Mitologi Yunani memperkenalkan ita kisah dewa-dewa. Salah satu tokoh mitologi yang akan selalu dikenang dan kekal adalah Sisifus. Ia sesungguhnya mahluk bijak, peka, waspada, berani dan keras ketika memutuskan menjalankan peran. Dan mungkin, superioritas itulah yang menyebabkan ia pongah dan berani menghina dewa-dewa, meremehkan kematian dan sangat bernafsu pada kehidupan yang kekal. Dewa-dewa murka. Ia dihukum.
Maka menjadi aneh sekaligus: ia patuh dan pasrah menerima sanksi atas sikapnya itu. Ketika ia dihukum mendorong batu besar ke puncak gunung, ia patuh, membiarkan dirinya melihat kebodohan menggelinding dalam wujud batu. Dikisahkan, setelah batu menggelinding, Sisifus turun lagi untuk kemudian mendorong batu besar itu ke puncak gunung dengan seluruh energi dan keberadaannya. Lalu batu menggelinding lagi, ia turun lagi, mendorong lagi, hingga kemudian kita kesal mengetahuinya: tak masuk akal. Ya, tak masuk akal. Absurd. Sangat absurd. Terlebih, kita mengenal peribahasa: hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.
Maka sesungguhnya, adakah hal yang benar-benar masuk akal dalam hidup ini? Kepada seorang teman, ketika kami berulang-ulang minum kopi dan menghabiskan malam hingga subuh, saya berkata, “Kita sangat absurd.”
Secara sederhana, absurdisme dapat diartikan sebagai bidang ilmu kajian yang mempercayai bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal. Kesadaran para pengikut aliran itu lahir atas peraturan dan keteraturan yang sering berbenturan dengan kepentingan umum.
Albert Camus, filsuf dan sastrawan Perancis, mengulas mitologi Sisifus dalam bukunya berjudul Mite Sisifus, Pergulatan dengan Absurditas. Ia mengulas betapa tak masuk akal kehidupan dalam kesadaran yang konyol semacam itu. Meski sekilas, dalam buku itu Albert Camus bicara tentang mengapa, misalnya, seseorang melakukan bunuh diri? Mengapa orang menciptakan sandiwara, mengapa filsafat dan roman-roman ditulis? Benarkah semua itu berguna bagi kehidupan? Untuk apa sesungguhnya kita bekerja dan hidup, terus bekerja dan bekerja?
Kadang-kadang, kita bahkan tak mampu mengukur masa depan. Kita hanya bergumul dalam ketiadaan harapan dan kepastian. Haruskah orang bunuh diri ketika hati kosong dan hidup seolah tak bermakna? Pertanyaan-pertanyaan tu saya rangkum seadanya dengan sedikit permenungan. Tapi ketika saya sampai pada bagian buku itu yang mengambil contoh Don Yuan, saya berhenti berpikir. Tersebab Camus, saya mulai pasrah: biarlah, mungkin hobi mengoleksi benda-benda adalah sebuah upaya mengekalkan sejarah juga.
Dan setiap orang berhak membayangkan dirinya abadi dalam hal-hal semacam itu. Memang, keabadian selalu berhadap-hadapan dengan pertentangan. Dan kita semua, mulai dari kalangan proletar hingga kaum borjuis, pada akhirnya akan terhempas dan tersiksa oleh kegetiran bernama kesadaran.
Saya selalu berusaha meyakini bahwa seorang walikota atau bupati adalah manusia-manusia bahagia, tapi saya selalu gagal. Kenyataan itu selalu mendera pikiran dan gerak jiwa: para pemimpin, tak terkecuali bupati dan walikota, mungkin justru manusia-manusia paling absurd, kesepian dalam kehormatan yang dihujat sekaligus dipuja. Tak punya siapa-siapa di tengah kerumunan orang yang datang berbondong bondong memanggul kepentingan.
Filsuf lain dari Jerman, Erich Fromm, meski tak secara langsung memunculkan istilah absurditas, dalam bukunya The Revolution of Hope, menyinggung kehidupan manusia modern yang tragis dan menyedihkan. Menurut Fromm, dalam kehidupan manusia modern selalu ada ‘hantu’. Dalam terminus ini, hantu tentu saja ilustrasi, penggambaran pola masyarakat yang dimesinkan secara total: manusia adalah mesin.
Sebagaimana memang kita rasakan, hampir seluruh eksistensi kehidupan dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material, yang dalam prosesnya diarahkan oleh komputer. Manusia tidak lagi berfungsi sebagai manusia utuh. Dalam proses sosial semacam ini manusia menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan. Tapi ia pasif, tidak hidup dan nyaris kehilangan perasaan.
Lalu, saat segalanya terasa jenuh dan membosankan, jiwa kehilangan denyut. Dan kitapun kehilangan debar-debar yang tulus.***
0 komentar:
Posting Komentar