24 Desember 2016

Kita, Meriam Bambu dan Om Telolet Om


Oleh Panda MT Siallagan

Anak-anak bermain meriam bambu. (Foto/Internet)
Ini akhir tahun yang menggembirakan sekaligus mencemaskan. Menggembirakan karena tiba-tiba muncul demam 'Om Telolet Om' yang ringan dan menyenangkan. Dunia heboh dan ceria karenanya. Ketika saya saksikan video tentang "om Telolet Om' itu lewat saluran youtube, saya ikut larut di dalamnya: tertawa dan bahagia.

Tapi di balik kegembiraan itu, sesungguhnya terselip kecemasan yang dalam. Situasi politik nasional yang panas, produksi isu SARA yang meresahkan, pemberantasan terorisme yang gencar, ekonomi yang lamban bergerak, masalah-masalah sosial lain, sungguh membuat jantung gemetar.

Dan kita tahu, kegembiraan dan kecemasan itu hadir secara tak terkendali di dunia maya berbasis teknologi yang kita kenal dengan media sosial (medsos) itu. Kegembiraan dan kecemasan itu dikirimkan ke hati dan pikiran kita lewat media sosial dan media konvensional melengkapinya sebagai fenomena yang harus diterima sebagai kenyataan.

Dan saya tiba-tiba terkenang meriam bambu. Situasi bangsa yang kita saksikan hari-hari ini menjelang pergantian tahun, sungguh seperti letupan-letupan yang mengejutkan di satu pihak, menyenangkan di pihak lain, dan mencemaskan bagi kelompok tertentu. Hal semacam inilah yang saya tangkap dari kenangan tentang meriam bambu. Tak akan lekang dari ingatan: letupan-letupan meriam bambu adalah perayaan penuh warna setiap pergantian tahun, dulu, pada masa kanak yang jauh itu.

Setelah menonton beberapa video Om Telolet Om, saya tiba-tiba berhenti tertawa. Saya tiba-tiba sedih menyaksikan anak-anak berdiri di pinggir jalan, lalu berteriak-teriak kepada supir bus agar membunyikan klakson yang tiruan bunyinya 'telolet'. Betapa riskannya aksi itu. Dan anehnya, sebagian orang mengambil kesimpulan dari aksi itu: bahagia itu sederhana. Benarkah demikian? Benarkah kebahagiaan yang sederhana harus diraih dengan cara berbahaya semacam itu?

Saya merenung, lalu menyimpulkan bahwa anak-anak dan generasi muda itu adalah para pemburu. Pemburu klakson. Pemburu telolet. Pemburu kebahagiaan. Pemburu keriangan. Itu mungkin hal baru yang sangat menyenangkan bagi mereka, tapi bagi saya, atau bagi anak-anak yang tinggal di Sumatera Utara, telolet bukanlah hal baru. Rentang tahun 90-an hingga 2000-an, hampir setiap angkutan kota dan angkutan desa sudah punya klakson telolet seperti yang heboh sekarang. Bahkan, seingat saya, klakson telolet ada yang menggunakan lagu Indonesia Raya atau lagu-lagu daerah. Fenomena itu kemudian hilang, hingga akhirnya muncul lagi sebagai viral di medsos yang membuat dunia gempar.

Diam-diam saya bertanya: mengapa bunyi klakson harus diburu? Apakah tidak ada lagi sarana lain untuk mencari kebahagiaan bagi anak-anak itu? Saya agak marah ketika ada yang bilang bahwa Om Telolet Om adalah bentuk kreativitas. Saya justru berpendapat bahwa hal itu dimungkinkan karena ketiadaan kreativitas. Anak-anak itu tidak punya aktivitas kreatif yang bisa memenuhi hasratnya pada kebahagiaan terutama dalam hal bunyi-bunyian.

Pada titik inilah saya terkenang masa kanak yang riang itu. Saya mahir membuat mobil-mobilan dari bambu dengan roda terbuat dari sandal swallow bekas, bentuknya mirip dengan mobil balap yang digunakan di arena balapan F1. Kami anak-anak desa, ketika itu, juga sangat mahir membuat truk dari papan. Kedua jenis mobil-mobilan ini didorong dengan tongkat yang berfungsi sebagai setir, yang dikaitkan dengan tali pada kedua sisi as roda bagian depan. Dan tentu, masih sangat banyak jenis-jenis permainan lain yang akan sangat panjang jika dideretkan satu per satu.

Dan setiap akhir tahun seperti ini, salah satu kreativitas yang saya kenang adalah meriam bambu. Ia bagian dari sejarah kita. Sejarah beberapa generasi yang kini sudah hampir hilang. Meriam bambu adalah alat keriangan paling mengagumkan pada masa itu, yang kini telah digantikan petasan, mercon atau kembang api. Anak-anak tak perlu lagi kreatif, tinggal beli, lalu meletuplah kebahagiaan-kebahagiaan semu.

Ilustrasi membobol sekat ruas bambu.
Akan halnya meriam bambu, proses kreatif sudah dimulai sejak anak-anak pergi ke hutan mencari bambu berdiameter besar, paling tidak 10 cm. Pengetahuan tentang usia bambu itu juga sangat penting di sini. Bambu harus tua. Bambu muda tentu tak layak dijadikan meriam. Proses selanjutnya adalah membuat meriam. Bambu dipotong dengan panjang 1,5 hingga 2 meter. Bambu yang dijadikan meriam tidak memiliki cacat seperti berlubang atau pecah.

Umumnya ruas bambu pada bagian bawah akan dijadikan pangkal. Lalu, sekat-sekat ruas bambu akan dibobol dengan batang besi atau kayu yang diruncingkan, dan pada bagian pangkal dibuat lubang picu di permukaan bambu dengan jarak sekitar 10 cm dari ruas pangkal meriam.

Lalu, permainan dimulai. Saatnya memasukkan minyak tanah sebagai bahan bakar. Lalu dipanaskan melalui api yang ditiup di lubang picu. Setelah panas, maka mulailah proses bermain-main dengan letupan. Lubang picu ditiup, api dicelup dengan api. Dan duarrrr...! Begitu seterusnya.

Suara letupan meriam bambu ini akan bersahut-sahutan dari satu dusun dengan dusun lain. Dan 'kepahlawan' anak-anak itu akan tampak dari suara meriam bambu miliknya: meriam siapa bunyinya paling keras berdentam, maka dialah pemenang, atau paling dipuji.

Ilustrasi cara membuat lubang picu.
Tapi kini, permainan tradisional ini sudah nyaris punah. Selain cara pembuatannya yang tidak praktis, banyak orang tua melarang anak-anaknya memainkan meriam bambu karena sangat berbahaya. Dan kini, tentu tak mudah lagi mencari bambu dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Tapi tentang bahaya, saya merenung: apakah petasan dan mercon tidak berbahaya? Apakah Om Telolet Om tidak berbahaya?

Demikianlah, sesungguhnya saya sedang merenung: alangkah dasyatnya kehilangan kita atas kreativitas, terutama di kalangan anak-anak kota yang kian praktis dan terjajah medsos. Alangkah dasyatnya! ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar