07 April 2016

Menjinjing Riuh Kota

Puisi-puisi Panda MT Siallagan 




Tualang

Pernah kita sepakat mengembara ke arah berbeda. Serupa sungai, kau dan dirimu mengalir menuju samudera, menunggang gelombang, menggembalakan badai. Kau dan dirimu berhantam-hantam luka. Hingga kau dan dirimu tenggelam dalam doa tak usai. Sekeparat apa hidup yang kau impi, Puan?

Tak kau menoleh ke belakang, mengelak kutuk. Serupa angin laut, sangkamu aku mendaki bukit-bukit, memahat-mahat sunyi gunung jadi doa dalam jantung. Kau tak tahu, aku dan diriku mematung, serupa batu-batu tualang.

Kau lalu pulang, menjinjing riuh kota dan bandar dalam doa, membawa tas berisi hikmah tualang dalam bibel.

Buru-buru aku mendaki, tak ingin ditemui khianat. Dan setiba di gunung dan di bukit, kutatap kau dan dirimu menjerit, murka menungguku yang tiada datang mendekat. Haruskah aku membawamu ke dosa, Puan?

Tidak. Aku harus bergegas, mengemas kicau burung, mengepak aroma ladang, membungkus aroma kampung. Serupa hatimu menantang kota, mendekap doa. Tapi tak kudapati kau dan dirimu, hancur serupa kota dalam neraka.

Sejak itu, aku pergi jadi pengembara, sebab aku tak pernah berani memasuki gereja.

Pekanbaru, 2005


Kolase Sakai

Matahari menjilat airmata, sebaik jatuh dari mata bocah itu. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah hutan. Seperti setan mengeja jalan, lamban menggilas impian. Perang ini siapa yang tuai?

Matahari menjilat peluh, sebaik jatuh dikuras letih. Siang jadi peta neraka. Angin jiwa anak menyeru sejuk. Truk berpunggung kayu, menderu diburu amarah bara. Seperti datuk dikepung api, meradang keringkan hutan. Untai doa, pulangkanlah uap peluh. Tibakanlah ringai alam murka bah, hujan badai mata hati bocah. Kekalahan ini siapa yang mula?

Tapi malam berbohong. Gubuk yang dibungkus hening bening, bergetar diketuk mimpi dari jauh, "Jangan! habis suah mimpi jernih!"

Tidur melayang dari benak anak. Dengkur luka abah dan emak menerbangkan uap tikar pandan. Keluar dia menemani dingin, bertembang bersama bulan. Alam kosong, berucap mulutmu. Bumi gersang, berkedip matamu.Jika mati kampung, berhembus nafasmu. Jika punah tanah, mengelus tanganmu.

Bulan bernyanyi. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah bertuah. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah terjarah. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah terjajah. Kau bocah tumbuh di tanah ziarah penadah. Kau bocah menadah jemari di tanah leluhur. Tanah leluhur, jiwa kosong. Tanah ziarah, gersang ruh. Tanah leluhur, kampung mati. Tanah ziarah, tanah mati. Tanah punah.

Berteman bulan dia bernyanyi. Dengkur jantung abah dan emak, menerbangkan uap tikar pandan. Mengajak bulan nyenyak di hati anak.

Pematangsiantar, 2007

Sajak Nikah*
: hanna panjaitan

jika kita menikah, aku ingin anak-anak kita lahir
dan membangun sarang di rambutmu. hidup pasti tak pernah sepi
akan selalu kutemukan engkau dengan sanggul penuh cericit
seperti memasuki lagi masa kanak-kanakku di dusun terpencil
selalu kutiup seruling di situ, mengiringi burung-burung bernyanyi
bukankah kita bertemu dalam melodi hidup yang melengking-lengking?

jika kita menikah, aku ingin anak-anak kita lahir jadi burung
dan membangun sarang di rambutmu. hidup pasti selalu sejuk
senantiasa akan kutemukan engkau dengan sanggul beraroma hutan,
dan akupun akan selalu ingat sejarahku: lelaki gunung
bukankah kita telah berjanji seteguh bukit-bukit?

Pekanbaru, 2004

* Sajak ini termaktub dalam buku Dian Sastro for President! End of Trology, INSISTPress Jogyakarta (2005)

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar