Oleh:
Panda MT Siallagan
Beberapa
hari terakhir, sangge-sangge menjadi
trending topik di media sosial, terutama di jejaring facebook. Bagai air, kata 'sangge-sangge' tumpah di hampir seluruh
linimasa (wall) akun facebook milik orang-orang Batak, baik anak-anak muda
maupun orangtua.
|
Sangge-sangge. |
Kita
tahu kisah itu: pernikahan Tika Romauli Siregar dan Windra Simangunsong batal
karena calon pengantin perempuan terlibat percakapan menyakitkan dengan sang
calon ibu mertua. Tika tersinggung ketika calon ibu mertuanya membahas pakaian
yang ia kenakan saat acara martumpul
(bertunangan).
Calon
mertua menilai pakaiannya tidak layak digunakan dalam acara seperti itu. Calon
mertua juga menyinggung perhiasan emas yang ia gunakan, terlalu kecil dan tipis
seperti daun sangge-sangge (serai).
Inilah awal mula kisah sangge-sangge
dengan berbagai tanggapan, meme, parodi, bahkan lagu.
Mengapa sangge-sangge ini begitu cepat menyebar
dan viral? Itu terjadi karena secara sosio-kultur, sangge-sangge memang akrab dengan tatanan kehidupan orang Batak. Sangge-sangge merupakan bumbu pelengkap
untuk kuliner tradisional Batak. Seluruh makanan khas Batak selalu pakai sangge-sangge. Sejalan dengan itu, maka sangge-sangge lekat dengan adat, dengan
budaya.
Sanggge-sangge adalah tentang rasa, tentang
aroma. Penikmat kuliner asli tradisi akan segera tahu jika bumbu makanan khas
Batak, misalnya ikan arsik, tidak dilengkapi dengan tanaman suku rumputan
berdaun tipis ini.
Penggunaannya
saat meracik bumbu juga harus cermat. Tidak boleh berlebihan, sebab jika
digunakan terlalu banyak, makanan akan terasa pahit.
"Untuk
masakan arsik, naniura, gulai ikan, sangge-sangge
cukup penting, meski porsinya tidak cukup banyak. Sebab bila berlebihan, rasa
makanan jadi pahit. Tapi kalau tidak pakai Sangge-sangge, aroma masakan
sepertinya kurang pas," ujar S br Rajagukguk (56), seorang ibu rumahtangga
Balige, Selasa (10/10/17).
S Br
Rajagukguk tidak tahu menahu soal budaya, tapi menurutnya, sangge-sangge adalah salah satu simbol masakan orang Batak.
Harganya murah, gampang didapat, dan mudah tumbuh di mana saja. Di Pasar
Balige, misalnya, 4 batang sangge-sangge
hanya dihargai Rp2.000.
Sesungguhnya,
bukan hanya untuk orang Batak, tapi bagi suku lain, sangge-sangge juga memiliki peranan penting dalam bidang kuliner.
Bahkan di Asia, seperti Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, sangge-sangge merupakan rempah-rempah
berharga. Sangge-sangge memang
memiliki aroma dan rasa yang unik. Sangge-sangge
adalah primadona bagi kaum ibu.
Maka
mudah dipahami, sebagai wujud keakraban dengan sangge-sangge, kaum ibu akan mudah menggunakannya sebagai perlambang
untuk merepresentasi situasi dan konteks sosial tertentu. Kalung setipis daun
sangge-sangge adalah ungkapan mendasar yang lahir dari imajinasi kaum ibu.
Selain tipis, daun sangge-sangge
memang kasar, bergerigi dan berpotensi menyebabkan luka jika tergores pada
tangan.
Umumnya
daun sangge-sangge disingkirkan, yang dipakai untuk pelengkap
bumbu adalah bagian batang, yang memiliki cita rasa tinggi. Istilah kalung setipis daun sangge-sangge bisa
merujuk pada makna bahwa kalung yang kecil tidak ada artinya, tidak memiliki
cita rasa, tidak memunculkan 'kehormatan' sosial. Kalung yang bermartabat
adalah kalung setebal batang sangge-sangge.
Sesungguhnya,
perlambangan ini lahir dari penghayatan yang mendalam dan mendarah daging,
sebagaimana halnya selera lidah menyatu dengan aroma dan citarasa makanan yang
diciptakannya. Sebab kuliner memang penjaga ingatan, sekaligus jalan menuju
identitas. Para perantau akan selalu terkenang pada kuliner awal yang
membesarkannya. Itulah sebabnya para perantau selalu mencari kuliner-kuliner
khas yang ia kenal sejak kanak-kanak.
Dan sangge-sangge, dalam konteks yang sangat
romantis sebagai bagian dari budaya itu, muncul secara mengejutkan, membatalkan
sebuah acara pernikahan yang secara adat dan budaya juga sakral. Sangge-sangge adalah pelengkap makanan
dalam tradisi adat-istiadat, tapi ia dipakai sebagai perlambangan yang
menyakitkan dalam acara adat itu sendiri.
Itulah
yang menyebabkannya viral, sebab ia menyentuh sisi terdalam perasaan dan cita
rasa orang Batak yang memang akrab dengan sangge-sangge.
Nilai human interest sangge-sangge
ini menembus relung terdalam pikiran dan hati. Kalung setipis sangge-sangge, atau cinta (holong)
setipis sangge-sangge, alangkah
pedih. Warganet sesungguhnya sedang terluka.
Lalu, sangge-sangge terus bergerak memunculkan
ragam ekspresi untuk melampiaskan rasa simpati dan luka itu. Sejumlah anak muda
kreatif dengan berbagai minat, mencoba mengeksplore sangge-sangge. Ada yang membuat meme bagi yang paham infografis,
ada yang membuat parodi, dan ada yang menciptakan lagu.
Sebuah
lagu berjudul Satipis Bulung
Sangge-sangge (Kalung Mas i), yang diciptakan Herman Sihotang dan Herianto
Sihotang, tiba-tiba viral di media sosial youtube. Atas lagu ini, Tika Romauli
Siregar berkomentar: Terimakasih buat
semua yang simpatik terhadap kisah saya ini. Semoga tidak ada lagi ketulusan
dibalas dengan penghinaan.
Salah
seorang gadis cantik bernama Shety Simamora, melalui akun instagram
@shety__simamora, juga mengunggah sebuah lagu berbahasa Batak ciptaannya
berjudul Unang Patudos tu Bulung ni
Sangge-sangge (jangan samakan seperti daun serai). "Ga tau kenapa
sejak saya baca artikel sangge-sangge, saya kepengen buat lagu terkait dengan
artikel itu," katanya.
Saya
hanya ingin berkata, betapa dasyatnya sangge-sangge
ini. Betapa dasyatnya sebuah kreativitas. Dan, kreativitas selalu lahir dari
intensitas yang kuat dan emosi yang mendalam. Dan tentang ini, kita memiliki
hal-hal sederhana tapi sangat berharga. Tapi, kita mulai abai pada budaya. ***
Baca Juga: Anak-anak Muda Batak Ciptakan Lagu untuk Tragedi Sangge-sangge