12 Juni 2016

Sajak Mistis dari Lembah Toba


Lanskap pusuk buhit
Foto/Internet
Sajak-sajak Panda MT Siallagan


Aubade Lembah Toba

Suatu sementara aku tidur
di dalam babi panggang, mendengar
kepala berdenyut jadi cicak,
bersama dengung kipas komputer.
Aku tidur dihantar segelas kopi
berbau jagung, ditemani tawa remaja
penuh dusta, di halaman rumah
mengkaji-kaji bulan, tolol sekali
tawa itu menemaniku tidur. Oh sepi,
hai sepi, hai Mulajadi Nabolon,
aku bermimpi tentang janggutmu
menugal punggungku, seperti kolesterol
yang menderu di leher, menugal-nugal
lubang di antara bibir, dengkur, siapakah
yang menanam gorga ini?

Goresan-goresan darah memanjang
di ujung desa. Goresan-goresan darah
menjangkau kota di dadaku, memburu
babi panggang, mengejar jeruk nipis,
aku tidur mengenang tulang-belulang
yang hanyut menemui cacing, cacingku,
cacingmu, cacing yang bergendang
dan tidur bersama tidurku. Aku mati,
tersisa jadi daun-daun di pekuburan,
kemudian lari ke pohon beringin,
berteduh di samping ular
yang bermimpi jadi tidurku,
oh Mulajadi Nabolon, lemparkanlah
awan itu, aku ingin mendengkur
tenang, mendengkur tentang ombak 
yang melompat menangkap gagak
di punggung kerbau, dan hinggap jadi cicak
di kepala kerbau, mematuki garis-garis gorga.

Suatu sementara aku bermimpi,
terbang jadi burung ke kamar mandi,
lalu berjongkok atau berkicau
tentang debur petir dari mulut naga,
suaraku menjelma asap rokok,
menerbangkan atap-atap,
menjatuhkan langit ke dalam rumah.

Dari kamar mandi aku melompat
ke  ranjang yang terbuat dari langit,
dan mulai tidur tenang.
Kudengar dengkur babi menjauh
dari mulut anak-anak muda
di halaman rumah itu, mungkin mereka
pergi ke bawah pohon beringin,
menyerahkan pantat pada semut
atau cerita murahan tentang cita-cita
yang terpampang dalam smartphone.
Aku tidur tenang dalam smartphone,
dalam mimpi yang pergi
mencari-cari pagi dan embun
yang pernah terpampang sebagai cerita
di mata ayah, atau sarang laba-laba
yang pernah membingkai rambut ibu
jadi pelangi di punggung gunung,
oh Mulajadi, aku ingin jadi pelangi
membungkam Pusuk Buhit.

Lalu ekor naga. Pelangi menjelma
ekor naga, memukul-mukul danau,
menerbangkan perahu-perahu, oh babi
panggang. Aku terbangun mengingat
babi panggang yang mengantarku
pada kiamat di Pusuk Buhit
dan ekor naga berwarna pelangi,
membangunkanku dari mimpi.
Lututku gemetar, dadaku bergemuruh,
tengkukku panas, layar komputer masih
menyala memandangi rumah yang sepi
dipermain-mainkan cicak dan tikus.
Oh, di jalanan yang jauh, orang-orang
berteriak tentang gol sepak bola,
mengapa layar kaca seperti pusaran air
yang menghisap segala? Nyamuk
berdengung, dan kudengar bibir dokter
meledak seperti balon:
kolesterol, kolester, koles, kol, ko, k!
Sepertinya, sepakbola telah berakhir
dan penggila-penggila itu pulang
ke tubuhku, mencari-cari aroma
babi panggang. Dan kudengar
Yudas bersimpuh dengan tangis bayi
yang melengking dari rumah tetangga,
 memelas penuh cinta, katanya:
Oh, Mulajadi Nabolon, maafkan
tangan-tangan jahil yang melemparkan
mobil-mobil ke Pusuk Buhit itu.

Suatu sementara tidurku semakin kacau,
pohon-pohon tumbuh di atas meja,
melemparkan buku-buku
ke dalam komputer, lalu seisi rumah
terbang jadi ulos dan pergi
meninggalkan tidurku. Sebuah suara
nyaring menyambutku, “Selamat pagi,
anak-anak sudah pergi sekolah,
ayo kita sarapan puisi!"

Pematangsiantar, 2016

Kutuk Puisi

Sejak demam itu, tanam-tanaman
berebut lubang tumbuh di tubuhku,
sejak puisi itu.

Jagung meninggalkan ladang,
memutus masadepan dan hari tua.
Parutan menganga, membuka takdir
dan meremukkan waktu demi jiwaku.
Lumpur jagung menjelma Tuhan,
melemparkan sungai ke bukit-bukit
gersang. Melarung virus. Merawat puisi.

Sungguh sejak demam itu, sejak puisi itu,
daun asam dan temulawak tiba jua
menjelma budak, mengabdi pada tuan buruk:
tubuh lumpuh penuh ruam. Oh… tragis,
tubuh jadi medan perang

Tapi sungguhkah jagung, daun asam
dan temulawak mujarab menambal luka?
Kuseru lagi puisi-puisi itu. Ciplukan tiba
dari huma, mengurai takdir dalam panci,
pada air pada api. Dan terbanglah
ke bandar, wahai, bertempurlah di lautan,
merekam puisi ibu: mandilah anakku,
mandilah, sebab surga masih jauh.

Dan mimpi berakhir di lorong infus,
pada daratan kutuk:  kerikil-kerikil hitam
dan puing-puing perang membusuk
di tubuhku. Kembalilah, bisik roh
pengutus demam itu, dan aku berhenti
di bawah pohon kemiri. Perang
berkumandang lagi: petik dan cungkil
buah-buah muda itu, aduk dengan kucai
di lembah lesung. Remukkan hingga debu,
lumpurkan di bawah pancuran. Dan aku
berenang di lumpur itu.

Tapi demam itu menjelma kelabang
dalam lumpur, menggerogoti segalaku.
Sejak itu, aku tak ingin bicara lagi,
sebab puisi tak utuh lagi. 

Pematangsiantar, 2016
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar