Oleh: Panda MT Siallagan
Suatu ketika, seorang lelaki bertubuh ceking dan berkulit legam, duduk bersila di trotoar sebuah kota. Di hadapannya, terletak sebuah tong sampah yang kosong, sebab petugas baru saja membersihkannya dan mengangkut sampah dari tong itu.
Dan ternyata, di sanalah letak persoalannya. Pria ceking tanpa baju itu sedang mengomel kepada tong sampah, katanya: "Tidak kau tunggu aku. Aku kan sudah janji datang. Mereka sudah kaya, tapi kau berikan juga semua pada mereka."
Orang-orang, warga kota yang beradab itu, yang menonton drama ajaib itu, hampir memiliki komentar seragam: dasar orang gila. Dan saya sepakat: takdir telah menelantarkan pria itu sebagai manusia bebas, tapi terkungkung dililit penyakitnya, yang oleh kita disebut sakit jiwa.
Tapi saya punya nurani yang lain. Kepada pemilik toko saya coba bertanya. Dan inilah kisahnya: hampir setiap hari pria itu datang ke depan tokonya, mengais-ngais tong sampah itu, lalu menelan seluruh sisa-sisa makanan yang ditemukannya. Rasa hormat patut kita sampaikan kepada pemilik toko, sebab ia sesekali memasukkan makanan bersih ke dalam tong itu, terutama pada jam-jam menjelang pria itu biasa datang. Tapi hari itu, entah bagaimana, pria itu terlambat dan petugas mendahuluinya.
Saat ia tiba, tong sampah sudah bersih. Pria itu menjerit. Menangis keras. Mengundang perhatian orang banyak yang segera berkerumun menontonnya. Tak lama kemudian, ia duduk bersila, persis menghadap tong sampah itu dan mengajaknya bicara. Benar-benar bicara. Bicara pada tong sampah. Dan ajaibnya, kewarasanmu sebagaimana manusia tak akan berarti dihadapkan padanya. Sebab, seperti dikisahkan pemilik toko, pria ini justru tidak mau makan kalau diberi. Ia hanya makan dari tong sampah itu. Dan hanya tong sampah itu. Tong sampah yang lain juga tidak disambanginya. Bagaimana kita harus menjelaskan ini?
Ketika saya mulai tergila-gila pada puisi dan mulai mencoba-coba menulis puisi, kebingungan yang sama juga mengepung kesadaran saya. Bagaimana bunga bisa tumbuh di atas batu? Dan bunga yang tumbuh di atas batu itu musnah terbakar, yang membakar bukan api, tapi sepi. (Bunga, Sajak Sitor Situmorang) Waktu itu, saya hanya menggumam dalam hati, "Gila kau, Sitor!"
Bahwa tong sampah menjelma sosok manusia yang diajak bicara, bahwa sepi bisa membakar bunga di atas batu, sungguh kegilaan yang sama, lahir dari imajinasi yang tidak normal, demikian renungan saya di kemudian hari setelah sungguh-sungguh belajar menulis puisi dan menjadikannya 'ibadah' yang lain. Saya katakan ibadah, sebab sesungguhnya doa juga tak akan pernah tuntas saya pahami, mengapa kita bicara dan meminta kepada sosok agung tak berwujud itu? Itulah kesepian saya paling mendasar.
Seringkali, dalam kehidupan ini, kita mengenal batu, kayu, besi, logam, dan bahkan kita hidup dalam penyertaan dan lindungannya: menjadi dinding rumah, menjadi pintu, menjadi jerejak jendela, menjadi kursi, menjadi kerangka ranjang, tapi kenapa kita tidak pernah sungguh-sungguh menganggap mereka ada. Yang peka pada benda-benda, suatu kali mungkin akan mengusap-usap dinding rumahnya, mengelus-elus sandaran kursinya dan berkata: terimakasih perabot-perabotku, terimakasih panciku, terimakasih pintuku, terimakasih dindingku. Maka, kita yang mendengar ucapan itu mungkin akan berkata: sudah gila kawan itu.
Tapi ketika ramai-ramai orang memburu batu akik, mengelus-elusnya, membangga-banggakannya, memuji-mujinya bahkan merawatnya, membeli minyak zaitun tempatnya berendam agar katanya hidup, mengapa kita tidak merasa gila? Mengapa kita tidak menyebut mereka gila karena seluruh cinta dan perhatiannya beralih ke batu akik? Sungguh, bagi saya, itu suatu masa yang menakjubkan tentang bagaimana orang secara massal terjebak dalam berhala, dan saya sebagai penonton, merasa bahagia dengan berhala saya, yaitu puisi-puisi yang berseliweran karenanya.
Saya tak menyukai teori-teori tentang puisi. Juga tak tertarik memikirkan apa guna puisi bagi kehidupan, terlebih ketika puisi dipaksa-paksa mengurusi politik dan urusan-urusan Negara yang mumet itu. Mungkin selama-lamanya, saya tak menyukainya. Tapi saya gemar dan bahagia hidup bersama puisi. Membayangkan batu pecah, lalu dari dalamnya muncul merpati. Merpati pertapa. Mungkin dialah burung hulambujati itu.
Saya suka membayangkan air jadi api. Dengan demikian, fungsi air tidak lagi menghanyutkan, tapi membakar. Siapa bisa membantah, banjir yang melumat sebuah kota adalah api abadi di hati para korbannya? Saya gemar membayangkan air danau sebagai ular-ular siluman yang berhimpun dalam kutukan lembah. Dan bagaimana semua itu bisa terwujud? Saya ternyata bersalah juga, turut jua menzolimi puisi. Menggunakan puisi sebagai alat membahasakan kegilaan-kegilaan itu.
Seringkali memang, kita menjauh dari benda-benda yang sesungguhnya sangat akrab dengan kita. Saya menduga, pria gila itu telah mengadakan perjanjian dengan tong sampah agar saling setia satu sama lain, maka itu ia tidak mau berpaling. Pengkhianatan mungkin paling memungkinkan hadir tersebab hilangnya kepekaan dan ketidakpedulian, karena bebalnya perasaan kita terhadap benda-benda, yang padanya kita menumpangkan hidup, hasrat dan mimpi-mimpi.
Belakangan ini, sebuah pergolakan bathin sangat intens menggoda saya: bahwa kebohongan bisa saja menjulangkan engkau sejaya matahari, tapi ketahuilah, buah-buah busuk akan berjatuhan menguburmu, dan dengan demikian, engkaulah kebusukan itu, sementara matahari sesungguhnya tak pernah engkau kenal. Apakah itu puisi? Entahlah.
Tapi nyatanya, saya semakin kesulitan menemukan puisi, baik untuk saya tulis maupun untuk saya baca. Kadang-kadang, puisi-puisi yang berhamburan setiap hari itu hanya terasa sebagai teks-teks hampa, seperti es batu yang dingin, tapi kemudian berlalu mengkhianati dua hal: air dan suhu. Kepada keduanya, kita adalah prajurit durhaka di ruang global warming ini.
Barangkali, kita perlu belajar berbicara lagi dengan benda-benda, dengan cuaca, dengan jampi-jampi, dengan alam raya, dengan junjungan buih segalanya itu: jiwa. ***
Sumber: Sumut Pos, 15 Mei 2015
Suatu ketika, seorang lelaki bertubuh ceking dan berkulit legam, duduk bersila di trotoar sebuah kota. Di hadapannya, terletak sebuah tong sampah yang kosong, sebab petugas baru saja membersihkannya dan mengangkut sampah dari tong itu.
Dan ternyata, di sanalah letak persoalannya. Pria ceking tanpa baju itu sedang mengomel kepada tong sampah, katanya: "Tidak kau tunggu aku. Aku kan sudah janji datang. Mereka sudah kaya, tapi kau berikan juga semua pada mereka."
Orang-orang, warga kota yang beradab itu, yang menonton drama ajaib itu, hampir memiliki komentar seragam: dasar orang gila. Dan saya sepakat: takdir telah menelantarkan pria itu sebagai manusia bebas, tapi terkungkung dililit penyakitnya, yang oleh kita disebut sakit jiwa.
Tapi saya punya nurani yang lain. Kepada pemilik toko saya coba bertanya. Dan inilah kisahnya: hampir setiap hari pria itu datang ke depan tokonya, mengais-ngais tong sampah itu, lalu menelan seluruh sisa-sisa makanan yang ditemukannya. Rasa hormat patut kita sampaikan kepada pemilik toko, sebab ia sesekali memasukkan makanan bersih ke dalam tong itu, terutama pada jam-jam menjelang pria itu biasa datang. Tapi hari itu, entah bagaimana, pria itu terlambat dan petugas mendahuluinya.
Saat ia tiba, tong sampah sudah bersih. Pria itu menjerit. Menangis keras. Mengundang perhatian orang banyak yang segera berkerumun menontonnya. Tak lama kemudian, ia duduk bersila, persis menghadap tong sampah itu dan mengajaknya bicara. Benar-benar bicara. Bicara pada tong sampah. Dan ajaibnya, kewarasanmu sebagaimana manusia tak akan berarti dihadapkan padanya. Sebab, seperti dikisahkan pemilik toko, pria ini justru tidak mau makan kalau diberi. Ia hanya makan dari tong sampah itu. Dan hanya tong sampah itu. Tong sampah yang lain juga tidak disambanginya. Bagaimana kita harus menjelaskan ini?
Ketika saya mulai tergila-gila pada puisi dan mulai mencoba-coba menulis puisi, kebingungan yang sama juga mengepung kesadaran saya. Bagaimana bunga bisa tumbuh di atas batu? Dan bunga yang tumbuh di atas batu itu musnah terbakar, yang membakar bukan api, tapi sepi. (Bunga, Sajak Sitor Situmorang) Waktu itu, saya hanya menggumam dalam hati, "Gila kau, Sitor!"
Bahwa tong sampah menjelma sosok manusia yang diajak bicara, bahwa sepi bisa membakar bunga di atas batu, sungguh kegilaan yang sama, lahir dari imajinasi yang tidak normal, demikian renungan saya di kemudian hari setelah sungguh-sungguh belajar menulis puisi dan menjadikannya 'ibadah' yang lain. Saya katakan ibadah, sebab sesungguhnya doa juga tak akan pernah tuntas saya pahami, mengapa kita bicara dan meminta kepada sosok agung tak berwujud itu? Itulah kesepian saya paling mendasar.
Seringkali, dalam kehidupan ini, kita mengenal batu, kayu, besi, logam, dan bahkan kita hidup dalam penyertaan dan lindungannya: menjadi dinding rumah, menjadi pintu, menjadi jerejak jendela, menjadi kursi, menjadi kerangka ranjang, tapi kenapa kita tidak pernah sungguh-sungguh menganggap mereka ada. Yang peka pada benda-benda, suatu kali mungkin akan mengusap-usap dinding rumahnya, mengelus-elus sandaran kursinya dan berkata: terimakasih perabot-perabotku, terimakasih panciku, terimakasih pintuku, terimakasih dindingku. Maka, kita yang mendengar ucapan itu mungkin akan berkata: sudah gila kawan itu.
Tapi ketika ramai-ramai orang memburu batu akik, mengelus-elusnya, membangga-banggakannya, memuji-mujinya bahkan merawatnya, membeli minyak zaitun tempatnya berendam agar katanya hidup, mengapa kita tidak merasa gila? Mengapa kita tidak menyebut mereka gila karena seluruh cinta dan perhatiannya beralih ke batu akik? Sungguh, bagi saya, itu suatu masa yang menakjubkan tentang bagaimana orang secara massal terjebak dalam berhala, dan saya sebagai penonton, merasa bahagia dengan berhala saya, yaitu puisi-puisi yang berseliweran karenanya.
Saya tak menyukai teori-teori tentang puisi. Juga tak tertarik memikirkan apa guna puisi bagi kehidupan, terlebih ketika puisi dipaksa-paksa mengurusi politik dan urusan-urusan Negara yang mumet itu. Mungkin selama-lamanya, saya tak menyukainya. Tapi saya gemar dan bahagia hidup bersama puisi. Membayangkan batu pecah, lalu dari dalamnya muncul merpati. Merpati pertapa. Mungkin dialah burung hulambujati itu.
Saya suka membayangkan air jadi api. Dengan demikian, fungsi air tidak lagi menghanyutkan, tapi membakar. Siapa bisa membantah, banjir yang melumat sebuah kota adalah api abadi di hati para korbannya? Saya gemar membayangkan air danau sebagai ular-ular siluman yang berhimpun dalam kutukan lembah. Dan bagaimana semua itu bisa terwujud? Saya ternyata bersalah juga, turut jua menzolimi puisi. Menggunakan puisi sebagai alat membahasakan kegilaan-kegilaan itu.
Seringkali memang, kita menjauh dari benda-benda yang sesungguhnya sangat akrab dengan kita. Saya menduga, pria gila itu telah mengadakan perjanjian dengan tong sampah agar saling setia satu sama lain, maka itu ia tidak mau berpaling. Pengkhianatan mungkin paling memungkinkan hadir tersebab hilangnya kepekaan dan ketidakpedulian, karena bebalnya perasaan kita terhadap benda-benda, yang padanya kita menumpangkan hidup, hasrat dan mimpi-mimpi.
Belakangan ini, sebuah pergolakan bathin sangat intens menggoda saya: bahwa kebohongan bisa saja menjulangkan engkau sejaya matahari, tapi ketahuilah, buah-buah busuk akan berjatuhan menguburmu, dan dengan demikian, engkaulah kebusukan itu, sementara matahari sesungguhnya tak pernah engkau kenal. Apakah itu puisi? Entahlah.
Tapi nyatanya, saya semakin kesulitan menemukan puisi, baik untuk saya tulis maupun untuk saya baca. Kadang-kadang, puisi-puisi yang berhamburan setiap hari itu hanya terasa sebagai teks-teks hampa, seperti es batu yang dingin, tapi kemudian berlalu mengkhianati dua hal: air dan suhu. Kepada keduanya, kita adalah prajurit durhaka di ruang global warming ini.
Barangkali, kita perlu belajar berbicara lagi dengan benda-benda, dengan cuaca, dengan jampi-jampi, dengan alam raya, dengan junjungan buih segalanya itu: jiwa. ***
Sumber: Sumut Pos, 15 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar