22 Mei 2016

Kenapa Puisi, Mengapa Penyair?

Oleh Panda MT Siallagan

Sebagaimana galibnya, anak berusia 8 tahun itu bertanya, apakah syair sama dengan puisi dan sajak atau sanjak? Tanpa memperhitungkan resiko, sang ibu menjawab: sama.


Lalu rasa panik mulai melilit ketika bocah bermata puisi itu menggulirkan lagi pertanyaan sebagaimana galibnya curiosity anak-anak, yang lincah dan imajinatif. Punca masalahnya adalah pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, kata guru: puisi adalah kata-kata yang indah. Puisi sama dengan sajak. Dan penulis puisi atau sajak disebut penyair.

"Kenapa?" tanya si anak. Sebab pelajar tugas dan pekerjaannya belajar. Pedagang berdagang. Tukang becak menarik becak. Pencuri mencuri. Pembuat kursi, meskipun tidak pengursi, tapi masih berkerabat secara diksi, yaitu tukang kursi. Dan si anak menggugat:

Kenapa penulis puisi dan sajak disebut penyair? Saya berpura-pura menyibukkan diri, pura-pura serius mengerjakan tugas genting, agar pertanyaan itu tidak dilemparkan kepada saya. Tapi diam-diam, saya memikirkannya. Kenapa tidak pemuisi? Kenapa tidak penyajak? Sebaliknya, kenapa disebut penyair, sementara hasil gubahan mereka disebut puisi atau sajak? Kenapa tidak syair saja agar 'malapetaka' ini tidak muncul?

Lamat-lamat, saya dengar si ibu berkata, "Kelak, di sekolah yang lebih tinggi, engkau akan memperlajarinya." Si anak sepertinya berterima. Saya lega. Untuk sementara selamat dari 'marabahaya'. Tapi dalam hati, saya bergumul: di sekolah manakah hal itu kelak akan dipelajarinya?

Para penyair, yang sehari-hari berkutat dengan bahasa dan kata-kata, bahkan mungkin membangun 'kerajaan' dan 'politik kekuasaan' dengan bahasa dan kata-kata, sepertinya juga tak pernah peduli dengan situasi itu. Mereka menulis puisi dan sajak, lalu disebut dan menyebut diri sebagai penyair. Dan saya kembali pada nostalgia zaman dulu, alangkah baiknya disebut pengarang saja. Persoalan selesai. Apapun genre karangannya, ia pengarang.

Pada suatu masa, segelintir penyair Indonesia pernah menyebut diri sebagai perajin puisi. Seingat saya, Binhad Nurrohmat dan Satmoko Budi Santoso pada masa produktifnya pernah sekali-duakali menyebut diri sebagai perajin puisi bahkan peternak huruf. Tentu, itu dicantumkan dalam biografi singkatnya di surat kabar.

Barangkali, untuk menghindari resiko semacam inilah hal itu dulu mereka lakukan. Segelintir penyair muda ada juga melakukan hal yang sama, meski istilahnya berbeda-beda. Tapi fenomena itu kemudian redup. Barangkali, gengsi dan martabat kata 'penyair' sudah terlanjur kokoh dan orang-orang berebut mendapat gelar itu.

Mari kita bayangkan lelucon ini: Pemuisi Afrizal Malna, Penyajak Joko Pinurbo, Pesanjak Goenawan Mohamad, atau sekaligus kita tahbiskan: Pemantera Sutardji Calzoum Bachri, Peliris Jamal D. Rahman, sebagaimana kita jamak menyebut Cerpenis Danarto, Novelis Ayu Utami atau Kritikus Faruk HT dan Eseis Maman S Mahayana. Salahkah?

Kamus Bahasa Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga tidak bisa jadi alat yang memadai menjawab pertanyaan itu. Untuk lema puisi, memang disebutkan bahwa salah satu arti puisi adalah sajak, bahkan lengkap dengan jenis-jenisnya dan saling mendukung satu sama lain. Puisi bebas, misalnya, disebut artinya: puisi yang tidak terikat rima, matra, jumlah larik dan jumlah kata. Mengacu pada pengertian ini, maka puisi-puisi Indonesia mutakhir dapatlah disebut puisi bebas. Dan anehnya, puisi mbeling disebutkan artinya: sajak ringan atau sajak main-main, kenapa tidak puisi ringan atau puisi main-main?

Sementara, lema syair diartikan sebagai puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri terdiri atas empat larik yang berakhir dengan bunyi yang sama. Jika mengacu pada arti ini, maka para penyair Indonesia mutakhir  tak layak disebut penyair, sebab mereka tidak menulis syair, melainkan menulis puisi atau sajak. Tapi rupanya KBBI menyelamatkan para penyair. Arti kedua lema syair adalah: sajak; puisi.

Selanjutnya, arti lain lema sajak dijelaskan begini: gubahan sastra yang berbentuk puisi. Pengertian ini bias, seolah-olah sajak bukan puisi, tapi gubahan sastra berbentuk puisi. Artinya, prosa yang dibentuk-bentuk menyerupai puisi, bisa disebut sajak. Hal ini didukung pengertian kedua: bentuk karya sastra yang penyajiannya dilakukan dalam baris-baris teratur dan terikat. Jika mengacu pada pengertian ini, maka puisi-puisi Joko Pinurbo atau Afrizal Malna, terkesan kiranya sebagai sajak, tepatnya prosa sajak, yang memang puitis.

Demikianlah, catatan ini tidak bermaksud menyoal baik dan buruknya dunia perpuisian atau persajakan kita, sebab ia telah tegak dengan babak-babak sejarahnya, meski dunia persyairan sangat jarang disebut. Tetapi, siapakah yang bertanggungjawab menjelaskan pertanyaan bocah itu? Apakah kita harus menjelaskannya sebagaimana tertulis dalam KBBI itu?

Dan dari seluruh lema itu, hanya pada lema syair ada kata benda 'profesi', yaitu penyair (pengarang syair), sementara dalam lema puisi dan sajak, tidak ada pemuisi atau penyajak, tapi kita menyebut karya penyair sebagai PUISI dan SAJAK. Imajinasi anak-anak kadang terlalu murni, dan kita bisa pandir menghadapinya. Maukah Afrizal Malna menyebut diri sebagai penyajak? Atau bersediakah Sapardi dan Jokpin dan yang lain-lain disebut pemuisi? Entahlah...! ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar