25 Mei 2016

Saut Sitompul, Penyair Jalanan asal Siantar

Puisi

tak usah terlalu dipusingkan
bagaimana cara menulis puisi
cukup dengan pena di tangan
berjongkok di taman
ada daun jatuh
tulis
ada rumput menghijau
tulis
ada tanah terbakar
tulis
ada anak pipit terjatuh dari sarangnya
tulis
ada bau mesiu
tulis
tulis
tulis
tulis
ada hujan
tulis
ada titik-titik terang
tulis
lalu aduk dengan kelepak
ladam telapak kuda sedikit
cukup cukup cukup
nah ini ada puisi
dalam puisi ini ada bunyi
bunyi kecapi atau cemeti
itu tak penting
dalam puisi ini juga ada bau
bau ubi bakar atau babi panggang
itu juga tak penting
tapi ini puisi berbunyi
tang!

1978

Itu salah satu puisinya. Namanya tak dikenal dalam peta dan kanon kesusasteraan Indonesia. Tapi barangkali, sejumlah penyair Indonesia pernah mengenalnya dengan baik. Barulah setelah ia meninggal banyak orang membicarakannya, terlebih setelah bukunya berjudul Tulis! diterbitkan Penerbit Paseban, Jakarta (2006). Dialah Saut Sitompul, penyair jalanan asal Pematangsiantar, yang tewas secara tragis ditabrak taksi pada dini hari 9 Januari 2004.

Salah seorang penyair Batak terkemuka yang memiliki nama sama, Saut Situmorang, menulis haiku atas tragedi itu. Demikian puisi Saut Situmorang atas tragedi itu:

saut sitompul, haiku

antara aspal dan malam
mabukmu tersisa
jadi Jakarta!

(Jogja,10/02/04)

Sebagai penyair jalanan, Saut Sitompul tentu tak pernah memublikasikan karya-karyanya, baik di suratkabar atau majalah-majalah sastra. Dalam bentuk buku, konon Kongres Kodok pernah terbit, tapi jumlahnya sangat terbatas dan distribusinya tak meluas. Dan memang, jumlah puisi Saut Sitompul tergolong sedikit, hanya ada 75 buah tercantum di buku Tulis! Jumlah itu mengingatkan kita pada maestro sastra Indonesia Chairil Anwar, yang juga hanya memiliki puisi sekitar 70-an judul.


Tentu, tak layak membandingkan puisi-puisi Chairil Anwar dengan puisi Saut Sitompul, bukan karena aspek kualitas, tapi karena memang ciri dan alirannya sangat berbeda. Keduanya eksis di zaman yang sangat berbeda. Namun keduanya bisa bertaut dalam keresahan yang sama atas situasi sosial dan kehidupan pada masing-masing zamannya.

Sebagian orang mungkin menolak menyebut Saut Sitompul sebagai penyair dan lebih sepakat menyebutnya seniman jalanan atau pengamen jalanan. Sekali-dua ia pernah bermain sinetron dan membuat ilustrasi musik untuk film. Selebihnya, ia mengamen di jalanan Jakarta, dari satu bus ke bus lain, dari satu trayek ke trayek lain. Tapi ia mengamen dengan cara berbeda. Ia membacakan puisi-puisinya. Ia juga kerap membacakan puisi di hadapan teman-teman, dan sesekali tampil dalam pembacaan puisi pada acara-acara kesenian atau kegiatan seremonial. Bahkan, dalam acara kebaktian di gereja pun, ia pernah membaca puisi.

Dengan mengamen baca puisi itulah ia menghidupi keluarganya. Sejumlah besar penyair Indonesia mungkin tak pernah benar-benar menghidupi keluarga dengan puisi, tapi Saut telah melakukannya. Pun, ketika sejumlah penyair Indonesia hanya bisa ngomel merutuki rendahnya tingkat kepembacaan masyarakat atas puisi, Saut telah menjemput sendiri audiensnya, membacakan puisi di tempat umum, mengenalkan puisi secara nyata kepada khalayak. Seperti kita duga, hal itu tak membuat kondisi ekonomi keluarganya membaik.

"Stres juga ya. Gimana sih hidupnya seperti ini. Menghidupi keluarga dari teman-temannya, itu tadi, baca puisi itu," ujar istrinya, Lili Girsang, sebagaimana terurai dalam sekelumit tentang Saut Sitompul, di buku Tulis! itu.

Begitupun, Saut tak menyerah. Ia terus menjalani hidup sebagai musisi jalanan. Seperti kita baca, puisi-puisi Saut banyak bicara tentang situasi sosial, kemiskinan, religiusitas, dan juga pergumulan hidupnya sehari-hari sebagai seniman bohemian. Bahasanya lugas. Ia tidak menulis puisi berbentuk kata atau kalimat-kalimat estetis. Ia  sepertinya lebih mementingkan bunyi atau efek musikal, dan sepertinya itu mengalir dari alam bawah sadar untuk mendukung 'pementasannya' sehari-hari. Dan bagi Saut, puisi bukanlah sesuatu yang rumit, seperti tergambar dalam puisi berjudul Tulis di atas. Tapi bukan berarti ia tak bisa menulis puisi indah nan estetik. Simak puisi Saut berikut: 

Perpisahan

tetes angin
namaMU
kutinggalkan dulu
sejak pupus di mimpi purba
s'milir mengendap-endap di pangkuan langit
namaMu
tak kuingat
terkubur di puncak awan
di pucuk nafas yang mengikatku
jarak
berdesir-desir desau nafasku
kuhirup-lupakan
halleluya

Saut Sitompul lahir di Pematangsiantar 9 Februari 1955, dan menghabiskan masa kecil dan masa remajanya di kota berhawa sejuk itu. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis pada dini hari 9 Januari 20104, tertabrak taksi di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Ia meninggalkan seorang istri Lili Boru Girsang dan dua putri, Suri Sitompul dan Tio Sitompul, yang masih duduk di kelas IV dan II SD ketika ia pergi untuk selamanya. Bagaimanapun, Saut Sitompul telah mempersembahkan puisi bernilai bagi sastra Indonesia. Dan untuk alasan itulah saya menuliskan ulang secuil kisahnya. (Panda MT Siallagan)***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar