22 November 2015

Upacara Terakhir


Cerpen Panda MT Siallagan

Malam menjelang Lebaran di kampung kami selalu berlangsung eksotis. Usai takbiran, hampir seluruh warga memilih terjaga sambil menunggu detik-detik suci keesokan harinya. Anak-anak biasanya bermain riang di halaman, kaula muda berkumpul di warung kopi antara ngobrol dan menonton televisi, sedangkan orang-orangtua berbincang tenang di rumah bersama sanak saudara yang pulang dari rantau. Suasana itu terasa lebih unik karena obor biasanya dinyalakan di halaman setiap rumah. Lepas tengah malam, anak-anak dan kaula muda akan kembali ke rumah. Kampung itu segera sepi.

Ilustrasi.
Dulu, aku masih bagian dari anak-anak itu. Bertahun-tahun kemudian, aku berubah jadi bagian dari kaula muda itu. Kini usiaku 35 tahun, sudah kehilangan tempat. Saat pulang tahun ini, kulihat anak-anak dan kaula muda berduyun-duyun ke tanah lapang SD di kampung itu. Konon ada tontonan menarik. Terdorong keinginan menikmati angin malam desa yang kerap memicu rindu di tanah rantau, aku ikut bersama rombongan. Di tanah lapang, anak-anak muda berkerumun, berdiri membentuk formasi lingkaran. Semua mata tertuju ke pusat lingkaran.

Pusat lingkaran itu adalah seorang lelaki yang sedang duduk bersila di tanah. Di depannya menyala dua lilin kecil sebagai penerang. Mata lelaki itu menatap tajam ke langit malam, mulutnya meracau memuntahkan kalimat-kalimat kacau. Awalnya kupikir pertunjukan sirkus. Tapi perlahan, racauan lelaki itu makin jelas.

Aku mendengar, lelaki itu berteriak, cintaku yang elok, cintaku yang indah, datanglah, datanglah. Orang-orang yang menonton mulai cekikikan. Aku semakin penasaran. Kusibak barisan anak-anak itu, mencoba menerobos ke tengah. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, lelaki itu mendongakkan kepala, meludah ke udara, lalu berteriak, “Anjingggg. Pergi kalian semua. Setaannn. Kalian nggak ngerti sakitku. Aarrrggghhh...”

Astaga! Aku kenal lelaki itu. Tapi bagaimana aku harus bercerita? Nama lelaki itu Jogal. Warga kampung kami akan selalu ingat, ia adalah hantu penebar resah. Saat berusia lima tahun, ia sudah mahir memanjat pohon-pohon tinggi. Jika pohon petai tua dekat balai desa berbuah, Jogal selalu mendapat peran memanjatnya. Dengan arit terselip di pinggang, ia tangkas menaklukkan dahan demi dahan, berpindah dari ranting ke ranting, memotong tangkai-tangkai, lalu berjatuhanlah buah-buah petai itu. Kadang orang-orang ingin menangis menahan nafas, gerun menyaksikan tubuhnya menggelantung di ranting-ranting kecil.

Di sekolah, Jogal kerap jadi sasaran kemarahan guru, sebab ia suka memanjat tiang bendera sambil menyanyikan Indonesia Raya. Berkali-kali disebat, ia bertahan melakukan hobinya itu hingga suatu hari tiang bendera bambu itu patah. Itulah sejarah berdirinya tiang bendera besi di SD itu dan hingga kini masih terpatri kokoh. Ia juga kerap memanjat dinding sekolah, menjebol asbes, naik ke loteng, lalu membawa turun anak-anak burung gereja. Di hadapan teman-teman, ia membunuh anak-anak burung gereja itu secara menyedihkan. Aku sedih dan marah setiap mengingat itu.

Keahlian memanjat itu kemudian digunakannya untuk mencuri, memetik cengkeh, mangga, jambu, rambutan, kelapa dan pinang milik warga. Ia menjual hasil bumi itu kepada tengkulak yang datang setiap akhir pekan. Tetua-tetua kampung kerap memanggil abah dan emaknya untuk dimintai pertanggungjawaban. Jika sudah begitu, alamat Jogal kena bantai. Abah akan menghantam punggungnya dengan kayu, bahkan betisnya kerap dilibas dengan rantai sepeda hingga berdarah-darah.

Aku pernah melihatnya dan gemetar setiap mengenang hal itu. Konon, setelah tanah ulayat milik leluhur mereka terjual kepada pengusaha dari kota, abahnya kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi sopir truk. Tapi profesi itu tak lama digeluti dan abahnya pulang ke desa tanpa membawa harapan. Sejak itu, ia suka berjudi, menenggak tuak, berkelahi dengan sesama pemabuk, juga kerap memukuli istrinya, terlebih ketika wanita kurus itu tak gesit mencari upahan ke kebun sawit untuk dihabiskan di meja judi. Sangat menyedihkan.

Akibat kenakalannya, Jogal harus menjalani SD selama 9 tahun. Saat lulus, teman-teman sebayanya sudah SMA dan mulai berserak ke berbagai kota. Jogal tidak melanjut ke SMP dan mendadak berubah baik, membantu emak mencari nafkah sebagai pekerja upahan.

Suatu hari, saat anak-anak sekolah liburan, Jogal menyatakan cinta kepada Mirna, putri kepala dusun, si cantik yang pintar. Kabar itu menyebar di seantero kampung dan Jogal dicela sebagai lelaki tak tahu diri. Secara bersamaan, menyebar pula kabar bahwa emak Jogal memiliki banyak utang kepada si kepala dusun. Jogal pergi dari desa itu, merantau ke Lampung, mengikuti pamannya, pedagang pengumpul karet. Lama tak ada kabar, hingga suatu hari ia pulang membawa perempuan bunting. Abah dan emak meradang murka, tapi nasi sudah jadi bubur. Jogal dinikahkan dengan perempuan itu.

Untuk menghidupi istrinya, ia bekerja sebagai buruh harian di perkebunan kelapa sawit milik swasta, dan tidak ada masalah sejauh itu. Ia tampak sayang sangat pada istrinya, rajin bekerja, dan jarang pergi ke kedai atau berjudi sebagaimana kebiasaan abah. Saat putri pertamanya lahir, warga menyaksikan, Jogal sangat telaten mencuci, mengangkut air dari pancuran, memasak, dan memandikan bayinya. Entah apa yang terjadi beberapa tahun kemudian, istrinya tewas bakar diri. Jogal agaknya hanya baik di mata khalayak, tapi di rumah ia kerap menganiaya istrinya, hingga depresi dan akhirnya bunuh diri. Tapi ada yang bilang, istrinya bukan bunuh diri, tapi sengaja dibakar Jogal.

Aku sudah kuliah waktu itu. Cerita mengerikan ini kudengar dari ibu ketika pulang liburan. Menurut ibu, tak lama setelah istrinya tewas, Jogal raib lagi dari kampung, sementara abah dan emak menutup diri, malu pada orang sekampung.

Setahun berselang, kehidupan orangtuanya kembali normal. Ayahnya kembali mengunjungi kedai. Ibunya, sambil menggendong Lumi (putri Jogal), kembali bercampur dengan ibu-ibu lain. Sejak itu pula, nama Jogal jadi bahan pembincangan, tapi dengan citra berbeda. Konon Jogal sudah sukses di Pekanbaru, berhasil jadi pengusaha di kota bertuah itu, dan sudah memiliki rumah dan mobil.

Sekedar diketahui, ada kebiasaan buruk berlaku umum di kampung kami, yaitu kebiasaan menggadang-gadang anak di rantau: sudah punya rumah, mampu beli ini-itu, meski kenyataannya taklah demikian. Orangtua sangat bangga menceritakan kepada seisi kampung bahwa anaknya mengirimi mereka uang setiap bulan, dan itu disengaja agar muncul kesan bahwa anaknya itu benar-benar sudah sukses. Perantau juga memiliki keburukan serupa, selalu mengirim uang ke kampung agar tersiar kesuksesannya, sementara di kota mereka hanya makan mi instan campur nasi. Maka cerita tentang kesuksesan Jogal tak sepenuhnya dipercaya.

Orang-orang menduga, itu sengaja dilakukan orangtuanya untuk memulihkan harga diri. Tapi ketika orangtuanya membangun rumah, orang-orang tersentak dan mulai percaya, meski tetap ada yang curiga sebab Jogal tak pernah pulang. Sebab lumrah juga perantau pulang setiap Lebaran, menyewa mobil, merayakan hari kemenangan itu dengan hura-hura.

Tapi kita tahu, sekembalinya ke kota, mereka pontang-panting bayar utang. Tapi, bagaimanapun, Jogal telah berhasil menorehkan gelar sebagai perantau sukses. Saat itu aku sudah sarjana dan bekerja sebagai supervisor di sebuah supermarket, meski latar belakang pendidikanku adalah sarjana pendidikan. Sebenarnya aku ingin mengabdi sebagai guru, tapi itu tak mungkin sebab honor sebagai guru tiada pernah cukup untuk biaya sehari-hari, sementara untuk jadi pegawai negeri sipil, abah tak punya uang membayar pelicin. Sudah berkali-kali aku ikut ujian dan mengikutinya tanpa kesulitan, nyatanya aku tak pernah lulus.

Secara fisik, Jogal termasuklah budak beruntung. Tubuhnya tinggi besar, hidung mancung, bulu dan alis menghias lebat pada mata yang bersorot kokoh dan tajam. Ia mewarisi tubuh abah, mengambil bagian-bagian elok dari emak seperti alis dan mata itu. Waktu duduk di kelas tiga SD, tubuhnya sudah sebanding dengan anak-anak SMP, sehingga ia berkuasa sebagai ‘bos’ di sekolah. Tiada seorangpun punya berani menantang dia punya kekuasaan, sebab ia bertenaga sangatlah kuat dan teramat suka ia berkelahi. Sedikit saja ia punya teman berbuat salah, ia akan memukul. Maka, ketika ia berubah sikap daripada yang jahat setamat SD itu, orang sekampung merasa lega dan lapang hati.

Tapi tiada yang tahu, di sebalik itu, aku merasa terteror. Suatu hari Jogal mencegat masa balik dari sekolah, dan memberikan sepucuk surat yang menyatakan denyut cintanya padaku. Aku tiada menanggapi surat itu, hingga di waktu lain, ia kembali memberikan lagi sepucuk surat lainnya. Isinya sama, tapi lebih berani. Ia mengatakan hendak memperistri aku, dan ihwal perubahan diri jadi elok daripada yang jahat, ia sebut sebagai wujud keseriusannya mencintaiku. Percampuran jijik dan rasa takut menjalari penuh hatiku masa itu.

Meski diam-diam aku mulai tertarik pada budak lelaki, tapi cara terang-terangan seperti Jogal punya laku itu membuatku ngeri. Amat tegas, melalui surat juga, kutolak hasrat dan inginnya. Ia tiada mengatakan apa-apa, tapi tak berapa lama, pernyataan cintanya kepada Mirna menyebar. Dari Lampung, ia berkirim surat ke sekolahku. Ia mengaku pergi dari desa karena malu atas perlakuan Mirna yang turut menghina kemiskinan abahnya. Dan, katanya, ihwal pernyataan cinta itu sengaja ia lakukan mencari perhatianku sebab ia sangat kecewa menghadapi penolakanku. Surat itu diakhiri dengan ancaman, bahwa hidupnya akan hancur jika aku tetap menolaknya. Setahun kemudian, ia pulang membawa perempuan bunting itu.

***

“Anjinggg! Kalian pikir aku gila? Setannn! Ayo bubar kalian,” Jogal terus berteriak. Orang-orang perlahan menjauh. Tiba-tiba ia meniup lilin di hadapannya.

Tanah lapang sekolah itu gulita seketika. Bersama orang-orang, aku bergegas meninggalkan tempat itu. Di kegelapan, Jogal berteriak lagi:

"Kalian dengar, ini ritual terakhir. Ini ritual terakhir. Tak akan ada lagi penderitaan. Matahari menjilat peluh, sebaik jatuh dikuras letih. Siang jadi peta neraka. Angin jiwa anak menyeru sejuk. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah bara. Seperti datuk dikepung api, meradang keringkan jiwa. Untai doa, pulangkanlah uap peluh. Tibakanlah ringai alam murka bah, hujan badai mata hati bocah. Tidur melayang dari benak anak. Dengkur luka abah dan emak menerbangkan uap tikar pandan. Keluar dia menemani dingin, bertembang bersama bulan. Alam kosong, berucap mulutmu. Bumi gersang, berkedip matamu. Jika mati kampung, berhembus nafasmu. Jika punah tanah,  mengelus tanganmu. Aku bocah menadah tangan di tanah leluhur. Tanah leluhur, jiwa kosong. Tanah ziarah, gersang ruh. Tanah leluhur, kampung mati. Tanah ziarah, tanah mati. Tanah punah. Tapi aku selalu pulang menggelombang, menjilat bibir bandar, meneguk aliran hidup di mata pelacur. Kuawankan rasa, kemendungkan mata, kuhujankan rindu. Kuingin jantung tak menyala tapi alkohol membakar jiwa. Dayu lagu tak henti menyulut kenangan jadi bara jadi abu."

Usai berteriak-teriak macam orang tak waras, sayup-sayup terdengar Jogal sesunggukan. Aku hampir tergoda untuk membujuknya, tapi kubulatkan niat meninggalkan tempat itu.

Setiba di rumah, emak bercerita, sudah hampir setahun Jogal pulang. Saat ia tiba di kampung, kisah indah tentang kesuksesannya berganti jadi cemoohan-cemoohan menyakitkan. Reputasinya sebagai perantau sukses runtuh seketika. Ia pulang sebagai lelaki sampah, dengan tubuh sangat kurus, wajah disemaki cambang, mata cekung, dan rambut acak-acakan. Ia menderita batuk akut, membuang dahak di sembarang tempat. Seperti mencari hal-hal yang hilang, ia selalu keluyuran pada malam hari di jalan-jalan kampung. Sejak ia pulang, kabar-kabari menyebar.

Ada yang bilang, ia adalah perampok kelas kakap selama merantau. Sebagian berkata, ia pengedar narkoba lintas provinsi, sekaligus pemakai, sebab itu otak dan tubuhnya hancur. Tak kalah menyakitkan, ada yang menyebut ia germo, penjual anak-anak gadis ke Malaysia dan Singapura melalui Batam. Yang terakhir ini, aku tak percaya sebab aku tahu ia tak pernah menginjakkan kaki di pulau Batam. Tiba-tiba aku merasa bersalah.

Emak melanjutkan cerita. Saat tiba di kampung, kondisi Jogal belum terlalu parah. Ia mulai suka berteriak beberapa minggu belakangan dan lari-lari telanjang di jalanan kampung. Berkali-kali dipasung, tapi selalu berhasil membebaskan diri. Adakalanya ia waras, dan menjadi sangat ramah pada setiap orang. Hari hampir subuh, emak terus bercerita, termasuk kepergian bapak-ibunya dari desa itu karena tak tahan menanggung malu.

Tiba-tiba, saat emak asyik bercerita, terdengar ketukan di pintu rumah kami. Saat kubuka, Jogal berdiri dengan pakaian rapi. Kami sangat terkejut. Secara refleks, bapak mengambil golok untuk jaga-jaga. Emak bergetar menahan rasa takut. Tapi Jogal tersenyum dan meminta kami tidak takut. Kebisuan menyergap, lalu pecah saat Jogal berkata, “Syukurlah kau pulang. Hanya kau yang kutunggu. Aku mencintaimu.”

Setelah mengucapkan itu, Jogal pergi. Bapak dan ibu tak bertanya tentang apapun. Esok harinya, Jogal ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Aku menangis dan hambur ke pelukan ibu. Lama aku tak pernah sesedih itu.

Pematangsiantar, Oktober 2008

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar