Oleh: Thompson Hs
Budaya dalam perkembangannya mengalami pengertian yang berbeda-beda. Awalnya hanya diartikan sebagai akal budi dengan bentuk-bentuknya yang dapat dilihat dalam kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi. Semua bentuk budaya didasarkan kepada manusia yang memiliki akal budi itu. Manusia menjadi subjek dalam budaya. Melalui akal budi, manusia mengembangkan budaya yang dimilikinya hingga mampu diwariskan. Dalam satu umpasa atau bentuk pantun dalam masyarakat Batak Toba, hal pewarisan itu disampaikan dengan:
/ompunta naparjolo/martungkothon sialagundi/napinungka ni naparjolo/siihuthon ni naparpudi/(leluhur kita memakai tongkat kayu sialagundi, yang dirintis para pendahulu diteruskan generasi baru).
|
Ilustrasi. |
Bentuk pantun di atas merupakan amanah, meskipun bentuk amanah itu masih abstrak. Apa saja yang diwariskan leluhur untuk diteruskan oleh generasi baru? Nah, di sini kita mulai ditantang untuk mengenal bentuk-bentuk budaya yang pernah dirintis leluhur kita. Atau bentuk-bentuk budaya yang dimaksud berada dalam diri dan lingkungan yang kita hidupi. Dalam kehidupan sehari-hari saat ini kita memakai pakaian yang pantas dianggap berbudaya. Sedangkan dahulu leluhur kita hampir tidak mengenalnya, kecuali melalui daun-daun dan hasil tenunan manual untuk menutupi tubuh mereka dari serangan cuaca yang dingin.
Mereka menyelesaikan tahap berpindah-pindah (nomaden) dengan mendirikan gubuk atau rumah tradisional, sekaligus untuk menghindari serangan hewan buas dan musuh. Atau dengan sekian lama harus tinggal di gua-gua dengan menemukan percikan api dari batu-batu, sehingga memori itu diwujudkan kemudian sebagai makam. Ritual pemakaman ke tempat-tempat tertentu menjadi bagian dari budaya. Malahan dengan aktifnya akal budi manusia, ritual pemakaman tidak selalu sederhana dan disesuaikan dengan status seseorang sewaktu meninggal.
Kembali saya ambil contoh dari masyarakat Batak Toba atas tingkatan seseorang sewaktu meninggal. Ini hanya contoh kecil; antara
sarimatua dan
saurmatua. Seseorang yang meninggal dalam keadaan
sarimatua maksudnya masih punya beban dengan putra atau putri yang belum menikah. Sehingga dalam proses ritual atau upacara adatnya dipastikan aturan-aturan yang berlaku, seperti penyediaan hewan tertentu untuk bayar adat. Hewan tertentu itu paling tinggi misalnya sebatas lembu. Tidak bisa kerbau karena belum
saurmatua atau tanpa tanggungan lagi. untuk status
saurmatua juga perlakuan lebih terkadang dilakukan. Sebelum meninggal, untuk seseorang yang sudah
saurmatua dapat dilakukan tanda adatnya dengan pesta
sulang-sulang hariapan. Semua pihak yang terkait secara adat sudah mengerti maksudnya dengan pesta itu. Secara bergiliran semua pihak menyuguhkan makanan kepada situa sebelum meninggal dan semua keturunannya dianggap pada saat itu sudah membayar adat kematian. Pada seseorang yang
saurmatua sewaktu meninggal, tangis dapat menjadi hiburan dan tawa, apalagi diekspresikan dengan
andung (senandung pilu) yang bercerita tentang kehidupan situa, yang dulu dilakukan seseorang secara khusus atau kerabat terdekat yang ahli bersenandung.
Dari lahir sampai mati manusia diwarnai oleh bentuk-bentuk budaya dan perubahannya karena interaksi dengan budaya lain. Malahan ada kalanya bentuk-bentuk budaya tertentu menjadi punah karena lebih dipengaruhi atau dijajah budaya yang asing sebelumnya. Kasus keterpengaruhan dan keterjajahan budaya itu bisa menimbulkan budaya perang. Budaya perang melahirkan senjata-senjata dan benteng pertahanan. Teknologi perang dikembangkan karena antar budaya dianggap akan selalu memusnahkan dan memilih menjadi pemenang. Seiring dengan waktu dan banyaknya korban, budaya damai dapat muncul dan membentuk aturan-aturan baru ketika melaksanakan perang.
Dulu dalam masyarakat Batak Toba juga demikian. Ada aturan perang. Kepada pihak yang sudah dianggap musuh dilakukan dialog satu dua kali. Kalau tidak ada kesepahaman ketiga kalinya dilakukan tanda dengan manutung longit (membakar daging untuk tanda bersama memerangi musuh). Kemudian mengirimkan pulas atau pernyataan perang. Sisa yang kalah dengan banyak korban dapat dijadikan
hatoban atau budak. Namun pada masa tertentu perbudakan dihapuskan karena itu tidak sesuai dengan transformasi budaya yang baru seperti dalihan natolu.
Budaya dalam sastra dapat menjadi objek dan ekspresi pengarangnya. Sebagai objek, pengarang dapat mengangkat persoalan budaya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Seorang pengarang seperti Ahmad Tohari melakukan hal itu melalui novel Triloginya (
Ronggeng Dukuh Paruk – 1982, Lintang Kemukus Dini Hari – 1985, Jentera Bianglala – 1986) dengan mengangkat dunia ronggeng dan seorang tokoh penarinya bernama Srintil.
Ronggeng dikenal dengan sebutan lain dengan tayub, adalah bentuk tari tradisional Jawa yang gerak-geriknya dapat mengundang rasa sensual. Ini seperti Jaipongan di Sunda. Umar Kayam dengan novel “
Para Priyayi” (1992) mengangkat kehidupan keluarga priyayi yang berbeda dan punya persoalan khusus dalam strata masyarakat Jawa yang feodal. Jauh sebelum kedua pengarang itu, Nur Sutan Iskanda juga pernah menggarap Bali dalam novel “
Djangir Bali” (1956). Namun menurut Prof. A.A Teeuw, gambaran Bali dalam novel ini masih belum detail. Pengetahuan pengarang atas budaya yang diangkatnya dalam sebuah karya sastra akan diuji oleh pembacanya.
Pada masa zaman Balai Pustaka para pembaca sastra merupakan para intelektual pra-kemerdekaan Indonesia. Baru pada masa Pujangga Baru bacaan sastra menyebar kepada masyarakat hingga memengaruhi munculnya roman-roman yang menggambarkan situasi sosial dengan warna-warni budayanya.
Gambaran budaya yang diangkat dalam sastra tetap menjadi bahan perhatian para pengarang. Formulasi budaya itu sendiri dimanfaatkan oleh para perintis modern Indonesia seperti Muhamad Yamin, Sanusi Pane, Armin Pane, Amir Hamzah, sampai kepada Sitor Situmorang. Mereka semua dalam puisi-puisinya menggunakan pola pantun dan syair. Ingat misalnya dengan salah satu puisi Sitor Situmorang.
LAGU GADIS ITALI
Buat Silvana Maccari
Kerling Danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di Teluk Napoli
Kerling Danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling Danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
(dari: Dalam Sajak, Pustaka Jaya 1955)
Melalui contoh-contoh di atas, sastra sebagai fenomena budaya tergantung kepada pengetahuan pengarangnya. Pasti masih banyak lagi karya sastra menggambarkan keadaan budaya, yang pada tahun 1990-an dikenal sebagai lokalitas dalam sastra. Lokalitas itu bukan sekedar warna lokal yang ditunjukkan melalui judul-judul dan ungkapan-ungkapan bahasa daerah. Lokalitas dimaksudkan bukan untuk satu tujuan rindu pengarangnya.
Di Sumatera Utara ada beberapa pengarang sempat memberikan perhatiannya atas warna lokal itu. Misalnya bisa kita lihat melalui judul-judul yang ditawarkan: “
Ompungku Parturi” Supri Harahap (2005),
“Na Ni Arsik” Pandapotan MT Siallagan (2005), “Purpursage” Harta Pinem (2006), dan “Ucok dan Pak Bintang” Sri RM (2006).
Dalam buku “Sampan Zulaiha” (2011), kumpulan cerpen Hasan Al Banna terekam perhatian besar pada warna lokal. Sampai salah satu dari 14 judul dalam buku itu mengangkat kehidupan pemain Opera Batak terdahulu. Judul cerpen itu adalah
Ceracau Ompu Gabe. Cerpen itu pernah dimuat di Harian Kompas, 30 Desember 2007, lima tahun setelah program revitalisasi Opera Batak dimulai kembali. Cerpen terkait Opera Batak pernah juga dibuat oleh Idris Pasaribu dan dimuat suatu waktu di Harian Analisa. Idris Pasaribu juga mengangkat warna lokal dengan novel “
Pincalang” dan “
Mangalua”.
Perhatian para pengarang itu atas budaya dapat merupakan bentuk pelestarian, meskipun kesannya hanya berlatar warna lokal dan ternyata ingin menggambarkan situasi sosial yang terkait dengan budaya itu. Lucya Chriz dengan novel pertamanya yang berjudul “
Amang Parsinuan” (2011) sempat ingin diangkat menjadi sebuah filem. Namun warna lokal dalam sastra mungkin tidak selamanya menjadi semakin menarik diangkat ke media seni yang lain seperti filem. Malahan dapat membukakan pengetahuan sang pengarang sesungguhnya bukan untuk membuat karya sastra yang “ melestarikan” budaya itu.
Budaya dalam teknis yang paling baru dikenal melalui terminologi ‘tradisi lisan’. Ada banyak potensi budaya yang diwariskan secara lisan diteliti ulang kembali manfaatnya. Sastra lisan seperti mitos, legenda, dan berbagai cerita lisan rakyat juga tercakup sebagai bagian dari tradisi lisan. Yang penting sistem pewarisannya dilakukan secara lisan dalam beberapa generasi atau turun-temurun. Secara objektif harus ada penelitian-penelitian untuk mengangkat kembali tradisi lisan kita untuk sastra tulis.
Pluralisme budaya saat ini membedakan budaya terdahulu melalui tradisi lisan. Dari hitungan masa, sebuah subjek budaya dianggap sebagai tradisi lisan kalau sistem pewarisannya sudah berlangsung sampai tiga generasi atau mencapai 100 tahun. Sastra sebagai fenomena budaya bertanggung jawab dalam pelestarian itu. Tidak ada masalah bagi para pengarang kalau berada di dalam atau di luar subjek budaya itu. Kalau berada di dalam anggaplah itu sebagai jalan pulang.
Seperti yang dilakukan Saut Poltak Tambunan atas terbitan beberapa buku sastra berbahasa Batak Toba (
Mandera Na Metmet – 2012,
Situmoing Manggorga Ari Sogot – 2013, dan lain-lain). Bahasa sebagai unsur budaya sekaligus sudah dilestarikan dengan terbitan-terbitan itu. Pada 2013 lalu juga terbit sebuah novel berbahasa Mandailing dengan judul
Mangirurut (Mhd. Bakhsan Parinduri, Deli Grafika Medan, 308 halaman).
Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu judul puisi yang sumber penciptaannya saya ambil dari tradisi lisan “belajar mengucapkan /R/”.
MARSIAJAR MANDOK [r]
ihuthon majo nahudok on:
runsur urur tu rura, disarat-sarat
babi rere tu bara
...
rere nisi riris narara, riritma
boru ni nahea mamora
...
niraprap ringkorang sap mudar, orai horbo
mangarembe di ambar
...
rimbe-rimbe di rimbo, babiat
panoro lam rarat di joro
...
boras dirondam tu itak gurgur, rap
horas jolma dohot hoda manimur
...
ulahi majo sude nahudok ondeng:
...
...
toema nunga malo ho mandok [r]
nunga habis [r] holan tu ho
...
eh, unang pola ulahi naparpudi on
nunga sidung parsiajaranmu!
(Pematangsiantar, 2011)
DAFTAR BACAAN
1. Al Banna, Hasan, 2011, Kumpulan Cerpen “Sampan Zulaiha”, Depok: Koekoesan
2. Alisjahbana, S. Takdir, 1977, “Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan”, Jakarta: Pustaka Jaya
3. Andangjaya, Hartoyo, 1982, “Pola-pola Pantun dalam Persajakan Indonesia Modern” (dalam “Sejumlah Masalah Sastra” Satyagraha Hurip, Ed.): Jakarta: Sinar Harapan
4. Basuki Ks, Sunaryo, 2009, Kumpulan Tulisan “dari Wisata Bahasa hingga Sastra Selangkangan”, Bali: Pustaka Larasan
5. Esten, Mursal Prof. Dr., 1999, “Desentralisasi Kebudayaan”, Bandung: Penerbit Angkasa
6. Heraty, Toety, Dr., 1984, “Aku Dalam Budaya”, Jakarta: Pustaka Jaya
7. Kasijanto & Sapardi Djoko Damono(Ed.), 1981, “Tifa Budaya”, Jakarta: Leppenas
8. Moedjanto G, MA dkk, 1992, “Tantangan Kemanusiaan Universal” Yogyakarta, Kanisius
9. Moriyama, Mikihiro, 2005, “Semangat Baru – Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19”, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
10. PSN IX dan Persi 1997, 1997, Kumpulan Makalah “ Panorama Sastra Nusantara”, Jakarta: Balai Pustaka
11. Ray, Asha dkk, 2006, Kumpulan Cerpen Sulawesi Selatan “Setapak Salirang”, Yogyakarta: Insist Press
12. Siregar, H. Ahmad Samin & Harun Al Rasyid, 2001, kumpulan Makalah “Sastra dan Masalah Pluralisme Budaya”, Medan: USU Press
13. Sutrisno, Sulastin, Dr, dkk, 1985, “Bahasa – Sastra – Budaya”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
14. Teuuw, A. Prof. Dr., 1942, Pokok dan Tokoh”, Jakarta: PT Pembangunansa.
****
Catt: Artikel ini dikutip dari akun Facebook milik Thomspson Hs.