Cerpen Panda MT Siallagan
Tiba-tiba pukul tiga dini hari itu hujan turun. Di luar, angin mendesis, dan daun-daun akasia terdengar menggelepar. Aku dapat membayangkan beberapa daunnya gugur, meliuk-liuk diputar angin hingga akhirnya jatuh, tersadai di atas tanah. Lalu, petir menggelegar, bersabung dengan angin. Kudengar bunyi berdentang dari arah rumah kosong yang berada tak jauh dari rumah ini. Salah satu sengnya mungkin tercerabut dan melayang dihantam angin.
Aku segera mematikan komputer, kesal karena harus berhenti menulis. Bukan apa-apa, listrik di kota ini selalu menyisakan cerita menjengkelkan. Tiada hujan tiada angin, listrik di kota ini bisa padam dengan tiba-tiba, dan hampir bisa dipastikan, jika cuaca seburuk dan hampir membadai seperti sekarang, listrik akan padam. Aku tidak ingin komputerku yang sudah sakit-sakitan menjadi lebih parah karena listrik yang nyala-mati. Dan benar, sesaat setelah komputer kumatikan, lampu benar-benar padam. Gelap mengerkah. Lindap menggeram. Kunyalakan lilin yang memang selalu tersedia di laci mejaku. Dan puji lilin, sinarnya membuat kamarku sedikit terang.
Ilustrasi. |
“Halo, selamat pagi!”
Tak ada sahutan dari seberang, maka kulanjutkan, “Halo, ini siapa?”
Tetap tak ada jawaban. Kumatikan ponsel itu. Tapi, beberapa detik kemudian, ponsel itu berdering lagi. “Halo!” kataku dengan nada kesal.
Dan di seberang, terdengar tangisan yang berbaur dengan rintihan-rintihan pilu, menyayat hati. Darahku menggelegak, jantungku berdetak, bulu romaku berdiri, aku didera rasa takut. Tangisan yang baru saja kudengar itu persis seperti tangisan yang biasa terjadi pada saat seseorang meninggal. Aku tiba-tiba teringat pada ibu yang dua tahun belakangan ini memang sudah sering sakit-sakitan. Apakah ibu meninggal? Apakah telepon yang kuterima tadi berasal dari salah seorang anggota keluarga yang ingin memberitahuku tapi karena kesedihan yang mendalam ia menjadi tak mampu bicara? Pada detik itu juga kuputuskan menelepon ke rumah. Dan, ada beberapa menit lamanya aku dikepung resah, menunggu telepon di seberang diangkat.
“Halo….” Kudengar suara ibu. Aku lega.
“Ibu ya? Apa ibu sehat?”
“Hei, kau rupanya? Ibu baik-baik saja. Bapa juga sehat. Ada apa menelepon sepagi ini?”
“Syukurlah. Aku bermimpi buruk, Ibu. Buruk sekali. Makanya langsung kutelepon.” Aku berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan peristiwa yang kualami itu kepada ibu. Ibu sangat tidak percaya pada hal-hal gaib.
“Itu artinya kau mesti pulang. Sudah tiga tahun kau tidak pernah pulang, bapa dan Ibu sudah kangen. Bagaimana, apa kau sudah punya seseorang yang akan kaubawa menjadi menantu buat kami?”
Nah, ujung-ujungnya pasti ke situ. “Ibu tenang sajalah. Jika waktunya tiba, keinginan Ibu akan terwujud. Akan kubawakan buat Ibu seorang perempuan yang sangat cantik.”
“Tapi kapan?”
“Jika waktunya sudah tiba, tentu saja.”
“Ah, kau selalu begitu.” Suara ibu tiba-tiba melemah, menguarkan nada kecewa.
“Udah dulu, ya, Ibu! Aku ngantuk, mau tidur lagi.”
“Baik-baik kau ya, anakku!”
***
Pagi itu, aku tidak bisa tidur lagi. Diselimuti rasa takut, aku tak henti-henti berpikir tentang persitiwa itu. Memang, sudah sejak dua tahun yang lalu, sejak ibuku mulai sakit-sakitan, aku sering dihantui rasa takut jika ponsel berdering. Aku takut jika suatu hari ponsel berdering dan tiba-tiba kuterima kabar duka tentang kematian ibu. Aku merasa belum siap untuk itu. Lalu, peristiwa menggerunkan itu, isyarat apakah?
Esok harinya, kuceritakan peristiwa itu kepada seorang kawan. Tapi, seperti kuduga, kawan itu hanya berkata, “Dasar pengarang. Tidakkah kau punya cerita lain yang lebih berguna untuk kau kisahkan kepadaku, tentang Liana, misalnya?”
Aku jengkel. Kutinggalkan kawan itu dengan perasaan kecewa. Bukan, bukan karena aku tidak suka bercerita tentang Liana, tapi jika saat ini kawan itu memintaku bercerita tentang kekasih, itu tampak lebih menyerupai ejekan ketimbang sokongan moral. Sebab hingga kini aku belum menikah. Yah, lelaki penakluk hati banyak perempuan ini belum menikah. Lelaki yang dulu menggurui banyak lelaki tentang bagaimana memerangkap perempuan ini masih membujang. Membujang dalam usia kepala tiga. Tapi, benarkah aku telah menceritakan peristiwa itu pada seorang sahabat?
Aku sebenarnya tidak anti pada gagasan pernikahan. Seperti banyak orang, aku juga rindu pada kehadiran sebuah keluarga, seorang istri, anak-anak yang mungkin manja-manja dan gemuk-gemuk. Keriangan suasana itu, sungguh merupakan keriangan yang tak tergantikan oleh keriangan apapun.
Tetapi, ibu, kekasihku bernama Liana itu tidak sudi kunikahi jika aku tidak mapan secara materi. Ia tidak sudi mempersuamikan lelaki pengarang berbakat pas-pasan seperti aku. Ia tidak mau menikah dengan pria miskin.
***
Malam keesokan harinya, aku memutuskan tidur lebih awal, berusaha tidur, tepatnya. Sebab, setahun belakangan, aku mengidap insomnia akut yang membuatku hampir tidak pernah tidur pada malam hari. Tidur benar-benar menjadi sesuatu yang sangat mahal dalam hidupku. Dan anehnya, kondisi ini tidak pernah membuatku merasa tertekan secara emosional, tidak membuatku lelah. Aku menikmatinya seperti sebuah anugerah. Bahkan, ketika suatu malam aku menyusuri jalan setapak di sepanjang aliran sungai, dan akhirnya sampai pada sebuah gubuk di tengah ladang, aku bersyukur sekali. Aku bersyukur karena aku bisa mengunjungi sebuah tempat yang suasananya mirip seperti lanskap kampungku. Tapi, ketika seekor ular muncul dari semak-semak, aku terguncang dan menjadi sadar bahwa aku sedang melamun di dalam kamarku.
Ketika hal ini kuceritakan pada seorang sahabat, ia berkata bahwa itu halusinasi akibat kurang tidur. Aku percaya. Dan peristiwa telepon yang berdering malam sebelumnya, sebuah halusinasi jugakah? Mungkin. Dan itulah sebabnya mengapa aku memutuskan tidur lebih awal setelah pada sore harinya kukuras tenaga dengan bermain badminton. Aku berharap, dengan kondisi tubuh yang lelah, aku bisa lebih mudah tertidur. Tapi harapanku meleset. Hingga pukul dua dini hari, aku tidak juga bisa tidur. Dan tiba-tiba, pada saat aku gelisah memikirkan ibu, ponsel berdering. Aku tersentak. Tubuhku gemetar. Kucubit lenganku untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi. Lalu, dengan dada yang berdegup kencang, kuterima telepon, “Halo….”
Dan di seberang, kudengar percakapan ini:
“Maukah kau menerima Liana dalam keadaan susah maupun senang, sakit atau sehat, hingga maut memisahkan?” seorang lelaki bersuara berat bertanya.
“Ya,” jawab seorang lelaki.
“Liana, maukah kau menerima Sarja dalam keadaan susah maupun senang, sakit atau sehat, hingga maut memisahkan?” seorang lelaki bersuara berat itu bertanya lagi.
“Tidak,” jawab seorang perempuan. Tiba-tiba kudengar suara gaduh serupa umpatan dan bisik-bisik dari mulut banyak orang. Kumatikan telepon itu. Ini benar-benar gila.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku berdoa, “Tuhan, ada apa dengan otakku. Tolong, tolong jangan biarkan aku menjadi gila.”
Setelah mengucapkan doa itu, ponsel berdering lagi. “Halo……..”
“Nah, begitu dong. Aku seneng kamu berdoa. Doamu kukabulkan. Kau tidak akan gila.”
“Keparat. Siapa kau?”
“Bah, berani kau memaki Tuhan.”
“Anjing!” kataku seraya melemparkan ponsel itu ke lantai. Dan aku merasa lega ketika kusaksikan ponsel itu pecah dan serpihannya berserakan di lantai. “Ha ha, mampus kau, ponsel sialan.”
Pada saat itu, pintu kamarku diketuk. “Siapa?”
“Aku, Niko.” Ternyata tetanggaku.
“Ada apa?”
“Boleh aku masuk?”
Kubukakan pintu.
“Kudengar suara berisik dari kamarmu. Aku terbangun. Boleh kutahu apa yang terjadi?” tanyanya.
“Ponsel sialan ini menggangguku. Lihat, ia sudah kupecahkan hingga tak berbentuk,” kataku sambil menunjuk pecahan-pecahan ponsel itu di lantai. Kawan itu geleng-geleng kepala.
“Kurasa kau butuh seorang psikiater.”
“Apa kau kira aku gila, ha?”
“Aku tidak mengatakan sepeti itu. Aku hanya memberi saran. Tingkahmu makin aneh saja belakangan ini.”
“Katakan. Katakan di mana letak keanehanku?”
“Sudahlah, kawan. Kau sakit. Kau memerlukan seseorang yang bisa merawatmu,” kata kawan itu sambil menepuk pundakku. Aneh, tiba-tiba saja aku merasa damai.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Boleh kau ceritakan apa-apa saja keanehanku?”
“Kau sering mengira ponselmu berbunyi, tapi tidak. Ketika kau angkat, kau dengar suara-suara aneh di seberang, tapi sebenarnya hal itu tidak terjadi.”
“Tapi aku merasa hal itu benar-benar terjadi?”
“Tidak, kawan. Semua itu tidak pernah terjadi.”
“Lantas?”
“Semua bermula sejak dua tahun yang lalu. Sejak kau membeli ponsel itu. Ibumu sering menelepon dan bertanya kapan kau menikah. Kapan kau pulang dan membawa menantu kepada mereka?”
“Bukankah itu hal yang sangat wajar?”
“Ya, itu sangat wajar. Tapi bagimu, itu menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
“Lupakah kau, kawan, bahwa perempuan yang kau kasihi itu telah tiada?”
“Tidak. Liana masih hidup.”
“Liana sudah pergi. Dia sudah pergi enam tahun yang lalu, sebulan menjelang kau membawanya kepada ayah dan ibumu, setengah tahun menjelang kau berencana menikahinya. Ingat-ingatlah, kerusuhan itu telah merenggut nyawanya. Dan seperti percaya pada kekuatan talenta yang diberi Tuhan, kau memutuskan diri jadi pengarang, tapi hingga saat ini tetap gagal. Sebab sebetulnya kau tak berbakat, kau hanya ingin lari dari frustasi dan kecewa yang dalam. Ayolah, kawan, bangkitlah, lupakan semuanya. Hidup ini masih teramat panjang untuk disia-siakan.”
“Hei, kau mengguruiku?”
“Tidak. Aku hanya ingin kau realistis. Lihat hidupmu, setiap hari kau bertindak seperti orang gila. Dan kuharap, malam ini kau bisa tidur. Sudah tiga malam kau tak tidur,” kata kawan itu seraya berlalu dari kamarku.
Sepeninggalnya, aku berusaha menata pikiran dan merenungkan sekuat mungkin apa-apa yang baru saja dikatakan kawan itu. Dan, tiba-tiba aku terserang kantuk, dan tertidur.
Esok harinya ketika bangun menjelang sore, pikiranku sedikit jernih. Aku segera mandi, dan kurasakan tubuhku sangat segar. Sungguh, sudah sangat lama aku tidak pernah merasakan tubuh sesegar ini. Dan, tiba-tiba aku teringat pada ibu. Aku ingin sekali meneleponnya. Tapi, ketika kusadari ponsel sudah hancur, aku mengutuk diri kenapa aku harus membantingnya tadi malam. Oh, aku ingat, aku masih punya sedikit tabungan. Sore itu aku pergi membeli ponsel bekas, sebab untuk membeli ponsel baru, uangku tidak cukup.
Dan malam harinya, kutelepon ibu dengan perasaan gembira. “Halo ibuku yang cantik, apa kabar?”
“Oh, anakku sang pengelana. Ibu baik-baik saja.“
“Bapa sehat juga kan?”
“Ya, semuanya sehat-sehat. Tapi, bapa sekarang makin sering uring-uringan. Ia mulai tak sabaran menunggu kapan kau membawa menantu buat kami. “
Pada saat ibu mengatakan itu, sesuatu tiba-tiba berderak di dalam otakku. Kepalaku seperti terbentur, tapi kutata pikiranku, sehingga aku masih bisa berkata, “Ibu dan bapa yang baik, aku masih ingin memusatkan perhatian dan pikiran untuk mengarang. Agar kelak, ketika aku menikah, aku sudah terkenal, dan pesta pernikahanku pasti lebih meriah. Oke, udah dulu ya, Ibu. Salam buat bapa jelek.”
Sesudah menutup telepon, aku tertawa, geli membayangkan tingkahku barusan. Aku merasa seperti masih kanak-kanak. Di usia yang sudah tigapuluh lima ini? Ah…
Tapi, malam itu semangatku seperti terbangkitkan. Setelah selesai makan malam, aku menghidupkan komputer. Aku ingin menulis sebuah kisah. Kisah yang benar-benar terjadi dalam hidupku. Dan puji cerita, kisah ini selesai kutulis dalam waktu satu jam. Aku puas. Aku merasa bangga. Aku bahagia sekali. Tapi, beberapa menit kemudian, seluruh keriangan itu hancur terberai-berai ketika ponselku berdering. Kusambar ponsel itu, “Haloo…”
Di seberang, kudengar tangisan, jeritan, teriakan orang-orang, suara tembakan dan berakhir pada rintihan seorang wanita. Aku kenal suara itu. Suara itu adalah suara Liana. ***
Pekanbaru, 2004
0 komentar:
Posting Komentar