Oleh: Griven H Putra
KETIKA membaca buku
Jalan Pulang (Kumpulan Cerpen dan Sajak Terpilih Riau Pos 2006), barulah saya sadar bahwa tak mudah memang membaca dan bertualang dari kisah ke kisah. Apalagi menyelaminya sampai ke dasar. Setiap kisah memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Namun yang jelas, cerpen yang ada dalam buku ini merupakan titik pusaran waktu yang diciduk dari kebesaran semesta raya. Ia serupa remah-remah warna kehidupan yang dirangkai menjadi pelangi yang begitu indah, dan asyik untuk dibaca.
|
Cover Buku Jalan Pulang. |
Dalam buku ini, pertama yang saya jumpai adalah orang ikan pada cerpen
“Pulang dalam Hujan” Marhalim Zaini, yang datang dan pulang dengan segala pernik ikannya. Berenang dengan nyaman dalam hujan. Berkelana dari teluk ke tanjung kehidupan dengan rasa nyaman. Mata dan hatinya embun, bertindak dan memandang alam sekitar dengan sederhana. Bau amis adalah jatidiri. Orang ikan tak begitu peduli pada sekitar, sepertinya bagi mereka semua orang sama: amis dan suatu ketika juga akan amis. Cuma saja, orang selalu memandang kepada yang lain, yang tak serupa dengannya yang belum punya ukuran pas. Mungkin standar dalam memandang sesuatu itu yang belum final. Amis, hitam, baik, sedap apa ukuran universalnya? Padahal, semua sesungguhnya sepadan. Warna? Ya, semuanya pantas, mau pakai baju merah celana hitam, tak masalah kan? Bahkan manusia hadir dalam keadaan tak pakai baju, apalagi memasang baju yang berwarna serasi menurut orang modern.
Rasa? Ya, segalanya bisa, makan belacan digelimang kentucky, cencaluk dengan hamburger, kenapa tidak? Perisa? Boleh segala jadi, bukankah memadukan cengkok Melayu dengan jazz Afro Amerika juga tiada salah? Irama dangdut dengan klasik ‘ngapa tak boleh? Semuanya kenapa perlu pembatasan tajam? Kenapa manusia terlalu sibuk dengan sempadan-sempadan yang tak urgen? Kenapa tidak seperti air mengalir saja? Bukankah dunia ini hanya sebuah proses menuju jalan pulang? Tidakkah yang abadi itu setelah pulang? Persoalan yang matan itu ‘kan cuma proses pulang. Apakah selama merantau punya bekal yang cukup atau tidak. Pulang dalam keadaan matahari berawan atau dalam hujan. Pulang dengan sejumlah atribut atau dalam keadaan telanjang?
Orang ikan lahir dalam telanjang, dan pulang dalam hujan dengan keadaan telanjang. Kalau warna-wama telah memenuhi jism dan roh, maka ada dua kemungkinan, beruntung atau malah rugi. Tapi kalau datang persis dengan semula jadi, bagaimana? Bila tuan datang ke kampung ikan, maka di sini tidak ada bangunan strata-strata tertentu. Jika tuan gelisah bersama orang ikan, maka tuan harus bertanya sudah telanjangkah tuan? Sudah siapkah tuan pulang ke kampung abadi?
Cerpen ini berjalan berat, dingin dalam gigil, renta dalam penantian panjang seperti keadaan oplet yang ditumpangi orang ikan dan orang (yang katanya) modern ini. Mungkin ini disengaja pengarang untuk menjaga harmonisasi antara judul dengan kisah. Sebagai sebuah cerita yang mengambil setting sepanjang kampung-kampung Melayu, cerita ini begitu elok melukiskan bahwa otonomi daerah belum punya arti apa-apa bagi orang kampung.
Ketika memamahbiak cerpen
“Pulang” karya Hary B Kori’un, saya seperti mesti membuka laci ingatan pada sebuah pemukiman transmigrasi. Bercerita tentang orang trans, menyakitkan memang. Dulu di kampung saya, mereka selalu terasing, selalu termarjinalkan dari warga lokal. Ketika mereka datang di hari pasar ke kampung kami, mereka selalu menjadi objek pemandangan bagi kami. Mereka membawa ubi, keladi, tebu dan tanaman sayur dalam sebuah truk colt diesel kubang dengan topi pandan bagai cendawan yang hampir layu. Sepertinya, mereka selalu menjadi objek segala persoalan. Jika anak-anak sebaya saya ketika itu berjumpa dengan kami, dari raut muka mereka jelas sekali rasa minder terperam begitu ranum. Pedih memang. Sehingga banyak di antara mereka yang kembali ke negeri asal karena tak betah. Di pemukiman itu, semua kejadian adalah goresan dari sebuah kesalahan sejarah yang dibuat rezim penguasa ketika itu. Mungkin, di satu sisi orang tempatan memandang mereka sebagai anak emasnya penguasa pusat. Padahal itu nonsense. Hal ini bisa dilihat dalam cerpen
“Pulang”. Seorang ayah harus mendidik anaknya dengan sangat keras karena sang ayah tahu bahwa kehidupan di sini keras. Tapi bagaimana tanggapan anak?
Negeri kita ini kehilangan ukuran-ukuran, kehilangan standar. Ukuran baik, standar jelek tak jelas. Standar mendidik dengan menghardik kabur. Ukuran cinta dan benci samar. Ya, kata orang ia seperti setipis kulit bawang. Lihatlah paragraf-paragraf berikut:
“Kenapa bapak tidak suka dengan saya, Bu?” Tanyaku suatu saat kepada ibuku.
“Dia mencintaimu, juga kakak-kakakmu. Tetapi seperti itulah caranya mencintai, suatu saat nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan tahu bahwa dia begitu mencintai kita... “ Ibuku berkata begitu sambil berjalan menuju dapur. Aku tahu dia menangis.
Ketika kembali ke tempat tidurku dengan segelas air putih, aku melihat matanya sembab. “Begitukah cara laki-laki mencintai, Bu? “ tanyaku lagi.
Ibuku mengangguk. “Iya, itu cara bapakmu mencintai. Tetapi tidak semua laki-laki begitu cara mencintai... “
Kembali ke orang ikan, maka hati yang telanjang dan menerima dengan dada telanjanglah semua ukuran itu bisa ditetapkan agar hidup ini punya perisa. Hal ini yang kurang dipahami si anak sehingga ia merasa harus pergi dan tak akan pulang lagi ke rumah ayahnya. Tapi, pulang itu pasti, siapapun takkan bisa lari.
Cerpen ini menarik dengan bahasa yang sederhana dan penggambaran orang-orang trasmigrasi yang kurang tersentuh oleh pengarang kita hari ini. Pengarang memang memiliki cara mereka sendiri-sendiri mengakhiri kisahnya. Cerita ini diakhiri dengan proses dramatisasi yang cukup menyentak. SMS tiba ketika petir berdentum! Dahsyat memang, tapi haruskah seperti itu ending yang baik? Ya, sah-sah saja.
Lalu saya harus bertemu dengan seorang perempuan yang mati karena keangkuhan kaum Adam. Cerpen ini berjudul
‘’Perempuan Itu Sudah Mati” karya Fitri Mayani. Sesungguhnya ini merupakan cerpen perlawanan. Gerakan feminisme terselubung dengan santun di sini tapi ia sangat mahal dan tajam. Tak seperti kebanyakan cerita serupa yang ditemui di Indonesia kini. Cerita ini mengandung kearifan perempuan sebagai labuhan tempat bertambatnya sebuah perahu bernama Adam. Mana yang lebih hebat, marah dengan seribu caci-maki, segudang hamun-maki daripada diam seribu kata? Perempuan ini memilih diam seribu bahasa untuk melawan suaminya yang tampak begitu mudah melupakan anak mereka. Cerpen ini patut mendapat tempat karena sederhana dan bercerita dengan tulus. Di samping itu, cerpen ini memang sukses menjadi sebuah kisah, ia bukan kata-kata yang indah yang dirangkai menyerupai puisi dan esai filsafat. Pada hemat saya, di Riau, bahkan di Indonesia hari ini, itulah yang sulit ditemui. Terkadang orang harus berprosa ketika berpuisi. Dan berpuisi ketika berprosa. Tidak jarang pula, orang ingin beraneh-aneh tapi tiada guna. Itu bukan tak boleh, tapi kalau sesuatu yang biasa bisa menyentak dan memberikan pencerahan bagi kemanusiaan kenapa harus beraneh-aneh? Kalau ada sesuatu yang mudah kenapa harus berpayah-payah? Tak salah memang, tapi sebaiknya pulangkan ia ke tempat masing-masing. Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan segala kemudahan.
Hal yang sama terlihat dalam cerpen
“Dia Selalu Menangis Setiap Melihat Matahari Muncul dari Balik Kabut Asap” karya M Badri. Cerpen ini mengalir begitu tenang seperti air tergenang sehabis pasang. Setiap kata yang dirangkai menyejukkan walau sesungguhnya menimbuikan efek gigil, geletar dalam batin. Tidak ada yang aneh pada kisah ini, cuma judulnya saja yang agak panjang. Jika saya diberi kuasa memberi judul cerpen ini mungkin ia akan bertajuk
“Perempuan yang Menyimpan Api Abadi di Dadanya.” Cerpen ini berkisah tentang sepasang pengantin. Sang suami bekerja pada perusahaan minyak yang akhirnya meninggal karena ledakan pipa yang pecah akibat hutan yang terbakar. Setiap ada asap yang menebar di tengah kota, perempuan itu selalu menjerit mengingat kepergian kekasihnya. Melihat kepiawaian cerpenis ini merangkai kata yang jernih dan memainkan imaji dalam cerpen ini, tak berbihan bila cerpenis ini berada di julangan utama dalam peraduan cerpen yang ditaja CWI (Creative Writing Institute) dan Menpora tahun 2006.
Ketika memasuki ladang cerpen berjudul
“Dua Perempuan Sunyi” yang ditulis oleh Pandapotan MT Siallagan, lagi-lagi kearifan seorang perempuan jelas tersimpan di situ. Perempuan pertama; ibunya yang keturunan orang kaya di kota menikmati kehidupan di desa dengan kebun kakaonya setelah suaminya meninggal. Perempuan kedua, dr Hanna Bertha, anaknya menjadi perempuan yang asali bisa menerima keadaan suaminya yang kaku dengan segala ketulusan. Dua perempuan ini tidak gelisah atas ‘bencana’ yang menimpa mereka karena mereka sadar, bahwa sebagai perempuan, hiasan untuk berkilau itu lebih banyak harus berhulu darinya. Maka di sini tiada pemberontakan atas kekurangan kaum Adam. Keihlasan adalah kunci mencintai. Pada awalnya, cinta bukan untuk menerima tapi memberi dengan segala kebeningan. Kebersamaan Adam dan Hawa bukan menikmati terangnya sinar purnama tapi menjadi purnama itu sendiri.
Kini saya tersandar di dinding
“Masjid Komplek” prostitusi karya Joni Lis Effendi. Azan Subuh baru saja berdentang tapi jemaah tak banyak datang. Setelah Subuh rampung, saya mulai memahami jalan pikiran pemerintah yang ingin merobohkan masjid ini. Juga kalau perlu masjid-masjid yang lain. Buat apa masjid kalau jamaah menjadikannya hanya sebatas simbol? Kenapa masjid ini tak dibawa saja ke dalam diri masing-masing? Masjid bukan materi pameran! Masjid adalah sentana dalam diri, di mana di situ Tuhan bersemayam, kemanusiaan bermahkota, kebinatangan dan kesetanan dibuang jauh. Begitu pula dalam cerpen
“Lorong Beraspal ke Masjid” karya Gde Agung Lontar. Kini orang makin sulit membedakan antara pura, candi, gereja dan masjid dengan diskotik, mal dan jembatan. Manusia sekarang beringas. Korupsi telah berkelana di serata tempat.
Aku adalah seorang pengusaha jasa konstruksi, aku tahu betul mana bangunan yang dikerjakan dengan memenuhi segala persyaratan yang telah ditetapkan. Reretak yang muncul bagai sulur yang merayap ke sekujur tubuh masjid, kosen dan bingkai yang meregang, cat yang memudar dan berjamur, membuat tubuhku tetiba serasa lunglai. Syam, ini masjid, Syam...
Cerpen ini cukup menarik karena cara bercerita pengarang yang begitu santai namun banyaknya kata-kata seperti ‘reretak’ yang awalnya adalah retak-retak atau tiba-tiba menjadi ‘tetiba’ dan bertanya-tanya menjadi bertetanya serta sejumlah kata lain yang terasa agak mengganggu bisa dibuat seenaknya saja?
Melihat isi cerpen ini, mungkin Sobirin Zaini benar, bahwa di negeri kacau-balau ini lebih baik menjadi
“Kelelawar” daripada menjadi manusia, seperti dalam judul cerpennya. Dan jadi
“Topeng Monyet” dalam cerpen Nyoto pun sangat jauh lebih baik daripada jadi orang; manusia. Bercerita tentang cerpen
“Topeng Monyet”, pengarang cukup sukses mengaduk-aduk perasaan pembaca sehingga kepedihan menyelinap begitu dalam seusai membaca cerpen tersebut.
Dalam kematian Edi RM, sebagai cerita, tak cukup sukses, namun karena ini seperti autobiografi, maka
“aku” yang ditulis tidak menjadi prismatis.
Cerpen
“Tanah” dirangkai oleh penulisnya, Aleila, dengan kata yang cukup puitis namun terkadang terdapat tanafur kalimah di dalamnya. Saya tidak tahu entah apa pasalnya cerpen ini ditempatkan pada halaman pertama dalam kumpulan ini. Entah karena
“Pulang” yang dimaksud editor buku ini merupakan tempat terakhir di mana sebuah insan akan mengakhiri semua kisahnya di sini?
Sementara cerpen
“Ciut” karya Jefry Al Malay, bercerita tentang seorang yang takut akan kematian. Hampir semua makhluk takut akan hal itu kecuali kaum sufi yang selalu melukiskan bahwa kematian itu adalah masa-masa indah yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya. Dan kuburan itu menurut mereka adalah istana megah yang merupakan gerbang perdana menuai hasil kehidupan fana. Cerpen ini hampir masuk wilayah itu seperti terlihat dalam dialog berikut: “Kalau memang nyawaku harus Engkau ambil di tahun ini ya Tuhan... aku ikhlas. Karena walau bagaimanapun aku percaya ampunan-Mu tak terbilang luasnya... Maka ampunkanlah dosa-dosaku yang tak terbilang pula banyaknya...”
Apa arti doa sebenarnya? Sebuah pertautan dengan Tuhan untuk membuat sesuatu terjadi atau tak terjadi, atau sekadar ikhtiar untuk menghibur gundah? Apakah agama sebenamya? Sebuah iman untuk penyelamatan di dunia dan akhirat, atau kemudian seperti yang dikatakan Karl Marx, “Desah keluh makhluk tertindas, hati di dunia yang tak punya hati, semangat dan keadaan yang tanpa semangat?” Apapun artinya, pada akhirnya orang percaya bahwa bukan ora melainkan juga labora, bukan dengan berdoa saja, melainkan bekerja —itulah yang membungkam mereka dari ketakutan. Demikan kata Goenawan Mohamad. Rasidin telah begitu takut kepada maut, ia menyesali dosanya tapi akankah maghfirah, ampunan itu datang hanya dengan sebuah penyesalan tanpa bekerja, beramal untuk menebus segaia kekhilafan?
Dalam cerpen
“Deru Waktu” karya Hang Kafrawi, Tuhan bersumpah dengan waktu. Itu artinya, sesuatu yang mahapenting berkait-mait dengan itu. Cerpen ini memperlihatkan sedikit pergeseran garapan yang dilakukan pengarangnya. Kalau dulu Hang Kafrawi bercerita banyak tentang dunia Melayu lama dengan segaia tetek-bengeknya dan berupaya menyandingkannya dengan ikhwal kekinian (seperti yang telah dipahat oleh Taufik Ikram Jamil). Kini Hang Kafrawi telah mengalir dan beralih seiring deru waktu. Bonjour! Buat Hang Kafrawi, jangan lagi terbuai di bawah kegemilangan pendahulu. Kita adalah kita yang hidup hari ini, dan berhak menetak sendiri sejarah kita. Bukan menangisi masa lalu yang berdelau dengan seribu isak sedan yang tak perlu. Bercermin dari masa lalu boieh, tapi jangan tak berganjak dari itu ke situ.
Dalam cerpen
“Perempuan di Luan Sampan”, mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Dantje S Moeis dalam kumpulan cerpennya
Semah Japura Laut. Hampir semuanya bercerita tentang alam bunyian; bunian. Dalam cerpen ini kelihatan kearifan lokal masih bersemedi pada kisah tersebut. Pun dalam cerpen Musa Ismail yang berjudul
“Keselap!”, kearifan lokal berupa percaya kepada alam lain seiain alam nyata ini tidak ditinggalkan begitu saja, walau sekarang bukan lagi zaman tradisional.
Musa Ismail merupakan muka lama yang masih eksis. Dan sebagai penulis, ia konsisten menjadi seorang pencerita yang handal. Ini terlihat ketika ia menjuarai salah satu lomba menulis cerpen di Jakarta baru-baru ini yang diadakan Depdiknas. Semula saya ingin berhenti membaca cerpen
“Keselap!” namun saya malah keselap dengan cerpen ini. Kisah ini memaksa saya untuk menyelesaikan penyelamannya sekali duduk. Hebat!
Dalam buku
Jalan Pulang ini, ada memang beberapa cerpen yang membuat saya harus berulang-ulang membacanya dan akhirnya tak tamat. Saya gelisah. Mungkin teks di kepala saya tak mampu melumatnya. Maaf... salah-satunya seperti cerpen yang berjudul “
Surat, Asap, Aku dan Percikan Darah Bidadari” karya Verrin Ys. Setiap memulai menyantap kata dan kalimat yang terdedah, pikiran saya langsung beralih ke cerpennya yang terdahulu berjudul
“Keberangkatan”. Cerpen yang pernah masuk antologi cerpen Riau Pos tahun 2002. “Keberangkatan” begitu pas untuk mencium bau laut dan melukis pelangi senja, dengan sentuhan rasa yang begitu memikat. Dan terasa sekali kalau yang bercerita itu memang ceritanya, bukan pengarangnya. (Maaf, ini hanya masalah kecendrungan pembaca semata yang tentu saja bersifat impressionistis). Saya merindukan cerpen Verrin Ys yang lain seperti
“Keberangkatan” itu.
Akhirnya, minta maaf, tabik atas segaia kekeliruan!***
Griven H Putera adalah salah seorang cerpenis Riau. Cerpen-cerpennya dimuat di banyak media dan beberapa antologi. Bersama Marhalim Zaini dan M Badri, menjadi cerpenis Riau yang berhasil masuk dalam nominator lomba cerpen CWI dan Kantor Menpora 2006 (M Badri menjadi juara pertama) yang dibukukan dalam buku kumpulan cerpen Loghtong. Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam diskusi dan bedah buku yang diadakan oleh Komunitas Paragaraf, Sabtu, 20 Januari 2007. Untuk kepentingan ini dilakukan penyuntingan seperlunya.
Sumber Artikel: Riau Pos, Minggu 28 Januari 2007