Cerpen Panda MT Siallagan
Suatu dini hari. Kelam melebarkan sayapnya. Merangkul jagad. Inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan taring hening yang menggigit. Setiap tempat yang dikepung kelam adalah bentangan ketidaktahuan manusia atas sepenggal usianya yang diringkus oleh raksasa berwarna gelap.
Ilustrasi. |
Dari langit yang jauh, pada saat kelam mengepung itu, terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah di kejauhan di bawah. Rumah-rumah itu tampak seperti serakan batu kerikil berwarna hitam di suatu tanah lapang. Adakalanya rumah-rumah itu juga tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab dari setiap rumah memancar cahaya lampu serambi yang sengaja tidak dipadamkan pada malam hari.
Tapi jika perhatian lebih seksama ditujukan pada atapnya, maka ruma-rumah itu tampak seperti pemandangan aneh menyerupai sisik kasar manusia tua yang berteriak-teriak memanggil maut, berseru-seru agar nyawanya dicabut. Manusia yang sudah bersisik kasar selalu memang merasa nyawanya tiada lagi berarti sehingga mereka sering berharap lekas-lekas mati.
Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis resah di atas sebuah peta negeri yang sekarat. Di atasnya, sesekali motor dan mobil melintas seperti tak peduli pada malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Dan, cahaya yang berhamburan dari lampu-lampu kendaraan itu melesat seperti kunang-kunang ajaib. Kunang-kunang semacam itu diutus untuk tidak pernah dilihat manusia kecuali mereka yang gemar menantang malam.
Ia selalu terbang pada malam hari, pada saat makhluk-makhluk lain tertidur pulas merangkai mimpi dari rasa lelah yang dibaringkan di atas ranjang. Dan kini, kunang-kunang itu muncul dari sebuah tempat yang gelap di ketinggian. Ia terbang menukik agak lambat menuju rumah-rumah yang terhampar di bawah. Ia terbang berkitar-kitar hendak memilih rumah mana yang akan dikunjunginya. Setelah agak lama terbang berputar-putar, kunang-kunang itu bergerak menuju sebuah rumah yang terletak di ujung sebuah jalan, lalu masuk ke dalamnya.
Di dalam rumah itu, seorang lelaki muda masih terjaga dan duduk di atas sebuah kursi yang agak reot. Ia sedang membaca sebuah buku yang terletak di atas meja yang juga sudah mulai lapuk. Lihat, sesekali lelaki itu mengerutkan kening lalu mencatatkan sesuatu setelah agak lama berfikir. Selain buku yang sedang dibacanya, masih ada buku-buku lain yang masih berserak di atas meja itu.
Sementara, lantai penuh dengan sobekan-sobekan kertas yang berserak dengan sangat amburadul. Di dalam asbak yang terbuat dari tanah liat, menumpuk abu dan puntung-puntung rokok yang barangkali lupa dibuang lelaki itu. Di dinding kamar itu terpajang beberapa lukisan cat air di atas media karton. Lukisan-lukisan itu merupakan buah karya dari tangannya sendiri, warna lukisan itu terkesan agak menguning, barangkali asap rokok telah begitu banyak menyerap ke dalam medianya.
Lihat, lelaki itu melemparkan buku ke kolong tempat tidur. Ia lalu mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kemudian ia menuliskan sesuatu di atas kertas itu dan sesekali menusuk-nusuk pena itu ke pelipisnya. Tahukah kau, orang-orang menyebut lelaki itu si ‘penyair gila'. Tapi, ada manusia-manusia gila yang justru menyebut lelaki itu sebagai ‘orang yang belajar nabi'.
Ketika aku mengunjungi lelaki itu, ia terkejut dan buru-buru bertanya untuk ihwal apa aku datang mengunjunginya.
"Aku senang kau datang meski kuakui pekerjaanku terganggu dengan kehadiranmu, tapi aku senang. Kaulah satu-satunya sahabat yang paling mengerti aku. Ada apa, kawan?" tanyanya.
"Maaf jika memang mengganggu. Aku hanya ingin tahu, apa gerangan yang kau tulis?" tanyaku.
Tapi setelah menanyakan hal itu, aku mendadak merasa bodoh dan malu pada diri sendiri. Sebab kedatanganku yang sesungguhnya bukan untuk mengetahui sedang menulis apa lelaki itu. Lagipula bagaimana mungkin aku tahu dia sedang menulis di rumahnya? Meskipun dia seroang penyair, menyimpulkan ia selalu menulis adalah dugaan yang bisa sangat salah. Tapi untunglah lelaki itu tidak begitu peduli dengan pertanyaanku yang ceroboh itu. Dia lalu berkata bahwa ia sedang menulis sebuah cerita.
"Cerita apa?" aku bertanya.
"Cerita tentang kunang-kunang ajaib. Katamu kau ingin tahu sedang menulis apa aku. Maka, jika kau ingin mendengarnya, aku akan membacakannya bagimu."
Entah mengapa, ketika berkata demikian, aku merasa bahwa lelaki itu merupakan pencerita yang hebat dan sangat terkenal sehingga aku merasa sangat perlu dan bangga sekali jika ia membacakan ceritanya padaku.
"Dengan senang hati aku akan mendengarnya. Bacakanlah!" kataku akhirnya, setengah meminta.
Maka lelaki itu menceritakan ini:
"Ada seorang lelaki muda yang tiba-tiba mengubah wujudnya menjadi kunang-kunang. Di suatu tempat. Yah, di suatu tempat dimana waktu hanya terdiri dari huruf-huruf yang mengkristal jadi sajak lelah. Lelaki itu merasa bahwa waktu ataupun sajak-sajak lelah itu selalu melingkar membungkus tubuh, mengepak nafas, meringkus gerak dan membekap jalan pikirannya. Ia mengubah dirinya jadi kunang-kunang supaya bisa lari dan keluar dari lingkaran yang menjerat serupa penjara gelap itu. Dengan menjadi kunang-kunang, tubuhnya akan menjadi suluh bagi dirinya untuk keluar dan lari dari lingkaran itu. Maka terbanglah ia menerjang seluruh arah, sudut dan permukaan segala yang berwujud. Setelah ia berada di luar lingkaran, ia merasa bebas sebab tak akan dialaminya lagi perjalanan di sisi lingkaran yang selalu menghantamnya pada titik yang sama secara berulang-ulang..."
"Maaf," kataku menyela, "Aku tak faham apa kandungan ceritamu."
"Haha..." lelaki itu tertawa, dan melanjutkan, "aku sedang bercerita soal waktu, kawan. Kau tahu, waktu adalah lingkaran. Hidup kita hanya terdiri dari perjalanan berulang-ulang di sisi lingkaran demi mengurangi waktu. Kita berangkat dari satu titik ke titik lain tapi akan tetap tiba pada titik yang sama pada akhirnya. Lihat, pada pagi hari kau bangun dan tidur pada malam hari. Dan itu akan berulang-ulang kau lakukan tanpa perlawanan. Jika kau merasa lapar, kau akan makan. Jika lapar lagi, kau akan makan lagi. Kau meninggalkan rumah pada waktu-waktu tertentu dan akan tetap kembali ke rumah sejauh apapun kau berkelana. Yah, hidup kita mengarungi waktu persis seperti ketika kita mengelilingi lingkaran. Jika suatu waktu kau tertawa, kau akan diam setelahnya. Jika suatu waktu kau menangis, kau akan diam sesudahnya."
"Cukup! Cukup, Kawan!" kataku menyela, "Sekarang aku paham apa maksudmu. Tapi apakah kau merasa mampu melepaskan diri dari ringkusan waktu?"
"Oh, tentu. Hal itulah yang menjadi bagian lanjut dari cerita yang kutulis ini. Apakah kau masih tertarik mendengarnya?"
"Yah. Ceritakanlah!"
"Lelaki kunang-kunang itu, suatu malam, seperti mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk tidak hanya keluar dari lingkaran waktu, tapi juga harus mampu menghentikan waktu. Maka ia bersemedi, memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan pikiran, lalu berpikir keras mencari tahu bagaimana caranya menghentikan waktu. Tapi di tengah persemedian yang dalam itu, segala kekuatannya tercerai berai dihantam bunyi jam dinding yang berdetak memecah keheningan pada malam itu. Diambilnya jam itu lalu dihempaskannya ke lantai. Jam itu pecah menjadi puing-puing. Saat itulah lelaki itu merasa ada gemuruh yang mendadak di kepalanya. Jawaban tentang bagaimana membunuh waktu tiba-tiba masuk ke ceruk otaknya."
"Apa itu?" tanyaku tidak sabar.
"Ia harus menghentikan seluruh aktivitasnya yang berhubungan dengan waktu. Itulah satu-satunya cara membunuh waktu."
"Menghentikan seluruh aktivitas?" tanyaku agak ngeri, "Itu tidak mungkin, kawan. Kau barangkali sedang tidak waras."
"Ya, ini memag ide gila. Tapi kita harus berani menjadi gila demi mengelak dari takdir bernama waktu yang selalu mempermainkan kita dengan sangat keparat," katanya.
"Jika begitu, teruskanlah kegilaanmu, tuntaskan cerita itu," kataku setengah jengkel dan segera bergegas meninggalkan lelaki itu.
Esok harinya, pagi-pagi benar, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Seperti ada kekuatan aneh yang mendesak aku untuk pergi ke rumahnya. Kudapati lelaki itu masih saja terjaga.
"Ini sudah pagi, tapi kau belum juga tidur, Kawan?" tanyaku.
"Aku tidak lagi ingin tidur. Kau tahu, aku juga sudah berhenti mandi, tidak lagi ganti pakaian, tidak lagi makan dan minum. Itulah caraku menghentikan waktu, dan karena waktu sudah kuberhentikan, maka rasa lapar telah hilang, rasa haus tiada lagi. Aku juga tak perlu lagi menikmati udara luar, melihat matahari atau berbaur dengan manusia-manusia dungu di luar sana."
"Aku tidak percaya," kataku.
"Kau boleh tidak percaya, tapi itulah jalan hidup yang dipilih lelaki kunang-kunang dalam cerita yang kutulis tadi malam. Aku juga sedang belajar mengadaptasi pola hidup semacam itu, juga kau. Kita semua harus melakukannya, sebab pilihan itu bersumber dari penglihatan Illahi semacam wahyu."
"Benarkah?"
Ya, katanya. Lalu ihwal ini diceritakannya:
Suatu malam, lelaki itu merasa bahwa ia berada di langit. Ia melihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah. Rumah-rumah itu tampak seperti batu-batu yang berserak di suatu tanah lapang, dan terkadang seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab rumah-rumah itu memiliki lampu serambi yang sengaja tidak dimatikan pada malam hari. Ia melihat atap rumah-rumah itu seperti pemandangan aneh, seperti sisik kasar manusia tua yang bosan mengutuk maut yang tidak juga datang mencabut nyawanya.
Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis di atas peta sebuah negeri yang sekarat. Sesekali motor dan mobil melintas seolah tak peduli pada tikaman malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Cahaya yang menghambur dari lampu-lampu kendaraan itu tampak seperti kunang-kunang...
"Cukup! Cukup, kawan! Kau sedang menyindir aku. Tapi, bagaimana kau tahu bahwa aku pernah berfantasi seperti itu?"
"Haha," lelaki itu tertawa. "Jangan bodoh, kawan. Kita adalah satu. Kau adalah aku. Kunang-kunang itu adalah kita."
Sejenak lelaki itu menghentikan pembicaraannya, mulai menangis, dan aku juga menangis, persis seperti tangisannya. Aku tahu aku tak lagi hidup. Aku tahu lelaki itu adalah aku. Aku tahu kunang-kunang itu adalah harapan-harapanku.
Pada saat itu, pintu tiba-tiba didobrak dan beberapa petugas kepolisian masuk ke rumahku.
Di luar, kudengar orang-orang sudah ramai dan kasak-kusuk membicarakan sesuatu. Salah seorang dari orang ramai itu bertanya kepada polisi tentang apa yang terjadi. Tapi polisi itu tidak menjawab, ia hanya berkata bahwa kasus bunuh diri telah terjadi.
Esok harinya, koran-koran menulis; seorang lelaki muda ditemukan tewas di dalam kamarnya. Tidak ada indikasi yang mengarah pada dugaan bunuh diri, ataupun penganiayaan. Kematian lelaki itu benar-benar terasa ganjil. Para penyidik mengatakan lelaki itu mungkin terindroktrinisasi oleh teori waktu. Dugaan ini didasarkan atas ditemukannya banyak buku tentang waktu di dalam kamarnya. Waktu adalah lingkaran, begitu tulis lelaki itu di atas secarik kertas. Formulasi ini diduga kuat telah meracuni otaknya sehingga seluruh aktivitas yang memang berlangsung seurut waktu, dihentikan lelaki itu dengan sangat berani, termasuk makan dan minum.
Dan aku, aku sendiri pergi menjauh, menyeret langkah, berjalan tanpa arah yang pasti. Aku tahu aku dirasuki sesal. Tapi sadar akan ketidakmungkinan untuk kembal ke kehidupan semula, aku tertawa. Aku terbahak-bahak menyaksikan anekdot kematian yang kuciptakan sendiri untuk diriku.
Pekanbaru, Januari 2002
0 komentar:
Posting Komentar