Rapsodi Melayu
Lancang kuning, berlayar malam, berlayar malam...
Kenangan menyeret mimpi, melarung hati, merangkum tuah. Kulayari laut. Laut tak bertepi, mimpi tak berbatas, rindu tak berujung, cinta tak terkayuh. Kulayari bait. Bait dara panggung, suara rumah luka penembang nyanyi sejarah.
Bar ini banyak bercerita. Peluh nahkoda, keluh kuli, tangis nelayan, amis kerang, bangkai ikan, apak sarung lelaki pemilik kedai, ampas kopi di bibir para awak kapal, wanita bersirih penjual tembakau, lumut pada bangkai perahu rompak, para perantau dililit segala gelisah. Bar ini cerita peluh. Peluh aku keluh aku tangis aku amis aku bangkai aku.
Lancang kuning berlayar malam berlayar malam. Aku pulang menggelombang, menjilat bibir bandar, meneguk aliran hidup di mata pelacur. Ada laut dalam bir, pantai dalam lagu, kau dalam dada. Tapi aku terusir dari pesisir, terasing di pulau luka, sebab kutenggak pedih doa dari dosa para penista. Bar ini banyak berkisah.
Kuawankan rasa, kumendungkan mata, kuhujankan rindu. Kuingin jantung tak menyala tapi alkohol membakar jiwa. Dayu lagu tak henti menyulut kenangan jadi bara jadi abu.
Lancang kuning berlayar malam berlayar malam, apa aku mabuk?
Lancang kuning berlayar malam berlayar malam, kenapa kepalaku berombak?
Lancang kuning berlayar malam berlayar malam, apa dadaku guita?
Berlayar malam, hatiku tanpa dermaga
Pematangsiantar 2007
Sajak Nikah-2
: Hanna Panjaitan
Pintu mimpi sudah terbuka
Sayang, mari kita belajar tidur tenang
Malam memang tak punya kepastian
akan bunga apa esok tumbuh di taman
Nafaskan saja sebuah tunas merecup
agar kau belajar memaknai warna
Muliakan daun dengan cahaya, jika putih
Jika hitam, bujuk kelopak berbulan ibada
Jika tidak hitam tidak putih
Maka peristiwa makin tuah
Kita ambil surga obat lelah
Pintu mimpi sudah terbuka
Sayang,mari kita tidur dengan tenang
Pematangsiantar, 2007
Lampin
Selalu kuhirup aroma pagi itu, pintu yang menjerang darah sematang kisah pisau. Selamat uzur, Ibu, telah lama kokok ayam jantan mengoyak rahimmu, tapi masih tajam siul merpati berdesing menyibak pintu lapuk di teras ketuban itu. Kau ingat, tangisku dihantar lenguh kerbau, melenting mendekap awan, mengajar matahari menenun gubuk di bukit-bukit. Itulah lampin pertamaku berbaring menyusu warna ladang dari tubuhmu.
Securam apa tebing dan tenung di lembah lampin itu, Ibu? Sebab gubuk bambu dan tungku berkalang pupuk kandang masih dingin terkembang, merajah harum ubi dan rebung santan di lambungku, melukis belacan jadi sampan, melayari telaga pengutuk lumut di ceruk mataku. Aku ingin pecah jadi ombak, Ibu, tolong aduk doaku dengan peluhmu.
Setajam sembilu, pusarku mengulur mimpi, menjuluri rabuk tanah, mencari mulut naga padoha, pulang ke laut rahimmu. Aku ingin bertapa, berabad-abad lagi mengintip gelombang mimpi di dinding ari-ari yang licin. Tapi tangisku selalu menggunting akar ubanmu, dan kau menyulam sajak pahit di keranda. “Hasian, selamat jadi penyair.”
Begitulah curam takdir mengiris perut menantu dan cucumu, sebab kokok ayam hanya mahir menanam syair di kepala, mengaduk mimpi hingga busuk jadi doa. Selamat uzur, Ibu, aku bahagia dipancar cahaya kalung dan kerut surga di keningmu.
Pematangsiantar, Desember 2009
keren om puisi2nya, salam santun senja...
BalasHapus