Sia-sia
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Februari, 1943
Itulah salah sajak Chairil Anwar yang sangat legendari dan bertenaga. Kini, Chairil banyak diperbincangkan sejalan dengan rencana pengusulan namanya menjadi pahlawan nasional. Wacana itu terus bergulir dan mendapat sambutan cukup kuat dari publik.
Nukilan sajak Chairil di acara Parade Puisi Chairil. |
Wakil Ketua Forum Inisiator Iyut Fitra menyebut, Parade Puisi ini dimulai dengan kegiatan diskusi publik dengan tajuk "Chairil Anwar di Antara Pemuda Pergerakan Kemerdekaan". “Diskusi itu menampilkan pembicara Yudilfan Habib dengan moderator Nasrul Azwar alias Mak Naih,” kata Iyut Fitra seperti dilansir Republika.co.id, Jumat (28/4/17).
Acara dibuka secara resmi Bupati Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Irfendi Arbi. Kegiatan ini diawali dengan musik tradisi gugus II Taeh Baruah dengan judul "Mandapek".
Selain diisi dengan penampilan dan pembacaan puisi oleh sederet budayawan, sastrawan serta utusan komunitas sastra di Sumatera Barat, acara juga menampilkan puisi pelajar di Limapuluh Kota. "Sampai Jumat malam, ada kegiatan penampilan puisi, pemutaran film dokumenter dan sirompak Taeh," ujar Iyut Fitra.
Karya-karya puisinya selalu menggelorakan perlawanan atau pun pemberontakan dalam bentuk karya sastra. Mungkin dipengaruhi oleh suasana perjuangan ketika itu, puisi-puisi Chairil Anwar seolah menginspirasi banyak orang untuk melawan penjajah.
Dia dikenal sebagai pelopor sastra angkatan 45 dan sekaligus sastra modern. Pengetahuannya yang luas atas banyak bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman membuat karyanya tersebar luas. Karyanya pun terus dikenang dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan hingga sekarang puisi-puisinya yang khas terus diminati.
Seperti salah satu karya puisinya Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi, Chairil Anwar pun seolah benar-benar hidup sampai sekarang dan entah benar sampai seribu tahun ke depan.
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun. Dia dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis.
Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau.
Ia masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.Sebagai anak tunggal, orangtuanya selalu memanjakannya.
Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orangtuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.
Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orangtuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahi Chairil dan ibunya.
Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.
Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. (berbagai sumber/int)
BACA JUGA: Chairil Anwar Diusulkan jadi Pahlawan Nasional
0 komentar:
Posting Komentar