19 Agustus 2016

Siantar Kayak Kerumunan Tawon

Keknya, mantap juga kalok awak cerita tentang Siantar dengan bahasa Siantar? Bah, apapula itu? Mana ada Bahasa Siantar? Iyalah, maksudku Bahasa Indonesia, tapi pakek cakap Siantar.


Tapi cocoknya cerita apa ya? Bingung pula awak. O iya, soal lalu-lintas ajalah. Aku bingung cemananya sebetulnya para pejabat Siantar ini mengurusi kota kita ini. Co' bayangkan, semua lampu merah mati di kota ini, ngeri awak kalo lewat di lampu merah itu. Berhenti awak, salah. Maju awak, salah juga. Kacaulah pokoknya. Entah apa gunanya Dinas Perhubungan itu. Bikin geram aja.

Serius dulu kita bah, dari tahun 2012 sampek 2016 masalah lampu merah ini ga pernah bisa diselesaikan dengan tuntas. Jadi jahat awak kadang-kadang, awak doakan maunya kenak tabraklah sesekali pejabat atau keluarganya pas lewat di lampu merah, biar tahu rasa. Kan ga payah sebenarnya ngurus itu. Anggarkan aja. Bagusi yang rusak-rusak itu. Atau sekalian ganti baru semua biar paten. Tapi janganlah pula dikorupsi. Pingin kali awak liat Siantar ini bagus, tapi cemanalah, asik mikirkan diri sendiri semua.

Tapi betullah, sistim transportasi di Siantar ini makin lama makin memuakkan. Udah gitu, ga ada pula yang mau berpikir soal tata kotanya. Amburadul semua. Co' sesekali kalian amati Siantar ini pagi-pagi, yang ngerian. Pas anak-anak pergi sekolah, maccam kota tak bermartabat kutengok ini. Anak sekolah itu datang dari mana-mana, pergi kemana-mana, kekgitu kulihat.

Ecek-eceknya gini, ada yang dari Simpang dua berlomba-lomba ke kota. Ada dari Perumnas Batu 6, dari Tajungpinggir, dari Jalan Medan, semua bergerak ke arah ke kota. Kalok cuma gitu, sebetulnya ga masalah. Ini yang sebaliknya terjadi pula. Yang dari kota sebagian sekolah ke Jalan Asahan, sebagian ke jalan Medan, sebagian lagi ke Simpang 2, begitu seterusnya.

Di dalam kota pun gitu. Yang tinggal di Tomuan, sekolah ke Marihat. Orang Marihat, sekolah ke Siantar Utara. Orang Jalan Merdeka, sekolah ke Jalan Sutomo. Orang Jalan Sutomo, sekolah ke Jalan Merdeka. Orang Perluasan, sekolah ke Jalan Kartini, warga Jalan Kartini sekolah pula ke Parluasan. Kekgitulah, berputar-putar semua, kayak tawon keluar dari sarang. Kacau kalo pagi, pas pulangsekolah juga gitu. Entah cemanalah hidup tenang di Siantar ini. Belum lagi kalok pekerja dan PNS pergi da pulang kerja, makin ngerilah.Belum lagi kalok kita tengok lalu-lintas di pajak-pajak, ah pusinglah.

Kalok udah gini, co' lah klen pikirkan, mau kekmana lagi bentuk kota kita ini 5, 10, 20 atau 50 tahun lagi? Ga terbayangkankulah. Tapi iyalah, mana ada yang peduli, 50 tahun lagi kan pejabat-pejabat itu udah ga ada lagi. Mungkin dipikirnya, anak-anak dan cucunyapun bila perlu ga usah lagi tinggal di kota ini. Jadi untuk apa dipikirkan, ia kan?

Tapi bukan mau sok pintar, sebuah kota berbudaya kan semestinya udah dipikirkan jauh-jauh hari tentang desainnya. Kota-kota cantik di Eropa itu bukan bentukan zaman sekarang, tapi didesain dari jaman dulu, tentu disesuaikan juga dengan perkembangan zaman, jadi ga asal bangun sana-sini. Mereka itu betul-betul berpedoman pada tata ruang dengan segala kemungkinan-kemungkinannya, makanya pembangunan tertata. Kan udah ada ilmu planologi, yang kekgitu gampang sebetulnya diurus. Pejabat-pejabat Siantar ini ngerti ga ya planologi?

Ah, awakpun ga tahu juganya, cuma awak masih maulah dikit-dikit belajar, baca-baca, biar jangan nampak kali bodohnya. Ini udah bodoh, ga mau baca pula, ya rusaklah. Sebetulnya kota Siantar ini udah mantaplah dari sisi perencanaan. Co' tengok, di depan balaikota, ada alun-alun, yang kita bilang Taman Bunga itu. Kalok diibaratkan Balai Kota itu istana raja, maka Taman Bunga itulah alun-alun tempat rakyat berkumpul menikmati kejayaannya. Atau kalok raja ingin merayakan suatu pesta, diundang lah masyarakat makan, ya di alun-alun itu, kalok ga, ya di ruang terbuka lain yang juga udah disiapkan, itulah tanah lapang itu.

Tapi udahlah, capek ngomel terus. Ada pula nanti yang bilang, makan kau sejarah kau tuh. Ga penting. Memang ga penting. Pandangan dan sikap orang kan tergantung kualitas martabatnya juga. Sebetulnya, kalok ingin Siantar ini maju, pejabat dan rakyatnya sudah harus berubah, belajar menjadi pribadi-pribadi bermental bangsawan. Boleh tukang becak, boleh pedagang, boleh PNS, boleh tentara, boleh wartawan, boleh jadi apa aja. Tapi janganlah bermental budak. Dipanasi sikit, demo. Diprovokasi sikit, berontak. Tapi iyalah, pejabat-pejabatnya juga suka didemo. Biar terkenal. Hehe...! Biar aja korupsi, yang penting terkenal. Hehe, sialnya udah korupsi, ga kaya juga. Kalok pun nampak agak kaya sikit, sombongnya minta ampun. Kelakuan anak-anaknya maccam keledai yang merasa jadi singa.

Okelah, gitu ajalah dulu kato kali ini. Makin banyak awak nanti cakap, makin banyak yang tersinggung, dibakar pula nanti rumah awak. Tapi mudah-mudahanlah suatu saat nanti, lahir pemimpin yang betul-betul kuat dan punyaintegritas. Kalok ga, kota ini pasti tenggelam dalam kekacauan, dan itu neraka. Awak udah berkali-kali bilang, neraka bukan awang-awang, tapi ledakan jumlah penduduk, yang otomatis menimbulkan persoalan-persoalan sosial baru, yang akan meledakkan semua aspek moralitas. Begitulah...! ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar