06 Juni 2016

Di Depan Lukisan Herbert Hutagalung, Gadis Muda Terpana

Oleh Panda MT Siallagan

Seorang gadis cantik terpana dan takjub menatap sebuah lukisan berjudul Di Pinggir Kali Ciliwung, dan berkata dengan suara bahagia, "Alangkah manisnya!" Lukisan itu adalah karya Herbert Hutagalung, pelukis Batak yang sangat disegani pada zaman kolonial.

Pelukis Batak Herbert Hutagalung

Lukisan Herbert itu sedang dipampang pada sebuah pameran di Gedung Kunstkring, yang berlangsung tanggal 3-19 September 1942. Beratus-ratus orang datang setiap malam menyaksikan pameran itu, dan barangkali beribu orang terhibur, terharu dan bahagia menyaksikan lukisan Herbert itu.

Tapi di tempat lain, di sebuah rumah sakit, maut sedang mengintai. Saat pameran berlangsung, Herbet sedang sakit parah. Ia berjuang melawan sakitnya, sementara banyak orang bahagia menatap lukisannya. Dan tak lama, kira-kira sebulan kemudian, tepatnya 11 Oktober 1942, Herbert Hutagalung wafat, meninggalkan keindahan di dunia yang fana ini.

Kisah ini saya temukan dari buku karangan S. Sudjojono berjudul Seni Lukis, Kesenian dan Seniman. Buku ini pertama kali terbit di Jogyakarta tahun 1946, tapi buku yang saya punya adalah terbitan ulang tahun 2000 oleh Yayasan Aksara Indonesia, dengan penyunting Eka Kurniawan dan Subandi.

S. Sudjojono sendiri adalah pelukis legendaris Indonesia dan dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern. Demikian kesaksian Sudjojono: "Dia sendiri sakit keras, tetapi gambarnya menggembirakan orang dan berjanji membawa si penglihat ke dunia yang tenang, dalam mimpi yang bahagia, kebagusan rakit dan bukit di pingir Sungai Ciliwung yang mengalir sudah beribu-ribu tahun lamanya dari pegunungan tinggi di tanah Priangan ke lembah bawah, lembah Jakarta, menuju ke lautan Jawa."

Lukisan seperti apakah kiranya buah karya yang membuat orang-orang dan gadis muda itu takjub? Itu adalah lukisan tentang Sungai Ciliwung dari perspektif yang berbeda. Berdasarkan catata Sudjojono, kita kemudian tahu bahwa sudah sejak masa kolonial Sungai Ciliwung itu jorok dan setiap hari mengalirkan limbah domestik. Tapi lewat lukisannya, Herbert menyadarkan orang bahwa Ciliwung adalah sungai yang indah.

"Orang banyak yang berjalan, melancong, bersuka-suka di pinggir sungai tadi atau mandi, mengail, berak, bersendagurau saban hari di air itu, tak ingat akan kebagusan Ciliwung. Tapi Herbert menunjukkan kepada mereka, mencoba memberitahu, dan mengarahkan mata mereka sekejap, ke gambarnya untuk menolong menegaskan bisikan Ciliwung: Lupakan ribut sehari-hari, pandanglah aku dari sudut pandangan lain. Kecuali aku berfaedah bagi kamu semua, aku juga bagus. Tak cantikkah aku, aku  sebagai Sungai Ciliwung?" ujar Sudjojono.

Sayang sekali, tak banyak referensi tentang perjalanan hidup Herbert Hutagalung. Atau barangkali, saya belum memperolehnya dan besar harapan saya, generasi muda Batak dapat mengenal tokoh hebat ini sedetail-detailnya agar bisa hidup jadi inspirasi. Sejauh ini, satu-satunya referensi saya paling mewakili adalah buku S.Sudjojono ini.

Ketika Herbert meninggal, Sudjojono mengalami 'penglihatan' nyata pada sebuah kenangan. Sangat dekat. "Herbert datang ke rumah saya, memakai pet putih, kemeja bergaris, sepatu putih sol hitam, tas kelabu panjang, koper cat menggambar yang kecil, hendak menggambar di dekat Sekip beberapa bulan sebelum Perang Pasifik pecah. Saya termenung. Namanya tak saya coret dalam daftar anggota PERSAGI meskipun saudara Herbert tak ada lagi, sebab saya tahu dia tak keluar dari hati PERSAGI".

PERSAGI adalah organisasi seni rupa Indonesia, singkatan dari Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia. Organisasi ini berdiri 23 Oktober 1938, diketuai Agus Djaya Suminta dan sekretaris S. Sudjojono, dengan para anggota: Ramli, Abdulsalam, Otto Djaya, S. Tutur, Emira Soenassa, L. Setijoso, S. Sudiardjo, Saptarita Latif, Herbert Hutagalung, Sindusisworo, TB. Ateng Rusyian, Syuaib Sastradiwilja, Sukirno dan Suromo. PERSAGI bertujuan membentuk para seniman lukis Indonesia menciptakan karya seni yang kreatif dan berkepribadan Indonesia. Menurut S. Sudjojono, Herbet selalu turut dalam pameran-pameran awal yang digelar PERSAGI.

Kita tahu, S. Sudjojono masih panjang umur dan hidup hingga tahun 1985. Saya berimajinasi, andai ada generasi muda Batak peduli ketika itu dan berupaya mewawancarai S. Sudjojono, mungkin saat ini kita bisa menemukan kisah-kisah yang lebih lengkap tentang Herbert Hutagalung. Memang, dalam sejumlah pembahasan tentang perkembangan seni rupa modern Indonesia, nama Herbert selalu disebut namun tidak terurai sejarah lengkap kehidupannya (semoga ada, semoga sayalah yang belum mendapatkannya).

Menurut S. Sudjojono, Herbert Hutagalung lahir di Tarutung, Tapanuli (waktu itu masih keresidenan) tanggal 24 Maret 1917. Demikianlah, semoga bermanfaat. ***
Bagikan:

1 komentar:

  1. Terima kasih, kami sangat senang bisa membaca ini, kebetulan kami juga sedang mengkaji soal opung ini. Beberapa genenasi masih ada yang meneruskan bakat beliau, hanya saja pemuda pemudi batak sendiri kurang mengapresiasikan karya seni, di banding di jawa. Semogs lebih banyak yang perduli karya seni dari anak cucu batak yang haeus berjuang ke tanah jawa demi mencari nafkah. Miss_gallery99 - tarutung tapanauli

    BalasHapus

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!