Oleh Panda MT Siallagan
Sampai kini, masih mengendap tiada jawab perihal kontroversi surat-surat Kartini. Di manakah naskah asli surat Kartini itu? Keturunan JH Abendanon juga sangat sulit ditemukan sehingga banyak pihak meragukan kebenaran surat-surat itu. Ada dugaan, JH Abendanon melakukan rekayasa surat-surat Kartini untuk kepentingan politik etis Hinda Belanda.
Dugaan itu muncul karena surat-surat Kartini memang diterbitkan pada saat pemerintahan Belanda menjalankan politik etis. Ketika itu, JH Abendanon termasuk pendukung politik etis yang tengah menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.
Di masa kemerdekaan, penetapan tanggal lahir Kartini sebagai hari besar dan penobatannya sebagai Pahlawan Nasional, juga menuai perdebatan, sebab kebijakan itu dianggap pilih kasih. Nyata memang, Indonesia memiliki wanita-wanita hebat lain melebihi Kartini, sebutlah Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.
Apakah Kartini mengenal Cut Nyak Dien seperti ia mengenal Estelle 'Stella' Zeehandelaar yang dituding sebagai agen feminisme Barat itu? Mengapa Kartini tidak menulis surat kepada perempuan-perempuan pejuang nusantara pada masa itu? Kenapa ia tidak berkirim surat kepada pribumi-pribumi terpelajar seperti Abdul Rivai, yang sepertinya memang dikaguminya itu?
Atau jangan-jangan, banyak juga surat yang dikirimkan Kartini kepada sesamanya terpelajar di Nusantara ketika itu, tapi tak mendapat perhatian dan terbuang begitu saja sehingga sejarah menganggapnya tidak pernah ada? Entahlah.
Menggenapi seluruh perdebatan yang tiada berjawab itu, imajinasi tergoda lagi bertanya, berapa banyak sesungguhnya sahabat pena Kartini? Kalau mengacu buku Habis Gelap Terbitlah Terang, setidaknya ada 8 nama tercatat yang kepada mereka Kartini kerap mengirimkan surat-surat. Lalu, berapa banyak (pucuk) surat telah dikirimkan Kartini kepada para sahabatnya itu? Sampai kini, tiada yang tahu. Jika surat-surat Kartini itu berbalas, lalu di manakah balasan surat-surat itu dan apa isinya?
Ketimbang memikirkan di mana naskah asli surat-surat Kartini, lebih dekat rasanya berkhayal dan bermimpi tentang balasan surat-surat itu, sebab naskah-nashkah itu tentulah berada di Jepara atau di Rembang. Sungguh, saya sangat ingin membaca surat Nona Zeehandelaar, yang kepadanya Kartini bicara meluap-luap dan sangat bebas mengemukakan pikiran-pikirannya. Saya ingin membaca surat Nyonya Ovink-Soer, yang kepadanya Kartini bicara nyaman, santun dan memanggil nyonya Belanda itu sebagai Ibu. Saya ingin membaca surat-surat Abendanon. Di mana saya bisa mencarinya? Atau jangan-jangan surat-surat Kartini itu tidak pernah mendapat balas?
Tapi jika kita membaca surat-surat Kartini yang terangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang karangan Armin Pane (Terbitan Kedua tahun 1938), kita dapat membaca beberapa kutipan berikut:
- Stella, terimakasihku sangatlah besarnya, karena baik pendapatanmu (pendapat, red), tentang kami orang Jawa… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
- Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang serupa itu… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899).
- Engkau menghibur hatiku, terimakasih, Stella. Berharaplah aku, katamu itu menjadi benar kiranya… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 12 Januari 1900)
- Tuan Van Kol ada mengirimkan kepada kami sebagian daripada surat istrinya… (Surat kepada Nyonya Ovink-Soer, Oktober 1900)
- Segala yang Nyonya tuliskan itu, sudah pernah kupikirkan dan kurasakan, kutanggungkan… (Surat kepada Nyonya Abendanon, 29 November 1901).
- Benarlah kata Nyonya itu. Adikku berangkat, kehilangan besar bagi kami...(Surat kepada Nyonya de Booij, 21 Maret 1902).
Dari beberapa nukilan itu, nyatalah kiranya bahwa sebagian surat-surat Kartini itu mendapat balasan dari para sahabat yang disuratinya. Armin Pane dalam buku tersebut juga menegaskan hal yang sama dalam Kata Pembimbing, katanya: "Sudah kita terangkan waktu dia sudah di 'bui', kerapkalilah menerima surat-surat dan banyaklah dia berkirim surat, semuanya dengan orang Belanda. Surat-surat itulah yang memperkuat imannya dan surat-surat itulah tempat dia mencurahkan cita-cita, penanggungan, perjuangannya itu."
Andai balasan-balasan surat itu bisa kita baca, akan nyatanyalah sebenarnya apa-apa saja yang dibicarakan orang-orang Belanda itu kepada Kartini, sehingga ia tumbuh menjadi gadis cemerlang, yang pikiran-pikirannya melampui zamannya, yang jika dikait-hubungkan dengan usia, rasanya ia sudah seperti feminis kawakan dalam memercikkan beragam gagasan.
Lalu kita tahu, Kartini menulis surat terakhirnya kepada Nyonya Abendanon dari Rembang pada tanggal 7 September 1904. Enam hari kemudian, 13 September 1904, Kartini melahirkan anak laki-lakinya dan wafat pada pada tanggal 17 September, meninggalkan bayi yang masih berusia 4 hari. Surat-suratnya kemudian diterbitkan dalam buku pada tahun 1911 di Belanda, atau 7 tahun kemudian setelah Kartini tiada, bahkan buku itu baru tiba dalam Bahasa Melayu 17 tahun kemudian (tahun 1922).
Tentu, segala hal bisa saja terjadi selama 7 tahun atau 17 tahun, termasuk mengenyahkan surat-surat orang Belanda itu, sehingga kita hanya mengenal surat-surat Kartini itu, mengenal pemikiran-pemikirannya, tanpa tahu bagaimana gagasan-gagasan itu dipantik atau disulut. Entahlah. Jiwa memang terasa mengharu-biru membaca surat-surat Kartini itu, bahkan dalam posisi kritis dan objektif, haru-biru lain pun menggema: surat-surat itu seperti monolog pertapa yang meminta penyelamatan kepada Tuhannya, si Belanda, si Eropa atau si Politik Etis itu.
Tapi, semoga kiranya referensi sayalah yang kering atau belum mendapatkannya. Tentu sangat menyenangkan andai ada pemilik referensi yang menyimpan surat-surat balasan itu dan menyiarkannya kepada generasi kini. Sebab kita tahu, korespondensi adalah peristiwa surat-menyurat, ada si penyurat dan ada si pembalas surat, ada surat dan ada balasan. Entahlah…! ***
Sumber: Sumut Pos 24 April 2016
Sampai kini, masih mengendap tiada jawab perihal kontroversi surat-surat Kartini. Di manakah naskah asli surat Kartini itu? Keturunan JH Abendanon juga sangat sulit ditemukan sehingga banyak pihak meragukan kebenaran surat-surat itu. Ada dugaan, JH Abendanon melakukan rekayasa surat-surat Kartini untuk kepentingan politik etis Hinda Belanda.
Dugaan itu muncul karena surat-surat Kartini memang diterbitkan pada saat pemerintahan Belanda menjalankan politik etis. Ketika itu, JH Abendanon termasuk pendukung politik etis yang tengah menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.
Di masa kemerdekaan, penetapan tanggal lahir Kartini sebagai hari besar dan penobatannya sebagai Pahlawan Nasional, juga menuai perdebatan, sebab kebijakan itu dianggap pilih kasih. Nyata memang, Indonesia memiliki wanita-wanita hebat lain melebihi Kartini, sebutlah Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.
Apakah Kartini mengenal Cut Nyak Dien seperti ia mengenal Estelle 'Stella' Zeehandelaar yang dituding sebagai agen feminisme Barat itu? Mengapa Kartini tidak menulis surat kepada perempuan-perempuan pejuang nusantara pada masa itu? Kenapa ia tidak berkirim surat kepada pribumi-pribumi terpelajar seperti Abdul Rivai, yang sepertinya memang dikaguminya itu?
Atau jangan-jangan, banyak juga surat yang dikirimkan Kartini kepada sesamanya terpelajar di Nusantara ketika itu, tapi tak mendapat perhatian dan terbuang begitu saja sehingga sejarah menganggapnya tidak pernah ada? Entahlah.
Menggenapi seluruh perdebatan yang tiada berjawab itu, imajinasi tergoda lagi bertanya, berapa banyak sesungguhnya sahabat pena Kartini? Kalau mengacu buku Habis Gelap Terbitlah Terang, setidaknya ada 8 nama tercatat yang kepada mereka Kartini kerap mengirimkan surat-surat. Lalu, berapa banyak (pucuk) surat telah dikirimkan Kartini kepada para sahabatnya itu? Sampai kini, tiada yang tahu. Jika surat-surat Kartini itu berbalas, lalu di manakah balasan surat-surat itu dan apa isinya?
Ketimbang memikirkan di mana naskah asli surat-surat Kartini, lebih dekat rasanya berkhayal dan bermimpi tentang balasan surat-surat itu, sebab naskah-nashkah itu tentulah berada di Jepara atau di Rembang. Sungguh, saya sangat ingin membaca surat Nona Zeehandelaar, yang kepadanya Kartini bicara meluap-luap dan sangat bebas mengemukakan pikiran-pikirannya. Saya ingin membaca surat Nyonya Ovink-Soer, yang kepadanya Kartini bicara nyaman, santun dan memanggil nyonya Belanda itu sebagai Ibu. Saya ingin membaca surat-surat Abendanon. Di mana saya bisa mencarinya? Atau jangan-jangan surat-surat Kartini itu tidak pernah mendapat balas?
Tapi jika kita membaca surat-surat Kartini yang terangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang karangan Armin Pane (Terbitan Kedua tahun 1938), kita dapat membaca beberapa kutipan berikut:
- Stella, terimakasihku sangatlah besarnya, karena baik pendapatanmu (pendapat, red), tentang kami orang Jawa… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
- Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang serupa itu… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899).
- Engkau menghibur hatiku, terimakasih, Stella. Berharaplah aku, katamu itu menjadi benar kiranya… (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 12 Januari 1900)
- Tuan Van Kol ada mengirimkan kepada kami sebagian daripada surat istrinya… (Surat kepada Nyonya Ovink-Soer, Oktober 1900)
- Segala yang Nyonya tuliskan itu, sudah pernah kupikirkan dan kurasakan, kutanggungkan… (Surat kepada Nyonya Abendanon, 29 November 1901).
- Benarlah kata Nyonya itu. Adikku berangkat, kehilangan besar bagi kami...(Surat kepada Nyonya de Booij, 21 Maret 1902).
Dari beberapa nukilan itu, nyatalah kiranya bahwa sebagian surat-surat Kartini itu mendapat balasan dari para sahabat yang disuratinya. Armin Pane dalam buku tersebut juga menegaskan hal yang sama dalam Kata Pembimbing, katanya: "Sudah kita terangkan waktu dia sudah di 'bui', kerapkalilah menerima surat-surat dan banyaklah dia berkirim surat, semuanya dengan orang Belanda. Surat-surat itulah yang memperkuat imannya dan surat-surat itulah tempat dia mencurahkan cita-cita, penanggungan, perjuangannya itu."
Andai balasan-balasan surat itu bisa kita baca, akan nyatanyalah sebenarnya apa-apa saja yang dibicarakan orang-orang Belanda itu kepada Kartini, sehingga ia tumbuh menjadi gadis cemerlang, yang pikiran-pikirannya melampui zamannya, yang jika dikait-hubungkan dengan usia, rasanya ia sudah seperti feminis kawakan dalam memercikkan beragam gagasan.
Lalu kita tahu, Kartini menulis surat terakhirnya kepada Nyonya Abendanon dari Rembang pada tanggal 7 September 1904. Enam hari kemudian, 13 September 1904, Kartini melahirkan anak laki-lakinya dan wafat pada pada tanggal 17 September, meninggalkan bayi yang masih berusia 4 hari. Surat-suratnya kemudian diterbitkan dalam buku pada tahun 1911 di Belanda, atau 7 tahun kemudian setelah Kartini tiada, bahkan buku itu baru tiba dalam Bahasa Melayu 17 tahun kemudian (tahun 1922).
Tentu, segala hal bisa saja terjadi selama 7 tahun atau 17 tahun, termasuk mengenyahkan surat-surat orang Belanda itu, sehingga kita hanya mengenal surat-surat Kartini itu, mengenal pemikiran-pemikirannya, tanpa tahu bagaimana gagasan-gagasan itu dipantik atau disulut. Entahlah. Jiwa memang terasa mengharu-biru membaca surat-surat Kartini itu, bahkan dalam posisi kritis dan objektif, haru-biru lain pun menggema: surat-surat itu seperti monolog pertapa yang meminta penyelamatan kepada Tuhannya, si Belanda, si Eropa atau si Politik Etis itu.
Tapi, semoga kiranya referensi sayalah yang kering atau belum mendapatkannya. Tentu sangat menyenangkan andai ada pemilik referensi yang menyimpan surat-surat balasan itu dan menyiarkannya kepada generasi kini. Sebab kita tahu, korespondensi adalah peristiwa surat-menyurat, ada si penyurat dan ada si pembalas surat, ada surat dan ada balasan. Entahlah…! ***
Sumber: Sumut Pos 24 April 2016