25 Mei 2016

Meruncing Diraut Airmata

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Setelah Bambu Meruncing Lagi Diraut Airmata

a/
setelah bambu-bambu itu meruncing lagi diraut airmata, kami menugal tanah-tanah yang telah terbakar di dalam jantung kami. kami tanami harapan-harapan, dan membesar jadi pohon-pohon di sepanjang usia kami. lalu hutan-hutan membentang lagi di dalam mimpi-mimpi kami. tapi, setiap kali kami terjaga dihentak doa-doa, kami selalu menemukan bambu dan pohon-pohon itu meranggas lagi. ranting dan daun-daun beterbangan jadi asap, menyesaki nafas kami. tapi kami perintahkan anak-anak kami mengibarkan bendera pada bambu dan pohon-pohon itu, agar kami bisa lagi membaca angin, dan bernyanyi:
indonesia raya...merdeka...merdeka...

b/
setelah pada bambu dan pohon-pohon yang terbakar itu kami kibarkan bendera, kampung kami memancarkan warna merah dan putih. kami takjub, dan berpawai merayakan kemenangan itu. tapi kami tiba-tiba tersentak. kami ternyata sedang berjalan di atas genangan darah, tulang-tulang saudara kami berserakan di halaman. kami ternyata tidak sedang mengibarkan bendera untuk memugar hutan, tapi melukis tanah dengan darah. dan menyusun serakan tulang-tulang jadi jalan raya.

c/
lalu kami berjalan di atasnya, mencoba membunuh ketakutan dengan ketajaman doa-doa. kami jelajahi jalan-jalan menuju kebebasan. tapi kami tersesat. jalan dan gang-gang tak cukup panjang menampung dosa-dosa kami. kami tersesat di tubir tebing, gagap menemukan peluh kami telah menjelma jadi lautan gelap. mimpi-mimpi kami mengapung, mengintai sejarah perjalanan kami, lalu menerkam kami di jurang yang mencuram digali luka kami.

d/
akhirnya kami putuskan untuk rehat, lelap memeluk duka sendiri, tidur di kamar yang kami tukangi dengan airmata kami sendiri. dan di dalam mimpi kami, anak-anak bernyanyi:
indonesia raya...merdeka..merdeka...

e/
kami menghayati nadanya dengan jiwa yang berdarah, dan menjadi kian tak paham memaknai kemerdekaan

Pekanbaru, 11-08-04




Ibadah

Kau meruncingkan rindu selembut pucuk rebung. Begitulah kau memanggul doa ke puncak gunung dan bukit-bukit, meski pintu makam cuma sepanjang tubuh. Siapkan saja kuali untuk airmata, agar gubuk pulang pada muasal rumpun. Seteguh akar bambu itu, kita pasti sampai meski entah di lidah api atau di mulut bunga.

Pematangsiantar, 2010


Sembahyang

Daun daun pandan menjulur, menyusur licin lidahmu. Daun-daun pandan bergelung, menjahit kuluman doa di mulutmu. Daun-daun pandan menganyam mimpi, melumuri lantai dengan asam tuak dari mulut dan hatimu. Daun-daun pandan menarikmu duduk, melepas bibirmu menghardik bulan dan bintang-bintang. Tapi di atas tikar pandan lapuk penjaga sejarah gubuk, tidurku membatu. Malam dan burung hantu beku. Mampus kau!

2012
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar