27 November 2015

Tragedi Budaya, Terbunuh Karena Jambar Adat


September tahun 2015 lalu, sebuah peristiwa heboh terjadi di Bosar Galugur, Tanah Jawa, Simalungun. Seorang bernama Jonner Sirat, tewas dibunuh gara-gara berselisih soal jambar  adat. Peristiwa terasa sangat mengerikan karena perselisihan itu terjadi dalam upacara adat pemakaman.

Ilustrasi
Sebagaimana dilansir berbagai media, berikut kisah dari sari beritanya:

Jonner Sirait tewas setelah ditikam teman sekampungnya bernama Hendri Malau. Pembunuhan terjadi karena salah paham antara keduanya ketika acara adat pemakaman seorang warga berlangsung di kampung mereka di Huta Batang Hio, 17 September 2015.

Pemakaman awalnya berjalan lancar hingga masuk pada acara pembagian jambar. Dalam acara itu, Hendri Malau bersama bersama beberapa rekannya memang berhak mendapatkan jambar pakkallung (jambar bagi warga yang bertugas mengangkat jenazah dan menggali tanah pemakaman).

Namun, ketika jambar belum saatnya dibagi oleh suhut (tuan rumah acara adat), Hendri terlebih dulu mengambil jambar tersebut. Padahal, seharusnya suhut memberikan jambar itu kepada ketua serikat (ketua perkumpulan kampung), lalu diserahkan kepada orang yang berhak menerima, termasuk kepada Hendri dan rekannya.

Pada saat pembagian jambar itu, suasana gaduh terjadi karena jambar tidak ditemukan lagi. Warga mencari-cari dimana jambar yang hilang itu. Dan ternyata, seseorang mengaku melihat bahwa Hendri mengambil jambar itu sebelum dibagi. Hal itu lalu diberitahu kepada ketua serikat.

Sontak, ketua serikat Jonner Sirait (41) marah dan menegur Hendri Malau. “Boasa dibuat ho jambar pakkallung, hape so tikkina dope dibagi? (kenapa kau ambil jambbar pakkallung, padahal belum waktunya dibagi),” ujarnya.

Saat itu Hendri mengaku merasa malu dan hanya diam. Namun, dia mengaku marah dendam karena dipermalukan di hadapan umum. Pada saat itulah timbul rencana jahat menghabisi korban. Sebelum tiba acara makkallung (mengantar dan menguburkan jenazah ke makam), diam-diam dia pergi ke rumah dan mengambil belati dan menyelipkannya di pinggang sebelah kiri.

Sementara Jonner Sirait tidak tidak ikut ke pemakaman. Dia pergi menyadap tuak untuk diantar ke warung langganannya. Dan usai penguburan, sekira pukul 17.00 WIB, di situlah pembunuhan terjadi. Hendri menunggu korban di dekat jalan masuk ke Huta Batangio, saat korban hendak pergi menyadap tuak yang memang merupakan pekerjaan sehari-harinya.

Begitu Jonner muncul, Hendri memanggilnya. Tanpa curiga, Jonner menghampiri Hendri. Begitu jarak mereka sudah dekat, Hendri langsung memeluk korban dan menikamkan belatinya berkali-kali. Mendapat serangan mendadak, Jonner roboh.

Warga sekitar yang melihat kejadian langsung mengamankan tersangka dan membawa jenazah korban ke RSU Djasamen Saragih Pematangsiantar.  Warga yang emosi melihat kejadian tersebut, sempat menghajar tersangka hingga korban lebam-lebam.

Peristiwa itu memancing reaksi luas dari masyarakat. Banyak kemudian orang bicara tentang apa dan bagaimana sesungguhnya makna folosofis jambar dalam adat-istiadat Batak.

Batakolog Manguji Nababan menilai jambar memiliki arti penting dalam Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang atau sekelompok orang. “Orang Batak memang sangat menghayati dirinya sebagai parjambar,” ujar Nababan.

Menurut Manguji Nababan, ada 3 jenis jambar, yaitu hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).

Dia menjelaskan, tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta dll) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar. “Ini yang mendasari bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar,” jelasnya.

Menurut Manguji, persoalan jambar pada hakikatnya bukan pada nilai atau besar bagian daging yang diterima tetapi lebih kepada penghargaan. Sering ditemukan ada perdebatan serius dalam sebuah pesta ketika pembagian jambar tidak sesuai. Tentunya sangat disayangkan jika memang pembagian jambar berujung pada kekerasan.

“Sangat disesalkan jika akibat pembagian jambar terjadi aksi kekerasan. Karena dalam ada Batak dilandasi konsep dalihan natolu, harusnya diutamakan konsep musyawarah mufakat. Parjambaron memang harus dijalankan tetapi harus melalui mufakat,” ujar Batakolog UHN tersebut.

Semoga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. ***

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar