Terbuat dari apakah Tahun Baru? Tanya seorang pemabuk kepada seorang penyair? Penyair menjawab: terbuat dari hatimu. Si Pemabuk merasa linglung. Tapi samar-samar, ia saksikan lampu teplok beterbangan ke udara. Ia tatap langit penuh cahaya.
Ilustrasi. |
Dan saya terhenyak dan merasa bahagia membayangkan adegan antara pemabuk dan penyair itu. Tapi hidup bukan imajinasi, saya tinggalkan mereka dan mencoba menghayati waktu.
Tanggal 1 Januari 2017 kebetulan jatuh pada hari Minggu. Adakah diantara kita pernah bertanya, Minggu itu sesungguhnya apa? Artinya apa? Berasal dari bahasa apa? Kenapa rentang 7 hari disebut seminggu, atau 14 hari dua minggu, dan sebulan 4 minggu?
Tiba-tiba saya merasa seperti seorang pemabuk yang meracau tentang hal-hal tak berguna. Tapi syukurlah saya sekaligus merasa seperti seorang penyair yang bicara ngaur tapi penuh makna.
Dan ternyata, Minggu adalah hari pertama dalam satu pekan. Kata 'minggu' berasal bahasa Portugis, yaitu Domingo. Dalam bahasa Latin disebut Dominicus, yang artinya 'hari Tuhan kita'.
Konon, dulu sekali hingga abad 18, dalam bahasa Melayu lama, Minggu diucapkan dengan Dominggu. Lalu sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini berubah ejaannya menjadi Minggu. Sejak itu, Minggu terus mengalami perkembangan makna.
Kata minggu (dengan huruf 'm' kecil) dimaknai menjadi pekan, satuan waktu yang terdiri dari tujuh hari. Hari Minggu merupakan bagian akhir dari minggu.
Sebagian golongan menyebut Minggu dengan Ahad, berasal dari bahasa Arab. Memang masih jarang terdengar kata seahad, dua ahad, tiga ahad dan seterusnya. Yang lazim kita dengar adalah seminggu, dua minggu, tiga minggu dan seterusnya.
Apa hubungan racauanmu ini dengan Tahun Baru? Tiba-tiba saya dengar pemabuk itu bertanya, dan saya gugup: betul juga, apa hubungannya? Tapi saya coba tenang, dan menjawab pemabuk itu dengan lembut, seolah-olah saya adalah seorang penyair. Saya katakan padanya: tidak ada, kebetulan saja 1 Januari 2017 jatuh pada hari Minggu.
Pemabuk itu diam. Dan saya kembali memahami kenyataan. Kini saya bertanya pada diri sendiri. Kenapa disebut Tahun Baru? Dan kenapa tak ada istilah tahun lama? Apakah tahun lama sama dengan tahun lalu?
Kenapa pukul 00.01 disebut tahun baru, kenapa pukul 23.59 yang hanya berjarak satu menit tiba-tiba jadi tahun lama? Sebegitu cepatkah waktu aus? Sebegitu cepatkah waktu menjadi buruk? Betulkah ada tahun baru? Terbuat dari apakah Tahun Baru?
Tiba-tiba penyair itu menghampiri saya, dan bertanya: "Apakah kau sedang mabuk?"
"Tidak! Kebetulan saja saya tadi minum tuak," jawab saya.
"Nah, itulah jawaban atas pertanyaanmu yang ngaur itu. Tahun Baru terbuat dari tuak. Dan kau sedang mabuk," kata Penyair itu.
Saya tersinggung. Lalu saya berondong Penyair itu dengan rentetan pertanyaan: kenapa terompet-terompet itu berbunyi? Kenapa kembang api berkesiur seperti anak-anak cahaya? Kenapa mercon dan petasan itu meledak-ledak seperti anak-anak api yang melompat-lompat? Kenapa orang berbondong-bondong membeli benda-benda baru demi tahun baru? Kenapa orang menghambur-hamburkan uang dan waktu untuk pesta ini? Kenapa semua orang sangat ribut dan riuh? Kenapa mereka tak peduli terhadap orang-orang sakit? Saya yang mabuk atau mereka? Ayo jawab, saya yang mabuk atau mereka?
Penyair itu terkejut dan tercengang, lalu berkata: "Jika begitu, ayolah menyeberang. Kita songsong tahun baru. Di sana nanti aku akan memperkenalkan kau sebagai penyair dan aku akan minum tuak dan berlajar jadi pemabuk."
Lalu di samping kami, sebuah cahaya melesat ke arah langit, meledak menjadi bunga-bunga. Orang-orang berteriak penuh kegembiraan. Mereka bersalam-salaman. Dan saya makin linglung, bertanya dalam hati, sudah berapa lamakah saya tak pernah memaafkan? Sudah berapa lama?
Tak ada sahutan. Dan saya makin linglung, bertanya dalam linglung: sudah berapa lamakah saya lupa hari Minggu? Entahlah. Tapi pemabuk dan penyair itu berada di hatiku, sama-sama berbisik: "Tuhan menyayangimu."
Saya terharu dan kembali pada kenyataan. Saya coba menyapa orang-orang: Selamat Hari Minggu. SELAMAT TAHUN BARU. (Panda MT Siallagan)