi SunyiSunyi yang mengepung usia, ia susuri. Ia datang padamu mengendarai lelah sambil terus m…
  • Di Depan Pintu Kematian
    Sajak-sajak Panda MT Siallagan NerakaKatamu:"Aku telah melemparkan kulitku jadi tanah. Kutanam mataku setelah kutugal dengan tulang-belulang. Tub…