Jika kita mengamati perkembangan kesusasteraan Indonesia mutakhir, kita barangkali akan segera bersepakat bahwa inilah era dimana kesusasteraan mengalami kebangkitan yang luar biasa baik genre puisi, cerpen dan novel. Berkunjunglah ke toko-toko buku, di situ akan segera tampak begitu membeludaknya buku-buku sastra dari ketiga jenis itu, baik yang ditulis oleh pengarang yang sudah solid berada di 'menara gading kesusasteraan' maupun dari pengarang-pengarang muda yang tergolong masih segar dalam blantika sastra kita.
Kliping surat kabar. |
Memang, sempat muncul perdebatan mengenai klasifikasi sastra ditinjau dari medium yang menerbitkannya. Ada upaya memberi penggolongan Sastra Koran untuk karya-karya yang terbit di media koran, dan Sastra Buku untuk karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Penggolongan semacam itu memang terasa tidak terlalu bermanfaat karena sering kali karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku itu kebanyakan sudah terlebih dahulu terbit di koran kecuali sebagian novel yang memang langsung terbit dalam bentuk buku. Dikatakan sebagian karena ada juga novel yang terlebih dahulu terbit sebagai cerita bersambung berbagai koran. Maka, perdebatan tentang sastra koran dan sastra buku agaknya tak perlu lagilah diperpanjang, karena toh substansi isi dan kualitas sastrawi karya-karya itu boleh dikatakan cenderung setara. Itu hanya persoalan bentuk. Seperti tanah liat, dibentuk dalam bentuk apapun, ia tetaplah tanah liat.
Semaraknya eksperimentasi kerja kreatif itu tentu saja menghasilkan khasanah yang sangat kaya baik itu tema, gaya tutur, teknik penulisan maupun muatan kulturalnya. Eksplorasi tradisi lokal/etnik, misalnya, telah membawa kekayaan bagi tradisi kepenulisan kita dan hal itu seringkali tampil sebagai tindakan pemberontakan, keluar dari tradisi kepenulisan konvensional. Dalam kawasan genre puisi, misalnya, ada Saut Situmorang, Oka Rusmini, Marhalim Zaini (untuk menyebut beberapa nama) yang telah sukses memasukkabn warna lokal dalam puisi-puisi mereka.
Demikian juga halnya akan cerpen, dengan munculnya Raudal Tanjung Banua, Satmoko Budi Santoso, Puthut EA, Triyanto Triwikromo, kita akan segera sadar dan tersentak bahwa konvensi tradisi kepenulisan kita sudah berubah. Saat ini yang muncul adalah kreativitas serba liar, eksploratif, inovatif dan tak mudah menduga hal apalagikah yang muncul di masa-masa mendatang.
Sementara dalam genre novel, munculnya Ayu Utami dan Dewi 'Dee" Lestari telah pula menyebabkan munculnya novelis-novelis baru seperti Fira Basuki, Nukila Amal, dan yang teranyar adalah Dewi Sartika. Meskipun tampak adanya saling mempengaruhi dalam hal motivasi menulis, mungkin supaya terkenal dan diakui cerdas, tapi karya-karya mereka tetaplah pekerjaan yang pantas diperhitungkan dan telah mendapat pengakuan dengan segala kelemahan dan kekuatannya.
Sayang sekali, Riau cenderung sepi dari munculnya pengarang-pengarang muda yang pantas diperhitungkan. Setelah BM Syamsudin, Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Sutardi Calzoum Bachri, Hasan Junus yang kemudian diikuti Edruslan Pee Amanriza, Fachrunnas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, praktis tidak ada lagi sastrawan dari Riau yang pantas diperhitungkan secara nasional kecuali Marhalim Zaini. Ada memang sosok-sosok harapan dan potensial seperti Hary B Ko'riun, Murparsaulian, Gde Agung Lontar, Olly Rinson, tapi mereka belum terlalu memukau secara nasional. Di kalangan yang lebih muda, ada M. Badri, Sobirin Zaini, Binoto H Balian dan mereka-mereka ini harus lebih giat lagi menelurkan karya-karya yang baik jika ingin eksis.
Namun demikian, fenomena membeludaknya karya-karya sastra ini tidak diikuti oleh berkembangnya dunia kritik secara bersamaan. Padahal, kegairahan bersastra ini sudah terbukti mampu memunculkan publik pembaca, meramaikan dunia penerbitan dan perbukuan, menstinulus munculnya wacana dan diskusi-diskusi sastra, memunculkan komunitas-komunitas sastra yang lahir dari omong-omong dan kongkouw-kongkouw antara para seniman (sayang dalam hal ini Riau juga ketinggalan), tetapi mengapa kritik sastra justru sepi?
Kalaupun tidak ingin dikatakan sepi, setidaknya kita masih sangat sulit menemukan adanya kritik yang memadai untuk menganalisis, menginterpretasi dan mengevaluasi karya-karya yang subur itu. Apa yang selama ini kita saksikan tidak lebih dari esei atau apresiasi-apresiasi yang seringkali dimaksudkan untuk mengangkat-angkat nama pengarang tertentu, dangkal dan cenderung ditulis untuk gagah-gagahan retorika sehingga apa yang menjadi aspek kritik, orientasi karya yang dikritik, metode kritik, sering tidak benar-benar mengemuka.
Untuk mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut, perlu kiranya dikemukakan guna kritik sastra. Setidaknya, guna kritik sastra dapat digolong menjadi tiga, yaitu: pertama, untuk perkembangan ilmu sastra itu sendiri. Kedua, untuk perkembangan kesusasteraan, dan ketiga dalah untuk penerangan kepada masyarakat umum yang menginginkan penjelasan tentang karya-karya sastra. Kegunaan pertama, kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Kegunaan kedua, kritik sastra membantu perkembangan kesusasteraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Dengan demikian, para sastrawan dapat mengambil manfaat dari kritik sastra, maka mereka dapat memperkembangkan penulisan karya-karya sastra mereka yang kemudian mengakibatkan perkembangan dunia kesusasteraan. Kegunaan ketiga, kritik sastra menguraikan karya sastra. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengambil kritik sastra ini bagi pemahaman terhadap karya sastra (Pradopo, 1988: 17-23).
Tetapi, di tengah situasi dimana sastra telah berkembang, dan masyarakat sudah cenderung tertarik dengan sastra yang dibuktikan dengan munculnya publik pembaca yang luas, masih diperlukan lagikah kritik sastra? Barangkali pendapat seperti ini boleh juga dianggap sebagai sesuatu yang benar, sebab permasalahan apalagikah yang harus dikritik jika sastra itu sendiri sudah berkembang, sudah berhasil memberikan keuntungan ekonomis kepada para pengarang dan perusahaan-perusahaan penerbitan?
Namun, jika kita bersepakat dengan opini semacam itu, apakah hal itu tidak justru membuat para akademisi sastra malas menulis kritik dan enak-enak saja duduk menonton kesusasteraan berjalan sendiri tanpa kehadiran mereka? Bagaimanapun, kritik sastra tetap diperlukan. Dan pihak yang paling bertanggungjawab terhadap keberlangsungan dan mutu kritik sastra adalah mahasiwa dan para akademisi sastra, juga lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bahasa dan sastra seperti fakultas sastra dan balai bahasa. Apakah harus para sastrawan juga yang turun ke jalan untuk menyelamatkan kritik sastra dari kematian?
Para sastrawan telah berbuat, sekarang izinkan kami menyapa, "Apa kabar kritik(us) sastra?" (Panda MT Siallagan)***
* Artikel ini terbit di Riau Pos, 11 Juli 2004
0 komentar:
Posting Komentar