Oleh Panda MT Siallagan
Di masa lalu, pengenalan awal manusia terhadap sastra berlangsung dalam disiplin tradisi lisan. Kisah-kisah, pantun, nyanyian, nasihat, dongeng atau balada, semua disampaikan lewat cerita oleh generasi yang lebih leluhur ke generasi pewaris. Bahkan di zaman modern ketika keberaksaraan sudah keniscayaan, tradisi itu masih bertahan lewat dongeng-dongeng yang dikisahkan ibu pada anak-anaknya.
Sulit membayangkan bagaimana kisah-kisah itu bertahan dan awet secara turun-temurun hanya melalui ingatan. Ketika sastra lisan itu hidup sebagai bagian dari roh kebudayaan suatu masyarakat lama, tak pernah barangkali dongeng-dongeng itu terpikirkan diabadikan dalam teks, sebagaimana kini bisa dinikmati dalam sosok kitab atau buku.
Pun mitos-mitos tentang asal-usul suatu puak, sejatinya mungkin tak pernah diniatkan jadi warisan tulis. Tapi hadirnya ilmu pengetahuan bernama sejarah mengubah takdir mitos-mitos itu jadi benda aksara, yang tergantung pada hegemoni teks yang mewakilinya. Dikatakan ‘tergantung’, sebab adakalanya mereka direproduksi dalam bahasa yang tak pernah bersentuhan dengannya.
Merangsek ke zaman yang lebih tua, kepada kita dikenalkan pula naskah-naskah kuno yang tercatat pada beragam media seperti daun lontar , ukiran atau prasasti pada batu-batu. Sama seperti dongeng, naskah-naskah kuno itu kini bisa dinikmati, dan alangkah takjub membayangkannya: kita bisa memasuki alam ribuan tahun silam hanya melalui teks.
Siapa bisa membayangkan, misalnya, Babad Tanah Jawi hadir dalam kemasan cantik, menyuguhkan kisah tentang asal-usul Tanah Jawa atau silsilah raja-raja Mataram, yang oleh karena kekuatan bahasanya, di dalamnya kita bisa menikmati dua genre sekaligus: prosa dan syair. Siapa bisa membayangkan karya-karya Raja Ali Haji, terutama Gurindam Dua Belas, bisa melegenda dan menyeberang antar benua? Atau, mitologi Si Boru Deak Parujar dalam silsilah Batak, siapa bisa bayangkan kini jadi bacaan nikmat bagi para pengelana budaya?
Atas pertanyaan itu, saya menghayalkan bahwa di masa yang tak kita kenal itu, mungkin terdapat juga beragam dongeng atau naskah lain, tapi tak seluruhnya kekal. Dongeng atau naskah-naskah masalalu yang kita kenal saat ini barangkali adalah mutiara-mutiara terpilih yang oleh nenek moyang dianggap berkualitas dan diwariskan lewat literasi oral. Dan itulah barangkali mengapa dunia perpuisian kita dari zaman ke zaman tak pernah lepas dari Chairil Anwar, atau literasi Inggris Raya tak bisa luput dari Rudyard Kipling, sekedar contoh dari sekian nama dan karya-karya legendaris, yang siapapun tertarik menikmatinya, bisa mendapatkannya kapan dan di mana saja pada era ini.
Saya terharu membaca kisah penyair eksperimental Amerika, Frank O’hara, di buku American Writing Today, Forum Series Vol.1. Buku yang diselenggarakan atas wawancara broadcaster radio Voice of America (VOA) dengan sastrawan-sastrawan negeri itu. Tentang Frank O’hara, VOA mewawancarai Kenneth Koch, yang tak lain adalah teman O’hara di klub New York School of Poetry. Bersama seorang lagi bernama John Ashbery, mereka adalah tiga serangkai penyair Amerika kontemporer yang mendedahkan resah atas goncangan tradisi lama dan arus modernisme.
Ketika Frank O’hara wafat pada tahun 1966, namanya tak terlalu harum sebagai penyair sebab hanya ada sedikit puisinya yang terbit di buletin yang dikelola komunitas mereka, New York School itu. Tapi bertahun-tahun kemudian, tak ada keraguan: O’hara adalah penyair besar Amerika, yang dipuja oleh generasi demi generasi di kelak hari. Sebab ternyata, ia mewariskan banyak puisi bermutu tinggi yang tak pernah diterbitkan semasa hidupnya. Karya-karyanya yang dibukukan setelah ia tiada bahkan memperoleh penghargaan National Book Award. Mengapa O’hara tak begitu peduli dan terkesan sembrono atas karya-karyanya?
“Aku tak tahu. Sampai ia meninggal, aku tak pernah tahu seberapa banyak ia menulis. Ketika dia meninggal, aku dan beberapa teman pergi ke apartemennya dan mendapatkan semua manuskripnya. Kemudian beberapa penyair dan teman-teman membuat katalog atas puisi-puisi itu. Saya takjub menemukan beberapa puisi menunjukkan kualitas yang belum pernah saya saksikan. Frank menyimpan puisi-puisi itu dalam kardus, lengkap dengan tanggal,” ujar Kenneth Koch.
Mengapa O’hara tidak memublikasikan karya-karyanya? Koch mengatakan, untuk satu alasan, tak mudah memang bagi mereka untuk menerbitkan karya pada masa itu hingga ahirnya O’hara meninggal. “Kedua, Frank memiliki standar yang sangat tinggi atas karya-karyanya. Seberapa bagus karyanya menurut padangannya hingga ia meninggal, aku tidak tahu. Kini ia penyair besar,” ujar Koch ketika itu.
Sampai di situ, saya coba menghayati karya-karya O’hara meski tak mudah mencarinya dalam bahasa Indonesia. Salah satu puisinya berjudul Steps, digandrungi anak-anak muda di seluruh dunia. …Oh, Tuhan, alangkah takjub/keluar meninggalkan tempat tidur/dan terlalu banyak minum kopi/dan terlalu banyak merokok/dan sangat mencintaimu…! Demikian bait terakhir puisi itu. Hmm…
Suatu kali yang lain, Orhan Pamuk mengenalkan saya pada empat penulis Turki terkenal, yang sepertinya sengaja dipilihkan Pamuk mewakili berbagai genre: Abdulhak Sinasi Hisar (penulis memoar), Yahya Kemal (penyair), Ahmet Hamdi Tanpinar (novelis), Resat Ekram Kocu (jurnalis-sejarahwan). Keempat penulis melankolis itu, menurut Pamuk, sama-sama terpukau pada kegemilangan kesusasteraan Barat, terutama Perancis. Mereka ingin menulis selayaknya orang Perancis, tapi sekaligus menyadari bahwa mereka tidak mungkin sama seperti penulis-penulis Perancis pujaannya.
“Satu pelajaran yang mereka ambil dari kebudayaan Prancis dan ide-ide Perancis tentang kesusasteran adalah adalah bahwa tulisan yang hebat harus asli, otentik dan jujur. Hal lain yang mereka pelajari, yang membantu mereka mencapai kejujuran dan keaslian adalah konsep ‘seni untuk seni’ atau ‘puisi murni’,” demikian Pamuk.
Dari karya-karya empat penulis inilah Pamuk antara lain menggali kenangan masa kanak-kanaknya di Istanbul, kota kelahirannya, yang ia sajikan secara mengesankan dalam buku memoarnya. Penyair Yahya Kemal, misalnya, melakukan pencarian atas citra Istanbul “Turki-Usmani” yang murung karena tak ada teladan di antara puing-puing lingkungan miskin kota, yang berserak bersama keprihatinan-keprihatinan sosial akibat ledakan jumlah penduduk kota pada masa itu. Satu hal mengesankan tentang Yahya Kemal, dialah penyair terbesar Istanbul dan paling berpengaruh, tapi sepanjang masa hidupnya menolak untuk menerbitkan satu buku pun.
Demikianlah, sejak tradisi lisan hingga zaman digital yang riuh dengan teks-teks tak terkendali (bahasa medsos), saya tak pernah ragu bahwa karya-karya bermutu akan mengatasi zaman, akan menemui takdirnya sebagai karya agung: menjenguk dan dijenguk dunia. Bahkan, ketika sebuah karya diniatkan pengarang untuk mati bersamanya karena beberapa pertimbangan, barangkali akan ada juga tangan-tangan ajaib menyelamatkan karya itu untuk dipersembahkan pada peradaban.
Saya memahami, gagasan penerbitan karya adalah kesenangan penuh kebanggaan, tapi ia sekaligus mengandung racun, yang tak searah dengan sinar panggilan sunyi itu: tentang mengapa sesungguhnya seseorang mengarang, menjerumuskan diri ke jalan yang membuat ia terasing dalam kehidupan, terasing dalam nilai-nilai kekal yang terkandung dalam goresan dan luahan jiwanya.
(Sumber, Sumut Pos, 10 April 2016)
Di masa lalu, pengenalan awal manusia terhadap sastra berlangsung dalam disiplin tradisi lisan. Kisah-kisah, pantun, nyanyian, nasihat, dongeng atau balada, semua disampaikan lewat cerita oleh generasi yang lebih leluhur ke generasi pewaris. Bahkan di zaman modern ketika keberaksaraan sudah keniscayaan, tradisi itu masih bertahan lewat dongeng-dongeng yang dikisahkan ibu pada anak-anaknya.
Sulit membayangkan bagaimana kisah-kisah itu bertahan dan awet secara turun-temurun hanya melalui ingatan. Ketika sastra lisan itu hidup sebagai bagian dari roh kebudayaan suatu masyarakat lama, tak pernah barangkali dongeng-dongeng itu terpikirkan diabadikan dalam teks, sebagaimana kini bisa dinikmati dalam sosok kitab atau buku.
Pun mitos-mitos tentang asal-usul suatu puak, sejatinya mungkin tak pernah diniatkan jadi warisan tulis. Tapi hadirnya ilmu pengetahuan bernama sejarah mengubah takdir mitos-mitos itu jadi benda aksara, yang tergantung pada hegemoni teks yang mewakilinya. Dikatakan ‘tergantung’, sebab adakalanya mereka direproduksi dalam bahasa yang tak pernah bersentuhan dengannya.
Merangsek ke zaman yang lebih tua, kepada kita dikenalkan pula naskah-naskah kuno yang tercatat pada beragam media seperti daun lontar , ukiran atau prasasti pada batu-batu. Sama seperti dongeng, naskah-naskah kuno itu kini bisa dinikmati, dan alangkah takjub membayangkannya: kita bisa memasuki alam ribuan tahun silam hanya melalui teks.
Siapa bisa membayangkan, misalnya, Babad Tanah Jawi hadir dalam kemasan cantik, menyuguhkan kisah tentang asal-usul Tanah Jawa atau silsilah raja-raja Mataram, yang oleh karena kekuatan bahasanya, di dalamnya kita bisa menikmati dua genre sekaligus: prosa dan syair. Siapa bisa membayangkan karya-karya Raja Ali Haji, terutama Gurindam Dua Belas, bisa melegenda dan menyeberang antar benua? Atau, mitologi Si Boru Deak Parujar dalam silsilah Batak, siapa bisa bayangkan kini jadi bacaan nikmat bagi para pengelana budaya?
Atas pertanyaan itu, saya menghayalkan bahwa di masa yang tak kita kenal itu, mungkin terdapat juga beragam dongeng atau naskah lain, tapi tak seluruhnya kekal. Dongeng atau naskah-naskah masalalu yang kita kenal saat ini barangkali adalah mutiara-mutiara terpilih yang oleh nenek moyang dianggap berkualitas dan diwariskan lewat literasi oral. Dan itulah barangkali mengapa dunia perpuisian kita dari zaman ke zaman tak pernah lepas dari Chairil Anwar, atau literasi Inggris Raya tak bisa luput dari Rudyard Kipling, sekedar contoh dari sekian nama dan karya-karya legendaris, yang siapapun tertarik menikmatinya, bisa mendapatkannya kapan dan di mana saja pada era ini.
Saya terharu membaca kisah penyair eksperimental Amerika, Frank O’hara, di buku American Writing Today, Forum Series Vol.1. Buku yang diselenggarakan atas wawancara broadcaster radio Voice of America (VOA) dengan sastrawan-sastrawan negeri itu. Tentang Frank O’hara, VOA mewawancarai Kenneth Koch, yang tak lain adalah teman O’hara di klub New York School of Poetry. Bersama seorang lagi bernama John Ashbery, mereka adalah tiga serangkai penyair Amerika kontemporer yang mendedahkan resah atas goncangan tradisi lama dan arus modernisme.
Ketika Frank O’hara wafat pada tahun 1966, namanya tak terlalu harum sebagai penyair sebab hanya ada sedikit puisinya yang terbit di buletin yang dikelola komunitas mereka, New York School itu. Tapi bertahun-tahun kemudian, tak ada keraguan: O’hara adalah penyair besar Amerika, yang dipuja oleh generasi demi generasi di kelak hari. Sebab ternyata, ia mewariskan banyak puisi bermutu tinggi yang tak pernah diterbitkan semasa hidupnya. Karya-karyanya yang dibukukan setelah ia tiada bahkan memperoleh penghargaan National Book Award. Mengapa O’hara tak begitu peduli dan terkesan sembrono atas karya-karyanya?
“Aku tak tahu. Sampai ia meninggal, aku tak pernah tahu seberapa banyak ia menulis. Ketika dia meninggal, aku dan beberapa teman pergi ke apartemennya dan mendapatkan semua manuskripnya. Kemudian beberapa penyair dan teman-teman membuat katalog atas puisi-puisi itu. Saya takjub menemukan beberapa puisi menunjukkan kualitas yang belum pernah saya saksikan. Frank menyimpan puisi-puisi itu dalam kardus, lengkap dengan tanggal,” ujar Kenneth Koch.
Mengapa O’hara tidak memublikasikan karya-karyanya? Koch mengatakan, untuk satu alasan, tak mudah memang bagi mereka untuk menerbitkan karya pada masa itu hingga ahirnya O’hara meninggal. “Kedua, Frank memiliki standar yang sangat tinggi atas karya-karyanya. Seberapa bagus karyanya menurut padangannya hingga ia meninggal, aku tidak tahu. Kini ia penyair besar,” ujar Koch ketika itu.
Sampai di situ, saya coba menghayati karya-karya O’hara meski tak mudah mencarinya dalam bahasa Indonesia. Salah satu puisinya berjudul Steps, digandrungi anak-anak muda di seluruh dunia. …Oh, Tuhan, alangkah takjub/keluar meninggalkan tempat tidur/dan terlalu banyak minum kopi/dan terlalu banyak merokok/dan sangat mencintaimu…! Demikian bait terakhir puisi itu. Hmm…
Suatu kali yang lain, Orhan Pamuk mengenalkan saya pada empat penulis Turki terkenal, yang sepertinya sengaja dipilihkan Pamuk mewakili berbagai genre: Abdulhak Sinasi Hisar (penulis memoar), Yahya Kemal (penyair), Ahmet Hamdi Tanpinar (novelis), Resat Ekram Kocu (jurnalis-sejarahwan). Keempat penulis melankolis itu, menurut Pamuk, sama-sama terpukau pada kegemilangan kesusasteraan Barat, terutama Perancis. Mereka ingin menulis selayaknya orang Perancis, tapi sekaligus menyadari bahwa mereka tidak mungkin sama seperti penulis-penulis Perancis pujaannya.
“Satu pelajaran yang mereka ambil dari kebudayaan Prancis dan ide-ide Perancis tentang kesusasteran adalah adalah bahwa tulisan yang hebat harus asli, otentik dan jujur. Hal lain yang mereka pelajari, yang membantu mereka mencapai kejujuran dan keaslian adalah konsep ‘seni untuk seni’ atau ‘puisi murni’,” demikian Pamuk.
Dari karya-karya empat penulis inilah Pamuk antara lain menggali kenangan masa kanak-kanaknya di Istanbul, kota kelahirannya, yang ia sajikan secara mengesankan dalam buku memoarnya. Penyair Yahya Kemal, misalnya, melakukan pencarian atas citra Istanbul “Turki-Usmani” yang murung karena tak ada teladan di antara puing-puing lingkungan miskin kota, yang berserak bersama keprihatinan-keprihatinan sosial akibat ledakan jumlah penduduk kota pada masa itu. Satu hal mengesankan tentang Yahya Kemal, dialah penyair terbesar Istanbul dan paling berpengaruh, tapi sepanjang masa hidupnya menolak untuk menerbitkan satu buku pun.
Demikianlah, sejak tradisi lisan hingga zaman digital yang riuh dengan teks-teks tak terkendali (bahasa medsos), saya tak pernah ragu bahwa karya-karya bermutu akan mengatasi zaman, akan menemui takdirnya sebagai karya agung: menjenguk dan dijenguk dunia. Bahkan, ketika sebuah karya diniatkan pengarang untuk mati bersamanya karena beberapa pertimbangan, barangkali akan ada juga tangan-tangan ajaib menyelamatkan karya itu untuk dipersembahkan pada peradaban.
Saya memahami, gagasan penerbitan karya adalah kesenangan penuh kebanggaan, tapi ia sekaligus mengandung racun, yang tak searah dengan sinar panggilan sunyi itu: tentang mengapa sesungguhnya seseorang mengarang, menjerumuskan diri ke jalan yang membuat ia terasing dalam kehidupan, terasing dalam nilai-nilai kekal yang terkandung dalam goresan dan luahan jiwanya.
(Sumber, Sumut Pos, 10 April 2016)
Horas Pak Panda. Meskipun aku sekarang tingfal dan bekerja di Medan. Sesungguhnya aku juga anak siantar. Anak jalan Siatasbarita Tomuan. Lomo rohakku manjaha esai sastra muna bah.
BalasHapusHoras ma tutu, mauliate, Lae. Molo adong tikki tu Siantar, marboa-boa hamu atik boha boi hita rap markopi di Jalan Cipto. Hehe...
Hapus